Orang bahagia adalah…
Orang yang memiliki iman, ketulusan dan juga cinta.
Dan apabila dia bisa menikah dengan orang yang paling ia cintai…!!!
FRISTA, DILLA dan GANDYS..
Adalah
tiga wanita yang mempunyai latar belakang keluarga dan prihadi masing-masing.
FRISTA….
Dia seorang wanita karir yang lebih
mementingkan kehidupan keluarganya hingga
melupakan laki-laki dan
dirinya sendiri dan anti perjodohan.
DILLA…..
Adalah seorang wanita yang terlahir dari
keluarga yang hidup di kolong jembatan, ketika dewasa nasib membawa hidupnya ke
jalan yang tidak pernah ia bayangkan. Ia menjalani hidup dengan pria asing
dengan sebutan ‘Kawin kontrak’.
GANDYS….
Adalah seorang sekretaris handal yang
bekerja di perusahaan besar, yang tidak pernah serius menjalani hubungan dengan
laki-laki. Laki-laki baginya tidak lebih dari tempat untuk bersenang-senang.
Namun ia tidak ingin menyakiti siapa pun, dan pria pun tidak merasa tersakiti
dengan sikapnya yang cuek.
FRISTA, DILLA DAN GANDYS bertemu di
tempat yang berbeda dan akhirnya menjadi akrab. Tapi perjalanan hidup tidak
seindah tulisan dan seputih kertas. Sakit hati, kecewa, merana serta tangis dan
bahagia mungkin akan mewarnai. Tapi satu hal yang tidak boleh di lupakan, yaitu
menghargai hidup!
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
FRISTA.
Frista menatap sejenak sebuah cincin
indah di dalam kotak terbuka yang sedang di pegang oleh Dias. Dias membelikan
cincin itu untuk membuktikan keseriusannya kepada Frista. Lalu matanya beralih
ke mata Dias. Mata indah itu berharap kalau Frista menerima pemberiannya.
Frista tersenyum.
“Sorry… Dias, aku benar-banar tidak bisa
menerima ini.” Kata Frista lembut. Sama sekali ia tidak bermaksud membuat pria
itu kecewa. Dias tertawa kecil. Kecewa pasti namun untuk patah hati, tidak.
“Tidak apa-apa.” Ia menutup kotak cincin
itu dengan hati-hati.
“Oke, kelihatannya sudah terlalu malam,
aku masuk ya?” Frista membuka pintu mobil. ”Kamu nggak mau mampir dulu?”
sebelum keluar ia melirik Dias. Dias sepertinya mengerti kalau itu bukan ajakan
namun sekedar tata krama. Ia menggeleng.
“Tidak. Kamu harus istirahat.
“Oke.” Frista keluar dan mengucapkan
terima kasih sebelum kembali menutup pintu. Sejujurnya Frista tidak berharap
Dias masuk karena matanya sudah sangat mengantuk dan lelah. Frista membenci
perjodohan namun Dias mencintainya bukan semata-mata karena perjodohan dari
orang tua mereka.
Frista adalah gadis modern yang sangat
menarik, karirnya meluncur dengan mulus. Laki-laki di otaknya hanya berada di
urutan yang kesekian. Karena menurutnya laki-laki itu suka menyepelekan
perempuan. Frista tinggal tinggal bersama pembantunya di kawasan perumahan elit
Jakarta, sementara keluarganya dan kedua adiknya ia tempatkan di kawasan
Cibubur, tempat yang masih asri dan jauh dari polusi udara, dia sendiri memilih
tinggal di Jakarta karena dekat dengan kantornya. Usia Frista sudah genap 27
tahun, tujuh tahun lebih sudah menggeluti di bidang bisnis. Ia menyelesaikan
S2-nya sembari kerja. Dia adalah tipe wanita yang menciptakan kesempatan bukan
menunggu, maka tidak heran kalau dia memiliki jaringan bisnis sendiri. Sebagai
gadis jenius, ia ingin membuktikan kalau wanita juga bisa menghasilkan uang
bukan sekedar menghabiskan. Karena dia tidak suka melihat pria sombong karena
uang. Tapi Dias bukan pria sombong, dia anak tunggal dari teman orang tuanya
Frista. Dia lulusan dari Australia.
Sebenarnya Frista tidak punya alasan pasti untuk tidak menyukai pria itu,
selain pintar ia juga tidak jelek. Dias adalah pria ke lima yang coba serius mendekati Frista.
Mungkin Frista adalah tipe wanita yang
tidak gampang di taklukan dengan embel-embel apa pun. Apalagi dengan alasan
cinta mati.. termasuk dengan rayuan harta benda dengan dalih perhatian atau
tanda cinta. Cinta tidak bisa di ukur dengan semua itu.. karena cinta adalah
ketertarikan yang tidak bisa di gambarkan dengan apapun yang ada di muka bumi
ini.
DILLA.
Dilla adalah seorang wanita yang
memilih hidup dengan pria asing atas nama kawin kontrak, manusia terkadang
menjalani hidup yang bertentangan dengan keinginannya, kenapa??? Apakah dengan
memilih hidup jujur dan dengan hati nurani akan membuat kita sengsara?
Menderita, atau miskin? Sepertinya tergantung bagaimana cara kita menikmatinya.
Dilla adalah wanita yang menarik,
terlahir dari keluarga yang hidup di kolong jembatan. Setelah beranjak remaja
dan merasa sudah bosan bergaul dengan kemiskinan ia coba mengalihkan dunianya.
Setamat SMP dan mulai bisa berdandan ia memberanikan diri untuk mencari
pekerjaan. Karena bagi anak kolong jembatan tidak mungkin bisa melanjutkan
sekolah yang lebih tinggi lagi, itu hanyalah hayalan yang tidak mungkin bisa di
gapai. Sekolah gratis, apanya yang gratis. Itu hanya berlaku untuk otak-otak
yang pintar, tapi apa iya pintar dulu baru bisa sekolah? Dilla kecil tidak
mengerti apa yang ada di otak-otak para pejabat negeri ini. Negeri ini tidak miskin,
tapi naluri mafialah yang membuat negeri ini miskin. Masa depan yang ada di
otak Dilla kecil adalah hidup yang layak. Dan ia tahu pasti untuk memperoleh
semua itu bukan dengan cara merampok atau mencuri, bagaimana pun ia sudah sering
melihat anak-anak yang ada di sekitarnya. Jika mencuri maka akan di pukul, atau
di bawa ke kantor polisi. Dan orang tuanya tidak pernah mengajarkan itu. Dari
pada mencuri lebih baik bekerja mati-matian atau meminta. Dan dari situlah
Dilla yang berusia tiga belas tahun mencoba menawarkan diri untuk bekerja di
tempat restoran kecil sekedar membantu mencuci piring, asalkan tidak meminta.
Karena ia masih punya tenaga untuk melakukan hal seperti itu.
Tapi kenyataan membawanya hidup dengan
pria asing, dari pada hidup menjadi PSK. Di usianya yang ke 18 ia menempati
sebuah rumah mewah dengan di temani seorang pembantu yang akan melayaninya
apapun. Ia memiliki sebuah mobil bagus dan bisa pergi kemana pun dengan uangnya
yang lebih dari cukup. Siang di salon dan malam sering menghabiskan waktu di
discotik. Apakah itu bisa di kategorikan sebagai hidup yang layak? Ya, mungkin
menurut Dilla. Namun apa pun itu bentuknya tetap saja, bahwa sebuah kebahagiaan
akan menjadi sempurna jika di sertai dengan cinta. Karena uang dan cinta ibarat
sebuah mata uang yang memiliki dua sisi yang tidak bisa di pisahkan.
Dilla yang kini sudah di atas dua puluh
tahun itu sedang duduk di discotik ternama di Jakarta, ia
minum sembari menikmati rokok putihnya. Dan seorang pria yang sejak tadi sedang
mengamatinya dan tak sedetik pun mata pria itu beralih ke tempat lain. Itu
bukan untuk kali pertamanya. Karena nyaris setiap malam ia ada di sana untuk menunggu Dilla
muncul, namun kali ini ia sedikit memiliki keberanian untuk mendekati Dilla.
Dia pun berjalan menuju kursi Dilla. Dilla sepertinya sudah terlalu banyak
minum, sehingga pria yang sudah ada di dekatnya itu tidak begitu ia gubris, tak
begitu ia sadari dan tidak menarik perhatiannya.
“Hai…?” sapa pria itu. Dilla menoleh
sejenak, ia menemukan sebuah senyuman dewasa dari pria tampan. Dilla tersenyum
kecil lalu meneguk minumannya lagi. Sepertinya minuman itu lebih menarik dari
pria mana pun. Pria itu coba menahan gelas yang ada di tangan Dilla.
“Kamu itu sudah terlalu banyak minum.”
Katanya pelan. Dilla menatap pria itu dengan tatapan tidak suka. Si pria tahu
kalau dia tidak berhak apa pun pada gadis itu. ”Saya Hangga. Saya tidak
bermaksud merusak keasyikan kamu, tapi saya peduli sama kamu.” Dan tanpa di
duga ia mengambil gelas dari tangan Dilla. ”Biar saya bantu kamu menghabiskan
isinya.” Ia pun meneguk isi gelas tanpa tersisa. Lalu menatap gadis cantik yang
sudah terlihat mabuk itu. Ia tidak menghiraukan pria yang bernama Hangga itu.
Ia bersandar di kursi dan matanya menatap kepada anak-anak muda yang sedang
asyik di tempatnya masing-masing. Ada
yang berdisco, minum atau sekedar ngobrol. Taklama kemudian matanya mulai
terpejam. Hangga mengamatinya dan ia sadar betul kalau wanita itu sudah mabuk
berat. Ia tidak mungkin meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Apalagi
gadis itu adalah gadis impiannya. Setelah lama berpikir ia pun memutuskan untuk
membawa Dilla keluar dari discotik itu dan membawa ke rumahnya yang mewah, dan
kebetulan keluarganya sedang pergi ke luar negeri. Maka ia tidak akan
repot-repot menjawab kalau ada yang bertanya tentang cewek mabuk masuk ke
rumah. Sebetulnya Hangga punya adik perempuan yang masih kuliah, kedua orang tuanya
pun masih lengkap. Dia sendiri seorang bisnis man yang berhasil dan pekerja
keras. Namun setelah sekali melihat Dilla, ia jadi sering muncul di discotik
sekedar ingin memandang Dilla. Sepertinya ia tipe pria yang jika sudah jatuh
cinta tak akan berpaling. Tak peduli siapa pun orangnya. Di matanya Dilla itu
punya daya tarik yang tak bisa di ungkapkan. Wanita yang tidak gila berdandan,
atau ber-makeup tebal. Wajahnya menarik secara alamiah dan punya daya pikat
yang tinggi.
GANDYS.
Dia adalah wanita muda yang enegik, suka
berpetualang cinta dan kerja di kantoran. Suka bersenang-senang dengan uangnya
sendiri. Laki-laki dan cinta menurutnya hanyalah kesenangan sesaat. berganti
pacar merupakan hal yang wajar baginya. ‘Hidup adalah terus berjalan ke depan,
dan jangan pernah serius dengan hal-hal yang tidak kita sukai.’ Itu motto
hidupnya.
Yuda adalah pria yang bekerja sekantor
dengan Gandys, yang sudah lama menaruh perhatian khusus pada Gandys. Tapi ia
tidak pernah punya cukup keberanian untuk mengajak Gandys kencan. Gandys tidak
menyukai pria yang sok alim. Dia di besarkan dalam keluarga yang betul-betul
memahami cinta, kebebasan, hak dan kewajiban. Ia juga sudah pernah merasakan
sakitnya di khianati.
Malam itu ia kencan dengan pria
kenalannya, mereka ke hotel untuk makan atau sekedar menikmati anggur mahal di
kamar mewah. Mereka duduk bersebelahan yang di batasi oleh meja kecil. Pria itu
menatap Gandys yang sedang menikmati minumannya. Ia memegang tangan Gandys dan
mulai mengusapnya. Gandys menyukai pria romantis dan pria yang ada di
hadapannya saat ini adalah salah satu pria tampan di kantornya setelah Yuda.
Jika pria merasa sudah mapan, ia merasa punya naluri ingin memberikan sesuatu
pada wanita yang di sukainya. Pria itu memberikan sebuah kalung cantik untuk
Gandys dan memakaikannya di leher Gandys. Ia tidak mencium Gandys namun Gandys
adalah seorang wanita yang sudah sedikit paham dengan watak pria. Tak ada yang
di inginkan pria selain sebuah ciuman. Itu awal dari segalanya.
“Terima kasih ya.” Ujar Gandys. Ia meraih
pria itu dan mencium bibirnya. Dan si pria tersenyum, ketika Gandys memberinya
peluang maka tak ada lagi yang perlu di tunggu. Dan Gandys menyukai pria yang
ternyata lebih jauh agresif darinya. Tapi apakah Gandys menyukai pria itu??
Nanti dulu. Sebuah ciuman dan kalung yang sudah terpasang bukanlah jaminan dari
cinta. Di dalam kamar hotel mereka bersenang-senang. Semua orang pasti
berpikiran kalau mereka telah melakukan hubungan intim. Dan sebelum larut malam
Gandys sudah memutuskan untuk meninggalkan hotel tersebut. Dia paling senang
membuat orang menebak tentang dirinya, padahal semua tebakan orang itu semuanya
salah. dengan begitu ia merasa sudah menjadi orang yang tak tertebak, ia pun
tersenyum. Ia tidak peduli dengan semua opini orang-orang yang ada di
sekitarnya. Yang terpenting kebenaran ada di dalam dirinya.. dengan begitu ia
tidak perlu mendengar gosip apapun yang ada di luar sana.
Sampai di rumah, di kamarnya Gandys
langsung melepas kalung dari lehernya lalu menyimpannya bersama puluhan hadiah
dari pria yang berbeda. Gandys tidak pernah berharap mendapatkan hadiah-hadiah
seperti itu. Setelah mengenakannya sekali langsung ia buka, tapi ada juga yang
memintanya kembali. Itulah…! Dan menurut Gandys seorang pria seperti itu tidak
punya harga diri, sebab yang namanya pemberian pantang di tarik kembali.
Makanya jika sebuah pemberian ada maksud di dalamnya, itu berarti ada indikasi
menyimpan niat yang tidak baik. Tapi yang namanya orang sakit hati, atau karena
cintanya di tolak maka apa pun bisa terjadi!
FRISTA menerima telepon dari Dias setelah
selesai rapat siang itu. Dia mengajaknya makan siang. Lagi-lagi dia. Pikir
Frista. Tapi Frista tidak punya alasan untuk menghindar, apalagi Dias sudah ada
di lobi. Frista memutuskan untuk turun ke lobi. Pria sabar itu tersenyum
menyambutnya.
“Hai, apa aku mengganggu kamu?”
“Sedikit.” Kata Frista dengan nada
candaan. Mereka pun menuju restoran Cina tempat makan kegemaran Frista. Pria
itu tahu betul dengan selera makan Frista. Beberapa menit saja mereka sudah
menikmati santap siang. Frista begitu menikmati makan siangnya.. lalu ia
menatap Dias yang kebetulan sedang memandangnya. Frista coba tersenyum.
“Dias, apa sih yang kamu harap dari aku?”
“Hanya sedikit perhatian dari kamu.”
Ucapnya tanpa bermaksud menuntut.
“Apa karena perjodohan orang tua kita?”
“Itu bukan alasan aku mendekati kamu.”
“Lalu, apa kamu merasa tidak ada yang
aneh dengan hubungan ini? Boleh aku jujur?” kata Frista. Dias mengangguk. ”Mm..
sebenarnya aku tidak bisa mencintai kamu.”
“Tidak bisa? Atau belum bisa?”
“Apakah ada bedanya?”
“Tentu saja.” ujar Dias masih pelan.
Frista menghela napas pelan. Dias memang selalu menyita waktu luangnya. Menelepon
di setiap saat dan mengunjunginya hampir di setiap makan siang. Di otak Dias
sepertinya hanya ada Frista dan Frista. Jujur saja, Frista merasa terganggu.
Namun sejak Frista mengatakan tidak bisa
mencintai dia. Sejak saat itulah dia tidak pernah muncul lagi atau pun
menelepon. Dan Frista pun bisa bernapas lega, ia bisa fokus dengan pekerjaannya
tanpa harus ada gangguan dari wajah Dias. Rekan kerjanya pun tidak ada yang
berani mengajak kencan, karena bagaimana pun juga, Frista lebih pintar dari
mereka semua. Ia juga di segani karena kedisiplinannya di kantor. Sebagai wakil
direktur utama Frista harus menempatkan diri secara benar. Karena suatu saat ia
ingin memposisikan dirinya pada posisi teratas. Dengan begitu ia bisa menyamai
posisi pria, itu keinginannya sejak lama.. dan harus terwujud.
Frista tidak ingin suatu saat mempunyai
suami yang akan membelenggunya dengan memaksa berhenti bekerja di luar dan
mengurus rumah. Karena masih banyak orang berpendapat, sukses di karir belum
tentu sukses di dalam rumah tangga. Hanya wanita aneh yang berpikiran seperti
itu. Sebab sudah ratusan wnita di dunia ini membuktikan kalau karir dan rumah
tangga bisa berjalan beriringan. Tapi lelaki banyak yang terlahir sebagai
penuntut, sementara kewajibannya hanya mencari uang. Tapi tahukah dia kalau
kewajiban seorang wanita itu tidak terhitung banyaknya dan haknya di batasi
oleh hukum dan tradisi? Apakah itu bisa di sebut sebagai kodrat?
FRISTA pulang dari kantor agak kemalaman,
dengan santai ia menyetir mobilnya sembari menikmati perjalanan menuju rumah
idamannya. Suasana kota
di malam hari terlihat indah menakjubkan. Ia menyetel lagu Jennifer Lopez di CD
playernya. Kini mobilnya melewati sebuah tikungan dan saat itulah meluncur
sebuah sedan dari hadapannya dan mengambil jalurnya. Frista coba menghindar
namun terlambat. Sedan
itu menabrak bagian samping mobilnya namun ia berhasil mengerem mendadak
sementara sedan yang menabrak kijangnya terlempar ke sisi jalan. Suara tabrakan
yang lumayan keras dan kemacetan pun tak terhindarkan lagi. Frista sangat
shock, suara benturan masih terdengar begitu jelas di telinganya. Ia coba
menghela napas namun ia belum bisa beranjak dari mobilnya karena kaget.
Polisi memerika sedan yang sudah keluar
dari bahu jalan itu. Ternyata pengemudinya seorang wanita. Lukanya lumayan
parah dan segera di larikan ke rumah sakit terdekat. Setelah sadar dengan apa
yang telah terjadi, Frista mengkhawatirkan kondisi orang yang telah
menabraknya. Dia ikut ke rumah sakit untuk memastikan keadaan orang itu. Dengan
kondisi yang juga terluka ia masuk ke rumah sakit dan seorang suster
menganjurkan agar luka di kening Frista di obati dulu. Namun pikirannya tertuju
pada wanita yang masuk ke ruangan UGD itu.
Dari laporan dokter di beritahukan kalau
wanita itu menyetir dalam keadaan setengah mabuk. Tidak heran kalau dia
menyalip di sembarang tempat. ’Kenapa juga ada orang menyetir dalam keadaan
mabuk, wanita lagi?’ walaupun wanita itu di nyatakan sepenuhnya bersalah namun
Frista tidak ingin pergi begitu saja. setidaknya ia ingin melihat siapa yang
membuatnya ketakutan seperti itu? Apakah dia anak seorang konglomerat? Anak
Mentri? Atau seorang remaja yang suka ugal-ugalan di jalan? Namun siapa pun dia
ia tidak meminta ganti rugi, karena mobilnya sudah di asuransikan. Tapi setelah
melihat wanita itu justru dia yang merasa bersalah. Entah kenapa setelah tabrakan
dengannya membuat ia merasa harus peduli dengan wanita muda itu. Usia wanita
itu tidak lebih dari 25 tahun. Penampilannya senderhana namun dari semua yang
ia kenakan terlihat dari barang-barang brandet. Wajah itu manis namun terkesan
tidak bahagia. Dan setelah memeriksan barang-barangnya polisi tidah bisa
menemukan satu pun dari keluarga wanita itu. Tidak ada yang bisa di hubungi.
Hal itu juga membuat Frista tidak tega meninggalkannya sendirian di rumah sakit
itu. Ia berjanji akan mengurus wanita itu sampai ia bisa keluar dari rumah
sakit.
Wanita itu terpaksa di rawat sampai dua
hari di rumah sakit, hingga ia benar-benar bisa pulang dan Frista mengurus
semuanya. Ah, wanita sibuk seperti Frista bisa-bisanya mengurus wanita mabuk di
tengah jalan dan menabraknya. Tidak tahu apa yang mendorongnya untuk melakukan
semua itu? Ia bahkan tidak peduli apakah wanita itu sedang patah hati? Atau
istri simpanan seorang jutawan. Karena saat ini yang terlintas di benaknya
adalah kepeduliaan sesama manusia apalagi wanita itu tidak memiliki keluarga.
Dan selama dua hari itu membuat Frista cukup sibuk, ia ambil cuti dari kantor
karena alasan luka di keningnya. Dari bantuan polisi Frista berhasil menemukan
rumah wanita itu. Kemaren ia mendatangi rumah gadis itu dan bertemu dengan
seorang wanita paruh baya dan sepertinya hanya pengurus rumah. Dan wanita itu
ternyata sudah menikah, namanya Dilla dan nama suaminya adalah Steve dan sedang
tugas ke luar kota.
Hari ini Frista akan mengantar Dilla
pulang ke rumahnya. Sebuah rumah besar yang sangat mewah. Tapi kenapa Dilla
mabuk dan kenapa juga ia menyetir? Rasanya Frista tidak mau terlalu ikut campur
dalam urusan itu. Tapi bukankah wanita itu sudah merugikannya dalam materi dan
waktu??
Frista menatap Dilla. Wajah itu seakan
tidak punya gairah atau nafsu untuk hidup.. ia terlihat sangat lelah. Sejenak
Frista melirik ke seisi kamar yang tak kalah luas dengan kamar pribadinya. Lalu
kembali ke wajah Dilla yang sudah mulai bisa tersenyum padanya.
“Kamu akan baik-baik saja, percayalah
sama saya.” Hiburnya.
“Sebagai seorang wanita yang tidak aku
kenal…” Dilla coba membuka suaranya. ”Kamu baaaik sekali, saya tidak pantas di
perlakukan seperti ini.. karena saya ini wanita bodoh.”
“Sudahlah.. kamu istirahat saja, karena
saya harus pulang. Aku sudah pesan sama mbok, jika ada apa-apa maka ia harus
segera menghubungi aku. Kamu jangan ragu-ragu, oke?” kata Frista. Dilla
tersenyum meski agak getir. Dia tidak tahu harus mengucapkan apa untuk
mengatakan terima kasih pada Frista. Bagaimana pun juga wanita itu sudah
menjadi dewi penolongnya, ia merasa malu pada Frista.
Frista meninggalkan Dilla pada
pembantunya. Ia merasa ada yang aneh pada kehidupan wanita itu. Kenapa ia tidak
mengabarkan kecelakaan itu pada suaminya. Dia bilang sih suaminya sedang ada di
Bali untuk urusan bisnis. Tapi sepertinya ia
sedang menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang tidak begitu ingin Frista ketahui.
Ia ingat adik perempuannya yang ada di
Cibubur, ia pun
menghubunginya. Bertanya kabar dan sebagainya. Dilla telah mengingatkan Frista
pada keluarga. Ia memang jarang ke Cibubur namun orang tuanya sering datang ke
rumahnya. Itu pun jarang berkumpul sama Frsita. Sebab Frista lebih sering ada
di kantor atau di tempat lain untuk urusan bisnis. Hanya sekali-kalinya ia
pulang ke rumah, dan saat itulah mamanya langsung mengingatkan. Untuk saatnya
memikirkan diri sendiri, jangan terus-terusan mencari uang dengan alasan
keluarga. Bagaimana pun juga sang Ayah masih bisa membiayai kehidupan mereka.
Pernah suatu saat mamanya berkomentar.
“Frista, pernah nggak sih kamu memikirkan
untuk menikah? Mama sudah sangat bahagia dengan karir kamu sayang…, tapi…” yah
ada tapinya…
“Kalau mama sudah merasa cukup bahagia
dengan karir aku, lalu apalagi? Lagian jodoh itukan ada di tangan Tuhan.”
“Begini sayang.. Dias itu adalah pria
yang baik untuk kamu, memang jodoh Tuhan yang atur, tapi kamu harus
mengusahakannya. Tidak ada yang tidak mungkin.”
Saat itu Frista hanya tersenyum dan
berusaha minta pengertian dari mamanya. ’Dias. lagi-lagi nama pria itu.’ Tapi
sudah lama sekali Frista tidak mendengar suaranya. Perhatiannya yang suka
berlebihan itu suka membuat Frista merasa terganggu.
Sebagai wanita single, Frista ingin juga menikmati
masa mudanya dengan bersenang-senang. Atau enjoy dengan sedikit menghabiskan
uang ke tempat hiburan malam. Meski tidak ada peraturan yang mengatakan sebagai
wanita yang sukses di kantor, tidak boleh DUGEM. Frista menghentikan mobilnya
di depan diskotik ternama. Seorang tukang parkir menghapirinya dan Frista
membuka kaca mobil.
“Selamat malam.” Sapa tukang parkir.
“Malam.” Sahut Frista. Ia pun keluar dari
dalam mobil dan menyerahkan urusan parkir pada pria itu. Beberapa detik
kemudian tukang parkir mengembalikan kunci mobil pada Frista. Frista masuk ke
ruangan yang gemerlap itu. Suara musik dan berbagai macam anak manusia ada di
tempat itu. Dan yang pasti itu kelas para hedonis. Taklama kemudian terdengar
alunan musik yang lembut, para pasangan mulai melantai dan berdansa dengan
irama sesukanya. Frista menghela napas sejenak. Inikah yang di sebut dengan
dunia yang tidak pernah tidur itu?
Aduh frista! Andai saja ada yang tahu
siapa kamu? Maka mereka akan berkata, ini bukan tempat mu dan bukan dunia mu.
Tapi apa mereka tahu kalau Frista juga sama dengan gadis biasa yang butuh
hiburan? Sebab hiburan formal selama ini yang ia jalani sudah membuatnya puas,
dia ingin menikmati sedikit hiburan yang lain. Pada intinya hiburan itu adalah
sama, di mana manusia mencoba lari dari kesibukan dan menikmati hal-hal yang
terkadang tidak mereka sukai. Para penikmat
hiburan koktail merayakan kesuksesan para rekannya dengan tampil penuh
kepalsuan. Yang coba menonjolkan tawa yang berselubung duka, menampilkan harta
untuk menutupi luka hati yang terkadang tidak bisa di obati dengan uang. Dan di
tempat ini, sebuah diskotik. Apakah ada bedanya? Orang berpikir akan menemukan
kebahagiaan dengan cara minum-minum atau berjoget sepuas-puasnya. Namun di
dalamnya sama saja, ingin lari dari rutinitas yang terkadang memuakkan. Namun
apa pun pekerjaan jika kita menyukainya dan mengerjakannya dengan hati maka
tidak ada yang namanya membosankan.
Frista mengambil tempat duduk di ujung sofa
yang melingkar. Sesaat kemudian ia menangkap sesosok wanita di sebelah
kanannya. Wanita itu sedang ngobrol di mini bar bersama seorang pria. Kedua
orang itu sedang menikmati minuman sembari berdiri dan terlihat ngobrol santai
dan tertawa-tawa. Frista merasa tidak asing dengan wanitanya. Tapi dia lupa pernah
bertemu di mana. Tiba-tiba seorang pria datang menghanpiri Frista untuk coba
akrab. Frista menoleh.
“Hai… sendirian…?” sapanya. Pria jangkung
dengan tampang baby face itu tersenyum. ”Boleh saya duduk?” ia menatap Frista.
Di tangannya ada gelas minuman.
“O, silahkan saja. ini kan tempat umum.”
“Terima kasih.” Ia duduk dengan segera.
Ia lalu mengulurkan tangannya untuk Frista. ”Saya Jason.”
“Frista.” Ia menyambut tangan pria itu.
“Minum?” ia mengangkat gelasnya.
Frista tersenyum. ”Tidak. terima kasih.”
Kembali Frista menikmati pemandangan di ruangan itu. Jason menghela napas
sepertinya mencari kata-kata yang tepat untuk mengajak Frista ngobrol. Ia menatap
Frista. Merasa di perhatikan Frista pun menoleh lagi. Pria itu tersenyum agak
salah tingkah.
“Anda benar-benar datang sendiri?”
uajrnya setengah tidak percaya.
“Ya. Memangnya ada yang aneh?”
“Hehe… nggak sih. Tapi aneh juga kali
ya.” Lagi-lagi ia tersenyum namun kali ini sepertinya coba tebar pesona. Bah!
Frista tidak terlalu menghiraukan pria itu. Ia hanya coba menikmati suasana
malam itu dengan seleranya sendiri. Ia merasa tidak aneh kalau ada pria yang
coba mendekatinya dan ia tidak merasa terganggu, asalkan saja jangan kurang
ajar. Frista ingat pada Dias, Dilla dan….
“Hai…?!” tiba-tiba gadis yang tadi di
lihatnya sudah ada di depannya dan menyapanya dengan pasti.
“Hmm, anda bicara dengan saya?” katanya
merasa tidak yakin.
“Ya. Anda pasti lupa.. tapi saya tidak.
Saya Gandys.” Ujar wanita itu dengan sangat ramah membuat Frista tidak enak
hati kalau bilang lupa.
“Emm, saya tidak lupa, hanya ragu-ragu.”
Frista mengangsurkan tangannya pada gadis itu. ”Bagaimana kabar kamu?”
“Baik, sangat baik. Oya..” Gandys melirik
pria yang di sampingnya. ”Kenalkan, ini Dio. Dio.. ini Frista.” Mereka pun
bersalaman. Si Jason yang sedang duduk di sebelah Frista menjadi serba salah
apalagi saat Gandys menegurnya. Ia bermaksud pergi.
“Hei… sejak kapan kamu kenal dengan
Frista?”
“Mm.. sejak tadi.” Ia tambah kikuk.
Gandys kenal dengan si Jason, si pria pengangguran yang hanya bisa menghabiskan
harta orang tuanya saja.
“Ya sudah sana cepat, saya mau duduk.” Ia mengusir pria
dua puluhan itu dengan seenaknya. Sebelum pergi Jason sempat melirik Frista..
dan melambaikan tangannya dengan nakal. Dio ikut bergabung dengan kedua gadis
itu. Gandys menatap kagum pada Frista. Karena sebagai wanita karir yang sukses
ternyata punya hobi yang sama dengannya, ke disco.
“Em, kamu suka lagu apa? Nanti saya minta
ke DJ-nya.” Ujar Gandys.
“Ah nggak usah, aku kesini hanya pengen
duduk-duduk aja kok.”
“Bener?” Gandys masih penasaran.”O ya,
apa tadi Jason coba mengganggu kamu?”
“Eh Dys, ngomong apa sih? Kayak ngomong
sama anak kecil saja.” protes Dio.
“Heh! kamu itu tidak kenal dengan dia.
Emangnya kamu tahu siapa Frista ini?” ia menatap Dio. Pria itu menggeleng.
Mereka jadi tertawa. ”Mungkin aku harus memanggilnya mbak.”
“Frista aja, lebih familier.” Protes
Frista.
“Oke, kamu mungkin benar.. atau usia kita
memang sama, dan sepertinya aku yang benar.”
“Tidak, aku pasti lebih tua dari kamu.”
“Yah, mungkin benar lagi.” Keduanya jadi
tertawa. Dio tidak mengerti apa yang sedang di bicarakan dua wanita itu. Yang
pasti Gandys merasa sangat surprise dengan keberadaan Frista di tempat itu.
Seorang wanita yang ia temui pertama kali waktu makan siang di restoran Jepang.
Saat itu Gandys menemani bos-nya meeting. Sebagai sekretaris ia memang sering
menemani bosnya menemui klien. Waktu itu bos Gandys melakukan pertemuan dengan
Frista wakil dari perusahan besar di Jakarta.
Ingat betul dia bagaimana profesionalnya Frista waktu itu. Ia cantik, elegan
dan sangat pintar. Ingin sekali ia seperti Frista itu. O o tentu saja tidak.
Tidak ada yang boleh menjadi orang lain, jadilah diri sendiri.
Secara pribadi Frista suka dengan
kepribadian Gandys. Selain blak-blakkan ia juga pandai membawa diri. Bukan tipe
orang yang blak-blakkan yang tidak memikirkan perasaan orang lain. Jarang ia
menemukan orang seperti itu.
Frista kembali ke rumahnya. Bertemu
dengan Gandys baginya merupakan momen tersendiri, tapi bertemu dengan Dilla
semacam tragedi. Ia merebahkan tubuhnya di atas bed dan menghela napas panjang.
Ia harus istirahat karena besok ada dua meeting yang harus ia jalani. Kini
bosnya sudah percaya penuh sama dia. Kepercayaan yang tidak boleh ia lewati
sedikit pun.
Kondisi Dilla sudah mulai membaik,
suaminya telah kembali dari Bali dengan
membawakan beberapa oleh-oleh untuk
Dilla dan mbok. Dia agak kecewa karena Dilla tidak memberitahukannya tentang
kecelakaan itu. Dia tahu kalau Dilla memang suka minum-minum, ke diskotik atau
jalan-jalan. Kini ia sedang menatap isterinya yang istirahat di tempat tidur.
Ia mengusap kening Dilla.
“Kamu beruntung honey… tidak ada orang
yang sebaik dia di dunia ini. Mana ada orang yang mau menolong orang yang sudah
menabraknya.” Bahasa Indonesianya masih cadel.
“Aku minta maaf ya, mobil itu juga
rusak.”
“Aku akan mengurusnya, yang penting kamu
sembuh dulu. Aku harus mengucapkan terima kasih sama orang itu. Oh ya, minggu
depan kita akan jalan-jalan.. kamu pasti suka.”
“Boleh tahu, ke mana?”
“Surprise.” Ia tersenyum. Dilla memegang
tangannya. Ia tidak heran karena pria itu memang suka memberinya
kejutan-kejutan yang tidak terduga. Tetapi kenapa dia tidak juga bisa
mencintainya? Padahal Steve telah memberikan semuanya. Dilla memang merasa
hidup dengan pria seperti Steve banyak sekali beban psikis yang ia rasakan. Tak
jarang muncul perasaannya tentang bagaimana kondisi istri dan keluarga Steve di
luar sana.
Meski perjanjian mereka tidak boleh menyinggung sedikitpun tentang keluarga.
Dan ia merasa tidak berhak bertanya di luar koridornya. Meski perjanjian itu di
ucapkan hanya secara lisan. Dilla menghela napas dalam-dalam. Sampai kapan ia
akan terus bertahan seperti itu? Kini ia memandang Steve yang baru saja
menyelesaikan mandinya. Steve duduk di pinggir tempat tidurnya. Dilla sudah
bersandar di bantal yang tebal.
“Honey, boleh aku meminta kamu untuk berhenti
minum? Aku tidak akan melarang kamu untuk pergi ke mana pun kamu suka, tapi
kalau kamu mabuk, apa pun bisa menimpa kamu.” Pinta Steve. Dilla memperbaiki
posisi tubuhnya. Ia menyentuh Steve, ingin minta maaf, tapi sudah terlalu
sering minta maaf membuatnya malu pada diri sendiri. Steve mendekatinya dan
mencium keningnya. Ia menatap mata wanita itu. Dilla tersenyum lembut.
“Ingin bercinta?”
“Tidak keberatan?” tanya Steve. Dilla
tersenyum lagi lalu meraih wajah pria itu untuk mencium bibirnya yang seksi
membuat pria itu senang dan berteriak dalam hati. Tapi Dilla, semua yang ia
lakukan semata-mata karena kontrak bukan cinta. Itulah kenyataan hidup yang ia
jalani, tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang setuju dengan sikapnya itu.
Dengan pekerjaan seperti itu, apa yang ia dapat? Cuma uang. Meski ia sadar
pekerjaannya tidak baik. Semua orang akan menganggapnya tidak lebih dari
seorang pelacur.
Sore berikutnya Steve memperlihatkan
paspor. Dia akan mengajak Dilla jalan-jalan ke Singapura minimal tiga hari. Dia
memang belum pernah mengajak Dilla jalan-jalan ke luar negeri.
“Kamu mau, kan? Kalau tidak ada halangan bulan depan
kita akan ke Malaysia
dan Jepang. Ia menatap pria itu dan masih tidak percaya akan secepat itu. ”Hei
honey, peluk aku..” Dilla tidak bisa berbuat apa-apa selain memeluk pria itu.
Sebenarnya ia tidak begitu paham kenapa pria itu mau menghabiskan uang
untuknya. Cintakah? Ah, itu pasti omong kosong! Ia melakukannya pasti untuk
memuaskan dirinya sendiri. Karena cintanya pasti bersama keluarganya yang ada
di Barat sana.
Dilla kini harus menjalani hidupnya dengan jalan yang sudah ia toreh.
Mereka berangkat ke Singapura melalui kota Batam. Mereka sengaja
mengambil jalan itu karena Dilla ingin menikmati setiap perjalanannya. Batam kota yang indah..
gedung-gedung nyaris sama tingginya meski tidak ada yang menjulang tinggi
menyamai gedung yang ada di Jakarta.
Sampai di Singapura Steve membawa Dilla ke apartemen karena ia akan segera
menemui kliennya.
“Di Singapura ini kamu bisa belanja
sesuka mu. Aku akan kembali sebelum makan malam.”
“Aku tidak akan pergi, aku akan menunggu
kamu pulang.”
“Jangan honey, pekerjaan menunggu itu
sangat membosankan. Kalau pekerjaan ku cepat selesai aku segera pulang. Kamu
tidak usah khawatir karena seorang guide akan menemani kamu keliling Singapura.
Aku sudah memesan guide dari apartemen.” Bujuk Steve.
“Tapi aku ke sini kan untuk menemani kamu?” jelas Dilla. Pria
itu tersenyum lalu mengecup kening Dilla sekilas.
“Maaf, kalau sebelumnya tidak ngomong
sama kamu, aku ke sini ada pekerjaan sedikit, dan aku tidak akan membiarkan mu
untuk berdiam diri sendiri di kamar apartemen ini. Dan besok kita akan
jalan-jalan.”
“Baiklah, kalau memang itu mau mu.” Dilla
menurut. Pria itu tersenyum lagi. Dia mengganti pakaiannya karena sebentar lagi
taksi akan menjemputnya.
“Lima
belas menit lagi seorang guide akan menjemput kamu, aku pergi duluan ya.. dan
nikmati hari mu.” Ia mendekati Dilla untuk mencium keningnya. Dilla memperbaiki
posisi dasi dan kerah baju Steve. Sejenak pria itu memandang wajah Dilla yang
manis dan lembut, tidak salah ia memilih wanita itu selama ini.. meskipun
sebagai isteri dalam pernikahan kontrak. Dilla mencium bibir suaminya sekilas
sebelum pria itu beranjak pergi.
Sepeninggal Steve. Dilla mengambil
bajunya dari dalam koper, kaus semi ketat dan celana jins. Ia akan
mengenakannya setelah mandi. Setelah keluar dari kamar mandi telepon di
kamarnya berdering. Ia mengangkatnya.
“Haloo..?” suara pria. ”Mm.. Nona.. ada
seorang menunggu anda di lobi.” Pria itu tahu kalau tamu di apartemennya orang Indonesia maka dengan bangga ia pun
memperlihatkan keahliannya berbahasa Indonesia.
“Oke, terima kasih. Saya segera datang.”
Dilla meletakkan gagang telepon dan kembali mematut dirinya di depan cermin
untuk terakhirnya sebelum ia turun ke lobi. Pasti sang guide-nya yang menunggu.
Ia mengoles sedikit bedak di pipinya yang sudah mulus dan bersih. Sedikit lipstick
dan parfum secukupnya. Terakhir meraih tas kecilnya, mengunci pintu lalu
berjalan melewati beberapa pintu untuk menuju lift. Pada dasarnya Dilla
bukanlah wanita yang terlalu bodoh, apalagi ia suka sekali membaca untuk
menambah sedikit pengetahuan tentang hidup. Keinginannya untuk bersekolah lagi
sering muncul tapi di usiannya yang sudah menginjak angka 24 tidak mungkin
baginya untuk duduk di bangku SMA. Namun dia tidak pernah putus asa, tidak bisa
sekolah tidak membuatnya berhenti belajar. Selain membaca buku-buku apa saja,
ia menonton perkembangan dunia dari televisi dan berita. Itu sudah cukup
membantunya.
Tiba di lobi, seseorang sudah
menyambutnya dengan senyum ramah dan menyapa lembut.
“Haloo.. saya sudah siap mengantar anda.”
Pria muda itu mengulurkan tangannya dan di sambut oleh Dilla dengan ramah pula.
Pria itu tidak lebih tua dari Dilla. Pakaianya kasual dan senyumnya menawan
sekali. Dan yang pasti dia cocok sekali jadi guide karena banyak bicara.. dan
wajahnya enak di lihat.
“Oke, kita berangkat sekarang..” mereka
meninggalkan apartemen dan memanggil taksi. Saat pria itu bermaksud untuk duduk
di samping sopir, Dilla segera mencegahnya dan membuat pria itu heran.
“Maaf Nona, saya ini guide dan tidak
pantas duduk di sebelah anda.”
“Kalau begitu bagaimana saya bisa
bertanya kalau anda duduk jauh dari saya?” kata Dilla. Pria itu bimbang. Ia
jarang bertemu dengan turis Indonesia
seperti itu. Dan beberapa detik berikutnya.
“Baiklah.” Dia membuka pintu belakang dan
duduk di sebelah Dilla.
“Terima kasih.” Ucap Dilla.
“Kita mau kemana?” tanya pria itu tanpa
menoleh pada Dilla. Dilla melirik pria itu sekilas.
“Kamu pastinya tahu tempat yang paling di
sukai oleh perempuan.”
“Oke.” Ia lalu berbicara pada supir
taksi. ”Shopping center, Sir.” Taksi itu pun melaju ke arah kawasan tempat
belanja para bourjuis. Pria itu melirik Dilla sejenak. Semoga saja ia tidak
salah memilih tempat. Karena ia tidak melihat tampang wanita gila belanja dari
wajah wanita yang ada di sampingnya itu. Tapi sepertinya tidak ada wanita yang
tidak suka belanja.
“Bagaimana tadi anda bisa menebak kalau
saya yang datang?” kata Dilla coba berdialog dengan guidenya. Ia memandangi
pemandangan yang ada di luar taksi.
“Lima
menit sebelumnya suami anda menelepon saya dan menyebutkan ciri-ciri anda.”
Jelasnya.
“Oh.” Ujarnya singkat. Taksi berjalan
terus. Dilla benar-benar menikmati kota
yang sangat menakjubkan itu. Bersih dan jauh dari tragedi macet. Negara kecil
dan kokoh melambangkan Negara yang sudah maju. Dan nama Singapura itu sendiri
bahkan lebih besar dari negaranya. Jauh dari praktek korupsi atau memakan uang
negara, penduduknya suka bekerja keras dan disiplin tinggi. Kemegahan Singapura
membuat Dilla kagum namun ketampanan pria yang ada di sampingnya tidak kalah
mengagumkan. Taksi mereka berhenti di depan gedung pusat perbelanjaan.
Di dalam, lagi-lagi Dilla harus berdecak
kagum melihat kemegahan dan kerapian penataannya. Mereka mengelilingi satu
counter ke counter berikutnya. Tidak ada satu pun barang yang di beli oleh
Dilla. Hampir dua jam mereka hanya berkeliling dan memasuki setiap lantainya.
Dan saat tiba di lantai tiga Dilla memutuskan untuk makan siang. Mereka duduk
lalu pria itu bertanya.
“Kenapa anda tidak membeli satu pun
barang? Apakah saya telah salah menebak tempat kesukaan perempuan?” ia menatap
Dilla yang kalem itu.
“Tentu saja tidak. Mm.. silahkan memesan
makanan anda, saya hanya mengikuti saja.”
“Tidak perlu, saya tidak boleh makan
bersama langganan. Tugas saya adalah sekedar menemani.”
“Bukankah makan bersama juga termasuk
menemani? Boleh saya tahu nama kamu?”
“Nama saya Ryan.”
“Asli orang sini atau…?”
“Ya.” Kata pria yang bernama Ryan itu
sangat jujur. Seorang pelayan menghampiri mereka. Ryan pun memesan beberapa
makanan yang di pinta Dilla. Pizza keju, es cream dan jus orange. Beberapa saat
saja pesanan segera muncul dan mereka menikmati makanan itu. Ryan suka dengan
sikap Dilla yang sanggt bersahabat. Ia belum pernah bertemu dengan pelangganan
yang bisa menganggapnya sebagai teman. Ia tidak pernah di suruh-suruh atau
bersikap seperti orang kaya menganggap sepele orang lain. Dia sangat menghargai
Ryan. Ryan tidak akan bisa melupakan wanita yang baik hati itu. Usai makan
ponsel Dilla berdering. Ia segera mengangkatnya.
“Hallo honey, di mana kamu sekarang?”
“Shopping center.”
“Apa saja yang sudah kamu beli?” tanya
Steve. Dilla melirik Ryan. Pria itu tersenyum.
“Belum ada, belum satu pun..”
“Apa tidak ada yang kamu suka?”
“Ada,
tapi belum membelinya. Emm.. kamu sudah makan?”
“Baru saja selesai, kamu jangan lupa
makan ya. Kita akan bertemu saat makan malam. Sampaikan salam ku sama Ryan,
ingatkan dia untuk menjaga mu.” Mereka memutuskan pembicaraan setelah berjanji
bertemu saat makan malam.
“Suami anda?” tanya Ryan untuk
memastikan.
Dilla mengangguk. ”Dia titip salam sama
kamu.” Ujar Dilla lalu kembali menikmati jusnya. Ryan tersenyum, ia sendiri
sebenarnya belum pernah bertemu dengan Steve. Steve mendapatkan Ryan dari
rekomendasi pihak apartemen. Sebenarnya apartemen itu memang memiliki beberapa
guide yang siap melayani turis dari mana pun.
“Setelah ini anda mau ke mana?”
“Bukankah kamu yang lebih tahu
tempat-tempat yang bagus?”
“Nanti saya salah lagi, tadinya saya
pikir anda suka belanja ternyata…”
“Kata siapa saya tidak suka belanja,
hanya saja saya belum menemukan barang yang pas. Saya tidak mau membeli barang
karena suka sesaat, dan tidak mau membeli barang yang nantinya akan mubazir.”
“Benar juga, apa kita akan jalan lagi
sekarang?”
“Apa kamu tidak lelah?”
“Saya ini di bayar sampai pukul lima sore, jadi tidak ada
alasan untuk itu.”
“Oh ya?” Dilla tersenyum tipis lalu
membayar bill-nya dengan kredit card. Kemudian mengajak Ryan keluar dan
menuruni lift. Sebelum mencapai pintu utama Dilla melihat sesuatu yang menarik
di dalam etalase. Sebuah miniature Singa yang terbuat dari kristal. Melihat
benda itu ia tiba-tiba teringat
sama
Frista. Ia menghampirinya dan berbicara sama Ryan.
“Tunggu sebentar ya.” Ucapnya dan Ryan
mengikutinya. Mereka sama-sama menatap benda putih yang sangat indah itu.
Barang itu tidak lebih besar dari lengan Dilla namun bentuknya sangat
bagus.”Indah sekali, aku menyukainya.” Guman Dilla.
“Harganya tujuh puluh dolar.” Kata Ryan
setelah melihat lebel harganya.
“Aku menginginkannya.” Kata Dilla dan
Ryan menghampiri penjaga etalase dan meminta barang itu untuk di beli. Dilla yang
sempat terpana dengan keindahan benda itu terlihat sangat bahagia setelah
mendapatkannya. Sebenarnya banyak benda lain yang terbuat dari kristal tapi ia
lebih tertarik dengan yang satu itu. Dan tidak aneh kalau ada banyak miniature
Singa di tempat seperti itu. Dilla menyukai disain miniature Singa itu. Bukan
berdiri seperti mascot Negara Singapura tapi kepalanya malah menoleh ke arah
kanan. Dan kaki depannya berwarna hijau muda, mana ada Singa memiliki warna
kaki seperti itu. Di depan, saat menunggu taksi. Ryan bertanya lagi pada Dilla.
“Sekarang kamu mau kemana?”
Dilla menoleh ke Ryan lalu menghela napas
sesaat. ”Bagaimana kalau kita naik taksi dan keliling-keliling saja?”
“O, nanti pusing kalau keliling-keliling
saja di dalam taksi.” Ryan bercanda lalu.. ”Hanya berkeliling?” alisnya
bertaut.
“Ya, hanya keliling.”
“Oke, itu taksinya.” Sebuah taksi
terlihat sedang berjalan akan melewati jalan di depan mereka. Mereka sudah
duduk di dalam taksi. Mereka minta pada sopir kalau mereka hanya ingin
berputar-putar mengelilingi kota.
Seharusnya mereka memilih mini bus yang khusus untuk membawa para turis berkeliling.
Tapi Dilla merasa nyaman kalau menggunakan taksi karena tidak harus bercampur
dengan para penunpang yang lain, dan di dalam taksi Ryan tidak henti-hentinya
memberitahukan banyak hal tentang Singapura. Mengenai sejarah nama jalan, atau
apa pun yang bisa terlihat dengan mata mereka.
Dilla merasakan perjalanannya sangat
menyenangkan dan tidak akan pernah bisa ia lupakan sampai kapan pun. Kenangan
indah akan terasa lebih mahal harganya dari gaun termahal sekali pun. Beberapa
jam telah terlewati. Dilla harus kembali ke apartemennya. Taksi berhenti tepat
di halaman apartemen. Setelah membayar taksi Dilla keluar di ikuti Ryan. Di
parkiran itu mereka berpandangan sejenak dan Dilla bermaksud untuk membayar
jasa Ryan namun Ryan buru-buru berkata.
“Suami anda telah membayar saya melalui
karyawan apartemen.” Ryan berbohong.
“O ya? Tapi anggap saja ini sebagai tip
dari saya.. terimalah, please..”
“Tidak, terima kasih.” Ryan tetap menolak
secara halus bagaimana pun ia merasa senang menemani Dilla jalan-jalan. Apalagi
wanita itu menganggapnya sebagai pria yang luar biasa. Ia seakan menemukan
seorang yang istimewa dan tidak pantas menerima pemberian dari orang seperti
itu. Dilla tidak bisa memaksa Ryan karena sepertinya pria itu menolak dengan
cara yang sangat tulus.
“Baiklah, terima kasih banyak ya Ryan..”
“Sama-sama.. kalau kamu tidak keberatan,
apa aku boleh tahu nama kamu?”
“Saya memang tidak keberatan, tapi
bagaimana kalau tidak usah saja?”
“Tidak apa-apa, tapi biasanya saya selalu
tahu nama setiap orang yang pernah saya antar.”
“Dan kamu selalu bertanya di saat ingin
berpisah?”
“Tidak juga..” ujar Pria yang sedang
menyelesaikan tesisnya itu. Ia tinggal di Singapura dari SMA dan terbiasa hidup
jauh dari orang tua.
“Oke, kalau begitu anggap saja aku tidak
sama dengan yang lainnya. Sekali lagi terima kasih banyak ya, semoga kita
bertemu lagi.” Dia bermaksud menjabat tangan Ryan dan Ryan langsung
menyambutnya. Beberapa detik berikutnya mereka berpisah, Ryan menandang
kepergian Dilla. Wanita yang menyenangkan. Pikirnya. Dia masih terdiam di
tempat itu untuk beberapa saat seperti masih terhipnotis dengan pribadi Dilla.
Wanita yang unik, baik, tidak sombong dan pandai menempatkan diri meski ia
terlihat memiliki segalanya namun tidak ingin memperlihatkan semua itu. Luar
biasa.
Sebelum Steve pulang Dilla sudah
menyelesaikan mandinya. Istirahat di kamar sembari menonton televisi. Tak dapat
di pungkiri kalau media yang satu itu banyak sekali memberi informasi penting,
dalam perkembangan peradaban manusia. Dilla bisa mengenal semua bintang
terkenal dari berbagai profesi namun ia tidak begitu mengidolakan mereka karena
setiap orang di beri kelebihan masing-masing dan kelebihan orang tersebut bisa
menjadi motivasi positif baginya.
Setelah Steve pulang, dan mengajak Dilla
makan di luar, ia memilih sebuah kafe tradisional. Sebelumnya ia meminta Dilla
membawakan switer agar wanita yang ia sayangi itu tidak kedinginan, karena
makan di kafe yang agak terbuka. Dinner yang romantis, kafe itu menyediakan
menu khas Indonesia.
Mereka duduk berseberangan dengan meja yang di hiasi lilin dengan cahaya redup
dan indah. Makan malam yang sangat istimewa, dan beberapa detik setelah usai
makan seorang pelayan kafe datang membawakan sebuah kue kecil dengan hiasan
lilin satu di atasnya. Pelayan itu meletakannya di atas meja mereka.
“Thanks you.” Kata Steve pada si pelayan.
Setelah kepergian pelayan Steve menyalakan lilin yang ada di atas kue tart
mungil itu. Dilla mengamatinya tanpa mengerti apa yang sedang di lakukan Steve.
Kemudian pria itu mendekatkan kue ke arah Dilla.
“Tiuplah…, selamat ulang tahun ya,
honey.” Ucap Steve. Dilla mengerutkan keningnya.
’Oh my God, aku lupa ini hari apa dan
tanggal berapa. Apa yang telah aku pikirkan selama ini sampai membuat aku bisa
lupa hal itu? Ah hari lahir, mungkin tidak begitu penting. Karena apalah
artinya sebuah kelahiran kalau tidak bisa menjalaninya dengan benar.’
“Honey, apa yang kamu pikirkan? Tiuplah.”
Dilla tersenyum. Karena lilin itu sudah
lama menunggu hingga api kecilnya bergoyang-goyang kena angin malam.”Terima
kasih ya. Aku sendiri lupa.” Kata Dilla setelah meniup lilin di atas kue manis
itu. Steve tersenyum bahagia sepertinya ia senang karena sudah berhasil
memberikan kejutan untuk Dilla. Ia mencium kening Dilla sejenak lalu berbisik.
“Sebutkan apa yang kamu minta…” lalu ia
menatap Dilla setelah memperbaiki posisi duduknya.
“Tidak ada yang lebih berharga dari malam
ini, jadi apa lagi yang aku minta?” kata Dilla begitu jujur. Ia mengamati pria
itu dan coba memahami bentuk kasih sayang Steve. Sementara Steve sendiri merasa
bersyukur karena ia pikir tidak salah memilih Dilla untuk mendampinginya selama
berada di Indonesia.
Ia semakin mengagumi wanita itu, dia tidak pernah meminta dan hanya menerima
kalau di kasih. Tapi Steve memang sudah mempersiapkan sesuatu untuknya. Steve
menyerahkan kunci mobil dengan gantungan kunci bertuliskan.’My love, Dilla.’
“Untuk kamu.” Katanya sambil
memberikannya ke tangan Dilla.
“Kamu membelinya di sini?” Dilla merasa
tidak enak.
“Lebih murah.”
“Tapi tetap saja bea cukainya mahal..”
“Tapi masih lebih murah sekalipun sudah
dengan bea cukai.” Tambah Steve seakan tidak mau Dilla banyak pikiran. Dilla
sudah tidak bisa ngomong apa-apa lagi. Pria itu memang penuh perhatian sehingga
Dilla sendiri tidak bisa memahami cinta seperti apa yang akan Steve tunjukkan
padanya. Namun yang pasti Dilla merasa pria itu tidak mungkin bisa mencintainya
sepenuh hati karena dia punya anak dan isteri di seberang sana,
dan menunggu Steve kembali setelah pekerjaannya di Indonesia berakhir dan kontrak pun
selesai.
Lalu apa yang akan terjadi sama Dilla?
Apa yang harus ia lakukan? Mencari pria lain yang akan mengajaknya kawin
kontrak lagi? Atau bekerja? Tapi apa yang bisa ia kerjakan? Sebab selama ini
hidupnya hanya bisa menerima? Kasihan sekali wanita seperti dia. Eh, jangan
salah. sebelum bertemu dengan Steve ia sudah bekerja di berbagai tempat
meskipun hanya sekedar tukang cuci atau tukang ngepel di restoran-restoran
kecil. Tapi apa iya dia akan kembali menjadi orang seperti itu?
Semua orang memang mendambakan hidup enak
tanpa harus capek-capek bekerja keras namun bisa memiliki apa saja. tapi hidup
seperti itu ibarat layang-layang. Jika talinya sudah putus maka tidak satu pun
yang bisa menolongnya.
FRISTA sedang menandatangi beberapa
berkas surat di
atas mejanya yang sudah di sediakan sekretarisnya saat Dilla menelponnya. Ia
meletakan pulpen dan mengamati ponselnya yang berdering tanpa memunculkan nama
sang pemanggil. Ia tidak tahu nomor siapa yang muncul itu, karena hanya
orang-orang tertentu saja yang tahu nomornya. Sekedar ingin tahu ia pun
mengangkatnya.
“Halo…?”
“Hai..?” kata Dilla.”Kamu pasti lupa sama
saya, oke, biar saya ingatkan… si pengendara mabuk.”
“Hei, Dillaaaa… apa kabar…?” ujar Frista
setengah berteriak senang. Setelah mendengar suara Dilla yang sangat merdu di
telinganya. ”Bagaimana aku bisa lupa dengan kamu, bagaimana keadaan kamu
sekarang?”
“Sangat baik, kamu sendiri bagaimana?”
Frista tertawa kecil. ”Apa suami kamu
sudah kembali?”
“Sudah, tapi kini sudah terbang lagi ke Kalimantan untuk tiga hari.”
“Oh ya…?” Frista masih semangat.
“Frista… aku ingin ketemu sama kamu,
bisa?” ucap Dilla setengah memohon.
“Em.. sebentar, sebentar..” Frista coba
mengingat apa dia ada janji atau pertemuan dengan orang lain. Ia melihat-lihat
agendanya.
“Maksud aku bukan sekarang tapi nanti
malam, pukul delapan di Planet Hollywood,
gimana?” kata Dilla. Diam sesaat, lalu……
“Oke.” Frista pun mengiyakan.
“Terima kasih banyak…” mereka akhirnya
menutup pembicaraan. Dan Frista masih memikirkan Dilla, kenapa dia berucap
terima kasih banyak. Dilla di benaknya masih sebuah misteri. Namun siapa pun
dia itu tidak penting lagi karena dia sudah menyetujui pertemuan itu.
Sepulangnya dari kantor, Frista buru-buru
mandi. Jam di kamar mandinya sudah menunjukan hampir pukul tujuh, tadi sore ia
memang sudah pulang lebih awal. Ia tidak mau terlambat sampai di tujuan. Karena
sebagai pribadi yang profesional ia tidak pernah kompromi dengan orang yang
tidak on time. Itu yang ia terapkan di kantor atau di mana pun. Dan jenis janji
apa pun dia selalu ingin tampil duluan atau setidaknya tidak terlambat.
Frista mengenakan baju kasual dan celana
jins denim. Serasi dengan rambut lurusnya yang melewati bahu. Di kantor ia
tampil sebagai wanita yang di segani karena kedisiplinannya bukan kesombongan,
ia juga tampil sebagai wanita yang ramah terhadap rekan kerja. Tapi di luar
kantor ia tetaplah seorang gadis dewasa yang membuat setiap pria
menginginkannya.
Dari kawasan Pondok Indah Frista masuk
gerbang tol Slipi, jalanan tidak begitu padat. Tidak sampai setengah jam ia
sudah mengambil jalur kanan lalu berputar untuk mencapai Planet Hollywood. Saat
ia memarkir mobil ponselnya berdering. Dilla.
“Hallo?”
“Hei, apa kamu masih di jalan?”
Frista melirik arlojinya, menunjukkan
angka 19.50. ”Aku sudah di tempat parkir.”
“Tapi kenapa aku tidak melihat kamu?”
goda Dilla. ”Hei, jangan bingung.” Katanya sebelum Frista melirik kiri-kanan. ”Naiklah,
aku sudah di atas. Sedang menunggu kamu di meja nomor lima, oke.”
‘Aku kalah cepat.’ Guman Frista setelah
mematikan ponselnya. frista menuju lantai atas. Ia masih tidak mengerti kenapa
Dilla mengajaknya bertemu di sini. Di tempat glamour orang bisa melakukan apa
saja. mungkin setelah pulang dari sini Dilla akan mabuk lagi. Pikiran Frista
mulai ngaco. Ia mencari meja nomor lima.
Nah, itu dia! Frista menghampirinya dan Dilla menyambutnya dengan sebuah
senyuman dan pelukan hangat. Seperti sahabat lama. Frista menatap Dilla setelah
mereka sama-sama duduk saling berhadapan.
“Apakah ada sebuah kejutan untuk ku?”
kata Frista dengan nada setengah bercanda.
“Tidak ada, aku adalah orang yang paling
tidak bisa membuat sebuah kejutan.”
“Jangan di ambil hati, aku hanya
bercanda.”
Dilla tersenyum. ”Mm.. kenapa kita tidak memesan
makanan dulu?”
“Boleh, aku juga sudah sangat lapar.” Ia
baru ingat kalau dari tadi sore belum makan apa-apa. Dilla hanya memesan pizza dan sofdrink dan Frista
memesan makanan Cina kegemarannya. Sembari asyik menikmati makanan mereka terus
saja ngobrol. Dan Dilla bercerita banyak sekali tentang kehidupan pribadinya
sampai hal terkecil pun, membuat Frista nyaris melongo kaget.
Frista menghela napas dalam-dalam, wanita
yang kini duduk di hadapannya laksana sebuah buku yang terbuka lebar dengan
tulisan-tulisannya yang terlihat dengan sangat jelas.
“Huuhh…” dia mendengus. ”Dilla… kamu
pernah nggak terpikir apakah aku ini adalah orang yang tepat sebagai tempat
kamu menceritakan semua ini? Kita ini baru bertemu beberapa kali, sedikitpun
kamu tidak tahu siapa aku ini. Bagaimana jika aku ini orang jahat?”
“Aku tidak peduli, apakah kamu adalah
seorang jurnalis atau sejenisnya.. lalu membeberkan aib ku ke muka umum, atau
apalah.. aku tidak peduli.” Kata Dilla dengan pasti. Ia bercerita juga tidak
bermaksud apa-apa, itu mengalir saja di luar kendalinya. Frista tersenyum meski
sebenarnya prihatin dengan kehidupan yang di jalani oleh Dilla. Siapapun Dilla
dia tetaplah merupakan satu sisi kehidupan seorang wanita di Indonesia saat ini.
Dilla memperlihatkan foto Steve kepada
Frista. Pria bule itu menjadi suami kawin kontraknya. Frista mengamatinya
sejenak. Dari wajah di dalam foto itu bisa ia pastikan kalau Steve berusia
sekitar 40-an. Ia melirik Dilla.
“Usianya empat dua.” Urai Dilla seakan
memahami tatapan Frista.
“Kamu sendiri?”
“Senin kemaren 24.” Jawabnya. Frista
mengembalikan foto itu. Ia melihat Dilla jauh lebih dewasa dari usianya yang
sesungguhnya. Wajahnya lembut, manis dan berpikiran seperti wanita tiga
puluhan. Bicaranya sangat pelan dan teratur. Dia terlihat rendah diri. ”Hei..
apa yang sedang kamu pikirkan tentang aku? Tujuan utama ku untuk bertemu kamu
sebenarnya bukan untuk menceritakan cerita hal-hal yang tidak penting itu. Aku
sebenarnya ingin memberikan sesuatu untuk kamu, mudah-mudahan saja kamu suka. ”Dilla
mengambil sesuatu dari dalam tasnya. ”Ini… saat aku melihat benda ini,
tiba-tiba saja aku teringat sama kamu. Seorang wanita yang telah menjadi dewi
penolongku. sebenarnya Steve juga ingin mengucapkan terima kasih sama kamu.
Tapi benda ini tidak ada hubungannya sama Steve.. ambillah.” Ia mengulurkan
kotak kecil itu. Frista menerimanya dan membuka kotak tanpa bungkus kado itu.
Dan sepertinya itu bukan hadiah resmi. Dari dalam kotak mungil dan halus itu
terlihatlah sebuah benda kecil berbentuk Singa yang terbuat dari kristal.
“Waw… indah sekali. Dari mana kamu
membelinya?”
“Bukankah sesuatu yang kita sukai maka
kita tidak pernah peduli dari mana asalnya?” ujar Dilla pelan. Frista menautkan
kedua alisnya. Ucapan Dilla mengandung makna yang dalam. Ia mengamati benda
indah itu sesaat lalu menatap Dilla lagi.
“Aku belum pernah menerima sesuatu dari
orang, tapi ini yang pertama.” Kata Frista jujur. Kali ini Dilla tersenyum. Di
matanya Frista adalah wanita terpelajar, baik dan tentu saja sangat kaya. Dia
berharap Frista bukan wanita seperti dia. O o tentu saja tidak. Bukankah Frista
baru saja mengatakan kalau dia belum pernah menerima pemberian orang? Sangat
bertolak belakang dengan Dilla.
“Berarti aku adalah orang yang beruntung
dong..” kata Dilla. Frista tertawa. Dilla memang beruntung. Karena Frista
memang tidak bisa menolak pemberiannya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa seseorang
memaksa Frista menoleh ke samping. Dan ternyata di meja bagian samping dan agak
di belakang duduk seorang wanita dengan
seorang pria yang tidak Frista kenal. Frista menghela napas dengan berat.
‘Ya Tuhan.. kenapa wanita seperti dia
selalu ada di tempat-tempat seperti ini? Dan pria yang duduk bersamanya
sekarang itu bukan pria yang sama malam itu.’ Pikir Frista. Dilla mengikuti
arah mata Frista.
“Apakah ada sesuatu yang aneh?” tanyanya
ingin tahu.
“Tidak.” Kata Frista. Ia kembali seperti
semula. ”Mungkin aku salah liat orang.” Ujarnya berdiplomasi. ”Oya, kenapa kita
tidak menghabiskan makanan kita?” ia mengamati makanannya yang masih banyak.
Dilla setuju dan mereka kembali menikmatinya, beberapa detik kemudian…
“Hai…?!” Suara itu. Frista kenal. Ia dan
Dilla sama-sama menoleh. Dan di samping meja mereka telah berdiri seorang
wanita, ia tersenyum pada Frista lalu menoleh ke Dilla sesaat lalu kembali ke
Frista.
Frista tersenyum.
“Hei Gandys…” sapanya.
“Terkadang orang-orang sering kali
bertemu di tempat-tempat tidak terduga, kan?
Bagaimana kabar kamu?” ia mengulurkan tangannya pada Frista sebagai tanda
keakraban. Frista menyambut tangannya. Gandys pun mengulurkan tangannya ke
Dilla. Dilla menerima.
“Namanya Dilla.” Kata Frista memberi
tahu. Teman pria si Gandys beranjak dari kursinya dan menghampiri para wanita
itu.
“Hai semua…?” sapanya seperti ingin ikut
bergabung. Dilla dan Frista mengamati pria itu. Tapi Gandys buru-buru menarik
tangannya.
“Kenapa kemari?”
“Apa aku tidak boleh ikut ngobrol?”
“Ini urusan perempuan dan kamu bakalan
suntuk.”
“Trus…?”
“Kamu pulang duluan aja.”
“Eh, gak bisa gitu dong… nanti kamu
pulang sama siapa?” jelas pria itu lalu menoleh pada Dilla dan Frista sembari
melemparkan senyum. Kedua wanita itu membalas sekenanya.
“Jangan khawatir, aku sudah terbiasa
pulang sendiri. Sudah cepat sana…”
katanya seperti meminta adiknya untuk pergi dan pulang ke rumah.
“Oke, kalau begitu…” ia melambaikan
tangannya pada kedua gadis itu. Sebelum pergi Gandys mencium pipi pria teman
kencannya itu sekilas.
“Kamu baik sekali.” Ujarnya dan pria itu
pun pergi. Lalu ia berbalik ke Dilla dan Frista. ”Bagaimana, apa aku sudah
boleh bergabung?” ujar Gandys membuat
Frista tertawa geli dengan tingkahnya itu.
“Bagaimana kita bisa menolak, pacar kamu
saja sudah kamu suruh pulang.” Kata Frista. Gandys tertawa dan menarik kursi
agar bisa duduk di antara Dilla dan Frista. “Tadi itu pria yang ke berapa?”
“Itu gak penting” jawab Gandys seenaknya
sambil menyalakan rokoknya. Dilla mengamatinya. Sepertinya Gandys adalah
seorang yang menjalani hidup dengan rileks tanpa beban, ceria dan
ceplas-ceplos. Ia mengepulkan asap rokoknya ke atas lalu menoleh ke Frista yang
sedang menatapnya. Gandys melebarkan senyum.
“Apa aku ini kelihatan aneh?”
“Tidak, hanya saja aku sedang berpikir
bagaimana bisa pria itu menjadi begitu penurut.”
“Cowok itu sebenarnya mahluk lemah,
mereka aja sering berpikir kalau mereka itu kuat dan perkasa. Padahal mereka
salah.”
“Apa itu salah satu alasan kamu untuk
gonta-ganti cowok?”
“Bukan itu saja, setengah cowok yang ada
di kota ini
adalah membosankan..”
“Sepertinya
kamu sudah mengencani setengah dari mereka…” tutur Frista dengan santai, Dilla
masih diam. Ia tidak mau terlalu ikut campur dengan sesuatu yang tidak ia
ketahui.
“Yaaa anggap saja begitu.” Ucap Gandys
sambil menghembuskan asap rokoknya lagi. ”Dan aku merasa rugi aja kalau tidak
mengencani mereka.” Ia melirik ke Dilla.”Bagaimana menurut kamu?” tanyanya
sekedar bermaksud mengajak wanita itu ikut bergabung dalam obrolannya. Dilla
hanya tersenyum.
“Dilla sudah menikah dengan…. Ups.. maaf..”
Frista keceplosan dan meminta maaf pada Dilla.
“Gak pa-pa, aku gak pa-pa kok.” Dilla
terlihat rileks dengan apa yang ia alami di dalam hidupnya.
“Maaf ya, nggak sengaja.” Ulang Frista.
Gandys memandang kedua wanita itu bergantian.
“Hei..! ada apa sih…??” dia memperbaiki
posisi duduknya. Dan mulai serius dengan apa yang mereka bicarakan. Ia menatap
Dilla dan Dilla meresa tidak keberatan kalau Gandys juga mengetahui tentang
dirinya. Dan ia melihat kalau Gandys itu bukan tipe cewek yang menyukai
rahasia. Ia menatap mata Gandys.
“Hm, kamu tahu istilah kawin kontrak?
Itulah saya.” Kata Dilla tanpa beban.
“Maksudnya..??” ia terkesimak seakan
tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Istilah kawin kontrak sudah
menjadi rahasia umum. Mungkin istilah itu sudah ada sejak kompeni bercokol di
bumi pertiwi ini. Tetapi bertemu langsung dengan pelakunya itu adalah
pengalaman pertama bagi Gandys. ”O o.” dia seakan baru tersadar kalau orang itu
saat ini sedang ada di hadapannya. Ia coba menghilangkan kekagetannya. ”M…
bukankah itu merupakan sebuah tantangan hidup dan pilihan?” ujarnya sok paham.
“Tantangan hidup dan pilihan adalah dua
hal yang sangat berbeda, apalagi kalau kita tidak menyukai pilihan itu
sendiri.” Kata Dilla.
Hening. Diam sesaat lalu…
“Hei, jangan pesimis begitu dong… aku
tidak melihat kamu tipe orang seperti itu.” Kilah Gandys.
“Kamu itu bicara seolah sangat memahami
aku.”
“Tentu saja, bukannya dari tadi kita
sudah ngobrol panjang lebar? Itu sudah lebih dari cukup untuk mengenali kamu.
Aku ini bisa menilai orang dari pertemuan pertama lho.” Kelakar Gandys.
“Oh ya? Insting, begitu…??” timpal Frista
menggoda Gandys. Akhirnya mereka tertawa bersama.
DILLA kembali bergumul dengan mahluk-mahluk
yang sedang memenuhi ruang diskotik. Dia minum lagi, padahal suaminya sudah
meminta untuk tidak minum. Kepalanya sudah mulai terasa pusing, namun ia
berusaha untuk tidak mabuk tapi sudah terlambat. Gelas terakhir di tangannya
pun terjatuh ke lantai. Namun sebelum tubuhnya ikut terjatuh ke lantai sepasang
tangan kokoh sudah merengkuhnya. Tangan itu meraih tasnya dan menggendong tubuh
itu dan membawanya keluar dari ruangan bising itu, tanpa peduli dengan satu dua
pasang mata yang mengamatinya dan mata-mata itu juga hanya melihat saja tanpa
mau peduli siapa mereka.
Dia membawa gadis itu ke dalam mobilnya,
menyandarkan tubuh itu di jok depan lalu menyalakan mesin mobilnya. Kali ini
dia tidak mungkin membawa gadis itu ke rumahnya bisa-bisa mamanya mengamuk
hebat. Ia pun memutuskan untuk membawa gadis itu ke hotel terdekat. Sekali-kali
ia menoleh pada gadis yang tertidur itu, atau tepatnya tidak sadarkan diri
karena pengaruh alkohol. Ia tidak mengerti kenapa gadis itu hobi sekali
minum-minuman beralkohol dan mabuk-mabukan sepertinya sudah menjadi
kebiasaannya.
Di hotel, ia meletakkan tubuh Dilla di
atas tempat tidur masih dalam keadaan belum sadar. Ia menatapnya sejenak lalu
menghela napas panjang.
‘Apa yang harus aku lakukan? Ya tas… aku harus
mencari sesuatu di dalam tasnya. Pasti ada KTP atau SIM dan aku bisa mengantar
dia pulang.’ Dia membongkar tas gadis itu. Tapi isinya hanya sebungkus rokok,
ponsel dan pemantik. SIM, di mana benda itu?
Ohwu….
Sontak
ia menoleh pada Dilla yang seperti berguman. Dilla berusaha bangun namun
terjatuh ke lantai tanpa sempat pria itu bantu. Di lantai itu ia muntah,
mengeluarkan separuh ini perutnya.. namun matanya masih seperti terpejam, ia
masih belum sadar. Pria itu menyingkirkan tas dan menghampiri Dilla yang sudah
penuh dengan muntahan yang mengenai bajunya. Ia menarik napas lagi. Kehidupan
macam apa ini. Pikirnya. Dia paling anti melihat wanita mabuk-mabukan tapi kini
ia berurusan dengan orang seperti itu.
Dia membuka kancing baju Dilla satu
persatu, dan melepaskan baju yang kena muntahan itu. Tubuh itu begitu indah,
putih dan menggiurkan. Si pria menarik napas dalam-dalam lalu membuka bajunya sendiri
lalu memakaikannya pada tubuh Dilla. Kemudian ia mengangkat tubuh Dilla ke atas
tempat tidur, menyelimutinya dan memandang gadis itu sejenak. Kini ia bingung
sendiri harus mengenakan apa untuk tubuhnya. Masa dia harus bertelanjang dada
semalaman. Ia duduk di sofa lalu merebahkan badannya dan berusaha memejamkan
matanya. Tapi ada bau yang menyengat dan membuatnya mual. Ia beranjak dari sofa
setelah ingat ada muntahan Dilla di lantai. Ia menghubungi cleaning servis. Tak
berapa lama muncul seorang pria dua puluhan dengan peralatan pembersihnya.
Setelah pria itu menyelesaikan tugasnya
ia pun pamit dan pria itu minta ia membawakan sekalian baju Dilla untuk di
laundry.
“Saya mohon sebelum pajar, baju itu sudah
ada di sini.” Pintanya.
“Baik pak.” Katanya lalu keluar. Kini
ruangan itu segar dan terbebas dari bau yang tidak sedap. Tak lama kemudian
gadis itu mengeluh, suaranya seperti desahan. Ia memegangi kepalanya. Pria itu
mengamatinya dengan seksama. Tangannya coba memegangi kening Dilla karena
khawatir jangan-jangan gadis itu sakit. Sesaat mata Dilla terbuka dan sempat
menatap mata pria itu. Sebelum pria itu panik mata itu sudah terpejam lagi.
‘Ya Tuhan… wanita ini mungkin sudah
meminum lusinan alkohol.’
“Kenapa kamu tidak menyentuh aku…?” Dilla
meracau tanpa membuka matanya, sepertinya mata itu berat sekali untuk di
bukakan. Pria itu mengernyitkan alisnya dan tiba-tiba saja Dilla menarik
tubuhnya sehingga wajahnya bersentuhan dengan wajah gadis itu. Mulut gadis itu
pun menyentuh bibirnya sebelum ia sempat menghindar. Bau alkohol masih jelas
tercium, namun kehangatan bibir itu membuat pria itu melupakannya. Dia membalas
ciuman gadis itu penuh gairah dan sepertinya Dilla sangat menyukainya.
Tangannya memeluk tubuh pria tanpa busana itu, hangat. Dan sepertinya ia
terpana dan terpesona dengan suasana itu. Pria itu mengikuti arus yang di
ciptakan Dilla yang penuh gejolak yang tak terhentikan… hingga akhirnya pria
yang tidak dalam pengaruh alkohol itu sadar dan menghentikannya.
“Oh, ada apa…? Kenapa kamu berhenti..?”
kata wanita itu dengan posisi mata masih terpejam. Pria itu mengamati Dilla
yang masih tertidur, meski beberapa detik yang lalu ia begitu liar dan
menggairahkan. Pria mana pun pasti akan mengikuti permainan itu. Dan sosok itu
memang sangat mempesona. Kini pria itu hanya mengusap kening dan pipi wanita
itu dengan lembut lalu mencium kening wanita itu agak lama. Dia terlalu
mencintai wanita itu, lalu ia memeluk tubuh itu, hanya memeluknya dengan penuh
kasih sayang. Gadis itu tertidur dalam dekapannya.
Menjelang pajar, Dilla terbangun dan
sangat terkejut melihat seorang pria ada bersamanya dalam kondisi tanpa
mengenakan baju. Ia mendorong pria itu hingga terbangun.
“Siapa kamu??” tegas Dilla. Pria itu
membuka matanya. Ia menatap Dilla yang terlihat marah.
“M… a
aku..” ia belum bisa menjelaskan. Dilla masih ingat wajah itu.
“Apa yang kamu lakukan?” Dilla bangun dan
melihat suasana ruangan itu. Kamar hotel. Ia mengamati dirinya sendiri dan
ternyata sedang mengenakan pakaian seorang laki-laki. Pakaian itu menempel di
tubuhnya tanpa ia tahu sejak kapan.”Apa yang telah terjadi?”
“Nona…” pria itu terbangun dan menatap
Dilla yang berdiri di depannya. ”Yang yang terjadi tidak seperti yang kamu
duga..”
“Siapa yang mau percaya dengan omongan
kamu? Di mana baju saya?” dia membuka baju yang menempel di tubuhnya dan seakan
tersadar, ia menutupnya lagi. Pria itu masih menatapnya. ”Tolong beritahu di
mana baju saya.” Ujarnya tidak sabar. Lalu terdengar suara ketukan di pintu.
“Itu baju kamu datang…” kata pria itu.
Dilla berlari ke pintu dan membukanya. Di balik pintu
muncul
seorang pria. Ia menatap Dilla tanpa ada
rasa curiga sama sekali.
“Pagi Nona… ini baju anda.” Dia
menyerahkan baju yang masih terbungkus plastik dalam gantungan. Dilla meraihnya
dengan cepat. Karena itu memang bajunya dia.
“Terima kasih.” Ujarnya tak kalah cepat.
Dia ke dalam dan bermaksud buru-buru menggantikan bajunya. Sementara pria itu
menghampiri pelayan hotel dan memberinya tip. Setelah mengenakan bajunya ia
meraih tasnya. Ia menatap pria itu. ”Di mana mobil saya?”
“Tentu saja masih di parkiran diskotik
yang semalam.” Jawabnya santai.
“Apa maksud kamu..?” dia sudah bermaksud
keluar dari kamar. Dia ingin buru-buru lari dari pria yang tidak ia kenal itu,
meski sudah pernah bertemu sebelumnya.
“Tunggu!” pria itu memegang tangan Dilla.
“Lepaskan…!!”
“Aku mencintai kamu…” ia masih memegang
tangan gadis itu. Dilla mengibas tangannya.
“Jadi kamu pikir setelah tidur dengan
saya, saya bisa memberikan cinta saya sama kamu? Saya tidak mengenali kamu..
dan tolong lupakan kejadian yang semalam. Ini mungkin kesalahan saya.. tapi
saya sudah bersuami.” Setelah berkata seperti itu ia melangkah keluar tanpa
bisa pria itu cegah.
Di depan hotel.. Dilla mencegat taksi
untuk kembali ke diskotik mengambil mobilnya. Di mana semalam ia menghabiskan
beberapa botol minuman. Ia tidak tahu kenapa kejadian itu terulang lagi dan
laki-laki itu telah membawanya ke hotel dalam keadaan ia masih mabuk. Dan
kejadian seperti itu kejadian pertama yang ia alami selama menjadi isterinya
Steve. Ia merasa bersalah pada Steve, selama ini pria itu mempercayainya dan
memberinya kebebesan penuh.
‘Aku telah menyalahgunakan kebebasan yang
Steve kasih, padahal tidak lama lagi kami akan berpisah. Steve akan kembali bersama
keluarganya. Dan aku, apa yang telah aku lakukan? Aku memang tidak pantas di
cintai, dan tidak layak menjadi seorang isteri. Aku ini ceroboh dan bodoh
sekali!!’ Dilla terus-terusan mengutuk dirinya.
Dia pulang dan membawa sedan mewah itu
pulang ke rumah besar yang di beli oleh Steve hampir dua tahun yang lalu. Itu
rumah Steve seharga milyaran, tapi kata Steve harganya hanya beberapa dolar
saja. tiba di rumah, Dilla langsung ke kamar mandi, menyalakan shower dan
membasahi tubuh dan bajunya di bawah air yang mengguyur seluruh badannya,
seakan ingin melepaskan semua yang melekat di sana. Dilla merasa dirinya sangat bersalah
pada Steve. Dia tidak pantas menghianati Steve yang begitu menghargainya.
Setengah jam ia menghabiskan waktu di kamar mandi.. namun pria yang ia temui di
hotel itu seolah kembali hadir di kamar mandinya. Dia benci sekali dengan pria
itu karena sudah lancang membawanya ke hotel dalam keadaan tidak sadarkan diri.
‘Cinta!? Berani sekali dia mengumbarkan
kata-kata cintanya!’ Dilla sangat geram.
Sore itu Steve kembali dari Kalimantan. Dan malamnya ia mengajak Dilla makan di luar
karena minggu depan Steve akan kembali ke Amerika, itu lebih cepat dari yang di
rencanakan. Kini saat makan malam Steve terus menatap wajah Dilla.
“Honey, aku minta maaf ya.. karena belum
sempat membawa kamu ke Jepang.. jadwal kerja ku berubah tanpa bisa aku
hindari.”
“Tidak apa-apa, aku sendiri juga sudah
lupa kok.” Kata Dilla tanpa bermaksud membuat Steve merasa lebih bersalah. Ia
menatap pria itu. Steve tersenyum senang karena Dilla bisa memakluminya. Namun
Dilla sendiri merasa lebih bersalah pada pria itu. Tidak bisa ia lupakan
kejadian malam itu, dan ia tidak pernah punya niat untuk berselingkuh di
belakang Steve, sedikit pun. Minuman itu penyebabnya dan kelemahan Dilla
pemicunya.
HANGGA sedang duduk di bar seperti
malam-malam sebelumnya, ia menanti kemunculan Dilla tanpa merasa bosan. Karena
wanita itu sudah membuat hatinya buta untuk melirik wanita lain. Begitu banyak
wanita di dunia ini yang setiap individunya punya kelebihan masing-masing,
tapi.. kenapa hati Hangga hanya menginginkan Dilla. Seorang wanita yang sama
sekali tidak ia kenal. Dari mana asal-usulnya, dan masih sangat misterius. Dan
menjelang larut malam ia keluar dari bar itu dan betapa terkejutnya ia saat
melihat Dilla baru masuk ke mobil bersama pria bule. Dia ingat kalau wanita itu
bilang sudah bersuami. Itukah suaminya? Mobil itu pun bergerak dan naluri
pengintaian Hangga mulai bekerja. Ia berniat untuk mengikuti mobil itu, kemana
ia pergi. Mobil mewah itu memasuki kawasan komplek elit. Dengan jelas sekali
Hangga bisa melihat nomor mobil itu. Saat mobil berbelok ke halaman dan Hangga
melirik rumah itu dan melihat nama blok dan nomor rumah. Setelah itu ia melaju
dengan kencang, tidak peduli mereka akan mencurigainya. Yang penting ia sudah
mengetahui tempat wanita itu.
Malam berikutnya ia menunggu lagi di bar
itu, tapi gagal. Dia tidak bertemu dengan Dilla dan malam-malam berikutnya
masih gagal.
Dan malam itu…
Dilla
terlihat sedang bersama bule itu beserta Frista. Hangga tidak percaya sama
sekali dengan mpenglihatannya. Frista!
‘Oh my God… Frista mengenali wanita itu?
Pasti Frista ada hubungan bisnis dengan bule itu. Makan malam itu pasti sedang
membicarakan urusan bisnis.’ Hangga coba menerka-nerka sendiri.
Ketiga orang itu duduk di satu meja yang
ada di nomor 5 dari ujung. Si bule menghadap ke kanan. Sementara Dilla dan
Frista duduk berdampingan dengan posisi menghadap ke keramaian. Hangga
mengambil ponselnya dan menekan nomor Frista di keypad sambil berharap kalau
Frista membawa ponselnya. karena dia hafal betul bahwa Frista itu jarang
membawa ponselnya ke mana-mana. Hangga menunggu dengan mata tetap tertuju pada
mereka. Hangga menghela napas lega, karena ia bisa melihat Frista sedang
mengambil sesuatu dari tasnya. Itu pasti ponselnya. ponselnya sendiri sudah
menempel di telinganya. Frista melirik LCD ponselnya dan melihat nama Hangga
muncul. Ia melirik ke Dilla mengisyaratkan untuk mengangkat telepon dulu.
Wanita itu mengangguk. Lalu ia menoleh ke bule sebelum menempelkan ponsel itu
ke ujung telinganya. Bule mengangguk pelan.
“Hallo…?” kata Frista pelan.
“Frista! Kamu tidak usah bicara apa pun.”
Kata Hangga dan membuat Frista bingung. Tidak biasanya pria itu aneh begitu. ”Sekarang
kamu menjauh dari mereka.” Dan itu membuat Frista tambah tidak mengerti. Apa
yang terjadi dengan Hangga. Kenapa dia seperti orang yang baru keluar dari
rumah sakit jiwa. Ia melirik kepada kedua rekannya. Mereka memahami kalau ada
hal penting yang akan di bicarakan Frista di telepon. ”Ayolah, bangun dari
kursi kamu.” Pinta Hangga lagi. Frista menjauh dari Dilla dan bule itu setelah
mengangguk sedikit.
“Eh, main printah aja… kamu di mana?”
mata Frista mulai celingak-celinguk mencari Hangga.
“Ada
di dalam ruangan ini juga, tapi kamu santai aja nanti mereka curiga. Aku hanya
ingin bertanya sama kamu, apa kamu sudah lama kenal dengan wanita itu dan bule
itu, apakah itu suaminya?” tanya Hangga sangat ingin tahu. Frista menoleh ke
Dilla sekilas.
“Maksud kamu, Dilla?”
“Jadi Dilla, namanya? Tapi kamu belum
menjawab pertanyaan ku.”
“Hei, bagaiman mungkin aku menjelaskannya
di telepon.”
“Oke, besok jam makan siang aku menunggu
kamu di kedai kopi. Aku akan benar-benar menunggu sampai kamu datang.” Hangga
buru-buru mematikan telepon karena tidak ingin mendengar kata tidak dari mulut
Frista. Frista menghela napas panjang.
‘Hah…!! Sejak kapan dia tidak sopan
begitu?’ keluhnya. Dan ia mulai bertanya-tanya sendiri ada apa antara Hangga
dan Dilla. Ia kembali ke teman-temannya.
“Sorry ya, kelamaan..” ujarnya setelah
kembali bergabung.
“Siapa?” kata Dilla tiba-tiba ingin tahu.
“Teman. Eh, kenapa belum pesan makanan…?”
“Oya, kita pesan aja sekakarang.” Kata
Steve. Dan saat mereka sedang menunggu datangnya pesanan tiba-tiba Hangga
melewati meja mereka. Dia memang sengaja melakukannya, berjalan pelan dan
sempat melirik ke arah Dilla. Dilla yang kebetulan melihat Hangga terkejut dan
memandang pria itu tidak berkedip. Frista mengamati sikap Dilla tersebut dan
seolah-olah tidak mengetahui kalau Hangga lewat di sana. Dan ia mulai menyadari kalau ada
sesuatu di antatra mereka berdua. Dan
Frista
sangat tidak sabar untuk mengetahui sesuatu itu.
Makan malam itu terasa lewat begitu saja
oleh Dilla. Karena tatapan Hangga telah mengganggu konsentrasinya, menghadirkan
kegelisahan sekaligus kebencian yang amat sangat. Perjalanan pulang ke rumah
pun membuat Dilla tidak banyak bicara karena ia gelisah. Perasaan bersalah pada
Steve semakin merasukinya. Sampai di rumah ia berbaring karena kepalanya terasa
agak pusing. Steve memandangnya, perasaannya tidak menentu karena besok dia
akan pergi. Ini malam terakhir untuk mereka.
“Honey… apa kamu tahu apa yang sedang aku
pikirkan?” kata Steve. Dilla menggeleng lembut dan ia mengamati seluruh wajah
Steve. ”Aku sedang memikirkan alangkah bahagianya andainya kita bisa terus
bersama.” Ia mengusap pipi Dilla.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan..”
“Malam ini aku hanya ingin memandang kamu
sepanjang malam. Tidak ada yang aku lewati sedetikpun dari wajah mu. Kamu
tahu…?” ia berhentik sejenak lalu berkata lagi. ”Aku tidak pernah berpikir akan
sejauh ini. Tadinya aku hanya berpikir hanya sebuah kontrak, atau lebih
kasarnya hanya bisnis, tapi karena sikap dan kepribadian kamu membuat aku
benar-benar jatuh cinta sama kamu. Membuat aku merasa ada sesuatu di sini.” Dia
memegang dada sebelah kirinya. Dilla tersenyum. Ucapan Steve mungkin hanya
sekedar ucapan sebuah hiburan untuknya semata. ”Honey… jika boleh aku tahu, apa
yang kamu pikirkan selama ini? Apa kamu pikir yang kita lakukan selama ini
tidak lebih dari sekedar bisnis?”
“Entahlah…. Aku tidak pernah berani
berpikir terlalu jauh. Takutnya akan menyakiti hati kita masing-masing. Kamu
terlalu baik untukku, dan seorang suami yang baik. Maksudku seorang suami yang
berjanji akan sehidup semati sama isterinya saja belum tentu sebaik kamu.. kamu
begitu menghargai setiap hak-hakku, terima kasih ya.” Urai Dilla membuat Steve
tersenyum lalu mencium bibir Dilla, dan Dilla tidak ingin Steve melepaskan
ciuman itu, hingga membuat Steve melumatnya dengan mesra. Namun anehnya di
benak Dilla muncul wajah Hangga dan melumatnya dengan lembut dan terus mencumbunya
dengan penuh gairah, lembut dan mengesankan. Dilla semakin menggila dan melepas
pakaian Steve. Ia sadar apa yang sedang terjadi pada dirinya namun ia tidak
kuasa melawannya, keinginan itu terlalu besar dan yang ia rasa hanya Hangga dan
Hangga yang terus mencumbunya. Steve memang bersamanya saat ini tapi yang
sedang bercinta dalam angannya adalah Hangga. Ia tidak berfantasi dan tidak
berharap sama sekali adanya Hangga dan entah kenapa sosok itu tidak mau pergi
dari otaknya. Belum pernah ia merasa sebegitu bergairahnya, seakan ingin
menyerahkan seluruh jiwa raganya pada kepada seseorang yang baru saja bercinta
dengannya.
“I love you, honey….”
Suara itu. Dilla seakan sadar-sesadarnya.
Ia menoleh ke samping. Terlihat wajah Steve sedang tersenyum bahagia. Ia jadi
seperti menahan napas lalu menghelanya dengan berat.
‘Ya Tuhan, perasaan apa yang baru saja
merasuki aku?’ ia merasa sangat bersalah pada Steve. Pikirannya jadi berkemuk
tidak karuan, kenapa wajah laki-laki berengsek itu meracuni otaknya. ’Maafkan
aku Steve’ ia tidak berani menatap mata Steve terlalu lama dan tidak juga bisa
memejamkan matanya hingga pagi menjelang.
Pagi itu Dilla mengantar Steve ke Bandara
Soekarno-Hatta. Di dalam mobil ia duduk di sebelah Steve. Dia tidak mau
berpikir apapun saat ini, ia juga tidak
bisa berpikir apa yang akan ia lakukan setelah Steve pergi. Pikirannya masih
terfokus dengan kejadian semalam, ia tidak habis pikir kenapa harus ada wajah
pria itu di malam terakhir mereka dan itu sangat menyakitkannya. Ia pun
mengutuk dirinya karena tidak lebih baik dari pria itu.
“Honey.. kamu ngelamun?” Steve menatapnya
sekilas. Dilla tersenyum dan ia coba menghasilkan sebuah senyuman yang begitu
tulus meski ada rasa perih di hatinya. Mobil hitam mengkilap itu sudah
Memasuki
kawasan Bandara. Steve menarik napas dalam-dalam, setelah mematikan mesin mobil
ia menatap wajah Dilla dan wanita itu membuka suaranya.
“Steve, apa pernah kamu berpikir apa yang
aku lakukan setelah kamu pergi nanti?”
Steve tersenyum. ”Kamu adalah wanita yang
baik dan pintar, apapun yang terjadi setelah ini, aku yakin pasti lebih baik
dari saat ini. I trust you honey…, jika suatu saat nanti kita di pertemukan
lagi, maka aku berharap perasaan yang saat ini akan tetap seperti ini. Aku
tidak akan mungkin melupakanmu, tidak akan. Aku punya sesuatu untuk kamu…” ia
mengambil sebuah map coklat dari jok belakang dan menyerahkannya pada Dilla. ”Semoga
kamu menyukainya dan semoga bermanfaat.”
“Apa ini?”
“Apa pun isinya, bukalah setelah aku
pergi.”
“Apakah aku harus menerimanya, Steve?”
kata Dilla pelan dan Steve mengangguk. ”Baiklah, aku tidak peduli apa pun
isinya, yang penting kamu senang.” Ia tidak pantas berharap banyak pada pria
sebaik Steve. Dan pria itu sepertinya terlalu sayang sama Dilla, itu membuat
Dilla terharu dan merasa bersalah karena hingga detik ini ia tidak juga bisa
mencintai Steve dengan sepenuh hati, atau mungkin karena ada rasa takut akan
melukai perasaan keluarga pria itu, hingga ia merasa benar-benar tidak pantas.
Atau mungkin juga ia takut jatuh cinta karena tahu akan berpisah.. entahlah!?
Yang pasti tidak ada getaran aneh yang ia rasakan bersama Steve,
getaran-getaran yang menghadirkan alunan indah yang menyanyi di hati, akan mengagumkan
dan terbalut misteri cinta hingga timbul keinginan untuk memiliki. Steve
memegang tangan Dilla.
“Aku harus pergi.” Ujarnya haru. Dilla
memegang erat tangannya lalu keduanya saling meraih dan mereka berciuman. Dilla
merasa ciuman itu berbeda sekali dari yang semalam. Lagi-lagi ia membedakannya,
Ia benci itu. ”Jaga diri kamu baik-baik ya.” Bisik Steve kemudian.
“Hati-hati…” balas Dilla. ”Terima kasih
untuk semuanya, Steve.” Kata Dilla. Steve mengangguk.
“Sama-sama honey….” Ia keluar dari dalam
sedan itu dengan membawa sebuah koper sedang. Dilla terus memandang Steve yang
berjalan terus menjauhinya. Beberapa saat kemudian Steve berbalik untuk
melambaikan tangan ke arah Dilla. Dilla tidak tahu bagaimana perasaaanya saat
membalas lambaian tangan Steve. Dan tiba-tiba sesuatu terasa menetes dari
matanya mengenai pahanya. Dilla menoleh ke pahanya, ternyata ada butiran
kristal yang mengenai ujung roknya. Perlahan ia menghapus butiran itu sampai mengering.
‘Aku menangis?’ Dilla tersenyum sendiri
seolah mengejek dirinya. Apakah ia lega atau sebaliknya?
Dilla pindah ke belakang stir, ia melirik
amplop coklat yang ada di sampingnya dan tidak berniat untuk membukanya sama
sekali. Ia memutar mobil dan kembali ke Jakarta.
Frista dan Hangga sedang menikmati kopi
di kedai kopi. Wanita itu sedang menatap Hangga lekat-lekat dan sama sekali
belum yakin dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Hangga. Ia coba
memahami karena cerita itu sangat serius dan Hangga memang serius.
“Kamu bisa mencintai seorang wanita hanya
dengan cara melihatnya dari jauh? Jadi maksud kamu mengajak aku ke sini hanya
untuk mengorek tentang Dilla? Latar belakang, kehidupan dan yang lainnya? Hmm…
tidak ku sangka.”
“Hei, cinta tidak butuh semua itu. Kamu
ini seperti tidak mengenali aku saja.” sergah Hangga.
“Maksud aku, jika kamu ingin tahu
sebaiknya kamu tanya sendiri saja, karena itu lebih etis dan gentleman.”
“Fris, tolong… aku ini sahabat kamu. Kamu
tahu… wanita itu hobi sekali dengan alkohol yang sering membuatnya mabuk.”
“Tentu saja aku tahu..” jawab Frista
cepat karena ia ingat dengan kecelakaan itu, Dilla mengendarai mobil dalam
keadaan setengah mabuk. ”Lalu apanya yang menarik?”
“Fris, malam itu dia mabuk berat dan aku
tidak tahu harus membawanya kemana, yang terpikir olehku saat itu bagaimana
caranya agar keluargaku tidak panik, makanya aku membawa dia ke hotel.”
“Apa??”
“Jangan berpikiran yang bukan-bukan
dulu.”
“Setidaknya aku bisa membayangkan dong,
kamu berdua di dalam kamar hotel dengan seorang wanita yang membuat kamu
tergila-gila. Tapi aku percaya sama kamu kok, bukankah begitu?”
“Kalau saja aku mabuk, maka malam itu semuanya
pasti terjadi. Dia menarik aku ke dalam pelukannya. Kami berciuman dan dia
melakukan itu tanpa sadar, tapi aku yang sadar dan sangat mencintainya tidak
akan mampu untuk melanjutkan kegilaan itu, aku tidak mau itu terjadi karena aku
tidak sanggup di benci olehnya.” Jelas Hangga. Frista menghela napas.
“Kisah yang tidak begitu jelek,
mudah-mudahan berlanjut.”
“Hanya itu komentar kamu?”
“Memangnya aku harus bilang apa?”
Hangga tertawa. ”Kamu itu tidak pernah
berubah. Oya, temanku titip salam untuk kamu.” Mendengar itu mereka berdua jadi
tertawa bersama. Hangga, Frista dan Dias adalah teman dari SD. Dias memilih
kuliah di Australia. Bertiga mereka sering bersama dan Hangga tahu kalau Dias
menyukai Frista dari sejak SMA.
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi
esok.
Dilla menghampiri pembantunya, seorang
wanita yang dengan setia menemaninya selama kurun waktu dua tahun ini, wanita
itu sangat menyayanginya karena selama tinggal bersama Dilla tidak pernah main
printah seenaknya. Dilla menatap wanita itu yang sedang merapikan majalah di
atas meja.
“Mbok,…” kata Dilla. Wanita itu menoleh
dan memandangi Dilla dengan tenang. ”Aku tidak tahu bagaimana perjalanan hidupku
selanjutnya, sebenarnya aku tidak mau mbok meninggalkan rumah ini, tapi ini
bukan rumah kita. Aku sendiri juga tidak tahu harus pergi kemana? Mungkin aku
akan menjual mobil pemberian Steve dengan memulai hidup baru, atau mencari
kontrakan, atau… entahlah… mbok. Hidup ini penuh dengan misteri dan aku harap
bukan misteri yang melelahkan..” tutur Dilla pelan. Wanita itu memandang Dilla
dengan perasaan yang ia sendiri tidak tahu. Karena bagaimana pun ia tetap akan
menganggap Dilla sebagai majikannya.
“Non, mbok tidak mau meninggalkan Non
sendirian. Mbok akan ikut kemana pun Non pergi tidak peduli menderita sekali
pun.” Ujarnya tulus dan sangat yakin dengan kata-katanya. Dilla tersenyum, itu
sama saja artinya dia harus membawa wanita itu kemana pun dia pergi.
Dilla kembali ke kamarnya, hari ini ia
sedang tidak ingin kemana-mana. Ia mengamati seisi kamar, berat sekali rasanya
harus meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan itu, ia merasa itu rumah
sudah seperti rumahnya sendiri. Tidak banyak benda-benda berat, hanya ada
tempat tidur, lemari pakaian, meja hias, di sampingnya ada sebuah TV juga DVD
player dan meja kecil untuk tempat majalah yang selalu ia baca sebelum tidur.
Dilla menghela napas panjang. Semua barang yang ada di kamar itu, memang ia
yang beli memakai uang Steve. Steve memang tidak pernah melarang ia untuk
membeli apa pun, namun Dilla hanya akan membeli apa yang ia butuh saja.
Amplop coklat dari Steve tergeletak di
atas tempat tidur, dari dalam mobil tadi dia memang belum berminat untuk
membukanya. Dilla duduk dan meraih benda itu lalu membukanya. Isinya hanya ada
beberapa lembar kertas tebal. Dilla menarik kerta itu keluar dan menyimak
isinya. Dilla agak terperangah setelah tahu isi kertas itu. Pertama ada chek
bertuliskan angka US
$. 100.000. lalu ia mengamati kertas yang lainnya. Kertas itu agak tebal dan
licin, itu sertifikat rumah dengan nama Dilla untuk kepemilikan serta semua
asset yang ada di dalam rumah tersebut. Ada
secarik kertas dengan tulisan tangan Steve.
‘Honey,
semoga kamu bisa memanfaakan semua ini dengan baik,
Aku menyukai Indonesia, hampir lima tahun
Indonesia
menerima aku dan aku..
Sangat mencintai kamu… sampai di kehidupan berikutnya.’
‘Ya Tuhan Steve, apa yang telah kamu
lakukan? Inikah semua misteri hidup ku?’ Dilla memasukkan kertas itu kembali ke
dalam amplop. Ia menghela napas dalam-dalam, ternyata Steve yang baik itu
menyimpan banyak misteri dan tidak pernah menuntut apa-apa. Pekerjaannya pun
tidak ia beri tahu sama Dilla. Dilla meraih ponselnya dan coba menghubungi
Steve, berkali-kali namun gagal.
‘Apapun kejadian setelah aku pergi nanti,
kamu tidak boleh menemui ku.’
Dilla
telah mengiyakan permintaan Steve itu, namun saat ini ia coba melanggar
kesepakatan itu, dia harus bicara sama pria itu. Tiba-tiba Dilla merasa ada
yang aneh dalam permintaannya itu. Tapi ia tetap saja tidak bisa
menghubunginya.
Keesokan harinya, di salah satu koran
ternama ibu kota
ada foto Steve. Dilla yang melihat koran itu menjadi shock dan sangat tidak
percaya dengan apa yang di beritakan tentang Steve. Dia coba menarik napas
dalam-dalam karena dadanya terasa sangat sesak, ia ingin berteriak
sekencang-kencangnya namun tidak bisa, seakan ada yang mengunci
ternggorokannya. Air matanya mengalir dan sangat deras.. misteri itu sudah
tersingkap. Melalui berita di koran harian.
‘Seorang pria yang berkebangsaan Amerika bernama Steve Hamilton telah meninggal dunia di..
Rumah sakit kanker ibu kota, karena ia mengidap kanker ganas.
Dia berkunjung ke Indonesia
dengan visa turis. Jenazahnya akan di berangkatkan ke Amerika
Tepat pukul 08.00 hari ini.’
Tubuh Dilla gemetar lalu… ’Steve….!!!!’
Jeritan itu pun akhirnya keluar juga. Dia menjerit sekuat tenaga membuat mbok
berlari ke kamarnya.
Dilla menangis dalam pelukan mbok, sampai
sesunggukan. ”Kenapa dia tidak pernah mau menceritakannya sama aku, mbok?”
katanya kemudian. Si mbok tidak tahu apa yang sedang terjadi sama Dilla. Ia
melihat koran yang tergeletak di samping Dilla lalu melirik jam yang ada di
atas meja kecil, kini sudah menunjukkan pukul 11.07. ia tahu apa yang menimpa
Dilla setelah menyimak koran itu lagi.
“Mmm… Den Steve pasti punya alasan
sendiri Non.” Katanya coba memahami posisi Steve.
“Dia menyembunyikan keberadaannya dengan
sangat baik, atau akunya yang bodoh karena tidak memahaminya. Ternyata di sini
dia bukan sedang bekerja tapi hanya menghabiskan sisa hidupnya. Kenapa aku
begitu bodoh tidak menyadari kalau dia sedang sakit?! Dia berhasil membohongi
aku, mbok. Kemaren dia pura-pura ke Bandara dan aku mengantarnya untuk dia
pulang ke negaranya, ya Tuhan…. Bodoh sekali aku ini!” Dilla terus mengutuk
dirinya.
“Tenanglah Non, dia pasti lebih bersusah
payah menyembunyikannya dari Non karena mbok tahu kalau Den Steve itu sangat
mencintai Non, dia tidak ingin Non sedih.” Kata mbok coba menghibur, namun
tangis Dilla tambah jadi.”Non harus menghargai usahanya, dia pernah berkata
sama mbok, kalau Non adalah wanita yang sudah ia cari bertahun-tahun.” Lanjut
mbok. Dilla menelan ludahnya, terasa sangat sakit di tenggorakkannya.
Di kantor Frista, dia baru saja
menyelesaikan meeting terakhirnya untuk hari ini. Buru-buru ia ke ruangannya
untuk mengganti baju kerjanya dengan baju biasa. Lima menit yang lalu ia sudah minta
sekretarisnya untuk menelepon Gandys agar gadis itu menunggunya di bawah.
Frista berlari ke lift dengan baju
kasualnya. Karyawannya sudah hafal betul dengan bosnya itu. Ia juga sudah
memberitahukan pada karyawannya untuk pulang lebih awal. Di depan, Gandys sudah
menunggu dengan mobilnya tapi masih mengenakan pakaian kantor. Frista membuka
pintu mobil dan meminta Gandys bergeser. Ia meletakan koran yang tadi di
pegangnya di atas dashboard.
“Geser, biar aku yang bawa mobil.” Ujar
Frista. Gandys menurut saja meski tidak mengerti. Frista membawa mobil tanpa
memberi kesempatan Gandys bertanya.
“Hati-hati, ini mobil mahal.” Protes
Gandys saat Frista menambah kecepatan laju sangat cepat. Frista tidak
mempedulikan omongan Gandys malahan melemparkan koran ke Gandys. ”Apa-apaan
sih, aku serius, ini mobil mahal meski tidak sebagus mobil kamu. Tapi ini full
story.”
“Kamu ini bawel banget sih.” Kata Frista
sembari menambah kecepatan mobil membuat Gandys tambah keki.
“Kamu liat koran itu, di halaman pertama
di bagian bawahnya ada sebuah foto. Aku yakin setelah ketemu sekali dengannya
kamu tidak akan lupa wajah itu.” Ujar Frista. Gandys tidak mengerti kata-kata
Frsita, ia meraih koran dan mengikuti ucapan Frista. Beberapa detik berikutnya
ia nyaris
berteriak,
untung ia buru-buru menutup mulut dengan tangannya sendiri.
“Kita mau ke rumah Dilla?” katanya.
Frista mengangguk. Gandys menyimak lagi koran di tangannya. ”Aku tidak peduli
berapa harga mobil ini, kamu pasti bisa lebih cepat lagi, kan?” pinta Gandys, meski Gandys bicara
seperti itu, Frista tidak menambah kecepatannya, karena ia tahu aturan jalan.
Dia memikirkan Dilla, seeoran wanita yang baik, punya kharisma yang tinggi
lewat mata juga senyumannya. Tidak salah jika Hangga mencintainya dan menjadi
pengagum rahasianya selama ini. Dilla memang berbeda dari wanita yang lain.
Beberapa saat kemudian, mobil itu
berhenti tepat di depan rumahnya Dilla. Gandys sesaat takjub melihat rumah
mewah itu. Dua tahun yang lalu mungkin harganya 1 M, tapi sekarang? Sebagai
seorang sekretaris andal Gandys juga tahu harga rumah real esteate saat ini
“Kamu yakin kalau ini rumahnya Dilla?”
“Entahlah.” Jawab Frista. ”Tapi yang aku
tahu dia tinggal di sini, kamu tidak mau turun?” kata Frista. Akhirnya mereka
turun bersama. Rumah itu cukup sepi untuk berada di komplek se-elit itu.
Kawasan komplek cukup ramai dan hampir setiap rumah memiliki security sendiri.
Bagaimana mungkin Dilla dan Steve bisa berada di kawasan itu hanya dengan surat nikah kontrak?
Pikir kedua gadis itu. Rumah Dilla memiliki dua garasi. Halaman luasnya hanya
di tanami rumput gajah yang sangat rapih dan ada dua pohon palm botol yang
indah di kedua sisi rumah. Tanpa ada pagar sedikit pun. Selera Dilla boleh
juga. Pikir Gandys. Frista menekan bel yang ada di kanan pintu. Beberapa menit
kemudian muncul seorang wanita dari balik pintu besar itu.
“Non, Frista….” Ujarnya dengan memori
yang masih bagus.
“Emm.. Dilla-nya ada mbok?”
“Ya, ada. Silahkan masuk, mohon tunggu
sebentar karena saya akan memanggilnya di atas.”
“Terima kasih mbok.” Frista dan Gandys
menunggu di sofa ruang tamu. Gandys mengamati ruang tamu yang di hiasi dengan
warna pastel itu.
“Seandainya ini rumah milik Dilla, aku
juga mau kalau di ajak kawin kontrak sama bule.”
“Dys, hati-hati dengan ucapan kamu.” Kata
Frista dengan tenang. Karena dia tahu dengan pasti pelaku kawin kontrak itu
biasanya akan menerima uang 5 sampai 10 juta perbulannya.
Menit berikutnya Dilla muncul dari tangga.
Ia tersenyum pada kedua gadis itu, terlihat dengan sangat jelas kalau senyum
itu masih di liputi duka yang dalam.
“Hai…” ia menyapa kedua wanita yang sudah
berdiri itu dengan suara yang agak parau. Frista mendekati Dilla di ikuti
Gandys.
“Kamu nggak apa-apa kan, Dill?” tanya Frista. Dilla menggeleng.
“Aku nggak apa-apa.” Ucapnya. Dan kedua
gadis itu menyadari kalau mata Dilla sedang berkaca-kaca dan terlihat agak
bengkak. Lama mereka saling menatap lalu.
“Kami turut berduka cita.” Tutur keduanya
nyaris bersamaan. Dilla tidak bisa lagi menahan air matanya. Dan Frista
langsung memeluknya. Gandys melalukan hal yang sama. Mereka memeluk Dilla
begitu tulus dan hanyut bersama dalam kesedihan Dilla.
Bersamaan dengan itu mbok keluar
membawakan minuman dingin untuk ketiga wanita tersebut, mempersilahkannya minum
lalu ia kembali ke belakang. Ketiga wanita itu sudah duduk kembali di sofa.
Dilla di tengah, Frista memegang tangannya untuk coba menenangkan perasaan
Dilla. Jujur saja, kedatangan Frista dan Gandys sangat menenangkan hati Dilla.
“Dill, dua hari yang lalu kamu bilang
kalau Steve akan kembali ke Amerika.”
“Ya.” Suara Dilla bergetar. ”Steve
seorang aktor yang hebat bagi saya. Keinginannya untuk pulang memang terkabur
hari ini. Aktingnya kemaren benar-beanr hebat.. dia mengatur perpisahan di
Bandara.. mungkin setelah dari sana
dia langsung berbelok ke rumah sakit itu. Aku sangat kecewa, dia sudah berhasil
menyimpan penyakitnya dari aku.”
“Jadi kamu tidak tahu kalau dia mengidap
kanker?” tanya Gandys sangat tidak percaya. Dilla mengangguk. ”Ya Tuhan, dia
pria yang sangat berjiwa besar.” Ujar Gandys. Kalau boleh Frista tambahkan, dia
juga tidak melihat kalau Steve seperti orang yang sakit.
“Dia juga sangat baik.” Tambah Dilla. ”Sudahlah,
jangan membuat aku tambah cengeng. Silahkan di minum dulu minumannya.” Frista
dan Gandys mimun bersamaan. ”Aku senang sekali atas kehadiran kalian di sini.
Aku terharu dan sekaligus malu pada diri sendiri.”
“Husst.. kamu tidak perlu bicara seperti
itu.” Kata Frista.
“Ya Dill, kita tidak mungkin membiarkan
kamu sendiri..” lanjut Gandys. Mereka memang menyayangi wanita itu.
“Aku belum pernah mendapat teman sebaik
kalian, sepertinya aku merasa paling berutung di antara kalian. Sungguh.” Dilla
ingin menangis lagi dan Frista meraih pundaknya.
“Kamu tidak sendirian, karena kita akan
selalu ada untuk kamu.”
“Terima kasih, kalian benar-benar membuat
aku ingin menangis lagi.” Dilla memang kehilangan Steve tapi kasih sayang
Frista dan Gandys membuatnya seperti mendapatkan keluarga baru.
Karena sejak usia sepuluh tahun dia sudah
kehilangan Ibunya dan lima
tahun berikutnya Ayahnya menyusul dan adik laki-lakinya meninggal akibat deman
berdarah saat Ibunya masih ada. Setamat SMP adalah tahun yang sangat sulit
baginya. Ia hampir menjadi pengamen, hidup tanpa keluarga tidak ada yang
sanggup membayangkannya. Dia sudah memberanikan diri untuk menjadi tukang cuci
di berbagai tempat hingga akhirnya coba memberanikan diri untuk bekerja di
sebuah kedai kopi. Hampir lima tahun ia berkutat
di kedai itu dan tinggal di sana,
karena pemiliknya sangat baik untuk menampungnya. Di tempat itu pula ia bertemu
dengan Steve. Kesederhanaan, ketulusan dan kebaikan Dilla membuat Steve
menjatuhkan pilihan untuk mengajaknya menikah. Setahun berikutnya mereka
melakukan nikah kontrak itu. Apakah itu sebuah pilihan atau memang sudah
jalannya harus begitu?
Kedai kopi itu sekarang sudah menjadi
café moderen dengan tetap menjaga rasa khas-nya. Dan Dilla tentu saja tidak
mengetahui kalau kedai itu sudah menjadi milik seorang pemuda yang mengincarnya
selama ini, adalah Hangga.
Dua hari berikutnya Dilla kembali bertemu
dengan Frista di sebuah kafe. Mereka menikmati soft drink lalu Dilla
menyampaikan maksudnya bertemu.
“Frist… dua hari ini aku terus berpikir
untuk coba membuka usaha dagang kecil-kecilan. Kamu tahu, rumah itu? ternyata
Steve beli atas nama ku.”
“Oh ya….?” Frista agak kaget.
“Kamu pasti tahu berapa harga rumah itu sekarang…”
“Maksudnya kamu ingin menjual rumah itu
untuk modal usaha? Jangan Dill, kamu tidak boleh melakukannya. Aku akan
membantu kamu, berapa pun kamu butuh. Aku akan mencari ruko-ruko di mal untuk
tempat kamu buka usaha, dan kamu akan mendapatkan kabar dari ku dalam dua hari
ini…”
“Aku tidak bisa menerima semua itu.”
“Oke, jika kamu tidak bisa menerima
bantuan, anggap saja ini bisnis, asal kamu tidak menjual rumah itu. Bagaimana?’
tawar Frista membuat Dilla tertawa.
“Bagaimana mungkin aku bisa menjual rumah
pemberian Steve yang sangat berharga dan penuh kenangan itu, aku punya tabungan
Frist… dan saat kamu berpisah di Bandara Steve memberikan sebuah amplop ia
meminta aku membukanya di rumah. Isi amplop itu antara lainnya sebuah chek senilai
seratus ribu dolar Amerika dan aku sudah mengecek kebenarannya ke Bank. Selain
chek ia melampirkan sertifikat rumah.”
“Ou.. seratus ribu dolar? Jumlah yang
sangat banyak.” Frista terkesan dan seperti tidak percaya dengan pendengarannya
sendiri.
“Ya, sepertinya Steve telah menghabiskan
semua uangnya untukku. dan Steve tidak mungkin membiarkan saya menghabiskan
uang itu dengan cara bersenang-senang. Sepertinya dengan membuka usaha sendiri
dan menghasilkan uang sendiri maka aku akan merasa sedikit tenang.”
“Huh.. kamu memang wanita yang luar
biasa. Steve pasti bangga sama kamu.” Ucap Frista tulus. Steve tentu bukan pria
yang bodoh, kalau dia tidak percaya dengan Dilla tidak mungkin dia menghabiskan
uangnya pada sembarang wanita yang gila akan harta. Steve sudah mempelajari
sikap dan sifat Dilla sudah lebih dari dua tahun.
Dalam hatinya Frista berjanji akan
membantu Dilla untuk memulai usaha bisnis. Bisnis bukan hal yang baru baginya
apalagi Dilla memiliki dasar kemauan yang kuat. Dia harus yakin kalau Dilla
akan sanggup melakukannya.
Belum juga sampai tiga hari Frista sudah
mengabarkan pada Dilla bahwa dia sudah menemukan tempat usaha yang pas untuk
Dilla. Terserah Dilla apakah akan di pakai untuk membuka kafe atau yang
lainnya. Seperti elektronik atau butik.
Sejam berikutnya.
Dilla dan Gandys sedang menikmati kopi,
beberapa karyawan lama di kedai itu masih sangat mengenali Dilla, tak jarang
Dilla menambahkan beberapa uang jajan untuk mereka. Dan Dilla tidak pernah tahu
kalau kini pemiliknya adalah Hangga.
“Gandys… aku ingin bertanya satu hal sama
kamu dan tolong kamu jawab dengan jujur, sebenarnya Frsita itu siapa?” tanya Dilla sangat serius membuat Gandys
menautkan kedua alisnya.
“Apa? Aku nggak ngerti maksud kamu.” Ujar
Gandys dengan tenang.
“Begini, ketika aku bilang mau buka usaha
sendiri dia langsung menawarkan bantuan berapapun aku butuh, asal aku tidak
menjual rumah peninggalan Steve. Sekarang mengerti maksud dari pertanyaanku itu?”
“Ya Tuhan…., Dilla, jadi kamu belum tahu
siapa Frista itu? Tentu saja dia bisa bicara seperti itu. Sebenarnya sudah
berapa bulan sih kalian temanan dan berapa kali sudah bertemu?”
“Maksud kamu?” tanya Dilla membuat Gandys
tertawa.
“Dill, Frista itu seorang pengusaha muda
yang berhasil di kota
ini.”
“Apa?” giliran Dilla yang tambah bingung.
“Kamu terkecoh dengan penampilannya ya?
Yang kayak anak kuliahan itu. Dia memang seperti itu, dunia kantor dan dunia luar
adalah dua hal yang berbeda baginya. Dua sisi yang mengagumkan, menguasai empat
bahasa, mungkin lebih.” Jelas Gandys. Dilla jadi tersenyum simpul mengingat
penampilan Frista yang sehari-hari tapi kalau mengingat kata-katanya yang
langsung mendapat tempat buka usaha dan menyatukannya dengan ucapan Gandys
barusan ia menjadi sangat yakin. Dilla menghela napas berat dan agak sedikit
kecewa dengan Frista yang tidak mengatakan siapa dirinya yang sesungguhnya.
Tapi sepertinya itu bukan kesalahan Frista, bagaimana pun Dilla tidak pernah
bertanya. Kekecewaan itu berubah jadi kekaguman saat mata Dilla melihat Frista
muncul di kedai kopi, dan Dilla langsung salah tingkah tak kala mengetahui Frista
datang bersama pria yang membawanya ke hotel itu. Ia berdoa dalam hati agar
Tuhan memberinya kekuatan. Kekuatan apa? Dilla sendiri tidak mengerti!!!
“Hai…” Gandys menyapa ceria.
“Hei, kalian juga menyukai tempat ini?”
balas Frista. Dilla menatap Frista yang kali ini terlihat anggun. Mungkin di
jam makan siang ia tetap mengenakan baju kantornya. Dia tampak feminin sekali
dan elegan dengan blazer abu-abu, baju dalaman putih kecoklatan dan rok coklat
kehitaman.
“Hai Hangga, gimana kabar kamu?” Gandys
menyapa pria tampan itu. ”Eh Dill.. kenalin, ini dia orangnya yang paling susah
di taklukan di kota
ini, kaya, rendah hati dan tipe orang yang setia.” Kata Gandys apa adanya.
“Juga sangat keren, kan?” tambah Frista. Dilla hanya tersenyum
tipis dan menyambut uluran tangan Hangga tanpa bisa menebak bagaimana dengan
perasaannya sendiri. Malu, kecewa atau benci.. ia mengutuk dirinya. Dan pria
itu, ia tidak ingin menebak bagaimana ia memandang Dilla saat ini.
“Frist… aku bisa bicara dengan kamu
sebentar?” Dilla coba mengalihkan topik untuk menenangkan suasana hatinya.
Frista malah melirik Hangga dan Gandys, Gandys justru menarik tangan Hangga
dengan cepat.
“Ga, temanin aku ke seberang sebentar
yok.” Ia terus menarik tangan Hangga agar mengikutnya. Ia sengaja melakukan itu
karena ia tahu pasti apa yang akan Dilla dan Frista bicarakan. Kini Dilla sudah
berhadapan dengan Frista setelah Hangga dan Gandys meluncur keluar.
“Bagaimana? Kapan kita bisa melihat
tempat itu?” kata Frista. Ia menatap sahabatnya dan menunggu Dilla beraksi. ”O
iya… kamu masih ingat, kan
kalau kamu pernah bertemu dengan Hangga?” tanya Frista di luar jalur bisnis.
Dilla tersenyum.
“Frista, sebenarnya aku kecewa sama kamu.
Boleh, kan?
Selama ini tidak ada tentang aku tidak kamu ketahui, karena tidak ada yang
tidak aku ceritakan, mungkin ini juga salahku karena tidak bertanya sama kamu
sehingga kamu tidak cerita…”
“Maaf Dill…, Hangga itu teman aku dari
kecil, tidak ada maksud untuk menyembunyikannya dari kamu. Aku hanya merasa
belum tepat saja.”
“Aku tidak mengerti maksud kamu,
jangan-jangan kamu pikir aku peduli dengan pria yang bernama Hangga itu, aku
ini sedang membicrakan tentang kamu.”
“Aku? Apa yang ingin kamu ketahui tentang
aku?”
“Pekerjaan kamu…”
“Ada
apa dengan pekerjaanku?”
“Jadi selama ini kamu tidak pernah
berpikir apakah seorang wanita karir yang sukses pantas berteman dengan wanita
seperti saya? Andai saja aku tahu kalau kamu adalah wanita terhormat, maka aku
tidak akan menodainya dengan berteman dengan kamu..” tutur Dilla merasa tidak
punya muka di depan Frista dan itu membuat Frista tertawa pelan.
“O itu? Aku tidak berminat untuk
membahasnya. Kupikir tadi kamu ingin membahas tentang
Hangga.
Eh, apa kamu tahu kalau dia itu sangat mencintai kamu??”
“Bukankah kamu teman kecilnya, jadi
kamulah yang lebih tahu tentang hal itu. Tapi di mata saya, dia itu tidak lebih
dari pria murahan, aku minta maaf kalau ucapanku menyinggung perasaan kamu.”
“Kamu bicara seperti itu apa karena
peristiwa di hotel itu?”
“Sepertinya dia sudah cerita banyak.”
“Yang dia cerita hanya yang kamu lihat
tidak seperti dengan yang kamu pikirkan.”
“Maksudnya? Ah…. Sudahlah Frist.. dia itu
laki-laki yang pandai mencari kesempatan.”
“Kamu pikir dia telah memaksa kamu? Aku
mengenali Hangga itu dari kecil. Waktu kita makan bersama Steve malam itu dia
melihat kamu, ingat? Yang menelepon aku waktu itu adalah Hangga. Dia bertanya
banyak hal tentang kamu, trus aku bilang, tanya aja langsung ke orangnya.
Karena kalau aku yang memberitahu itu tidak akan etis, kan?” Frista coba menjelaskan duduk
persoalannya. Dilla masih menunggu Frista bicara. ”… terus keesokan harinya ia
mengajak aku bertemu di sini dan masih ngotot ingin mengetahui tentang kamu,
tapi tak sedikitpun aku cerita ke Hangga.. di samping tidak etis karena aku menghargai
kamu sebagai sahabatku.”
“Untuk yang satu itu aku harus
mengucapkan terima kasih banyak.” Dilla menyibak rambutnya. ”Hm… kenapa kita
jadi membicarakan dia sih kayak gak ada hal penting aja. Frist… aku menerima
tawaran bisnis itu, apa kamu bisa mempercayai aku?”
“Segala sesuatu itu harus di awali dengan
kepercayaan dan harus di coba dulu..” perkataan Frista sepertinya tidak
mengandung kepercayaan penuh namun ia bertekad, dan Dilla harus mencobanya.
Karena dunia bisnis sama halnya dengan dunia politik. Dilla pun mengangguk
setuju.
“Kamu itu lebih elegan dalam busana
kantor.”
“Kamu tahu? Aku sering bosan berpakaian
seperti ini, makanya di kantor aku menyiapkan lemari khusus pakaian kasual dan
santai…” mereka jadi tertawa.
“Hai….!?” Suara Gandys sudah membahana,
dia dan Hangga telah kembali. ”Asyik sekali sih ngobrolnya sampai lupa makan
siang. Liat Ga, dari tadi meja mereka masih kosong, ini
kita bawa pizza, kita makan sekarang…” Gandys meletakan dua bungkus pizza di
atas meja.
“Untuk membeli pizza saja, kamu telah
menghabiskan waktu selama setengah jam.” Guman Dilla.
“Jangan begitu.” Gandys membuka pizza
bawaannya. ”Hangga, aku jadi ingat cerita kamu waktu di seberang tadi. Ternyata
diam-diam Dilla itu orangnya tempramen juga ya..” goda Gandys sambil masih
asyik dengan pizzanya. Dilla melirik Hangga yang duduk di sebelah Frista,
sementara Gandys masih terus berceloteh. ”Ayo nikmati makan siang yang spesial
ini. Oh, ya Dill.. kalau aku tahu bahwa kalian sudah saling kenal maka aku
tidak mungkin mengenalkan lagi.. lagian kalian itu kayak orang belum kenal aja
tadi, oh, ya Fris.., apa kamu juga sudah tahu kalau mereka berdua sudah saling
kenal?”
“Bisa di bilang begitu, bisa juga tidak.”
Tutur Frista apa adanya.
Makan siang yang tidak bisa begitu di
nikmati oleh Dilla, ia tidak mengira kalau Hangga sudah begitu besar mulut,
bercerita banyak pada Gandys, sebenarnya ia tidak begitu tahu apa saja yang
sudah Hangga cerita pada Gandys juga Frista. Lelaki yang tidak sopan, entah
pada siapa saja ia sudah bercerita, mungkin pada semua teman kantornya, pada
teman makan malam atau bahkan pada pembantunya. Dilla kesal dan ia tidak sudi
di perlakukan seperti itu.
Belum pukul tujuh malam, Hangga sudah
bertamu ke rumah Dilla. Saat itu Dilla mengenakan pakaian tidur, yang tipis
sehingga pakaian dalamnya terlihat dengan jelas. Tapi ia tidak merasa risih
sedikitpun pada Hangga. Di ruang tamu mereka duduk berseberangan, Dilla
bersandar di kursinya dan Hangga menatapnya.
“Kenapa anda memandang saya seperti itu?
Bagi saya, saat ini tak ada bedanya waktu saya telanjang di kamar hotel itu,
apakah anda juga merasa begitu?”
“Untuk itulah saya datang ke sini, saya
ingin minta maaf sama kamu, apa kamu mau memaafkan saya?” kata Hangga dengan
posisi duduk seorang pria dewasa.
“Jika saya bilang ya, apa anda bisa
dengan segera meninggalkan tempat ini?”
“Kamu sepertinya tidak berminat untuk
menjawab pertanyaan saya, tapi malah mengusir saya. Okelah, apapun keinginan
kamu akan saya lakukan yang penting kamu senang, tapi aku ingin mengatakan satu
hal sama kamu, aku… mencintai kamu.. aku tidak peduli apa pun anggapan kamu
sama aku, karena saat ini tidak akan berperngaruh sama sekali pada saya.”
“Apa maksud kamu…?” kata Dilla tidak
mengerti.
“Bukannya kamu menganggap aku telah
memperkosa kamu? Sepertinya aku tidak perlu ngotot mengatakan tidak, kan?”
“jadi anda pikir saya peduli? Oya,
seharusnya saya yang mengucapkan terima kasih pada anda, karena sudah menolong
saya. Coba kalau orang lain, mungkin saya sudah di buang di pinggir jalan.”
Ujar Dilla dengan nada agak ketus. ”Bagaimana saya harus mengucapkan terima
kasih itu? Apa kita harus mencari penginapan? Atau ke tempat pesta?” tawarnya.
Seharusnya Hangga marah atau menampar mulut Dilla. Namun kenyataannya ia hanya
bisa menarik napas dalam-dalam lalu menghelanya pelan. Tadinya ia pikir Dilla
adalah seorang wanita yang mudah di dapati ternyata ia salah. ia berdiri dan
menatap Dilla yang masih duduk dengan tenang.
“Saya akan pergi, sepertinya hanya itu
yang bisa membuat kamu tenang saat ini. Asal kamu tahu Dill, aku sebenarnya
ingin sekali mencium bibir kamu….”
“Apa?” ia masih duduk. ”Kenapa anda tidak
melakukannya?” katanya dengan nada mengejek.
“Jika saya melakukannya maka persoalannya
akan sama waktu di hotel itu, aku tidak akan melakukannya lagi di saat kamu
tidak sadar, aku akan sangat senang jika kamu menginginkannya dalam keadaan
sadar.” Hangga pun keluar dari rumah Dilla dan ia tidak tahu kalau kata-katanya
itu telah membuat dada Dilla bergetar sekaligus perih yang sangat dalam. Hangga
telah menyentuh dasar hatinya dan ia terluka.
‘Ya Tuhan… aku harus membencinya! Tapi
kenapa saat malam terakhir bersama Steve malah wajahnya yang muncul? Apa Steve
telah memberi isyarat sama aku? Ya Tuhan barangkali aku ini sudah gila.
Hentikan semua ini Dilla. Hentikan!!’
Frista dan Dilla sedang membicarakan
masalah bisnis sembari menikmati kopi hangat. Frista menjelaskan urusan kontrak
ruko dalam hitungan bulan dan tahun. Sepuluh juta dalam sebulan. Mengenai
urusan isinya sudah di bahas yaitu alat-alat elektronik. Mendengar nilai
kontrak segitu membuat Dilla ragu-ragu.
“Kenapa Dill….?”
“Kontrak tempatnya, besar juga ya?”
“Hei, jika itu bukan kenalanku, maka
tempatnya bisa mencapai lima
belas juta. Sederetan itu harga sewanya memang segitu.”
“Oh ya?”
“Dill… kamu akan mengambil keuntungan dua
ratus ribu perproduk. Jika dalam sehari kamu bisa menjual lima produk, maka dalam sebulan akan berapa
itu? Tiga puluh juta.. dan kamu bisa merekrut dua orang karyawan. Untuk
pemotongan gaji buat karyawan dua juta sampai tiga juta perbulan. Sepuluh juta
untuk tempat sisanya untuk kembali menambah barang… modal utama cukup dengan
uang simpanan kamu. Bagaimana? Sudah siap untuk bekerja?”
“Sepertinya siap…” kata Dilla
menyakinkan, Frista suka dengan semangat Dilla. Ia pun memberikan beberapa
masukan yang mungkin akan berguna untuk Dilla ke depannya. Bagaimanapun juga
Dilla adalah pemula dan sangat buta untuk urusan seperti itu, tadinya ia memang
pernah bekerja di kafe atau tempat dagang tapi ia tidak pernah belajar langsung
di dalamnya. Frista memberitahukan darimana memperoleh barang? Yang sebaiknya
harus langsung lewat supplier atau lewat pabrik. Sepertinya Frista cukup
sebagai penasehat, ia tidak ikut menambah modal di bisnis Dilla sebab untuk
modal utama uang Dilla lebih dari cukup.
Kini Dilla menjadi orang yang sangat
sibuk, ia mengunjungi pabrik-pabrik elektronik sampai mencari orang yang bisa
membantunya untuk mengurus dan membantunya di ruko. Dilla juga ingin
konsumennya menerima barang sampai di rumah.
Ruko Dilla sudah terisi dengan beberapa
barang elektronik, beberapa hari saja ia sudah resmi membuka rukonya tepat
tanggal 14 februari. Untuk pertama Dilla mengajak teman satu pria dan satunya
lagi wanita. Dan hari itu dia hanya bisa melepas satu produk… dan hari-hari
berikutnya terus meningkat terkadang 3, 5, 2 bahkan pernah mencapai 7 produk
dalam sehari.
Bulan-bulan berikutnya Dilla harus
membeli dua buah mobil pick up untuk mengangkut pesanan dan otomatis ia harus
menambah beberapa karyawannya. Tahun pertama ia bisa mencapai target bahkan
lebih. Tapi tahun ke dua usahanya mendapat cobaan, jangankan untung, untuk membayar kelima karyawannya ia kesulitan.
Dilla putus asa, bahkan bermaksud untuk menutup tokonya.
Frista kecewa, ia mengajak Dilla ketemu.
Untuk membuat Dilla bangkit lagi sepertinya sulit tapi Frista harus
melakukannya.
“Dill… aku tidak pernah menganggap kamu
gagal, itu adalah sebuah pengalaman, pengalaman adalah pelajaran yang sangat
berharga, dan tidak bisa di beli dengan apapun.. tidak terkecuali di bangku
sekolah, Kamu tahu itu, kan?”
“Kamu itu bicara apa sih?”
“Tambahkan karyawan mu.. beli produk lagi
dan sewa toko di sebelahnya.. dengan jenis produk yang berbeda.”
“Jangan bercanda, sudah aku bilang mau
menutup toko malah ngomong yang aneh-aneh.”
“Aku tidak pernah bercanda kalau dalam
urusan bisnis Dill, aku tahu kamu nyaris bangkrut tapi kamu harus tetap
berjalan, jika gagal sekali terus bubar maka bisnis apa pun yang kamu jalani
maka kendalanya akan terus begitu dan berulang-ulang. Bisnis itu selalu ada
untung ruginya, untuk itulah kita tidak boleh menyerah.” Tutur Frista dengan
harapan Dilla bisa memahami dan tidak putus asa. Dilla Menghela napas berat, jika saja
bukan Frista yang bicara maka tidak akan mungkin masuk ke dalam otaknya. Dia
tidak akan berjalan di tempat yang sama… dan melakukan kesalahan yang sama. ”Kamu
berani memulai lagi kan,
dengan modal yang lebih besar?”
“Maksud kamu dengan meminjamkan modal di
Bank?”
“Aku akan bergabung..”
“Frist… kalau gagal…??”
“Gunakan pengalaman kamu itu dan satu
lagi… adakan discount 5% sampai 10% untuk produk-produk tertentu.”
“Kamu yakin..???”
“Kamu yang harus yakin…”
Sebuah kegagalan bukan hal yang harus di
hindari tapi harus di pelajari penyebabnya. Itu yang dapat Dilla petik dari
obrolannya dengan Frista dan yang sudah ia pelajari di lapangan selama ini. Dia
menyewa ruko di sebelahnya dengan menyediakan produk selain elektronik, yaitu
perabotan yang berkelas internasinaol. Jika seseorang punya kesibukan maka
waktu pun tersara berjalan dengan sangat cepat. Jam kerja yang delapan jam
seolah kurang buat Dilla.
Tidak henti-hentinya ia merasa bersyukur
kepada Frista, sebab wanita itu telah menjadikannya seperti seorang yang pernah
mencicipi bangku sekolah tinggi. Dia berhasil menjadi diri sendiri dan dia
harus bangga dengan hal itu.
Untuk merayakan keberhasilan itu, Dilla
mengajak Frista dan Gandys makan siang di kedai kopi. Siang itu ia merasa
paling bahagia. Itulah perayaan pertama yang paling bermakna di dalam hidupnya,
yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Frista ikut bahagia dengan
keberhasilan Dilla tersebut. Jujur, semula ia ragu dengan kemampuan Dilla namun
tekad Dilla yang kuat menepis keraguannya itu. Itu salah satu modal yang harus
di miliki orang untuk berbisnis.
“Dill, apa sekarang kamu sudah punya
satpam di rumah? Soalnya rumah kamu itu tidak punya teralis apalagi pagar, beda
sekali dengan Frista. Biar ia cuma tinggal dengan seorang pembantu, namun ia
punya pagar dengan pintu gerbang yang di kendalikan remote control…” canda
Gandys agak serius. Membuat Dilla berhasil tersenyum. Gandys melanjutkan lagi
tanpa menunggu respon dari Dilla. Namun kini ia sedang membicarakan dirinya
sendiri. ”Teman… aku akhir-akhir ini agak bingung karena dalam sebulan ini aku
selalu menerima kiriman barang dari orang misterius, berupa boneka, perhiasan,
buku agenda, CD dan beberapa mainan lucu, terakhir syal.” Jelas Gandys. Frista
dan Dilla tersenyum dan akhirnya Dilla berkata.
“Setiap pria punya cara sendiri untuk
mendekati wanita, sampai si wanita akan menyukai cara tersebut. Bukankah begitu
Frist?”
“Seperti yang di lakukan oleh Hangga
dengan menunggu kamu di kafe setiap malam dan itu berlangsung nyaris dua bulan.
Apa dia tidak pernah mengatakannya pada mu?” kata Frista.
“Tapi aku tidak menyukai cara seperti
itu.” Dilla tertawa. ”Sekarang aku mau
tanya sama kamu.. apa kamu juga menyukai cara pria Jepang itu yang setiap
ketemu selalu saja mengatakan kata-kata lamaran dan setiap kencan selalu
mengajak kamu menikah?”
“Ya ampun, itu beda Non… beda banget.
Karena aku tidak mencintainya.”
“Nah sekarang aku mau bilang… Menikahlah
dengan kekasih yang kamu cintai.” Ujar Dilla.
“Kedengarannya menarik, tapi sekarang
pria itu sudah menghilang. Jangankan menyapa lewat telepon, kabarnya saja sudah
nggak jelas. Setelah kehilangan dia aku baru menyadari kebodohanku. sebelumnya
aku tidak pernah menganggap perhatiannya itu berarti, ternyata aku salah.”
“Cari dia!” tegas Gandys. ”Ke ujung dunia
pun kita bantu.” Saking semangatnya ia lupa dengan problemnya sendiri.
“Untuk mencari Dias, itu bukan perkara
sulit, karena dia anak dari teman orang tuaku.”
“Dias…!?? Maksud kamu anak tunggalnya Pak
Rahmat? Kalau Dias yang itu sih aku tahu tempatnya… dalam setahun ini.” Kata
Gandys. Frista menatapnya heran. ”Hei.. bukannya aku pernah bilang, bahwa aku
pernah berkencan dengan separuh pria di kota
ini..? tapi Dias tipe orang punya satu cinta, aku bukan tipa yang ia cari.. dan
aku tidak pernah berkencan dengannya. Sekarang Dias ada di Australia.
Sepertinya dia punya usaha dengan teman kuliahnya dulu yang ada di sana.”
“Sepertinya semua terlihat mudah, dan
kayaknya pria misterius itu gampang di temukan. Siapa pria yang kamu kenal dan
belum kamu kencani? Karena pria itu tidak tahu barang yang kamu gemari,
buktinya ia memberikan barang apa saja tanpa tahu apa yang kamu sukai.
Sebenarnya aku sendiri sih belum tahu juga barang yang kamu idolakan.” Ujar
Dilla dan Gandys meneruskan penuturan Dilla.
“Aku juga sebenarnya tidak begitu
menyukai barang-barang khusus, asal lucu dan unik.”
“Itu sih sudah ketahuan dari sikap kamu.”
Gurau Frista.
“Hei, aku kan sudah bilang kalau pria-pria itu
membosankan…” ia meneguk minumannya.
“Tapi bagaimana dengan si Mister
misterius itu?” kata Dilla lagi.
“Semoga setelah bertemu dengan si Mr.
misterius itu kamu tidak lagi memburu yang unik-unik atau yang lucu.” Tambah
Frista. ”Mudah-mudahan dia menjadi koleksi terakhir yang akan kamu simpan
seumur hidup, tanpa pernah bosan untuk selalu memandangnya.”
“Jadi, kamu juga mau bilang… MENIKAHLAH
DENGAN PRIA YANG KAMU CINTAI, begitu? Oke baiklah, kalau aku ketemu dengan pria
seperti itu, maka aku tidak akan kencan dengannya melainkan langsung
menikahinya.” Dilla dan Frista tertawa dan Gandys memandangnya bergantian.
Menurut mereka Gandys lebih lucu kalau bicara serius. Gandys akhirnya ikut
tertawa.
Tepat pukul sembilan malam, Hangga berada
di tempat yang biasa di kunjungi oleh Dilla, bukan untuk menunggu Dilla
melainkan sekedar minum dan karaoke karena Dilla sudah hampir tidak pernah lagi
mendatangi tempat tersebut. Tak bisa ia pungkiri kalau kedatangannya sebenarnya
untuk menghadirkan wajah Dilla. Wanita yang memiliki hati besar, berkepribadian
dan membuatnya tambah penasaran saja. dan tanpa ia sadari minumannya sudah
habis satu botol, alunan suara Rick Price-Haven Knows lewat begitu saja. Hangga
meninggalkan tempat itu sebelum benar-benar mabuk. Ia menuju rumah Frista.
Melihat keadaan Hangga membuat Frista
sangat terkejut dan sekaligus marah, karena bagaimana pun ia tidak mengenali
Hangga sebagai peminum. Ia menatap Hangga yang duduk setengah tidak sadar di
ruang tamunya.
“Kenapa kamu jadi konyol seperti ini sih,
Ga?”
“Fris.. kamu tahu…?” ia bersandar di sofa
itu dengan seenaknya matanya tidak begitu fokus sama
Frista.
”Dia menolak aku sebelum aku mengatakannya. Dia sangat angkuh, dia pikir dia
siapa? Seorang bintang? Putri Raja? Atau….. siapa dia, katakan Fris… katakan
padaku..”
“Kamu ini memang payah.. kamu itu
sebenarnya sudah menjatuhkan citra kaum pria di kota ini, begitu saja menyerah. Kalau saja
kamu bisa melihat dengan baik maka kamu akan tahu kalau di matanya, ia
menyimpan sesuatu yang sangat ia dambakan dari kamu.. simak dengan hati kamu
jangan pakai otak kamu..” kata Frista tapi Hangga malah cengengesan karena
kata-kata Frista tidak bisa di cerna oleh otaknya. Frita melirik jam di sudut
meja kecilnya. Sudah hampir pukul dua pagi.
“Aku mau tidur.. sebaiknya tidak usah
pulang, bisa ke kamar tamu sendiri nggak?” akhirnya Frista menggeleng sendiri.
Karena Hangga sudah mau rebah di sofanya. Ia ke kamar pembantunya untuk minta
bantuan bibi membawa Hangga ke kamar tamu. Tadi wanita itu sudah masuk setelah
membukakan pintu untuk Hangga.
“Sebenarnya ada apa dengan Den Hangga sih
Non?”
“Bibi bantu saya membawanya ke kamar
tamu, dia lagi patah hati kayaknya.” Mereka membantu Hangga ke kamar, setelah
di kamar dan Hangga sudah rebah di bed.. dan detik berikutnya ia sudah tertidur
dalam maboknya. Frista menatapnya sejenak, setelah itu ia mengajak bibi keluar.
”Tutup pintunya bi. Besok pagi tolong buatkan sarapan untuk Hangga juga ya bi…”
jelas Frista lalu ia pamit tidur setelah meminta pembantunya kembali juga ke
kamarnya untuk istirahat. Kejadian yang menimpa Hangga membuat Frista tidak
habis pikir, kenapa cinta begitu susah di dapat? Ada yang mendapatkannya tapi di buang
jauh-jauh bahkan tidak mau mengenalinya lagi. Apakah cinta itu aneh? Atau
manusianya yang aneh?! Kenapa cinta sering membuat orang kehilangan akal sehat,
sehingga demi cinta orang bisa melakukan apa saja sampai menyakiti diri
sendiri.. bahkan sampai mengorbankan orang-orang yang mencintai mereka. Hmmm… cinta-cinta….!
Pagi-pagi sekali Frista sudah
menyelesaikan mandinya. Ia menemui pembantunya meminta wanita itu membawakan
sarapan ke ruangan samping di dekat halaman sebelah kolam renang sementara itu
ia ke kamar tamu untuk menemui Hangga. Ternyata pria itu sudah bangun, ia
menatap Frista.
“Aku tidak perlu bertanya, kan, kenapa
aku tertidur di kamar tamu rumah mu?” Hangga berdiri. Frista mengangguk. ”terima
kasih ya, Fris.”
“Kita sarapan yok…”
“Tapi maaf nih, sudah mandi tapi belum
ganti baju.” Hangga menciumi bajunya sendiri.
“Tidak masalah, aku juga tidak punya baju
pria..” mereka berjalan ke ruangan samping, itu tempat favorit Frista menikmati
makanan.
“Pagi ini sepertinya segar sekali.”
“Semoga sarapannya juga bisa menyegarkan
otak kamu, duduklah. Kita akan ngobrol dengan pikiran yang jernih karena kita
adalah orang yang masih punya akal sehat, nikmati kopi hangatmu.” Kata Frista.
Hangga menarik kursi, duduk di hadapan Frista dan menghirup kopinya lalu
menatap Frista.
“Kamu nggak kerja? Biasanya sabtu minggu
juga kamu ke kantor, atau mengurus bisnismu.”
“Terkadang urusan teman lebih penting
dari urusan bisnis.. kejadian yang menimpa kamu semalam membuat aku mulai
berpikir, ternyata di kota
ini masih ada seorang pria yang mencitai wanita melebihi dirinya sendiri.”
“Apakah itu akan merubah opini kamu
mengenai seorang pria yang tidak pernah serius mencintai seorang wanita?” tanya
Hangga serius. ”Dimata kamu itu seorang pria hanya bisa membeli seorang wanita,
sehingga membuat kamu bekerja keras untuk mencari uang seolah ingin melebihi
pria mana pun di negeri ini. Dengan begitu tidak satu pun seorang pria yang
bisa membelimu, karena kamu bisa membeli mereka, bukan di beli.” Ujar Hangga
panjang lebar. Frista tersenyum.
“Ada
yang ingin aku sampaikan sama kamu.” Kata Frista santai. ”Ini mengenai Dilla.
Mudah-mudahan setelah mendengar ini kamu pun bisa berpikir bahwa wanita dan
cinta bukan saja bisa di beli, tapi wanita juga cinta harus di hargai, semoga
kamu bisa memahaminya.” Jelas Frista. Kembali Hangga menghirup kopinya. Ucapan
Frista santai namun tegas seolah berkata pada rekan bisnisnya. ”Dulu kamu pernah
menanyakan tentang Dilla sama aku, dan sepertinya inilah saat yang paling tepat
untuk kamu ketahui, Ga.
Dilla itu memiliki lembaran hitam dalam perjalanan hidupnya. Aku juga gak tahu
pasti, apakah itu ciptaannya sendiri atau keadaan yang membuatnya tidak punya
pilihan.”
“Setelah mengetahui lembaran hitam itu,
maka kamu berpikir bahwa aku akan berhenti mencintainya? Aku tahu dia sudah
menikah tapi suaminya sudah meninggal, kan?”
“Bukan itu saja, Dilla menikah selama dua
tahun dengan Steve dengan sebutan Kawin kontrak.”
“Apa..??!”
Frista minum kopi terakhirnya. ”Kaget?.....
kamu tahu Ga, 99% orang akan berpendapat bahwa wanita seperti itu tidak ubahnya
sebagai wanita simpanan atau penghibur.” Frista masih tenang.
“Waw…” Hangga menghela napas panjang.
“Pulanglah, habis dari sini kamu mungkin
bisa mandi lagi, ganti baju dan berpikir lebih jernih… bagaimanapun juga, Dilla
itu temanku dan kamu adalah sahabat lamaku..”
“Oke..” akhirnya Hangga beranjak juga
dari kursi. ”Sebelumnya aku mau bilang satu hal sama kamu Fris, cinta sejati
itu tidak kenal dengan masa lalu. Itulah kenapa cinta itu di sebut buta.”
“Hemm… kamu ternyata bukan saja seorang
teman yang hebat tapi juga pecinta yang luar biasa.” Frista meledeknya. ”Sudah sana pulang karena aku
juga harus pergi, bukannya mau menemui Dilla lho, karena pria sejati itu akan
memperjuangkan sendiri cintanya.”
“Pasti.” Tegas Hangga membenarkan.
Hangga meninggalkan rumah Frista, Frista
mengantarnya sampai pintu depan. Setelah itu ia kembali ke dalam dan duduk lagi
di tempatnya semula. Ia memandang ketenangan kolam itu, kedua adiknya sering
bermain di sana.
Tak biasanya hari begini ia berada di rumah. Ia jadi ingat kalau nanti malam
ada rekan bisnisnya mengadakan acara resepsi pernikahan di hotel berbintang lima. Ia menghubungi
Dilla.
“Hai…” sapa Dilla. ”Apa kamu baru
bangun..?”
“Anggap saja begitu…., oh, ya Dill, hari
bisa nggak pulang sebelum magrib?”
“Sepertinya ada hal penting.. tentu saja
bisa…, memangnya ada apa?”
“Kamu sendiri tahu kan, aku tidak akan bicara kalau tidak
penting..”
“Ada
apa, aku jadi tidak sabar..”
“Nanti malam aku ingin mengajak kamu ke
acara resepsi pernikahan seorang rekan, aku ingin jawaban kamu, ya atau tidak, ini
penting.”
“Duh, maksa amat. Kamu kan punya si Jepang itu atau teman masa
kecil mu itu…”
“Hei… heiii… jangan mulai deh.”
“Oke oke, aku tahu, kamu tidak akan
melakukan sesuatu yang tidak kamu sukai.. jawabanku, ya, aku bahkan bisa tidak
kerja hari..” kata Dilla sambil tertawa. ”Oya… Frist, minggu depan toko ‘Dilla
FriSteve’ cabang ke tiga akan beroperasi, kamu senang?”
“Sangat senang. Good luck ya..”
“Ini semua berkat kamu dan Steve, terima
kasih ya.”
Hari ini Frista benar-benar memanjakan
dirinya, rileks ke salon. Ia creambath, facial, massage, sampai luluran.
Pikirannya menjadi fresh. Dulu ia pikir ke salon itu buang-buang waktu dan
sangat tidak penting. Tapi pendapatnya berubah. Memanjakan diri ke salon memang
terkadang ada pentingnya. Ia ingat Dias, ia rindu pria itu, Dias yang cool
membuatnya semakin rindu. Dia tidak yakin cowok setampan Dias tidak punya pacar
di negeri kangguru, itu mustahil. Frista harus melupakannnya, tapi bukan
berarti harus menerima pria Jepang itu.
Jelang pukul enam, Dilla telah sampai di
rumah Frista. Ia mengenakan gaun sederhana namun tetap terlihat begitu anggun.
Ia menemani Frista ganti baju. Sudah berkali-kali ia bolak-balik menukar
bajunya
“Bagaimana dengan yang ini? Kau suka?
Baru aku beli tadi… aku sebenarnya tidak pernah beli baju yang beginian.” Ia
memperlihatkan baju mahal itu.
“Apa kalau aku bilang ya, kamu akan
memakainya?”
“Tergantung, aku tidak akan pakai kalau
aku merasa tidak nyaman. Biar aku coba dulu.” Ia mengenakan busana itu sambil
menghadap cermin. ”Not bad, tapi sayang terlalu mencolok.” Ia menanggalkannya
lagi kemudian kembali mengambil yang lain dari dalam lemarinya. Dilla melihat
koleksi Frista yang tidak sedikit itu.
“Hei, koleksi sebanyak itu kenapa aku
tidak pernah melihat kamu memakainya?”
“Akan aku pakai di saat yang tepat dan
benar-benar perlu..” ia memilih yang pas.
“Tidak seharusnya di koleksi seperti itu,
kamu bisa membeli di saat kamu ingin memakainya..”
“Kamu lihat sekarang? Apa aku harus
memakai baju yang baru saja aku beli tadi?”
“Kamu ini aneh, memangnya waktu beli tadi
tidak di coba dulu apa…?”
“Mata ternyata bisa salah, tadi di butik
warnanya sangat menarik.”
Teht teeeth…..!
Frista dan Dilla berpandangan.
“Suara mobil siapa? Apa Gandys juga ke
sini?” tanya Dilla.
“Tidak mungkin, Gandys saat ini pasti
sedang bersama teman prianya.”
“Ke acara resepsi itu?” kata Dilla lagi
sambil menengok ke arah jendela. Ia menghampiri jendela untuk melihat ke bawah.
Dan suara klakson terdengar lagi kali ini agak pelan.
“Tentu saja dia ke sana, tidak ada pesta para pebisnis yang
terlewatkan oleh sekretaris handal seperti Gandys.”
“Frista.” Suara Dilla agak kaget.”Sepertinya
pangeran dari matahari terbit itu telah menantimu.”
“Whats!!” Frista berbalik dan mendekati
Dilla yang sedang mencondongkan kepalanya ke arah jendela.
”Aku sepertinya harus pulang.”
“Pulang? Oh no! pulang berari kamu tidak
mau kenal sama aku lagi.” Kata-kata mengancam namun setengah memohon
penrgertian dari Dilla. Dilla melirik ke sahabatnya.
“Frista please… jangan memberi pilihan
yang sulit.” Pinta Dilla. Frista tidak menghiraukan permohonan Dilla. Ia
menyelesaikan dandanannya dan memutuskan untuk mengenakan semi gaun, berwarana
biru gelap, yang ia beli sebulan yang lalu dan belum pernah di pakai. Kalau
saja Frista memiliki rambut gimbal maka ia persis seperti Julia Roberts. Mereka
turun untuk menemui si Jepang itu.
“Sorry ya kelamaannya.” Kata Frista di
depan pria sipit itu yang tersnyum ramah untuknya.
“Nggak apa-apa. Haloo Dilla…” sapanya.
Dilla tersenyum agak tidak enak hati. ”Berangkat sekarang?” tawarnya. Ia tahu
kalau Frista juga di undang ke acara itu.
“Ya, tapi kita akan naik mobilnya Dilla.”
Kata Frista. Pria itu menoleh ke Dilla. Dilla sedikit bingung. Padahal pria itu
masih bersandar di mobilnya.
“Dilla tidak keberatan, kan?” ia malah dengan senang hati. Naik
mobil siapa saja sepertinya tidak masalah buatnya asalkan bisa pergi bersama
Frista.
“Terserah kalian saja.” Dilla benar-benar
tidak bisa berbuat apa-apa. Frista mendekatkan wajahnya pada telinga Dilla.
“Kamu ingin aku melakukan apa saat ini?”
“Akan aku pikirkan.” Ia melirik Frista
dan tersenyum. Si Jepang mengunci mobilnya dan sudah siap membawa mobil Dilla.
Mereka masuk ke dalam mobil. Frista ingin
duduk di belakang namun keburu di larang oleh Dilla. Ia memaksa Frista duduk di
samping pria itu. Sikap Dilla membuat Frista keki. Di dalam mobil suasana
menjadi agak tegang. Obrolan yang keluar bisa di hitung dengan jari. Setelah
keluar dari dalam mobil, Frista baru bisa bernapas lega.
“Perjalanan dari rumah menuju hotel ini
rasanya seperti perjalanan Bandung-Jakarta.” celoteh Frista membuat Dilla
tersenyum.
“Aku juga merasakannya, jawabanku dari
pertanyaanmu sebelum kita naik mobil tadi adalah… lakukan sesuatu yang
seharusnya kamu lakukan dari kemaren.”
“Hei, mari masuk.” Pria itu mengajak ke
dua gadis itu masuk. Bertiga mereka masuk ke dalam hotel.
Bersalaman pada setiap orang yang ada di dalam
ruangan itu, cipika-cipiki pada orang yang sudah sering di temui. Mereka
berbaur pada pria-pria yang berjas dan wanita-wanita yang glamour. Hal itu sebenarnya sudah membosankan bagi
Frista. Dari tahun ke tahun tidak pernah berubah, selalu sama, bahkana para
wanita semakin berlomba memamerkan kecantikan dan perhiasan mereka. Meski
semuanya palsu. Tapi entah kenapa mereka senang sekali melakukannya.
Bah! Menyebalkan!
Mereka
menyusuri para undangan untuk menemui sepasang pengantin yang sedang kelelahan
namun harus tetap tersenyum. Ucapan selamat bahagia dan selamat menempuh hidup
baru semoga saja tidak sekedar ucapan belaka. Bagaimanapun pernikahan adalah sesuatu
yang bukan saja sakral namun punya tujuan mulia di dunia dan akherat. Setelah
memberi ucapan selamat mereka mengambil tempat duduk yang sudah di sediakan.
Dilla, Frista dan si Jepang itu masih
bersama. Dari tadi si Dilla menajamkan matanya untuk mencari Gandys di tempat
itu namun tidak ia temukan. Baik di setiap meja dan yang berdiri tak terlihat
batang hidungnya Gandys. Frita melirik Dilla.
“Dill… apa aku harus melakukannya
sekarang?” katanya agak pelan agar pria itu tidak mendengar.
“Apa?” kata Dilla yang masih berfokus mencari
sosok Gandys.
“Yang tadi.”
“O.” ia mengerti sekarang. Ia mengamati
pria jepang itu yang sedang menikmati makanannya. Ia pun tersenyum pada Dilla.
Dilla menoleh ke frista.
“Kalau bisa di lakukan sekarang kenapa
mesti di tunda. Oh, ya, kamu tidak bisa menahanku, aku sudah bisa pergi
sekarang, kan?”
“Apa harus?” Frista keberatan. Dilla
mengangguk pasti lalu ia pamit pada pria itu. Ia melangkah meninggalkan meja
lalu menyusuri orang-orang yang memilih asyik ngobrol sambil berdiri sembari
menikmati isi gelas masing-masing dan berbincang santai.
Niat ingin bertemu dengan Gandys eh malah
di samperin seorang pria.
Frista menatap si Jepang yang bernama
Mikko itu. Pria baik, subur loyal namun sayangnya ia bukan tipe Frista yang
memiliki sifat tegas. Sementara Nikko terlalu penurut. Sekarang Frista harus
mengatakan kenapa ia tidak mau menerima lamaran Mikko.
“Mik.. kenapa sih kamu tidak bisa
menerima keputusanku? selama ini secara tidak langsung aku sudah menjawab
pertanyaan kamu, kan?”
ucapnya hati-hati. Pria itu menatapnya dan berharap Frista merubah keputusannya
dan menerima dia.
“Aku berharap sekali padamu.”
“Tetapi aku tidak mau mengecewakanmu,
Mik, Aku minta maaf.”
“Tidak.” Kata Mikko tenang. ”Kamu tidak
perlu meminta maaf, mungkin kita tidak jodoh. Segala sesuatu toh tidak bisa di
paksakan. Seharusnya aku berterima kasih dengan kejujuran kamu dan kebaikanmu
selama ini.” Tutur Mikko. Frista tidak bisa bicara lagi. Ia tidak bisa membujuk
hatinya menyukai sesuatu yang hatinya tidak sukai. Akhirnya mereka berdua
tersenyum. Kejujuran terkadang menyakitkan, tapi tidak sedikit dari kejujuran
yang menguntungkan anak manusia.
Dilla menatap pria yang bernama Yudha
itu, selain menarik ia simpatik dan sangat sopan. Dilla coba merespon sapaan
Yudha… yang mengajaknya kenalan.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Mungkin, tapi yang pasti aku pernah
melihat kamu bersama Gandys.”
“Anda memata-matai saya?”
“Jangan panggil anda. Yudha saja, saya
tidak memata-matai kamu, tapi Gandys.” Katanya jujur. Dilla menautkan kedua
alisnya untuk berpikir keras, lalu….
“Eeiit…! Jangan-jangan kamulah si pria
misterius itu?” tebak Dilla agak memvonis. Pria itu tersenyum. ”Aku pasti
benar, kan?”
“Dia menceritakannya sama kamu?”
Dilla mengangguk. ”Kamu adalah pria yang
keren dan sepertinya berhasil dalam urusan pekerjaan, atau tepatnya….”
“A
aku bukan seorang pengusaha, tapi bawahan dari seorang bos yang handal.”
Potong Yudha dengan cepat. Meski agak terbata.
“Mengagumkan, tapi kenapa harus pakai
cara kuno begitu?”
“Menurut kamu itu cara yang kuno, tapi
sepertinya kamu belum mengenali teman kamu itu dengan baik.” Nadanya seperti
menyalahkan Gandys.
“Kamu salah, sekarang aku tanya sama
kamu. Apa motif kamu sebenarnya? Cinta atau sekedar mengganggunya?” Dilla agak
sewot.
“Jangan emosi dulu, aku kenal dengan
Gandys sudah bertahun-tahun dan bertemu dengannya nyaris setiap hari. Kami
se-kantor, separuh teman Gandys aku kenal, khususnya pria. Aku sebenarnya tidak
mau berpikiran negatif sama dia, mungkin itu hanya bentuk dari kecemburuanku
saja sama dia, tapi kamu jangan khawatir, sebab mulai hari ini aku tidak lagi
mengiriminya apa pun. Dia bisa tenang sekarang.” Kasi tahu Yudha. Dilla tertawa
sekilas ia melirik ke arah Frista dan Mikko. Frista melambaikan tangan ke
Dilla. Dilla mengangguk lalu kembali menatap Yudha.
“Kamu seahrusnya malu dengan tampang kamu
sendiri. Oke, saya sudah harus kembali, teman saya telah memanggil.” Ia
meninggalkan Yudha yang bengong memandang kepergiannya. Sementara Dilla masih
senyum-senyum sendiri mengingat masih ada seorang pria seperti Yudha. Keren
tapi tidak bisa mengatakan perasaannya pada wanita idamannya. Dan Gandys, bagaimana
ia tidak tahu kalau si Mr. misterius-nya itu adalah teman sekantornya sendiri
dan pengagumnya.
Sabtu siang Dilla datang ke rumah Frista.
Mengingat akhir-akhir ini usahanya mulai mengalami kemajuan yang sangat baik.
Maka ia pun ingin melakukan sesuatu yang berarti. Ia pun menyampaikan niatnya
itu kepada Frista. Mereka duduk di kursi taman.
“Frist, aku ingin berbuat sesuatu tapi
aku harap kamu jangan menganggapnya berlebihan. Karena aku merasa belum pantas
melakukannya.” Katanya serius. Frista menurunkan gelasnya dan menatap Dilla, ia
belum mengerti apa maksudnya.
“Jika ingin melakukan sesuatu kenapa ada
kata belum pantas? Kalau kamu masih berpikiran seperti itu, kapan kamu bisa
melakukannya?”
“Kamu benar, aku sudah menyisihkan sedikit
tabunganku dan aku merasa banyak hak orang lain di dalamnya. Aku ingin
menyumbangkan sedikit uangku untuk anak-anak yang kurang beruntung.” Tuturnya.
Frista menatapnya takjub. Sikap Dilla membuatnya tidak percaya.
“Benarkah?” mimik wajahnya tanpak
berbinar. Dilla mengangguk. ”Apa kamu mau bergabung dengan Yayasan Pertiwi yang
memiliki ratusan anak asuh?”
“Aku tidak perduli apa namanya, aku hanya
ingin berbagi.” Tegasnya. Frista menyambut baik niat tulus Dilla tersebut.
Yayasan Pertiwi sudah berdiri sejak lima tahun lalu, di mana
Frista menjadi penyumbang tetap setiap bulannya termasuk Gandys. Selama ini
mereka tidak memberitahukan pada Dilla karena untuk urusan menyumbang itu
adalah masalah keiklasan. Frista dan rekan-rekannya tidak menarik-narik orang
untuk bergabung namun jika ada yang berniat baik maka mereka akan menyambutnya
dengan baik pula. Dengan niat yang tulus bukan sekedar trend atau ikut-ikutan
saja. anggota mereka sudah dua puluh orang dan Frista menjadi saksi dari sejak
berdirinya Yayasan itu.
Pembantu Frista membawakan telepon
genggam untuk Frista. ”Non, ini ada yang menelepon.”
“Terima kasih, bi.” Frista meraih
ponselnya dari tangan bibi, wanita itu pamit ke belakang lagi dan Frista
memeriksa nama siapa yang muncul di LCD ponselnya. sebelum bicara ia melirik
Dilla yang menyunggingkan senyuman indah.
“Haloo…” sapa Frista. ”Di mana pun kamu
berada saat ini, aku harap kamu bisa datang ke rumahku sekarang.”
“Aku sudah ada di depan rumah kamu Nona.”
Suara itu terdengar sangat pelan di telinga Frista, bersamaan dengan itu bel
pintu depan berdering. Membuat wanita setengah baya yang ada di dalam rumah
Frista menuju pintu depan untuk melihat siapa yang datang. Frista pun menutup
pembicaraannya.
“Ada
kejutan kecil untuk kamu.” Ucapnya pada Dilla. Dilla tidak mengerti maksud
ucapan Frista itu, dan menit berikutnya.
“Hai…!” suara Hangga agak berteriak namun
sopan.. dan Hangga maupun Dilla sama-sama terkejut.
‘Inikah maksud dari kejutan kecil itu?’
terakhir ia bertemu dengan Hangga saat mereka di rumahnya dan mereka
bertengkar. Hangga mengatakan akan mencium bibirnya.
Pria itu sangat menawan dan seksi juga
maskulin, Dilla merasa aliran darahnya seakan terhenti dan nadinya berhenti
berdenyut. Mulutnya tertutup rapat namun matanya seperti memandang cahaya
bintang yang sangat terang, kala Hangga melebarkan senyumannya. Hati Dilla
berdebar hebat, jantungnya berdetak kencang dan tubuhnya seakan menghilang dari
raga.
Frista melihat perubahan pada diri
sahabatnya yang seakan mati di tempat itu. Namun tanpa ia sadari Dilla
buru-buru bangkit dari kursinya sebab tidak mau di tonton oleh Hangga dan
Frista.
“Frist…. Maaf ya, sepertinya aku harus
pulang, nggak apa-apa, kan?”
dan Frista seperti tidak mendengar kata-kata Dilla. Ia malah meminta Hangga
untuk duduk.
“Hangga, duduk dong… bengong aja.” Lalu
ia melirik ke Dilla. ”Dill, tunggu sebentar ya aku mau ke dalam untuk memanggil
bibi dulu.” Ia bangkit.
“Frista..” panggil Dilla namun Frista
sepertinya tidak peduli, membuat Dilla harus menghela napas panjang. Kalau dia
ikut menyusul Frista berarti ia bersikap seperti anak kecil. Hangga tersenyum
pada Dilla, itu membuatnya seperti orang bodoh di depan pria itu. Ia serba
salah, bingung lalu duduk lagi.
“Aku tadi mendengar kamu mau pulang,
boleh aku antar?”
“Kamu bilang apa? Frista yang tadi duduk
di depan aku saja tidak mendengar apa-apa. Duduklah, aku berubah pikiran.” Ujar
Dilla dengan keadaan yang belum tenang. Setelah bisa mengontrol dirinya kembali,
ia masih merasa tidak nyaman.
Hangga menarik kursi lagi. “Bagaimana kalau
hari ini kamu ikut bersamaku, karena aku ingin mempertemukan kamu pada kedua
orang tuaku, juga pada Pinky, adikku.” Kata Hangga penuh harapan. Dilla
tersenyum tipis.
“Tuan Hangga, sebaiknya sebelum bicara,
kenali dulu lawan bicara anda.”
“Saya mungkin belum begitu mengenali
kamu, tapi saya merasa sudah cukup terus mengikuti kamu dan saya tidak pernah
sembarangan bicara. Saya ini termasuk orang hati-hati.”
“Begitu ya?” Dilla merasa seperti di
keritik oleh orang yang belum ia kenal dan itu kategori orang yang sok tahu.
Pembantu Frista membawakan minuman untuk Hangga. Tapi di mana Frista? Dilla penasaran.
“Bi, Frista mana?”
“Sedang menerima telepon, Non. Em..
silahkan di minum, Den.” Katanya setelah itu ia kembali ke belakang. Hangga
masih menatap Dilla.
“Bagaimana Dill..?”
“Sebaiknya anda simpan saja ajakan itu
untuk wanita lain.” Dilla pun beranjak dari kursinya.
“Kamu mau ke mana? Biar aku saja yang
panggil Frista.” Hangga mendahului Dilla yang bermaksud untuk menemui Frista.
Frista yang masih menelepon di ruang tengah meletakkan teleponnya. Ia menatap
sahabat lamanya itu.
“Ga, kamu mau ke mana? Dilla mana?”
“Teman kamu itu sepertinya tidak mau
memaafkan aku, ada baiknya kalau saya saja yang pulang.” Frista beranjak dari
kursi teleponnya setelah menghakhiri pembicaran yang seharusnya belum selesai,
dan menghampiri Hangga yang terlihat putus asa dan itu membuatnya ikut kesal.
Saat ia bermaksud menarik tangan Hangga kembali ke taman, Dilla sudah muncul.
“Frist, aku pamit ya.”
“Tunggu sebentar!” Frista menatap Dilla
lalu ke Hangga kemudian ke Dilla lagi. ”Dill… apa sih yang ada di otak kamu
mengenai Hangga??!” nadanya agak tinggi.
“Maksud kamu apa Frist? Aku tidak pernah
berpikiran apa-apa.” Ia menjawab dengan tenang sekali namun Frista bisa melihat
kalau Dilla sedang berpura-pura.
“Kamu belum tahu siapa dia, dan
menganggap dia bersalah sama kamu. Apa kamu tahu kenapa
malam
itu dia sampai membawa kamu ke hotel? Seharusnya malam itu dia membawa kamu
pulang ke rumah kamu atau ke rumahnya. Tapi saat dia mencari alamat kamu di
dalam tas, kamu keburu muntah sampai mengenai semua baju kamu. Kesalahanya
pertama adalah tidak melihat atau mencari alamat kamu sebelum ia membawa kamu
pergi dan ke dua kesalahannya tidak membawa kamu ke rumahnya karena ia tidak
sanggup membuat seisi rumahnya panik lantaran membawa seorang wanita yang tidak
di kenal dalam keadaan mabuk. Dia memang bodoh! Kamu perhatikan saja wajahnya,
dua bulan lebih dan nyaris setiap malam dia menunggu dan hanya berani memandang
kamu di diskotik. Setiap malam dengan tidak peduli apa kamu mau datang atau
tidak. Apa kamu tidak pernah berpikir cinta seperti apa itu…??” tutur Frista
panjang lebar. Dilla menggigit bibirnya. Ia tidak begitu mempedulikan apa yang
keluar dari mulut Frista, yang menjadi perhatiannya adalah kemarahan yang amat
sangat telah keluar dari dalam diri Frista yang belum pernah ia lihat
sebelumnya. Itu yang membuat dada Dilla terasa sesak menahan air mata yang
hendak keluar yang mulai menghangat di pelupuk matanya. Dilla mengumpulkna
kekuatannya untuk mengatakan sedikit kata.
“Apapun yang sudah terjadi menimpa saya,
saya minta maaf. Saya tidak tahu apa yang kalian inginkan.… sekali lagi maafkan
saya.” Dilla berbalik dan berlalu keluar karena air matanya tidak terbendung
lagi. Kekecewaan Frista membuatnya sangat tersinggung dan sedih. Hangga
bermaksud mengejar namun di tahan oleh Frista.
“Biarkan dia pergi..!”
“Frista, aku harus memperjuangkan cintaku.”
“Bukan begitu cara memperjuangkan cinta,
saat ini dia tidak butuh kamu, pulanglah… dia akan baik-baik saja…percayalah..”
Akhirnya, tak berapa lama kemudian Hangga
pun pulang.
Sepeninggal Hangga, Frista menghela napas
dalam-dalam dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia tidak tahu apakah
ucapannya tadi pantas atau tidak. Dia bisa melihat kalau tadi Dilla benar-benar
terpukul dengan ucapannya itu. Ia meraih ponselnya. ia menelepon Gandys.
“Dys, sekarang kamu di mana?”
“Di kamar..”
“Rumah, apa hotel?”
“Mulai deh, ya… di kamar rumahlah..
memangnya kenapa?”
“Oke, sekarang kamu ke rumah Dilla dan
temui dia, cepat!”
“E e sebentar-sebentar, tunggu dulu.. memangnya
kenapa dengan Dilla? Apa ada yang pasang bom di rumahnya? Atau Dilla sedang
berusah bunuh diri?”
“Barusan aku, Hangga dan Dilla bertengkar
di rumahku. sekarang kamu jangan banyak tanya lagi, cepat kamu ke sana!”
“Apa pertengkaran kalian sehebat perang
Israel-Palestina? Dan kamu yakin kalau wanita itu benar-benar pulang ke
rumahnya?”
“Gandys..!!!!!” teriak Frista.
“Ya, ya… aku berangkat sekarang.” Gandys
melempar ponselnya ke atas bed. ’Ada-ada aja, mereka yang bertengkar aku yang
repot.’ Ia meraih konci mobil dan di pintu ia tabrakan dengan adiknya. ”Hei,
bisa kan ketok pintu dulu?”
“Baru juga mau di ketok, mba mau kemana?”
tanya adik perempuannya yang masih duduk kelas dua SMA.
“Jangan banyak tanya, ini emergency!” ia
buru-buru keluar dan mengambil mobilnya. Saat ia membuka pintu mobil sebuah
mobil lain berhenti di depan rumahnya. Dia kenal mobil itu. ’Mau apa dia ke sini?’
Yudha keluar dari dalam mobilnya dan menghampiri Gandys bersama senyum
cemerlangnya yang bisa membuat hati Gandys kerlap kerlip.
“Dys, aku mau bicara dengan kamu
sebentar, bisa?”
“Cepat katakan, aku sedang buru-buru.”
Ucapnya bertolak belakang dengan kata-kata lembut Yudha.
“Tapi tidak bisa buru-buru seperti ini,
Dys.”
“Kalau begitu, apa pun yang ingin kamu
katakan, katakan lain kali saja karena aku benar-benar harus segera pergi.” Ia
masuk ke dalam mobilnya.
“Dys… ini penting!”
“Tapi aku juga lagi ada urusan penting,
emergency, tauk!” katanya menekan kata ‘Tauk’
“Ya udah, nanti aku kesini lagi ya?”
“Ya!”
“Jam tujuh aku jemput kamu.”
“Iya…!”
“Janji?!”
“Iya ya ya….” Gandys menyalakan mesin
mobilnya lalu menginjak gas dengan kencang dan mobil itu pun berlalu bersama
raungannya. Beberapa detik saja ia sudah menghilang dari pandangan mata Yudha.
Gandys memperhatikan jalan dengan serius. ’Oh God, kenapa aku meninggalkan
Yudha di rumah? Tapi mau apa dia ke rumah? tumben-tumbenan. Mimpi apa dia dan
apa yang ingin ia katakana pada ku?’ tiba-tiba Gandys terpikir untuk memutar
balik lagi ke rumahnya. ’Tidak, urusan Dilla sepertinya harus didahului, ini
amanah. Yudha? Siapa dia? Dia itu bukan siapa-siapa, kalau Dilla itu teman dan
harus di utamakan.’ Gandys meneruskan perjalan ke rumah Dilla. Di samping
penasaran tentang keributan itu sekaligus takut akan terjadi apa-apa dengan
Dilla.
Tiba di depan rumah Dilla ia menyalakan
klakson lalu keluar dari dalam mobilnya dan menekan
bel
pintu rumah besar itu. Tak lama berselang mbok keluar.
“Dilla-nya ada mbok?”
“Ada, kenapa Non? Silahkan masuk.” Wanita
itu bingung melihat kecemasan Gandys. ”Non Dilla ada di kamarnya, naik aja,
kalau saya panggil nanti tetap saja ia meminta Non Gandys naik juga.”
“Terima kasih mbok.” Gandys berlari ke
atas. Kamar Dilla tidak di tutup, ia kaget melihat kemunculan Gandys yang
tiba-tiba tanpa meneleponnya dulu.
“Dys, datang kok diam-diam, sini masuk.”
Keramahan tanpa di buat-buat itu dan tidak ada bekas menangis atau derita yang
membuat Frista harus khawatir.
‘Sial!!’ Gandys tertawa ‘Kenpa Frista
meneleponku? dengan sejuta kecemasannya yang tidak beralasan sama sekali.
Sementara di sini tidak ada yang harus di khawatirkan’ Gandys menghampiri Dilla
yang bersandar di bednya yang sedang membaca sebuah majalah, ia meletakan
majalah tersebut.
“Dill, kamu nggak apa-apa, kan?”
“Seharusnya aku yang bertanya.” Ia
memperbaiki posisi duduknya. Gandys sudah duduk di sebelahnya. ”Ada apa dengan
kamu, datang-datang kok seperti orang bingung begitu?” tanya Dilla membuat
Gandys bertambah bingung karena Frista bilang mereka habis bertengkar dan
sepertinya di wajah Dilla sedikit pun tidak memperlihatkan kalau mereka habis
perang. Atau Dilla sedang menyembunyikannya? Gandys menyimak wajah Dilla yang
berusaha untuk menciptakan senyumnya meski tidak seperti biasa.
“Kenapa kamu senyum-senyum begitu? Apa
aku terlihat seperti orang yang aneh? Hei.. apa nggak bisa cerita sesuatu sama
aku seperti halnya kamu cerita sama Frista?”
“Cerita apa?”
“Kalau tidak tahu sudahlah.. tapi aku boleh
tahu kan bagaimana suasana hati kamu saat ini?”
“Eh Dys.. bagaimana si Mr. misteriusmu
itu, apa masih sering mengirimi kamu sesuatu?” Dilla mengalihkan arah
pembicaraan. Mungkin dia sedang tidak ingin bercerita untuk saat ini. Gandys
menghargai keputusannya.
“Ya gitu deh…, dalam minggu ini dia sudah
tidak mengirimi apa-apa lagi. Tadinya aku menganggap dia pria malang dan
kelakuannya itu kekanak-kanakan. Tapi setelah dia menghentikannya tiba-tiba
saja aku merasa telah kehilangan dia. Bukan berharap kirimannya tapi aku
kehilangan perhatiannya. Kamu tahu Dill? sepertinya ada yang hilang di sini.”
Ia memegang dada sebelah kirinya lalu tersenyum. ”Bodoh ya? Kenapa aku harus
merasa kehilangan sesuatu yang belum pernah aku miliki?” ujarnya dengan senyum
tipis.
“Kamu tidak punya alasan untuk berkata
seperti itu Dys, tentu saja kamu punya. Karena setiap
pemberiannya
selama ini adalah milik kamu, itu pertanda kalau kamu sudah memiliki hati orang
itu. Tapi permasalahannya sekarang.. bagaimana jika seandainya pria itu
memiliki fisik yang gemuk, jelek dan botak??”
“Dill…. Kamu jahat banget sih..!? masa
ngarepinnya yang begituan?” Gandys cemberut.
“Ya siapa tahu?” Dilla makin menggodanya.
Keduanya jadi tertawa.
Sudah menjelang sore, namun Frista belum
juga mendapatkan kabar dari Gandys. Dia gelisah dan mencoba menghubungi ponsel
Gandys. Namun tidak pernah di angkat.
Di kamar Gandys, ponselnya terus saja
berdering. Saat itu adik gadis yang lewat depan kamar kakaknya dan melihat
pintu terbuka dan suara ponsel masih terus menjerit. Ternyata dari atas tempat
tidur Gandys. Ia menyambarnya.
“Halloo…?”
“Gandys..”
“O, maaf.. ini adiknya..”
Frista kecewa. ”Gandys-nya mana?”
tanyanya pelan.
“Tadi siang dia pergi buru-buru sekali,
katanya sih ada emergency. Ada pesan, mbak?”
“Mm.. tidak, terima kasih ya.” Frista
memutuskan pembicaraan. Ia menarik napas panjang… lalu menatap ke pintu. ’Kenapa
Gandys meninggalkan ponselnya dan kenapa juga dia tidak berusha menghubungi aku?’
Pembantu Frista muncul untuk pamit keluar
sebentar.
“Non, bibi mau ke ruko depan sebentar,
apa ada yang Non butuhkan, biar sekalian bibi beli.”
“Bibi catat saja yang bibi butuhkan biar
besok saya minta Mirna yang membelikannya.” Ujar Frista. Mirna itu adalah
asistennya di kantor.
“Tapi bibi perlunya hari ini Non, nggak
apa-apa, bibi juga sudah biasa ke sana.” Pintanya. Akhirnya Frista mengangguk
dan bibi menghilang di balik pintu. Frista masih duduk di kursi dan matanya
masih menatap pintu. Ia tertunduk dan tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang.
Beberapa menit berselang terdengar suara ketukan di pintu. Frista menganggkat
wajahnya.
‘Gandys, pasti dia!’ Frista berlari ke
pintu dan membuka daun pintu namun yang terlihat bukanlah Gandys yang ia
harapkannya. Tapi membuatnya kaget setengah mati dan nyaris membuatnya tidak
bisa bernapas.
“Diaa….. aaass?” dengan susah payah ia
menyebutkan nama itu. Dias tersenyum. Senyum yang sudah begitu lama menghilang
namun bentuknya tidak pernah berubah, selalu mempesona.
“Hallo…?” suara itu lembut, lembut
sekali, selembut senyumnya yang penuh kedamaian. Penampilannya sederhana dengan
kaus ketat serta celana jins panjang. ”Apa kamu hanya membiarkan aku berdiri di
depan pintu ini?”
“Ya Tuhan..” Frista baru tersadar kalau
dia hanya bengong. ”Maaf.. silahkan masuk.” Entah kenapa dia seakan lupa sedang
berada di mana, yang membuatnya menjadi tiba-tiba seperti orang bodoh saja.
“Terima kasih.”
“Tunggu sebentar ya, mm.. mau minum apa.
Kamu duduklah dulu?”
“Nanti saja, tadi aku melihat bibi mu
keluar, aku tidak mau melihatmu repot-repot, duduklah di sini.” Ujar Dias
dengan lembut seperti dulu-dulu. Firsta duduk di depan tamunya. Dias berkata
lagi. ”Bagaimana kabarmu?”
“Bukankah seharusnya aku yang bertanya?
Bagaimana kabarmu sekarang?”
“Aku baik-baik saja. tapi maaf.. aku
pulang tidak membawakanmu apa-apa? Dan maaf lagi karena waktu pergi aku tidak
pamit sama kamu.. tapi sepertinya tidak masalah buat kamu. Waktu itu seorang
teman menelepon dan minta bantuan sedikit sama aku, tapi sekarang sudah selesai.
Tadinya sebelum pulang aku ingin membawakan sesuatu namun aku ingat bahwa kamu
tidak menyukai pemberian apapun dari seorang pria, kan?” ujar Dias datar seakan
membuat pembelaan diri. Fista tersenyum tipis tanpa bisa berkata apa-apa.
Kehadiran Dias kali ini membuatnya merasakan hal lain, ada hal yang aneh terasa
menjalar dalam hatinya. Hal yang tidak pernah ia rasakan selama ini. ”Jika
nanti malam kamu tidak kemana-mana, aku ingin mengajak kamu makan malam. Ada
sesuatu yang penting yang menyangkut hidupku yang akan aku beritahu sama kamu.”
‘Bodoh sekali dia! Kenapa harus menunggu
nanti malam? Jauh-jauh kesini hanya ingin menyampaikan kata ajakan makan
malam?’ Frista kecewa.
“Bagaimana?” ulang Dias lagi.
“Apa memang harus aku yang mengetahuinya?”
“Tentu saja, karena hanya kamu yang bisa
mengatakannya… apakah dia cocok untuk aku atau tidak? Kamu tidak keberatan,
kan?” tutur Dias. Frista merasakan ada perih yang menusuk relung hatinya. Ia
coba bersikap wajar namun mata Dias tidak bisa dibohongi. Akhirnya Frista
mengangguk pasti.
“Terima kasih ya. Aku jemput pukul
tujuh..”
“Tidak usah, biar aku datang sendiri.
Kamu bilang saja di mana tempatnya.” Kata Frista mencoba tegar. Dias melihat
ada kesedihan di wajah Frista, ia tidak tega namun Frista harus datang karena
tanpa keputusan Frista ia tidak akan bisa melangkah lebih jauh. Ia meragukan apakah
Frista akan datang atau tidak. ”Jangan khawatir, aku pasti datang kok.” Tegas
Frista sepertinya memahami keraguan Dias. Dias beranjak dari kursinya dan ia
terseyum lega, kini dia pamit. Frista ikut berdiri. ”Kamu belum memberitahukan
alamatnya?” Frista menagih alamat tempat pertemuanya nanti malam dengan Dias
dan bersama calon Dias, tentunya.
“Ya ampun, kenapa aku bisa lupa ya?” Dias
memukul keningnya sendiri. ”Meneer kafe. Jangan sampai lupa ya?” ia memegang
kepala Frista dengan lembut meski hanya kekilas. Itu membuat hati Frista
semakin berantakan tidak karuan. ”Terima kasih.” Ia pun melangkah menuju pintu.
Frista terus memandangnya hingga Dias melewati halaman rumah dan menghilang.
Frista tersenyum seakan mengejek dirinya
sendiri. Dia merasa sangat bodoh karena mengiyakan permintaan Dias. ‘Ya Tuhan,
kenapa aku merasa sebodoh ini…?’ Frista gelisah.
Jarum jam di tangan Frista menunjukkan
pukul setengah tujuh kurang sepuluh menit. Meneer kafe lumayan jauh dari
rumahnya. Itu tempat yang romantis dan malam ini dia harus melihat Dias makan
malam dengan kekasihnya. Sepertinya Dias akan memperkenalkan calonnya itu
dengan Frista.
‘Dia pikir aku ini siapa? Frista, ini
bukan salah Dias, kamu yang menolaknya dan tidak menyukai perjodohan itu, kan?
Jangan naïf. Kamu pikir setelah dia pergi setahun tanpa pamit dan pulang untuk
kamu?’ Frista menatap dirinya di cermin. Bayangan sosok Dias semakin
menggodanya.
Pergi atau tidak???!
‘Frista, jangan pernah melakukan sesuatu
yang tidak kamu sukai.’ Kata-kata Dilla terngiang di telinga Frista. ’Dilla, oh
my God, kenapa sudah malam begini Gandys belum memberikan kabar juga.’ Ia
meraih ponselnya yang ada di atas meja riasnya. Ia menghubungi Gandys. Detik
berikutnya.
“Hallooo..?”
“Hai Fris.. lagi di mana?”
“Hai, hai.. memangnya kamu lagi di mana
sekarang? Dari siang aku menunggu telepon dari kamu.”
“Maaf Fris… lagian aku pikir ngapain juga
telepon, orang Dillanya baik-baik aja kok. Kamunya aja yang berlebihan. Hei,
sekarang aku lagi bersama Yudha lho, kamu pasti kenal dengannya.” Gandys
terenyum pada Yudha.
“Ya tentu. Semoga saja si Tuan misterius itu
adalah dia, aku melihatnya ngobrol sama Dilla di acara serepsi malam itu. Tapi
kamu benar kan, kalau Dilla tidak kenapa-napa?”
“Percaya deeeh, sama aku..”
“Ya sudah, sekarang nikmati koleksi
terakhirmu, semoga sukses.” Frista menutup telepon. Ia melirik lagi
arlojinya.’Ya ampun, kalau begini aku bisa terlambat.’
Gandys menatap Yudha, pria itu seakan
menyimpan sesuatu yang tidak bisa Gandys tebak. Ia tidak tahu kenapa pria yang
ia temukan nyaris setiap hari itu mendadak ingin bertemu dengannya. Seakan ada
sesuatu yang penting di otaknya.
‘Apakah ada rahasia kantor yang mesti aku
ketahui? Jika tidak, mana mungkin ia ingin bertemu denganku. sebab di kantor
sebelah mata pun ia tidak pernah memandangku, dan yang lebih parah lagi, kalau
sudah bekerja semua teman kantor di anggapnya seperti mesin. Ia jarang menegur
orang.’
“Yud, apa ada sesuatu yang harus aku
ketahui malam ini?”
Yudha mengangguk. ”Tapi sebelumnya aku
harus minta maaf dulu sama kamu, aku sudah sangat keterlaluan, tadinya aku
tidak bermaksud membuat kamu penasaran atau pun marah, mungkin kamu menganggap
aku adalah orang yang tidak bertanggunggjawab, tapi apapun itu namanya namun
yang pasti aku punya niat tulus sama kamu dan tidak sedikitipun untuk
merendahkanmu, aku bahkan peduli sama kamu..” Gandys masih menatapnya karena
belum mengerti arah kata-kata Yudha. Tiba-tiba ia tertawa, ia melihat Yudha
menjadi lucu.
“Sebenarnya apa sih yang ingin kamu
sampaikan?”
“Cintaaa. Aku mencintai kamu.” Kata
Yudha. Gandys tertawa lagi, kali ini lebih keras, kemudian mendadak diam. Ia
menatap Yudha serius.
“Cinta??? Lalu apa hubungannya dengan
minta maaf?” tanya Gandys. Tatapan Yudha lebih fokus dari sebelumnya membuat
Gandys tambah penasaran.
“Semua kiriman tanpa nama itu…”
“Apa??” Gandys kaget. ”Jadi kamu
orangnya?” ekspresi wajah Gandys tidak karuan. Yudha mengangguk. Kini Gandys
tertawa untuk yang ketiga kalinya. ”Bodoh! hanya untuk mengatakan cinta kamu
sudah menyia-nyiakan waktu dan tenagamu dan tega membuat aku kebingungan?”
Gandys menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Kalian laki-laki memang aneh. Asal kamu
tahu ya Yud, aku sangat tersinggung dengan perbuatan kamu itu…”
“Gandys, aku sudah bilang tidak pernah
bermaksud….”
“Ya ya aku tahu, tapi aku bukan cewek
yang pantas mendapatkan semua itu… kau sendiri kan tahu siapa aku.”
“Aku tidak ingin membahasnya karena pasti
kamu punya alasan sendiri, sebab setiap manusia punya alasan hidup
masing-masing dan hidup ini untuk hari ini dan ke depan..”
“Apa kamu pikir setiap orang tidak akan
ingat dan menyinggung masa lalunya?”
“Masa lalu adalah tetap masa lalu yang
tidak akan bisa di rubah dengan apapun dan tidak untuk di ingat-ingat, tetapi
tidak ada manusia yang ingin mengulangi kesalahan. Aku bersungguh-sungguh Dys,
dan aku merasa telah mengenali kamu melebihi pria mana pun.” Tutur Yudha.
Gandys tidak tertawa lagi ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Ia
menghela napas pelan, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya selama ini
telah di bahas oleh Yudha.
Frista buru-buru masuk ke Meneer kafe,
karena dia telah terlambat lima belas menit. Belum pernah ia terlambat separah
itu. Dias pasti menunggunya dengan sangat kesal.
‘Kesal!!? Bagaimana mungkin dia bisa kesal?
Bukannya saat ini dia sedang memandang kekasihnya dengan begitu mesra? Saling
menggenggam tangan, tersenyum manis… ya Tuhan.. kenapa aku harus berada di
sini? Untuk menyaksikan adegan mereka? Bodoh!’
Seorang pelayan menghampiri Frista.
“Maaf… apa anda yang bernama Nona
Frista?”
“Benar..”
“Nona sudah di tunggu di meja nomor dua
delapan.”
“O, terima kasih ya.” Kata Frista pada
pria yang usianya sekitar dua puluhan itu. Otak Frista tidak bisa membayangkan
lagi bagaimana gambaran mesranya pasangan Dias dan kekasihnya. Ia melemparkan
pandangannya ke segala penjuru mencari meja nomor 28 itu.
‘Nah itu dia! Tapi kenapa kosong? Dimana
mereka? Jangan-jangan pelayan itu salah menyebut nomor atau barangkali telingaku
yang sudah rusak.. di sebabkan kebingunganku. Diasss… kamu memang keterlaluan,
kemaren kamu bilang mencintaiku, terus pergi tanpa pamit. Setelah itu kembali
mengajak aku ke sini untuk sekedar
melihat calon kamu. Kenapa kamu lakukan semua ini sama aku? Apakah waktu dalam
setahun bisa merubah perasaan orang dengan begitu cepatnya? Apa tidak pernah
terpikir sedikitpun oleh kamu apa yang pernah kamu perlakukan sama aku selama
ini? Kamu pernah sangat memujaku.’ semua kata-kata yang pernah di ucapkan Dias
masih terngiang dengan begitu jelasnya di telinganya, seperti.
‘Aku mencintai kamu, bukan karena
perjodohan tapi karena aku mengenali kamu sejak lama.. Frista, ini cinta
sejati.. cinta yang setiap saat memenuhi di hati, datang dari perasaan yang
paling dalam, yang ada di dalam tubuh mengalir di setiap tetes darah, tumbuh
bersama dengan denyut nadiku.. hadir di dalam setiap napasku, itu akan terus
aku nanti hingga cinta akan tumbuh pula di hati kamu, mekar dan mewangi sampai
bibir indahmu berbisik, bahwa cinta itu ada dan wangi, bukan untuk orang lain,
bukan juga untuk kamu, tetapi untuk aku. Huhh…!! Omong kosong… besar!’
“Hei..!” suara itu. Nyaris saja Frista
pingsan di kursinya. Ngelamun sih! Hingga tidak sadar kalau Dias sudah berdiri
di sebelahnya bersama seorang wanita, bule, cantik dan sangat simpatik.
‘Ya Tuhan, bule dari mana ini? Cantik
sekali dia.’
“Frista, kenalkan.. ini Alex, Alexandra.”
Ujar Dias.
Frista berdiri. ”Hallo…?” dia harus
tenang.
Alexandra tersenyum. ”Apa kabar..?”
“Baik, senang bertemu dengan anda.” Frista
berbasa-basi, fuiiih!
“Sama-sama.” Balasnya dengan aksen Cinta
Laura banget.
“Oke, silahkan duduk.” Dias memegang
kedua bahu gadis tersebut dan ia sendiri duduk di depan Frista dan Alex di
sebelah kirinya. ”Sebelumnya maaf.. karena kami terlambat,” Ia melirik Alex. ”Lexi..
Frista itu sebenarnya paling pantang memaafkan orang yang datang terlambat
lho.” Dias pun melirik Alex membuat Frista gerah di dalam ruangan ber-AC itu
namun ia coba untuk tersenyum.
‘Lexi..? jadi itu panggilan sayangnya
untuk dia.’
“Nggak apa-apa kok, tadi saya juga
terlambat, saya baru aja datang.. sungguh.”
“O, ya?” senyum Dias mengembang. Karena
sejak Frista melangkahkan kakinya ke ruangan itu tadi mereka sudah melihatnya,
mereka duduk di belakang piano yang dekat panggung.
“Dias banyak cerita tentang kamu, katanya
kamu itu adalah seorang teman yang sangat luar biasa.” Alex sangat fasih
berbahasa Indonesia meski masih terdengar lucu. Wajahnya berbinar.
‘Teman? Sejak kapan Dias menjadi temanku?
entah rayuan apa saja yang di lontarkannya pada Alex sehingga membuat gadis
baik-baik seperti Alexa percaya.’ Frista tersenyum.
“Dia memang begitu pintar memuji.” Frista
melirik Dias sekilas dan pria itu tersenyum padanya kemudian memegang tangan
Alex serta menatap wajahnya.
“Boleh aku minta tolong sebentar?”
“Tentu.” Jawab Alex cepat, lalu Dias
mengatakan sesuatu pada Alex, Frista tidak mendengarnya karena Dias berbisik di
telinga wanita itu. Frista mengalihkan pandangannya pada arah lain. Pada
seorang pria yang sedang memainkan piano di atas panggung. Namun hatinya
ngedumel.
‘Keterlaluan sekali dia, berbisik-bisik
di depanku dengan mesranya.. benar-benar tidak sopan. Dia pikir aku berminat
mendengar omongannya, apa. Sial!’
Alexandra berdiri. ”Frista, aku permisi
sebentar ya.” Ucapnya. Frista mengangguk. Alex melangkah. Dias mengukir senyum
untuk Frista lalu pindah ke samping Frista. Ia duduk tepat di sebelah gadis
itu. Ia melirik gadis menggemaskan itu.
“Tadinya aku pikir kamu tidak akan
datang, aku sangat cemas, terima kasih banyak ya karena sudah mau datang. Aku
hampir saja menganggap kamu berubah, ternyata kamu masih Frista yang dulu aku
kenal, bagaimana pendapat kamu tentang Alexandra?”
“Seharusnya aku tidak kesini malam ini,
aku yakin sebenarnya kamu tidak butuh pendapatku, kan? Tidak ada yang perlu
kamu tanyakan sama aku, karena sikap kamu menunjukan kalau dia di mata kamu
adalah seorang wanita yang sempurna.” Kata Frista apa adanya. Dias memegang
tangan Frista. Tangan itu terasa sangat dingin memaksa Dias menggenggamnya erat
sekali. Frista terhenyak hatinya terasa melemah, jatuh.. mungkin ke kolong meja
dan terhempas di lantai yang dingin lalu menghangat karena terinjak oleh cinta
Dias yang hangat. Frista tidak mau terlena ia menarik tangannya namun Dias
tidak mau melepaskannya malah menggenggamnya makin erat. Kini Frista merasakan
hatinya melayang terbawa suasana lalu tercabik-cabik dan hilang. Ia menatap
Dias.
“Lepaskan… aku mohon..” jeritan halus
setengah memohon dengan paksa.
“Tidak akan, sebelum kamu mau berjanji untuk
menjawab YA atas permintaanku nanti.”
“Kamu ini apa-apaan..?”
“Berjanjilah.”
“Tidak akan.”
“Aku akan bertanya satu hal sama kamu dan
aku butuh jawaban YA bukan TIDAK.”
“Apa pertanyaannya?”
“Aku akan tanya nanti saat Lexi ada di
sini.”
“Kamu gila…”
“Berjanjilah…” Dias masih memohon..
“Bagaimana aku bisa menjawab YA kalau aku
tidak tahu pertanyaan kamu? Apa kamu mau mengajak aku masuk ke neraka?”
“Lebih parah dari itu.” Genggaman Dias
makin kuat.
“Dias, aku mohon lepaskan tanganmu jangan
sampai kau permalukan aku.”
“Biar.”
“Ya Tuhan…” Frista putus asa dan sangat
kesal. Ia masih berusaha menarik tangannya. ”Dias…!” ia menjerit dengan suara
sangat tertahan.
“Ayolah sayang… Lexi sudah semakin
dekat.” Ancam Dias membuat Frista tidak punya pilihan.
“Oke… aku akan mejawaba YA, puas!?” kata
Frista pasrah. Dias menatapnya seakan tidak percaya. Ia melepaskan genggamannya
secara perlahan. Frista menghela napas lega. Sikap Dias membuat jantungnya
nyaris lepas. Ia tidak bisa membayangkan kalau Alexa sempat melihat tangan Dias
sedang memegang tangannya. Bisa kacau. Gadis itu sudah muncul.
“Aku kelamaan ya..?” katanya seperti
meminta maaf.
“Ya lamaaaa sekali, aku jadi cemas.” Dias
menyambutnya dengan senyum manis membuat Frista ingin buru-buru pergi.
“Apa kalian tidak mau pesan makanan?”
Frista melihat belum ada makanan di meja itu, dari tadi masih kosong.
“Tidak.” Jawab Dias dengan cepat.
“Itu.. sudah datang…” ujar Alexa. Tiga
orang pelayan menghampiri meja mereka, yang paling tengah membawakan kue
berukuran besar dan dua lilin dengan angka 28 menyala di atasnya. Pelayan
meletakan kue besar itu di atas meja. Dua pelayan yang lainnya meletakan piring
dan pisau pemotong kue. Dan gelas kosong serta sebotol sampange yang masih
utuh.
‘Ternyata pacarnya ulang tahun.’ Bathin Frista.
Tapi Dias malah menarik kue tart itu mendekati muka Frista. Ketiga pelayan itu
mundur dan Frista bingung. Frista melirik Alexa, gadis itu tersenyum
lembut
membuat Frista tambah bingung. Ia menatap Dias. Dias menatapnya pula.
“Tadi kamu sudah berjanji sama aku, kan?”
“Dias bilang, kamu itu sering kali
melupakan hari bersejarah dalam hidup kamu..” tutur Alexa. Dias malah
mengeluarkan sebuah cincin.
“Frista, maukah kamu menikah denganku?”
kata Dias meminta. Frsita melihat sebuah cincin emas putih di dalam kotak kecil
yang terbuka.
“Itulah pertanyaan dari Dias, kamu pasti
sudah berjanji untuk menjawabnya, kan?” tambah Alexa.
“O…. pantas saja kalian terlambat begitu
lama. Ini semua sudah di rencanakan, bukan? Kalian telah membuat aku seperti badut
di sini..” Frista beranjak. Ia baru ingat kalau besok adalah hari ulang
tahunnya yang ke 28. Dias menahan tangan Frista agar gadis itu tidak jadi
pergi.
“Frista… sudah setahun aku merencanakan
ini, jangan kecewakan aku, aku mohon..” Dias memegang tangannya. Mata Frista
berkaca-kaca, ia lalu menatap Alexa, gadis itu hanya tersenyum ia memberi
dukungan pada kedua orang yang ada di depannya itu. Ia mengangguk seolah ingin
buru-buru Frista menjawab pertanyaan dari Dias. Kini Frista menatap Dias lagi,
tadinya ia pikir pria itu telah melupakannya. Rasanya ia ingin berbisik di
telinga Dias dan mengatakan kalau ia telah mencintai Dias, setelah Dias
menghilang selama ini.
“Apa yang mesti aku jawab lagi, kalian
sudah memaksa aku untuk berjanji. Kamu memang licik Dias.” Frista merasa kalau
matanya benar-benar sudah basah.
“Pakaikan cincinnya..” ujar Alexa pada
Dias. Dan Dias pun meraih tangan Frista, entah kenapa Frista merasa sangat
terharu. Di cincin itu terukir angka 28 dengan sangat halus dan indah.
“Tiup lilinnya sayang… sekarang.” Kata
Dias. Frista bertambah haru, ia menyeka air matanya yang hendak keluar lalu
meniup lilin yang sudah lama menyala. Setelah itu ia manatap Dias, Dias
meraihnya dan memeluknya serta berbisik.
“Selamat ulang tahun sayang… aku
mencintaimu..”
“Aku juga mencintaimu.” Balas Frista
tanpa di duga sama sekali oleh Dias. Pria itu seperti melayang mendengar
kata-kata Frista di telinganya. Dan dari atas panggung terdengar suara
seseorang menyanyikan lagu Jessica Simpson ‘I wanna love you forever’ yang di
iringi suara piano. Saat itulah Frsita melepaskan pelukannya untuk menatap
Alexa. Wanita itu mendekatinya dan Frista berdiri untuk memeluk Alexa,
memeluknya sangat erat.
“Happy birthday.”
“Terima kasih, Lexi…”
“Sama-sama.” Lalu kedua gadis itu
menatapnya Dias sedang terlihat sangat bahagia. Teman-teman Frista memang tidak
pernah berbohong kalau Dias tidak pernah melupakan Frista,
begitu
pun sebaliknya.
“Lexi… terima kasih ya, karena sudah
menjadi saksi cinta kami.” Dias memeluk adik dari teman dekatnya itu.
“Aku ikut senang…” kata Alexa. ”Hei..
kenapa kita tidak memotong kuenya?”
Dias menatap Frista. ”Fris.. tolong
sayang potong kue kamu, aku sudah kelaperan ini.” Pinta Dias. Frista pun
memotong kue dan menyuapi Dias dan Alexa. Dias menuangakan sampange ke dalam
gelas. Mereka menikmati momen ulang tahun Frista yang berkesan. Frista dan Dias
terlihat sangat bahagia. Kebahagian yang tercipta dari lubuk hati yang paling
dalam adalah kebahagiaan yang hakiki.
Malam terus berjalan, Alexa telah pulang
di jemput oleh kekasihnya yaitu salah satu teman bisnis Dias juga.
Di dalam mobil, sebelum menyalakan mobil,
Dias terus menatap Frista. Wanita itu tidak lagi marah atau salah tingkah.
“Bagaimana dengan mobil kamu?” tanya
Frista.
“Biarkan saja, nanti aku minta seseorang
mengantarkannya ke rumah. Aku minta maaf ya, karena tadi membuat kamu
menangis.”
“Kamu itu memang keterlaluan..” ucap
Frista. Dias meraih tubuh Frista.
“Tapi aku sudah minta maafkan, sayaaang…”
“Kamu pikir aku memaafkanmu….??”
“Tentu saja, akan aku buktikan.” Ia
langsung mencium bibir Frista. Frista merasakan ada getaran hebat di dalam
dirinya, sudah begitu lama ia tidak berciuman bahkan ia sendiri sudah lupa
bagaimana rasanya dan kapan terakhir melakukannya. Dias adalah pria pencium
yang hebat. Frista tidak akan memperlihatkan kelemahannya. Ia pun membalas
ciuman Dias dengan hangat dan bergairah serta menggetarkan, membuat Dias
terpana, lalu…. Ia menatap Frista. ”Aku benar, kan?”
“Ya, kali ini kauku maafkan.”
“Terima kasih, kamu sudah berjanji untuk menikah denganku,
jadi…kapan?? Besok? Minggu depan? Atau sepuluh hari lagi??”
“Mana bisa secepat itu, Tuan… aku butuh
waktu tiga bulan.”
“Aduh, itu terlalu lama sayang. Sebulan
ya…?” Dias memohon dengan serius.
“Oke, dua bulan…”
“Satu bulan.”
“Dua bulan.”
“Baiklah, aku akan menunggu. Selama ini
aku sudah terbiasa menunggu, bukankah begitu?” mereka berpandangan lalu
keduanya tersenyum.”Apa aku boleh mencium kamu lagi??”
“Kenapa sok berlagak sopan begitu..?”
kata Frista. Dan Dias pun benar-benar melakukannya. Beberapa menit
kemudian..”Lagu ‘I wanna love you forever’ tadi untuk kamu.”
“Terima kasih untuk kebahagiaan yang
telah kamu beri padaku malam ini..”
“Karena kamu memang pantas
mendapatkannya…” ia mengusap bibir Frista dengan kasih sayang.
“Hmm.. aku sepertinya sudah harus
pulang.”
“Ya..” Dias menyalakan mesin mobil dan
mengantar Frista pulang. Dua bulan ke depan mereka akan menikah. Sepasang
pengusaha muda akan menghakhiri masa lajangnya. Frista akan menikahi pria yang
mencintainya dan ia cintai. Sebuah awal yang baik untuk mengawali sebuah rumah
tangga. Karena selain komitmen di perlukan juga ketulusan untuk menjalani
komitmen itu sendiri.
Frista naik ke kamarnya…’Cepat sekali
waktu berputar.’ Desahnya. Ia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Kenangan indah itu masih terasa jelas sekali, romantis dan penuh kejutan.
Kriiiinnnggg!
‘Sudah malam begini siapa yang telepon?’
Frista meraih ponselnya.
“Haloo…?”
“Hai, aku tahu kalau kamu pasti belum
tidur, semoga aku nggak mengganggu kamu, aku hanya ingin bilang… selamat ulang
tahun ya…”
Frista tersenyum.”Terima kasih cantiiik.”
“Tapi aku yakin aku bukan yang pertama
mengucapkannya, kan? Pasti dia, pria cool idaman kamu itu.”
“Kamu? Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Tentu dong, biar aku tebak. Pasti dia
sudah melamar kamu, kan?”
“Gandys…!!!” Frista langsung berdiri.
“Maaf, aku kan hanya menelepon dia, tapi
dia terus mendesak aku. Aku kan tidak bisa berbohong Fris..”
“Oh ya? Kamu memang baik, pantesan aja
Dias begitu yakin kalau aku akan menerimanya. Kalian sepertinya sudah
merancangnya dengan begitu sempurna.”
“Fris, dengar dulu. Dias melakukan semua
itu bukan karena omoganku, tetapi karena dia memang sangat mencintai kamu,
sumpah!” Kata Gandys coba membela diri. Frista melempar ponselnya ke atas bed.
Kekesalannya seperti memuncak.
‘Laki-laki memang tidak bisa di kasi
hati, semua palsu!’ beberapa menit berikutnya ponselnya berdering lagi. Ia
mengangkatnya dalam emosi tinggi.
“Apa lagi yang mau kamu jelaskan!?”
“Aku cuma…, em.. selamat ulang tahun.”
“Dilla…!?” Frista kaget, ia menyangka
kalau telepon itu masih dari Gandys. Tapi suara Dilla sudah menghilang. ’Ya
Tuhan…’ Frista coba menelepon balik namun Dilla hanya mampu menatap ponselnya,
lama sekali, lalu ia menutup ponselnya dengan bantal dalam keadaan masih
menyala. ’Kenapa jadi begini?’ Frista benar-benar kacau. ‘Siapa yang harus di
salahkan? Gandys? Dias atau aku sendiri? Atau mungkin juga Tuhan memang
menghendaki jalannya sudah begini.’ Ia menarik napas dalam-dalam dan tidak bisa
memejamkan matanya.
Paginya saat ia menggosok gigi, terdengar
suara pembantunya dari belakang pintu.
“Non, ada tamu.”
“Siapa bi?” ia menyelesaikan pekerjaanya.
“Aden Dias.”
Frista membuka pintu karena belum yakin
dengan pendengarannya. ”Siapa?”
“Den Dias, Non.”
“O, tolong bibi buatkan sarapan.”
“Ya.” Wanita itu pun ke belakang dan
Frista menuruni tangga, dan ternyata di ruang tamu Dias sudah menunggu dan
menatapnya.
“Hai, apa aku mengganggu mu? Tadi ketika
aku bangun tiba-tiba aja kepikiran untuk sarapan sama kamu, tidak keberatan,
kan?”
“Oh ya? Itu sebuah pemikiran yang sehat
atau ada yang memberitahukanmu? Lupakan, ayo kita sarapan di samping.” Frista
membawa Dias ke samping rumahnya. Dias menurut saja dan mereka duduk di tempat
makan favorit Frista. Frista menatap pria yang memakai pakaian jogging itu. Tak
ada yang bicara sampai bibi membawakan makanan. Dua cangkir kopi dan roti bakar
yang masih hangat dan Frista mengucapkan terima kasih.
“Silahkan Dias, mumpung masih anget.”
Suasana terasa kaku dan Dias merasa ada yang tidak beres. Namun ia tersenyum
dan Frista melihat tidak ada sedikitpun terlihat rasa bersalah di senyum itu.
Dias menikmati kopinya di ikuti Frista. Wajah Dias begitu polos seolah tidak
pernah melakukan kesalahan. Dias melihat ke arah jemari Frista dan jari itu
polos tidak ada cincin di sana. Lalu ia menatap mata Frista. Frista mengamati
setiap gerak-geriknya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Apa kamu tidak menyukai cincin itu?”
“Apa dengan melepaskannya kamu berpikir
seperti itu?”
“Tentu saja aku berpikiran seperti itu.”
“Nggak kok, aku suka.”
“Kamu berbohong Fris…”
“Apa maksud kamu bicara seperti itu? Aku
nggak bohong.” Ia meletakkan gelas kopinya. Dias tertawa kecil. Ia mengamati
wajah Frista yang terlihat tidak seperti semalam.
“Kamu berbohong sayang… terlihat jelas di
wajah kamu itu. Kamu tidak bisa membohongi aku.”
“Ya, aku memang berbohong. Aku memang tidak
bisa menyembunyikan kebohongan di wajahku. karena aku tidak bisa berbohong
sebaik kamu, atau aku yang bodoh karena tidak bisa melihat sama sekali kebohongan di wajah kamu…?” ia mendekati
wajahnya ke muka Dias. Kalau saja ia tidak berpikir dua kali, maka meja itu
sudah ia gebrak atau setidaknya mendorong hingga terbalik.
“Frista…” nada suara Dias masih lembut.
Frista tersenyum sinis.
“Katakan…” ia sudah menjauhi wajahnya. ”Bahwa
yang semalam itu bukan ide kamu.” Ia berusaha menahan perih di hatinya. ”Acara
lamaran itu bukan inisiatif dari kamu sendiri, kan? Ya kan, Dias? Kamu tahu kan
kalau aku tidak pernah menerima sesuatu dari pria, tapi dengan alasan lamaran
kamu itu maka aku menerima cincin itu. Aku semalam sepertinya tidak menggunakan
otakku untuk berpikir tapi memakai perasaan, perasaan wanita yang bodoh dan
kamu telah menjebak perasaan itu.”
“Kamu memang benar.” Kata Dias. Frista
memalingkan wajahnya. Dias memegang dagunya agar Frista menoleh ke arahnya dan
menatap matanya.
“Sekali lagi aku katakana bahwa semua itu
adalah benar, tapi satu yang tidak benar. Bahwa cinta di hatiku ini bukanlah
inisiatif dari orang lain. Bukan ide orang lain dan bukan kebohongan, lihat
mataku, tidak dapatkah kamu melihat sedikitpun cinta di mataku untuk kamu? Buka
mata hati kamu Fris… aku ingin kamu melihat betapa besar cinta yang aku simpan
untuk kamu selama bertahun-tahun.. selama ini kamu tidak pernah ingin
merasakannya sedikit pun. Kamu tidak mau melihat dan tidak mau tahu, sekarang
katakan padaku, apa aku berbohong? Katakan juga apakah tidak ada cinta di sana?
Satu lagi.. apakah ciumanku semalam adalah bohong? Katakan kalau kamu tidak
merasakan adanya cinta di ciuman itu.. katakan Fris…” ujar Dias panjang lebar,
Frista berpaling lagi. Kepalanya terasa pening dan berdenyut, ia bangkit dan
menginginkan agar Dias segera pergi dari tempat itu. Tapi Dias ingin sekali
memeluk dia. ”Aku minta maaf…” lanjut Dias lagi. ”Aku memang orang yang kaku,
tidak seharusnya aku mengikuti ide gila itu.” Kata Dias, lalu ia berlalu
meninggalkan Frista yang berdiri dalam diam. Hatinya meminta agar memanggil
Dias namun egonya melarang keras. Kembali ia duduk di kursi dengan hempasan
napas panjang yang berat. Matanya memandang langit yang cerah.
‘Mencintai itu ternyata lebih melelahkan
dari apapun, kenapa ada pria seringkali berbohong sekali pun itu untuk
kebaikan, apa mereka pikir semua wanita itu senang di bohongi dengan gombal
yang memuakkan itu?’ Frista kembali ke kamarnya, saat itu bibi baru keluar dari
sana.
“Non, bibi menemukan ini…” ia menyerahkan cincin pada Frista. ”Waktu
bibi menyapu tadi..”
Ia mengambil cincin itu dari tangan bibi.
”Terima kasih bi.”
“Cincinnya bagus sekali.” Ucap bibi.
Frista hanya tersenyum kecut. Bibi melangkah pergi ke luar.
‘Cincin, apa yang harus aku lakukan sama
kamu? Apa harus aku melemparmu jauh-jauh agar bibi tidak lagi bisa menemukanmu?
Atau aku kembalikan pada pemilikmu?’
Sebelum siang Frista membawa mobilnya ke
toko Dilla. Dari semlam ia terus menghubungi wanita itu namun tidak pernah di
jawab.
‘Dilla pasti marah sekali sama aku,
kenapa aku bisa bicara sekasar itu padanya? Aku tidak berhak membuatnya sakit
hati, apakah dia mau memaafkan aku?’ Frista masih kacau. Mobil silver metalik
itu berhenti di halaman parkir toko Dilla. Ia turun dan masuk ke dalam toko
Dilla. Seorang pelayan yang sudah mengenali Frista memberi hormat.
“Selamat siang.” Sapanya.
“Siang.” Frista melempar senyum. ”Dilla-nya
ada?”
“Di ruang kantor, masuk saja… tadi ada
temannya yang datang.”
“Oya, terima kasih.” Frista melangkah
masuk ke ruangan sebelah kiri hanya sepuluh langkah dari ruang utama. Ruangan
kantor itu hanya berukuran dua kali dua tanpa pintu dan di batasi oleh beberapa
barang elektronik. Hanya ada tiga kursi dan empat dengan kursi yang ada di
belakang meja, kursi lipat yang bisa di gunakan di mana pun. Di atas meja kecil
itu ada komputer dan telepon. Ternyata Dilla sedang di kunjungi oleh Gandys dan
Yudha. Gandys yang duluan melihat Frista muncul dan langsung berteriak.
“Hai… surprise..” ia mengangkat tangannya
ke arah Frista. Dilla dan Yudha menoleh ke belakang. Frsita tersenyum dan
sepertinya mereka sedang menikmati kopi. Dilla berdiri menyapa Frista seperti
biasanya, tidak ada yang di buat-buat.
“Hai..” tapi suara itu nyaris nyangkut di
tenggorokannya. Frista hanya menyunggingkan seulas senyum lalu menoleh ke
Yudha.
‘Pria itu?’ Frista kenal dengan pria
kalem itu.
“Sorry Fris.. sepertinya kita berdua
sudah harus pergi nih. O.. ya… kenalin dulu, ini dia si TM, Tuan Misterius,
itu.”
“Oh ya? Jadi Yudha si misterius itu?”
kata Frista. Pria itu hanya tersenyum malu.
“Oke.” Kata Gandys setelah Frista dan
Yudha berjabat tangan. ”Sepertinya kita berdua harus pergi nih jadi tidak bisa
menemani kamu minum kopi Fris, lain kali aja ya? Ayo Yud..” Gandys membawa
Yudha keluar. Dilla dan Frista memandang mereka sejenak lalu keduanya saling
tatap, diam dan Frista menghela napas panjang.
“Aku…” mereka mengatakan ‘Aku’ bersamaan.
“Mereka jadian.” Ujar Dilla akhirnya,
mempertegas hubungan Gandys dan Yudha.
Sepuluh menit berikutnya… mereka berdua
sudah duduk di kursi yang ada di ujung taman. Udara siang yang begitu panas dan
matahari sangat terik. Mereka duduk di kursi panjang yang ada di bawah pohon
yang rindang. Saling menatap ke depan, lama saling diam.
“Aku minta maaf atas kejadian yang di
rumah kamu itu.” Dilla membuka pembicaraan. Frista masih tidak bersuara. Diam
lagi. Frista meneguk Rootbear-nya yang dingin terasa segar melewati tenggorokan
sementara yang punya Dilla di letakkannya di atas kursi. Kesegaran itu belum
juga bisa menyegarkan suasana hati Frista.
“Bukan kamu yang seharusnya minta maaf,
sudah selayaknya aku memahami perasaan seorang sahabat.” Kata Frista. Terdengar
tawa halus dari mulut Frista. Tatapan mereka masih tertuju ke depan. ”Aku
sendiri tidak tahu bagaimana seharusnya kita bersikap, terkadang menurut kita
benar belum tentu menurut orang. Seperti halnya yang menimpa aku, aku telah
melakukan yang benar menurut aku tapi tidak tahu kalau menurut Dias. Terkadang
kita butuh seseorang untuk bertanya. Untuk menegaskan apa yang telah kita
lakukan, kita butuh itu. Tidak peduli apakah dia seorang teman atau orang lain
yang benar-benar memiliki hati yang tulus. Dill… apapun yang telah keluar dari
mulutku waktu itu, itu adalah kesalahanku, maafkan aku..” katanya jujur. Dilla
menatap wajah itu. Dan Frista berkata lagi. ”Aku tahu bagaimana rasanya di
sepelekan oleh seorang laki-laki… tapi dari kejujuran hati laki-laki seperti
Hangga maka aku bisa sedikit memahami, apa yang di inginkan oleh seorang pria.
Hangga pria baik-baik yang pantas mendapatkan cinta sejatinya.” Lanjut Frista.
Dilla mengalihkan matanya pada hamparan rumput hijau yang indah. Dadanya terasa
sesak. Ia coba menarik napas dalam-dalam lalu bersandar di kursinya.
“Seorang wanita sering kali harus
mengorbankan rasa cintanya hanya karena alasan-alasan klise, sekali pun atas
nama demi kebahagian orang yang ia cintai itu. Walaupun sebenarnya kita sendiri
tidak begitu yakin apakah yang kita lakukan itu bisa membahagiakan orang yang
kita cintai tersebut? Entahlah.” Kata Dilla seperti bicara pada dirinya
sendiri.
“Sepertinya kamu sudah memaafkan aku.”
“Hanya orang bersalah yang pantas di
maafkan.” Dilla melirik Frista. Mereka sama-sama tersenyum. Dilla mengambil
sesuatu dari dalam tasnya. Sebungkus rokok.
“Apa boleh aku merokok?”
“Menyanyangi seseorang itu bukan berarti
harus merubahnya, kan?”
Dilla mengisap rokoknya lalu mengepulkan
asapnya ke awan berulang-ulang. Sepertinya ia
sangat
menikmati moment itu, dan apapun yang mengganjal di hatinya tidak akan ia
sembunyikan dari Frista.
“Frista, terima kasih banyak ya… kamu
begitu baik, memahami perasaan orang lain, kamu sangat rendah hati, penyayang
dan suka membantu siapa saja. sebagai seorang wanita aku merasa paling
beruntung karena telah menjadi salah satu dari banyak teman kamu. Aku percaya ada
banyak pria yang mendambakanmu, dan ada salah satu di antara mereka yang
teramat kamu cintai. Yang akan selalu merentangkan tangannya untuk menyambut
kamu dan dia akan setia. Terkadang aku berpikir, tidak seharusnya kita
menyia-nyiakan kebahagiaan yang bisa kita dapat dengan begitu mudahnya. Tidak
semua orang memiliki cinta sejati yang bisa di raih. Hidup tanpa cinta sejati
akan melelahkan. Jika kita mengalami hal itu maka semua rasa yang kita miliki
terhadap dirinya tidak lebih dari sekedar rasa kasihan dan rasa terima kasih,
meski tidak boleh begitu… menikmati cinta hanya sebatas mata. Ada cinta yang
berasal dari lubuk hati dan menembus relung hati, bila sudah begitu maka apa
pun yang terjadi tidak ada yang bisa mencegahnya untuk tumbuh. Mengalir dan
truuuus mengalir seakan ingin tumpah. Bercampur dengan lautan cinta yang ada di
dada. Dia memiliki cinta yang mungkin jauh lebih besar dari cinta kita,
memiliki harapan untuk mendapatkan cinta sejati. Tak ada manusia yang beruntung
di muka bumi ini kecuali mereka yang memiliki cinta sejati….” Ia menghembuskan
lagi asap rokoknya. Kali ini lebih banyak. Frista mengamatinya.
“Apa kamu sangat yakin dengan apa yang
telah kamu katakan…?”
“Kalau kita tidak yakin dengan ucapan
kita sendiri, bagaimana orang lain bisa yakin? Semua itu harus berasal dari
kita sendiri, terkadang sikap bodoh yang ada di diri kita membuat kita
melakukan kesalahan, tapi itu manusiawi, kita belajar dari kesalahan. Orang
yang membohongi diri sendiri karena berbagai alasan, rasio misalnya. Sebenarnya
bukan bermaksud untuk berbohong, tetapi sebuah pertimbangan, karena manusia
normal selalu berpandangan dari dua sisi, itu manusiawi.”
“Kamu benar.” Ujar Frista. Ia
menghabiskan minumannya. Dilla juga membuka minumannya dan meneguknya agak
banyak. Ia mematikan rokoknya lalu menatap Frista.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan selain
mengalir seperti air, kan?”
“Tidak Dill…, manusia bukan air. Manusia
itu berusaha, mengalir seperti air itu kata lain dari menyerah.”
“Oh, ya?” akhirnya keduanya bisa tertawa
renyah. Angin pun berhembus dengan lembut menyapa wajah mereka. Matahari masih
terik namun angin menggoyang-goyangkan daun-daun yang rindang di tangkainya.
Intinya selain harus jujur pada diri
sendiri maka harus bisa memahami perasaan orang lain.
Malam itu, sendirian Dilla mengunjungi
kedai kopi. Selain untuk menikmati kopi ia juga ingin
menghilangkan
rasa penatnya. Ia sedikit mengenang tempat di mana pertama kali ia bekerja,
saat usianya menginjak empat belas tahun. Ia memesan kopi tapi yang muncul
membawa nampan adalah Hangga. Ia memakai baju santai dan tersenyum pada Dilla.
Ia meletakan gelas kopi di atas meja Dilla.
“Selamat menikmati kopinya…” ujarnya
persis sikap seorang pelayan. Dilla menatap pria itu tidak mengerti apa maksud
dari ulahnya itu. Ia bertanya-tanya, apa yang sedang Hangga lakukan di tempat
itu? Apa mengikutinya? Atau dia sedang bersikap seperti orang gila? Itu tidak
manusiawi buat orang dewasa seperti Hangga. Hangga tidak perlu melakukan apapun
untuk menarik simpati darinya. Apalagi berakting menjadi seorang pelayan di
kedai kopi. Karena sejujurnya ia telah menyukai pria itu sejak malam terakhir
bersama Steve meski saat itu sekaligus membencinya. Namun cinta itu lebih kuat
dari rasa benci yang ada di hatinya.
“Apa anda keberatan jika ada seorang
pelayan yang ingin ikut duduk bersama anda?”
“Kamu tidak perlu bersikap seperti ini,
saya yakin kopi ini pasti rasanya tidak akan sama dengan yang saya pesan.”
“Kami di sini hafal betul dengan selera
setiap pelanggan kami. Khususnya pelanggan setia seperti anda.” Ucap Hangga
setelah duduk di hadapan Dilla tanpa di minta.
“Saya tidak bermaksud macam-macam, apa
kamu masih mengikuti aku?”
“Sekarang ini lebih tepatnya adalah
menunggu dan menunggu, akan terus begitu.”
Dilla tersenyum. ”Boleh aku minum kopinya
sekarang?” pamit Dilla. Hangga mengangguk, ia menatap bibir mungil yang
menyentuh bibir gelas yang hangat itu. Hangga tiba-tiba berharap menjadi gelas
yang ada di tangan Dilla itu. Satu keinginan yaitu mencium bibir Dilla namun ia
pernah berjanji dan akan memegang janji itu.
“Terima kasih karena sudah memberikan
kesempatan padaku untuk mengantar kamu pulang.” Hangga masih memegang stir dan
menatap Dilla yang memandang lurus ke depan jalan yang membentang luas di depan
rumahnya. Hangga mematikan lampu mobil. ”Aku harus pulang, kalau pun kamu
meminta aku mampir, aku sedang tidak menginginkannya sekarang.” Katanya agak
dingin. Dilla menoleh.
“Terima kasih untuk kejujurannya.”
“Dill… kamu ingat dengan yang pernah aku
katakan? Semacam janji untuk diriku sendiri, sekarang aku sadar kalau
sebenarnya aku berharap tidak pernah mengucapkan janji itu..” katanya. Dilla
coba mengingat apa yang Hangga maksud. Sepertinya ia tidak gampang mengingat
sesuatu yang tidak ia sukai. Ia mendengus.
“Maaf, aku lupa. Yang mana?” ia tertawa
halus. ”Kamu tahu Ga? terkadang kita ingin sekali melakukan sesuatu yang tidak
bisa kita lakukan dan itu sangat menyakitkan.”
“Kamu benar, dan saat ini aku ingin
sekali melakukan sesuatu tapi janji itu telah membentengi aku. Aku tidak
mungkin bisa paksa untuk memcium kamu selagi kamu keberatan dan tidak
menginginkannya.” Ia mengatakannya juga. Dilla terdiam seakan mengingat sesuatu
dan seperti tersadar akan ucapan Hangga, ia pun tersenyum geli, akhirnya.
“Kamu itu memang bodoh.” Ucapnya
kemudian, ia menatap mata Hangga. ”Aku baru bertemu dengan pria naïf seperti
kamu.. yang tidak bisa membaca mata seorang wanita. Ternyata Frsita benar,
katanya memang harus belajar dari pria jujur seperti kamu…” Dilla tidak bisa
lagi meneruskan kata-katanya karena mulutnya sudah keburu di lumat oleh Hangga.
Hangga melakukannya karena ia yakin Dilla sudah tidak akan keberatan lagi. Ia
tidak peduli Dilla menganggapnya naïf, ia terus saja melumat bibir Dilla dengan
penuh perasaan, cinta dan rasa rindu yang sudah menggunung.. dan betapa
nikmatnya mendapatkan respon dari seorang jantung hati. Akan ia buktikan betapa
besarnya cintanya untuk wanita itu. Rasa kangen selama ini membuatnya memang
nyaris gila. Perlahan Dilla mendorong tubuh Hangga. Hangga menatap matanya dan
bibirnya yang kenyal itu.
“Kamu membuat aku tidak bisa bernapas.”
Protes Dilla. Hangga memegang pipi Dilla.
“Kamu tau, bibir kamu begitu hangat,
lembut, manis dan aku sangat menyukainya jadi bagaimana kamu pikir aku bisa
melepaskannya?”
“Ternyata kamu bisa ngegombal juga.”
Hangga tersenyum. ”Aku berkata apa
adanya…” ia mengusap bibir Dilla. Dilla menatap pria itu dan kali ini ia yang
melumat bibir Hangga. Ia memejamkan matanya, ia pun ingin merasakan apa yang
Hangga rasa dengannya, Hangga memang benar… ia pun menyukai bibir Hangga. Dan
mereka melakukannya dengan sangat lama. Dilla sudah bisa mengatur napasnya
untuk melakukan ciuman yang panjang itu, dan ia sangat menyukainya.
“Kalau kamu minta aku mampir sekarang..
aku pun mau dengan senang hati..” kata Hangga dan di depan ada taksi lewat. Itu
akan membawa Hangga pulang.
“Sepertinya sudah waktunya aku masuk..”
ucap Dilla.
“Kamu tega sekali, tapi baiklah… akan aku
panggil taksi itu, naik dan terus pulang. Tapi sebelumnya aku ingin sekali
bilang sesuatu.. aku bahagia sekali malam ini, I love you honey…”
Dilla menghela napas dengan berat. ”Apa
pun yang kamu katakan tapi aku mohon jangan ‘Honey..’”
“Baiklah.” Kata Hangga tanpa berpikiran
macam-macam.”Taksinya sudah tiba dan aku akan menyetopnya.”Ia mengusap pipi
Dilla. ”Mimpiin aku ya.. aku mencintaimu.” Katanya lagi sesaat sebelum keluar
dari mobil Dilla. Dilla tersenyum, senyum kebahagiaan yang tidak bisa di dapat dengan sengaja mencarinya. Kebahagiaan memang
tidak bisa di dapat begitu saja tetapi bisa di rasa di mana saja dalam keadaan
apa pun dan bersama siapapun. Tapi pada hakekatnya rasa bahagia itu berada pas
di balik rasa duka itu sendiri, bahkan bisa muncul bersamaan.
Malam berikutnya Hangga membawa Dilla
bertemu dengan orang tuanya. Hangga masih punya orang tua yang komplit dan satu
orang adik perempuan yang bernama Pinky. Dilla mengikuti Hangga masuk rumah
besar itu. Di dalam ruang tamu ia bertemu dengan Pinky yang sepertinya hendak
keluar. Hangga terus ke belakang meninggalkan Dilla bersama Pinky.
“Hai..” Pinky mengulurkan tangannya untuk
Dilla. ”Saya Pinky, mba cantik ini siapa namanya?”
“Saya Dilla.” Balasnya sambil tersenyum
kecil.
“Silahkan duduk mbak” ia mengajak Dilla
duduk dan ia ikut duduk di sebelah Dilla. ”Mbak cantik sekali.” Ucap Pinky
tanpa basa-basi.
“Terima kasih.” Kata Dilla. Ia tidak enak
karena Pinky mengulangi kata-katanya.”Nama kamu bagus, cocok sekali dengan
wajah kamu. Cantik itu relative, kan. Kecantikan luar itu hanya nomor dua…”
“Yang pertama apa?” kejar Pinky.
“Di sini.” Dilla menunjuk ke dalam
hatinya.”Orang akan menyukai kecantikan fisik pada saat-saat pertama saja..
selanjutnya orang akan berpaling., tetapi tidak kalau kita memilikinya dari
dalam hati. Oh, ya? Ngomong-ngomong umur kamu berapa?”
“Delapan belas.”
“Oh ya? Aku kira tadi lima belas tahun.
Habis wajah kamu seperti anak yang baru tamatan SMP.. ternyata sudah dewasa.”
“Mba Dilla bisa aja.. aku ini sudah
semester dua lho mbak.. kak Hangga juga bilang begitu.” Pinky mengulurkan
tangannya lagi. ”Teman, mau menjadi temanku?” pinta Pinky. Dilla mengangguk
lalu menyambut tangan Pinky. ”Aku akan bilang sama kak Hangga kalau kamu adalah
seorang teman yang baik.”
Teeth teeth….!
“Aku sepertinya sudah harus pergi, tolong
pamitin aku sama kak Hangga juga sama mama, oke?” Pinky harus menemui suara
klakson mobil itu. Dilla tersenyum. Pinky melambaikan tangannya terus melangkah
pergi. Tak berapa lama kemudian mamanya Hangga keluar dari dalam. Ia menatap
Dilla bersama munculnya seorang pembantu rumah yang membawakan minuman untuk
tamu di rumah itu. Dilla berdiri dan mengulurkan tangannya untuk wanita itu.
“Silahkan duduk.. Hangga sedang di kamar
mandi.” Ia tidak menerima uluran tangan Dilla. ”Sudah lama kenal dengan
Hangga?” tanyanya saat Dilla baru hendak duduk kembali.” Ia mengamati Dilla,
menatap semua yang terjangkau oleh matanya. Dilla tersenyum mencoba bersikap
wajar, sebenarnya sangat tidak nyaman kalau ada orang yang melakukan hal
seperti itu terhadap diri kita. Menurut Dilla itu adalah pelecehan. Mata wanita
itu terlihat jelas oleh Dilla bahwa ia tidak menyukai Dilla.
“Baru beberapa bulan.” Jawab Dilla apa
adanya setelah wanita itu duduk dengan enggan, ia duduk pun sepertinya hanya
ingin menghakimi Dilla dan menelanjangi Dilla sepuas-puasnya.
“Oh, begitu? Tidak biasanya Hangga
membawa seorang wanita ke sini apalagi wanita itu baru di kenalnya dalam
hitungan bulan.” Nada suaranya sangat sinis dan angkuh. ”Kerja di mana? Dan
orang tua kamu menjalani bisnis apa?”
“Kedua orang tua saya sudah tidak ada,
bu. Saya sendirian.” Dilla berusaha tenang.”Ibu saya meninggal saat saya usia
sepuluh tahun, sementara adik laki-laki dan Ayah saya meninggal lima tahun
berikutnya.. akibat kena demam berdarah..”
“O….. begitu?” o nya panjang sekali. ”Tapi
kamu sepertinya tidak terlihat keturunan orang susah, atau mungkin sejak bertemu
dengan Hangga kehidupan kamu berubah drastis??” sepertinya wanita itu
beranggapan kalau hanya orang susah saja yang mengalami yang namanya penyakit
demam berdarah itu. Bodoh sekali dia, atau dia hanya sekedar menghina Dilla.
“Anggap saja begitu tapi asal ibu tahu,
saya sebenarnya punya masa lalu yang sangat gelap yang tidak pernah ibu
bayangkan.” Tambah Dilla membuat wanita itu menjadi berdebar mendengar
pengakuannya. Dilla tahu kalau mama Hangga sengaja mendiktenya.
“O.” ekspresi wajahnya langsung berubah. ”Silahkan
di minum tehnya.” Jelas sekali kalau dia tidak menyukai kehadiran Dilla.
“Terima kasih.” Ujar Dilla. Ia mengangkat
isi gelasnya lalu menenggak isinya hingga tak tersisa. Wanita itu menatapnya
tidak percaya.
“Tidak sopan.” Gumannya.
“Maaf, apa bu?” ia pura-pura tidak
mendengar. Untung saja teh itu tidak terlalu panas.
“Tidak. Tidak ada apa-apa kok.” Katanya
menghindar. Hangga keluar. ”Sebaiknya kamu cari pria yang pantas buat kamu
karena anda tidak pas untuk anak saya..” ujarnya setengah berbisik.
“Hei.. apa kalian sedang membicarakan
aku?” Hangga menghampiri kedua wanita yang terpenting dalam hidupnya itu. Mama
menatap Hangga.
“Kalian mau pergi ya? O ya Ga, jangan
lupa ya beliin pesanan adik kamu tadi.. dan jangan lama-lama” ia mengingatkan
anaknya untuk tidak lama-lama bersama wanita itu.
“Beres……. ma.”
“Tadi Pinky pamit sama saya, katanya
minta tolong di sampaikan pada Ibu.” Dilla tersenyum pada Hangga. ”Pada kamu
juga.”
“Mm.. di dalam tadi Pinky sudah pamit
sama mama kok.” Ia tidak suka mendengar kata-kata Dilla yang seolah pingky
pamit lewat dia. ”Ga, mama ke dalam dulu ya, untuk telepon papamu.”
“Ya udah, kita sekalian pamit ya ma..”
“Cepat pulang..!” tekannya tanpa melihat
lagi.
Hangga tidak menjawab. Dilla ingin pamit
namun wanita itu sudah menghilang ke ruangan tengah.
Di mobil. Hangga menatap Dilla, wanita
itu menghela napas panjang lalu melepaskan senyum untuk Hangga yang sudah
memegang stir.
“Mama kamu tidak menyukai aku.”
“Kenapa kamu bilang seperti itu? Ehm..
kita kemana sekarang?”
“Memangnya kamu mau ke mana? Aku sih
maunya pulang.”
“Jangan begitu, belum juga setengah
sembilan.” Hangga menyalakan mesin mobilnya. Ia akan membawa Dilla ke sebuah
tempat yang sangat indah.. atau makan sesuatu sambil memandang wajah Dilla yang
menawan itu.
“Adik kamu sangat manis.” Ujar Dilla
kemudian.
“Dia juga sangat lucu, aku begitu
menyanyanginya.”
‘Aku juga.’ Bathin Dilla. ’Tapi wanita
itu, mamanya Hangga. Dia telah menguliti seluruh tubuhku. Aku membencinya, dia
tidak pantas berkata seperti itu, seenaknya menghina orang.’
“Ga, apa kamu pernah berpikir untuk
menikah denganku? maaf.. bukannya bermaksud bicara yang tidak-tidak, aku
serius.” Tutur Dilla. Hangga menepikan mobilnya. Berhenti di bahu jalan dan
menatap Dilla. Ia memegang tangan Dilla.
“Kita tidak perlu tunangan dulu, kan?
Asal kamu tahu Dill… aku belum pernah membawa wanita selain kamu ke rumahku. aku
membawa kamu karena aku yakin, bahwa kamulah yang akan menjadi istriku nanti.
Aku mencintai kamu, apa kamu masih meragukannya? Bagaimana aku harus
membuktikannya, katakan?”
“Bukan itu masalahnya.”
“Tapi aku juga serius dan
bersungguh-sungguh.”
“Aku tahu, bagaimana jika sekarang kamu
antarkan saja aku pulang?”
“Kamu ini kenapa sih? Memangnya tadi mamaku
bilang apa sama kamu?”
“Sudahlah, tidak usah di bahas.”
“Baiklah, apa pun yang telah mamaku
katakan sama kamu, aku akan tetap menikahi kamu, mau berjanji padaku?”
“Tidak.”
“Berarti kamu tidak bersungguh-sungguh.”
“Berjanji dalam hal apa?”
“Berjanji bahwa kamu akan menikah denganku.”
“Aku rasa janji seperti itu tidak
sepenting niatnya.”
“Tapi bagiku penting.”
“Tapi bagiku kamulah yang terpenting
dalam hidupku… tapi sudahlah, aku kan sudah bilang tidak usah di bahas.” Jelas
Dilla. Pria itu melihat ada perubahan di wajah Dilla. Ia sudah bisa menebak apa
yang mamanya katakan pada wanita idamannya itu. Dilla sepertinya telah
tersinggung. Dilla melihat ada bias kecemasan di wajah Hangga.
“Kamu kenapa? Aku nggak apa-apa kok.”
Hangga tersenyum sedikit lega. ”Kamu
membuat aku semakin kagum, kapan kamu bersedia menikah denganku?”
“Bicara itu lagiii.” Hela Dilla. Akhirnya Hangga benar-benar mengantar
Dilla pulang.
Sampai di rumah, Dilla memutuskan untuk
menelepon Frista.. satu-satunya wanita brillian yang memahami persaaanya,
sekaligus dewi penyelamatnya. Frista belum juga mengangkat ponselnya membuat
Dilla nyaris putus asa. Sebelum ia bermaksud mematikan ponselnya baru bisa
terhubung.
“Frist..?”
“Ya Dill, kenapa?”
“Mm.. sepertinya ini bukan waktu yang
tepat ya..? maaf, terusin deh tidurnya..”
“Dill, Dilla..” Frista memperbaiki posisi
badannya yang memang sudah tertidur. Ia menyandar di sandaran bednya dan
menyalakan lampu meja. ”Bicaralah, aku akan mendengarkannya, percayalah.”
Sehabis magrib tadi dia memang tertidur karena kecapean. Tapi sekarang badannya
sudah enakan. Ia mendengar Dilla menghela napas panjang.
“Hangga Frist.. dia mengajak aku ke
rumahnya barusan. Bertemu dengan ibunya.” Suara Dilla tercekat.
“Dilla..?” Frista khawatir. Karena
sedikit banyaknya ia mengenali watak mamanya Hangga.
“Belum ada manusia yang menghina aku
serendah itu, apa kamu masih berpikir kalau Hangga itu masih berarti buat aku?
Kamu tahu Frista…? aku minum teh di depannya dengan sekali tenggak. Dan dia
berguman ‘Tidak sopan’ aku pura-pura saja tidak mendengar. Aku tahu kalau
kelakuanku itu sangat gila tapi aku…?! mm.. aku suka dengan adiknya. Dia sangat
tulus namun mamanya sangat membenci aku luar dalam. Dia bicara sama aku seperti
polisi pada wanita yang tertangkap di jalanan. Aku bilang saja semua apa
adanya.”
“Memang kamu benar-benar gila…” suara
Frista terdengar riang.
“Aku bilang juga kalau aku punya masa
lalu yang sangat kelam..”
“Aduh Dill….” Frista jadi tertawa. ”Tidak
apa-apa kok, tidak semua orang berani bicara seperti itu. Aku angkat topi buat
kamu..”
“Kamu tidak tanya bagaimana reaksinya?”
Dilla ikut tertawa.
“Pasti dia ingin kamu segera pergi dari
hadapannya, kan? Apa aku benar?”
“Bukan itu saja. dia bahkan sempat
berbisik padaku… katanya aku ini bukan tipe Hangga..” jawab Dilla. Frista jadi
terdiam. Ia tahu bahwa di dalam cerita Dilla yang menggebu-gebu itu tersimpan
rasa perih yang amat sangat. Ia kenal watak Dilla. Dia percaya kalau mama
Hangga telah memojokkannya. ”Frist… kamu masih di sana..?”
“Ya…?”
“Dia itu memang keterlaluan..” lanjut
Dilla. ”Apa dia pikir punya hak untuk menghina aku? Tapi sudahlah…” suara Dilla
melemah. ”Aku seharusnya bercermin diri, aku ini memang tidak pantas untuk
siapa pun, ya kan?”
“Hei, dari mana kamu dapat kata-kata
seperti itu…?”
“Itu kenyataan kok Frist.. terima kasih
ya, aku selalu merasa nyaman dan tenang kalau sudah bicara sama kamu. Aku tahu
kamu sayang sama aku, aku juga… dan aku merasa hanya kamu dan Gandyslah
keluargaku saat ini.”
“Dill… rasa sayang aku dan Gandys ke kamu
tidak akan bisa menandingi rasa sayang Hangga padamu. Aku tahu persis itu.”
“Aku sudah pernah bilang, kan bahwa
wanita harus seringkali mengorbankan cintanya dengan alasan-alasan tertentu.”
“Tapi itu tidak boleh terjadi sama kamu.”
“Sudah ya Frist… terima kasih banyak
sebelumnya..” Dilla pun mematikan ponselnya.
Frista bingung.
Di rumah, Hangga sedang mengomeli
mamanya. Tapi mamanya malah berbalik
memarahinya. Hangga coba memahami maksud ucapan mamanya.. alasannya semua itu
demi kebaikan Hangga.
“Mama belum tahu kan kalau Dilla pernah
mengalami kawin kontrak dengan pria asing?”
“O o jadi itu maksud wanita itu
mengatakan kalau masa lalunya sangatlah kelam? Terus apa maksudnya menjelaskan
semua itu sama mama?”
“Syukurlah kalau dia sudah mengatakannya
dan menjelaskannya sama mama. Dia calon isteriku ma dan aku ingin mama tahu
siapa dia sebenarnya.”
“Calon isteri??!” nadanya meninggi. ”Apa
dunia ini sudah mau kiamat? Atau mata hati kamu sudah buta? Memangnya tidak ada
wanita lain di kantor kamu yang lebih pantas? Lebih cantik dan lebih
bermartabat? Juga lebih punya status? Ya Tuhan… apa yang telah terjadi dengan
kamu Hangga? Apa kamu pernah berpikir dari mana asal wanita itu? Dia bilang
tidak punya keluarga, semua sudah meninggal. Siapa tahu dia itu anak haram yang
di buang oleh wanita jalang!”
“Mama.. mama telah menuduh tanpa bukti.”
“Jadi kamu pikir mama bisa percaya dengan
wanita itu?”
“Ma, sebesar apapun cintaku pada keluarga
ini.. maka sebesar itulah kepercayaanku pada Dilla.” Kata Hangga dengan
keyakinan penuh. Mamanya menghela napas berat.
“Kalau begitu, kamu tinggal pilih..
keluarga ini atau wanita yang cuma mengincar uang kamu itu?”
“Mama…!” Pinky tiba-tiba muncul. ”Mama
kok ngomongin kak Dilla seperti itu sih? Sepertinya dia bukan cewek seperti
yang mama bayangkan itu.. bagaimana seandainya ada cowok yang lebih kaya dari Kak
Hangga, menyukai Pinky? Terus orang tuanya menuduh Pinky mengincar hartanya?
Apa mama tidak sakit hati? Apapun bisa terjadi lho, ma..”
“Terima kasih Pink.” Hangga bangga pada
adiknya. ”Asal mama tahu, kalau masalah harta.. Dilla tidak pernah kekurangan.”
“Jadi apa yang mama khawatirkan lagi?”
tambah Pinky masih membela kakaknya.
“Pinyk, kamu itu tidak mengerti apa-apa,
semua teman mama akan bertanya, dari mana asal usulnya? Siapa orang tuanya?
Mereka tinggal di mana dan seterusnya dan seterusnya… Dilla tidak memiliki
semua itu!”
“Tapi teman-teman mama tidak akan
bertanya, kan, apakah saya bahagia atau tidak? Ma.. kebahagiaan itu tidak
melulu berasal dari materi, asal usul, derajat atau dengan segala macam sejenis
itu. Bahagia itu berasal dari rasa, yang di timbulkan oleh orang yang mencintai
dan di cintai..”
“Terserah kamu saja!” mama meninggalkan
kedua anaknya dari ruang tengah.
‘Bagaimana pun aku tidak akan setuju
kalau Hangga sampai menikahi Dilla, bertahun-tahun aku menyekolahkan Hangga,
mendidik dan membesarkannya. Tapi setelah bertemu dengan wanita itu baru
beberapa bulan saja telah mengubah segalanya. Berani sekali Hangga bilang kalau
cintanya pada gadis itu sebesar cintanya pada keluarganya saat ini. Punya hak
apa dia mendapatkan cinta sebesar itu dari Hangga? Beraninya ia menjebak anak
ku!’
Di kantornya, Frista sedang memegangi
kristal yang berbentuk singa itu, ia membolak-balikkannya. Itu hadiah yang
indah dari Dilla. Ponselnya berdering, langsung ia angkat. Ternyata dari
Gandys.
“Hallo..?”
“Hallo Fris… lagi ngapain? Kalau di lapangan
jangan lupa mengenakan sunblock ya..? oya? Kenapa kamu tidak ambil cuti saja
sih…? Lihat aku ini…”
“Memangnya lagi di mana sih, Dys?”
“Di Bali.. bareng Yudha, kamu itu sudah
pernah cuti nggak sih dalam lima tahun ini?”
Frista tertawa. ”Bawaiin oleh-oleh ya..”
“Sepertinya kalau oleh-oleh susah,
mungkin membawakan selusin bule lebih gampang kali ya? Maaf bercanda…” Gandys
menghela napas dan tiba-tiba berbicara pelan. Hati-hati dan sok sopan. ”Fris..
sebenarnya aku mau minta maaf.. nggak sopan ya minta maaf lewat telepon? Tapi
nggak apa-apa, kan?”
“Nggak.”
“Sungguh, aku mau minta maaf atas
skenario untuk Dias malam itu. Dias sebenarnya tidak mau tapi.. Aduh gimana
ya..? pokoknya aku benar-benar minta maaf…”
“Sudahlah Dys.. aku sudah melupakannya.
Kapan balik?”
“Dua hari lagi, aduh..” Gandys menepis
tangan Yudha yang menggodanya. ”Apa-apaan sih..” Gandys tertawa halus, ia tidak
enak dengan Frista. ”Maaf Fris.. ada gangguan tehnis nih..”
“Oke deh.. o, ya, ssst… ingat satu hal..
jangan hamil sebelum waktunya, oke?” kata Frista setengah berbisik.
“Kamu itu seperti mamaku saja.. tapii..
oke maaam..” balas Gandys. Frista tersenyum lalu meletakan ponselnya di samping
kristal itu. Lalu menarik napas dalam-dalam kemudian telepon di mejanya
berdering. Ia menekan tombol.
“Ada apa Win..?”
“Ada tamu, bu.”
“Sudah janji?”
“Ya…” suaranya agak ragu-ragu.
“Biarkan dia masuk.” Alis Frista bertaut,
seingatnya Wina tidak bilang tadi pagi kalau siang ini ia punya janji pada
orang atau pun bertemu dengan seseorang.
Tok tok tok!
“Masuk.” Frista mengangkat kepalanya.
Ternyata Dias. ’Ya Tuhan… dia bohong
lagi. Apa sih maunya manusia yang satu ini? ”Dias..” tegur Frista. Pria itu
tersenyum.
“Boleh masuk?”
“Tergantung, kalau urusan bisnis
silahkan, tapi kalau urusan pribadi jangan di sini.” Frista masih duduk di
kursinya. Dias menghampiri Frista. Dia menempelkan kedua telapak tangannya di
atas meja Frista dengan kepala lebih dekat ke muka Frista.
“Aku ingin bicara tentang kita, kita bisa
keluar sekarang?”
“Kita? O ya.. maaf, aku lupa
mengembalikan cincin kamu itu. Mungkin setelah mengembalikannya tidak ada lagi
tentang KITA, kan?” ujar Frista dengan menekankan kata kita-nya.
“Frista, ayolah…dewasalah sedikit.”
“Maaf Dias… tempat ini sepertinya tidak
cocok untuk…” ia berdiri dan mengajak Dias meninggalkan kantor. Ia tidak biasa
membicarakan urusan pribadi di kantornya. Tanpa Dias duga ternyata Frista
membawanya ke rumah, untuk mengambil cincin itu. Frista lupa kalau hari ini
bibinya sedang ada pengajian di luar rumah. Untung dia membawa konci rumah dari
kantor tadi. Dias mengikutinya masuk. Frista menatap Dias di belakangnya dengan
senyum tipis.
“Apa kamu tidak bisa menunggu di mobil?”
ucapnya datar.
“Setahun pun aku bisa melakukannnya di
mobil, tapi ambillah cincin itu biar aku menunggu di sini.”
‘Dasar!’ Frista melangkah ke kamarnya,
beberapa saat kemudian ia sudah muncul lagi di teras rumahnya dengan sebuah
cincin di telapak tangannya. Ia menyerahkannya pada Dias. Dias mengambil cincin
itu sembari menatap Frista.
“Ternyata sulit sekali ya untuk
menyakinkan kamu demi sebuah cinta?”
“Tidak ada yang sulit jika segala
sesuatunya di lakukan dengan tulus. Aku akan kembali ke kantor. ” Kata Frista.
Dias meraih tangannya.
“Katakan satu hal, apa yang harus aku
lakukan..? aku membutuhkan kamu Frista.. apa aku harus membuang jauh-jauh
cincin ini? Aku mohon jangan perlakukan aku seperti ini. Karena ini lebih
menyakitkan dari mati.” Ucap Dias. Frista diam dan tetap tenang. ”Baiklah.” ia
melepaskan tangan Frista. ”Pergilah jika itu kemauan kamu, siksalah diriku,
mungkin kamu akan puas bila mengetahui kalau aku akan mati secara perlahan. Aku
benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan sekarang.. tapi satu hal
yang aku tahu, aku benci sekali kenapa harus ada cinta tumbuh di hatiku, akan
aku lakukan apa saja untuk membunuhnya supaya lenyap. Meski sebenarnya aku tidak
yakin apakah dengan kematianku, cinta itu bisa ikut mati? Hanya kamu yang bisa
menjawabnya. Permisi.”
Frista menghela napas panjang. Lagi-lagi
dia hanya bisa memandang kepergiaan Dias. Terulang lagi, kejadian seperti itu.
‘Ya Tuhan.. aku sendiri tidak tahu apa
yang harus aku lakukan? Berilah petunjukMu, haruskah aku membenci Dias atau
diriku sendiri?’
Hangga mengajak Frista dan Gandys untuk
ketemuan di kedai kopi, tadinya Dilla
tidak setuju. Ia meminta ke dua gadis itu membantu memecahkan kemelut yang
sedang ia hadapi. Ia cerita semua tentang pertemuan mamanya dengan Dilla.
Frista, Dilla serta Gandys bertatapan dengan saling bergantian. Tidak ada suara
seolah sedang berpikir keras. Gandys sebenarnya punya ide namun ia
tidak
mau kejadian yang di alami Dias dan Frista terulang kembali pada Dilla. Frista buka suara.
“Ga, apa sebenarnya yang bisa kita
lakukan untuk kamu dan Dilla?”
“Hanya untuk meyakinkan mama kalau Dilla
tidak seperti yang ada di dalam pikirannya.”
“Kenapa kamu masih ngotot?” tegas Dilla. ”Bukannya
semua yang ada di pikiran beliau itu benar adanya?”
“Nggak Dill… mama itu menganggap kamu
lebih parah dari itu.” Ia menatap Dilla. ”Aku nggak bisa terima.” Ia lalu
menoleh pada Frista dan Gandys. ”Di depan kalian berdua aku ingin melamar Dilla
untuk menjadi isteriku. karena aku menganggap kalian berdua adalah keluarga
Dilla saat ini.” Jelas Hangga. Kedua gadis itu saling bertatapan sejenak lalu
menatap pada Dilla. Mereka menunggu reaksi Dilla. Lalu..
“Hangga, jangan berharap sesuatu yang
tidak mungkin.” Ucap Dilla. ”Keluarga kamu adalah orang terhormat, dengan
berada di tengah-tengah kalian saja aku sudah merasa seperti noda hitam di sini,
tolonglah mengerti posisiku.” Dilla tidak mau terjadi yang tidak-tidak pada
Hangga dan teman-temannya. Frista memegang tangan Dilla.
“Hangga bertakata benar Dill, aku bisa
melakukan apa saja, bila perlu mengangkat kamu menjadi adikku. Aku benarkan,
Dys?” ia melirik ke Gandys. Gandys mengangguk pasti.
“Aku memang beruntung mendapatkan teman
seperti kalian, tetapi bagaimana dengan wanita lain yang nasibnya sama denganku,
apakah mereka juga pantas menerima hinaan? Tidak ada yang mau menerimanya
sebagai teman… apalagi lagi lebih.”
“Jangan pernah samakan diri kamu dengan
perempuan lain.. kamu itu beda, kamu telah membuktikan semua itu. Kamu punya
niat baik dan cita-cita tulus.. juga punya kepedulian tinggi pada orang lain..
dan Hangga adalah cowok yang pantas buat kamu.”
“Gandys benar Dill.” Tambah Frista.
“Tapi aku sendiri tidak yakin dengan apa
yang harus aku lakukan.”
“Jika begitu, bagaimana kami juga bisa
yakin?” tanya Frsita. Dilla tersnyum karena Frista mengembalikan omongannya.
Dilla memang tidak punya siapa-siapa lagi tapi kalau berada di tengah-tengah
Frista dan Gandys membuatnya merasa memiliki dunia ini. Keberadaan Hangga di
dalam hidupnya bukanlah hal yang teramat penting. Seandainya bisa menikah
dengan Hangga merupakan anugrah sendiri, tetapi keberadaan sahabat sejati
merupakan sebuah mukjizat yang tidak bisa tergantikan.
Keesokan malamnya, Frista mengajak Dilla
dan Gandys ke rumah Hangga dengan tujuan untuk bertemu pada mamanya Hangga.
Sebelumnya Dilla tidak setuju karena bertentangan dengan nalurinya.. tapi
Frista dan Gandys memaksanya. Menurut kedua sahabatnya itu, sudah banyak wanita
di dunia ini yang menjadi korban para Ibu.. yang berwatak seperti mamanya
Hangga itu. Mereka terlalu menuntut kesempurnaan seorang menantu, sok demi
kebaikan anak. Dan Frista benci dengan mama-mama semacam itu. Apalagi
beranggapan kalau wanita menikah semata-mata demi uang. Sudah jelas anak-anak
mereka saling mencintai. Kalau merasa tidak cocok bilang saja, jangan pakai
alasan ini dan itu. Memangnya hanya karena uang mereka bisa dengan seenaknya
menginjak-injak harga diri orang?
Mama Hangga agak kaget melihat kedatangan
Frista, ia mengenali Frista sebagai teman baik anaknya dan seorang wanita
brillian yang sukses di dalam dunia bisnis. Tapi papa Hangga tidak demkian.. dia
malah senang melihat ada wanita-wanita sukses mengunjungi anaknya apalagi ia
kenal sebagai teman anaknya. Papa Hangga terlihat jauh lebih berwibawa di mata
Dilla. Ia bahkan mampu mempelihatkan kalau ia bisa menghargai orang yang jauh
lebih muda di bawahnya. Dilla kagum meski baru pertama kali bertemu. Pria itu
menatap isterinya.
“Ma, kita beruntung sekali kedatangan
tamu tiga wanita cantik malam ini. Wanita-wanita istimewa.” Gandys menatap mata
mamanya Hangga sekilas. Dilla hanya duduk diam dan sekali-kali matanya
bergerilya mencari Pinky. ”Ma, Hangganya ke mana? Masa teman-temanya ke rumah
ia malah nggak ada?”
“Kalau mama nggak salah sih… tadi
temannya si Wanda telepon.” Matanya ke arah Dilla. ”Mungkin dia ke rumah
Wanda..” ia kembali melirik ke suaminya dan gadis-gadis di sana tahu kalau
wanita itu sendang mengarang cerita. Frista atau pun Gandys sengaja tidak
menelepon Hangga, sebab mereka hanya ingin bertemu dengan orang tua Hangga.
“O. Frista… Gandys, bagaimana dengan
pekerjaan kalian? Om sudah lama sekali tidak melihat kalian. Oh ya, kalau
Dilla, kamu kerja di mana?” semua menoleh ke Dilla. Dilla tersenyum.
“Dia punya usaha sendiri, bisnis
kecil-kecilan..” Frista yang menjawab. ”Bagaimana menurut Om?”
“Oh bagus itu… Om setuju…” ujarnya bangga
sementara isterinya memperlihatkan ekspersi kebencian. Dia tidak habis pikir
kenapa wanita sialan itu bisa akrab dengan Frista dan Gandys? Jangan-jangan
sekedar akal-akalannya Hangga agar mamanya percaya dan bersimpati pada Dilla.
Tidak akan! ”Tapi menurut Om pribadi, seorang wanita yang bekerja di luar dan
di dalam rumah itu sama hebatnya. Tergantung bagaimana kalian menilai dan
memanfaatkan fungsinya. Tapi kalian bertiga ini terlihat sangat luar biasa.
Coba kalau Om punya tiga anak laki-laki, pasti sudah Om minta kalian menjadi
menantu Om.”
“Oh ya? Bener itu Om?” Gandys angkat
bicara. ”Tapi kenyataannya Om cuma punya satu, Hangga.. itu pun sudah milik
Dilla. Teman kita yang satu ini, Hangga bahkan sudah membawanya ke sini sebelumnya.
Tapi Om pasti lagi tidak ada di rumah saat itu. Dia hanya bertemu dengan
tante.”
“Benarkah?? Kenapa mama tidak bilang sama
papa?” ia memprotes ke isterinya. Wanita itu diam saja. ”Hangga sepertinya
sangat beruntung. Apa dia sudah melamar kamu?” ia menatap Dilla dengan
sungguh-sungguh. ”Kalau belum, biar Om yang melakukannya. Akan Om mita pada
kedua orang tua kamu untuk menjadi menantu Om.”
“Papa tidak akan pernah bisa
melakukannya, karena dia hidup sebatang kara di dunia ini.” Isterinya bicara
tanpa menggunakan naluri ke-ibu-annya. Lalu meneguk tehnya dengan sangat
angkuh. Pria itu memandang isterinya lalu ke Dilla. Frsita coba menetralisir
keadaan.
“Tante benar Om, Dilla memang sudah tidak
punya siapa-siapa lagi.. sejak sepuluh tahun lebih yang lalu. Tapi sekarang
tepatnya dua tahun yang lalu dia sudah punya Gandys dan saya.. kamilah
keluarganya saat ini, sebagai adik kakak sekaligus sebagai teman..” tutur
Frista apa adanya.
“Frist… apa yang kamu lakukan?” Dilla
beranjak dari tempat duduknya. Dia tidak mau Frista berbuat seperti itu hanya
untuk membela dirinya.
“Duduklah nak…” pinta pria itu. Ia bangga
dengan gadis-gadis yang ada di hadapannya itu. ”Anak yang baik pasti akan
melakukan hal baik pula.”
Dilla tidak mau duduk lagi. ”Maafkan saya
Om…” ia menoleh pada kedua sahabatnya. ”Frista.. Gandys.. aku harus pulang..”
“Pulang? Memangnya kamu punya tempat
tinggal atau di tampung oleh Frista??”
“Ma!!” pria itu tidak suka dengan
kata-kata isterinya. Dan detik itu pula Dilla meninggalkan rumah Hangga setelah
pamit dengan orang tua Hangga. Pria itu tidak bisa menahannya meski ingin
karena Dilla sudah memutuskan untuk pergi. Gandys mengejarnya Dilla yang menuju
mobil. Frista menatap mama Hangga sejenak lalu melirik pria itu.
“Maaf Om… permisi.” Dia ikut menyusul
temannya. Frista masuk mobil yang sudah di tempati oleh Dilla dan Gandys. Detik
berikutnya mobil melaju. ”Dys.. pelankan kecepatanmu.” Ujar Frista. Ia menarik
napas berat. Hangga memang temannya dari kecil tapi ia tidak menyangka kalau
mamanya separah itu. Ia menatap Dilla yang terlihat tenang di tempat duduknya
setenang kecepatan mobil yang di kendarai Gandys sekarang. Ia bisa memahami
kenapa Dilla sampai meneleponnya malam itu.
‘Belum ada yang menghina aku serendah
itu.’ Kata-kata Dilla terngiang kembali di kepalanya. Ia memegang bahu Dilla.
“Aku salut sama kamu..”
Dilla melirikya sekilas. ”Jujur saja… kalau
aku tahu kalian mau bicara seperti itu, maka aku tidak akan mau ikut dengan
kalian.” Suaranya masih tenang. ”Mulai detik ini jangan pernah lagi
membicarakan hal ini.”
“Dill…” Gandys menimpali. ”Hanya wanita
itu yang tidak menyukai kamu, adik dan Papanya
sepertinya
peduli sama kamu. Apa susahnya sih menghadapi satu orang?” Gandys sepertinya
menabuh genderang perang.
“Bukannya kalian sendiri sudah
menghadapinya? Sudahlah.. baru kali ini aku merasa seolah menawarkan sesuatu
pada seorang pembeli, benar-benar memalukan sekali..”
“Hei.. bagaimana kalau kita sudahi dulu
obrolan yang satu itu? Cutiku masih tinggal sebelas hari lagi, punya ide
nggak…?” tutur Gandys. Semua diam. Gandys menunggu sejenak tapi belum ada juga
yang buka suara. Tiba-tiba terdengar suara tarikan napas panjang dari Dilla.
“Kalau kita jalan-jalan sepertinya asyik
juga…”
“Keliling Nusantara yok?” usul Frista.
“Wow… ide yang menarik. Kita mulai dari
mana? Kalimantan? Surabaya? Sumatra? Irian atau Lombok? Terserah kalian, aku
ikut saja..” ujar Gandys sembari menepikan mobilnya di depan halaman kafe.
”Tapi kita makan dulu ya, perutku sudah keroncongan nih.” Ia menoleh ke
belakang.
“Boleh juga.” Mereka kompak. Ketiganya
lalu turun dari mobil dan masuk ke dalam kafe yang tidak begitu ramai. Setelah
duduk, seorang pelayan menghampiri meja mereka.
“Selamat malam… pesan apa…?”
Gandys
meraih pulpen dan melihat buku menu yang sudah tersedia di atas meja. Ia
mencatap menu kegemaran Frista, Dilla dan untuk dirinya sendiri. Lalu
menyerahkannya pada pelayan.
“Serius nggak sih? Dengan
jalan-jalannya?” tanya Frista.
“Ya seriuslah, masa bercanda.” Sepertinya
Gandys sudah tidak sabar.
“Bagaimana kalau kita mulai dari Bandung?
Lalu Borobudur, Prambanan.. Surabaya, Lombok, Batam, Kalimantan. selanjutnya
Lampung, Medan, Jambi, Bengkulu dan Palembang..? sudah tiga belas kota tuh.. kemana
lagi?”
Pesanan mereka datang.
“Oke, sebaiknya kita makan dulu. Terima
kasih ya, mbak.” Gandys membantu pelayang itu menata menu, ia kelaparan berat
sepertinya. ”Tiga belas kota? Sepertinya butuh waktu dua bulan kali ya? Terus
gimana dong? Cuti ku kan hanya tinggal sebelas hari doang..?”
“Sepertinya sih ya, gimana kalau kamu
usul ke bosmu, minta cuti yang sekalian buat tahun depan?”
“Yee.. itu kan mustahil banget Fris… bisa-bisa
aku di cutikan untuk selama-lamanya.”
“Ya tapi kan aku bilang di coba dulu,
kalau nggak di kasih yah pindah kerja saja..”
Gandys sudah mulai menikmati makanannya.
”Maksud kamu ke kantormu? Waduh nggak deh, makasih banget. Ntar di tempat kamu
bukannya kerja tapi malah ngerumpi.”
“Ya kalau mau ngerumpi sih, liat-liat
sikonlah..” kilah Dilla yang sudah mengikuti Gandys makan. Mereka pun sudah
menikmati makan malam yang sederhana namun mengesankan. Sejenak Dilla bisa
melupakan kejadian dengan Hangga. Alunan suara musik dari ujung kafe menyertai
keasyikan mereka. Gandys menghirup justnya.
“Kita perginya naik pesawat, kan?”
tanyanya kemudian.
“Kalau naik pesawat namanya bukan
jalan-jalan.” Kilah Dilla.
“Begini.” Frista meletakan sendok
makannya. ”Untuk di luar pulau Jawa kita naik pesawat, nah di kota yang kita
tuju, nantinya baru kita sewa mobil.”
“Terus.. yang bawa siapa?” tanya Gandys lagi.
“Ya, kita gantian. Gak serulah.. kalau
harus nyewa sopir segala..”
“Oke, besok kita harus sudah bisa mulai..
kita akan berpetualang dulu untuk sebelas hari, tidak peduli sampai di kota
mana.. untuk selanjutnya akan kita pikirkan lagi nanti.” Gandys menyelesaikan
makannya. Ia sudah sangat kenyang sekarang.
Malam sudah semakin larut.. Frista
menarik napas dalam-dalam lalu menghelanya dengan penuh kelegaan. Dia merasa
hidupnya sedikit berubah sejak bertemu dengan Gandys dan Dilla. Ia merasa lebih
rileks, berarti dan mengasyikkan. Uang memang berperan penting di dalam
kehidupan manusia, tapi bagaimana cara menikmati uang itu sendiri, itu yang
lebih penting sebenarnya. Menikah, memang penting tapi kalau menikah dengan
orang tanpa cinta, itu adalah perbuatan bodoh. Tidak ada seorang wanita mana
pun di dunia ini ingin melakukan itu. Jodoh memang urusan Tuhan, tetapi
berdoalah semoga Tuhan memberikan jodoh yang sesuai dengan keinginan kita.
Yaitu menikah atas dasar cinta. Kata orang kekuatan doa itu sangat dahsyat.
Sampai di rumah Frista menelpon Wina.
Untung Wina belum tidur, Frista memberitahukan kalau dalam sepuluh hari ke
depan ia akan ambil cuti. Setelah itu ia mengirim fax ke perusahaan Balqis Air
untuk memesan tiga tiket ke Surabaya.
Surabaya adalah kota terbesar kedua di
Indonesia. Di kota itu pula banyak menyimpan ratusan remaja putus sekolah dan
bekerja sebagai wanita penjaja cinta. Beberapa tahun sebelumnya masih tercatat
di atas usia 15 tahun namun akhir-akhir tahun ini sungguh mengenaskan, karena
anak-anak usia 12 tahun sudah melakukan perkerjaan seperti itu dan yang lebih
anehnya lagi, ada beberapa orang tua dari mereka memang mengizinkan. Ya Tuhan..
apa yang telah terjadi dengan negeri ini? Negeri yang kaya namun penduduknya
sangat miskin. Puluhan wanita telah membunuh anak-anak mereka karena tidak
tahan melihat mereka kelaparan. Ratusan para Ayah telah menjadi pencuri hanya
untuk membeli sesuap nasi karena tidak adanya pekerjaan yang bisa mereka
hasilkan. Para pengemis gadungan telah bertebaran di mana-mana karena lemahnya
penataan kota, dan minimnya pendidikan. Pendidikan di negeri ini lebih mahal
dari barang mewah. Jutaan para orang tua selalu mengeluh betapa beratnya hidup
ini. Bagi orang miskin hidup ini tidak lebih dari sejenis penyakit kanker yang
mematikan dan harus di lewati.
Yang berkuasa yang kaya, yang pintar
menipu menjadi pahlawan. Dan yang punya jabatan di elu-elukan tapi yang punya
moral di singkirkan dan dihina. Negara ini tidak lebih dari hukum rimba, dimana
para Tarzan bisa menguasai para peliharaannya. Hukum bisa di manipulasi bahkan
iman pun bisa di jual. Masa Allah!
Pagi-pagi sekali seorang pria mengantar
tiket ke rumah Frista. Semalam ia sudah mengabarkan pada Dilla dan Gandys kalau
pagi ini mereka sudah harus berangkat dan sebelumnya ngumpul di rumah Frista. Frista
meminta bibi-nya menyiapkan lima stel pakaian. Di tambah sandal jepit dan
sepatu kets.
“Perginya sepuluh hari kenapa pakaiannya
hanya lima stel, Non?”
“Tadinya sih pengen bawa dua stel bi,
gampanglah.. nanti di jalan bisa di beli, tidak enak kalau pergi hanya sebentar
terlalu banyak bawa pakaian nanti malah pusing sendiri.” Jelas Frista. Setengah
jam berikutnya Gandys sudah tiba di rumah Frista. Ia membawa koper kecil. Kini
mereka tinggal menunggu Dilla. Lama namun belum kelihatan batang hidungnya.
Apakah dia terkena macet? Tidak!
Dilla sedang di cegat sama Hangga. Pria
itu kaget saat melihat Dilla keluar rumah dengan menjinjing sebuah koper
standar dan menyetop taksi. Hangga langsung mengusir taksi itu dan menyuruh
Dilla naik ke dalam mobilnya. Sebenarnya tidak boleh satu pun ada yang tahu
kemana mereka akan pergi.. untuk jalan-jalan dalam sebelas hari ini.
“Ga, aku mohon… aku harus pergi
sekarang..”
“Aku antar.”
“Nggak bisa.”
“Nggak bisa gimana? Aku masih bisa
mengantar kamu sebelum masuk kantor.” Tegas Hangga. Dilla menatap pria itu dan
memohon sekali pengertiannya. Hangga mengalah, ia tidak tega melihat Dilla
seperti itu. ”Baiklah, tapi aku harus tahu dulu kamu mau pergi kemana? Dan satu
lagi, minggu depan orang tuaku mau datang ke rumahmu.”
“Apa???”
“Koper mu lumayan padat, tidak apa-apa..
tapi pergi tidak boleh lebih dari seminggu.” Dilla diam. Hangga menatapnya,
pagi ini wajah itu hanya di poles makeUp tipis. Hingga terlihat begitu manis
dan menggemaskan. Hangga memegang wajah halus itu dan sebelum Dilla protes
Hangga sudah mencium bibirnya dan melumatnya mesra. Dilla ingin menolak namun
ciuman itu begitu indah dan terlalu nikmat untuk di hindari. Setiap sentuhan
Hangga selalu menggetarkan kalbu Dilla. Ia membalasnya beberapa kali lalu
seakan tersadar dengan mama Hangga ia langsung melepaskannya.
“Aku harus pergi sekarang…”
“Bagaimana dengan kata-kataku tadi?”
“Nantilah kita bicarakan lagi.” Ia tidak
mungkin mengatakan pergi sebelas hari karena Hangga pasti akan menahannya..
atau melontarkan puluhan pertanyaan konyol yang tidak mungkin bisa ia jawab..
dan akan membuatnya terlambat sampai di rumah Frista. Akhirnya Hangga bisa
melepaskan Dilla dengan merelakannya naik taksi. Dan Dilla bisa bernapas lega
karena Frista dan Gandys tidak akan memelototinya karena terlambat. Tapi Gandys
tetap saja protes.
“Aduh Non, abis di culik siapa sih? Jam
segini baru nyampe?”
“Ya maaf… kalau hukumannya aku tidak boleh ikut juga gak
apa-apa kok.”
“Sudah, kita akan benar-benar terlambat
kalau kita tidak pergi sekarang.” Kata Frista.
“Ya kenapa tidak, beraaangkaat…” ucap
Gandys semangat.
Ketiga wanita itu naik taksi menuju
Bandara. Surabaya adalah tujuan utama petualangan mereka. Pasti akan menjadi
sangat menyenangkan karena di sana ada Gunung Bromo, pantai pasir putih watu
ulo, kolam renang Selecta, telaga sarangan dan tempat berperahu di Sengkaling.
Dan mereka akan menginap di hotel berbintang lima di Hyatt Regency.
Setelah mendarat di Bandara Juanda, Frista
langsung mengeluarkan Handycam-nya dan mereka bergantian mengambil gambar dan
sekali-kali mengambil gambar bertiga sekaligus. Setelah sampai di kamar, Frista
mengusulkan untuk menyewa seorang Guide.. tapi Dilla dan Gandys tidak setuju.
Tidak lucu jalan-jalan di negeri sendiri pakai jasa Guide. Mereka memilih
membeli map Surabaya.
Tempat pertama yang mereka tuju adalah
gunung Bromo. Di gunung itulah para sineas Hongkong pernah membuat film dengan
judul ‘Heavy metal’ menceritakan perjalanan beberapa polisi yang menumpas
kejahatan. Bromo memang menakjubkan seperti lukisan alam, bahkan selalu
bersentuhan dengan awan yang sering menyelimutinya. Setelah berdiri di atasnya.
Terasa begitu sejuk dan rasa kagum pada sang pencipta makin terasa nyata. Tapi
kedasyatan letusannya juga telah memakan korban yang tidak sedikit. Handycam
tidak pernah di matikan dan Frista memang sudah menyiapkan beberapa disc yang
lumayan banyak. Panorama milik Indonesia memang indahnya tidak terlukiskan.
Hampir semua tempat yang terkenal di Jawa Timur mereka kunjungi. Berjemur di
pasir putih watu ulo, berenang di Selecta, mengunjungi telaga Sarangan dan
menonton karavan sapi.
Sekarang mereka sudah ada di Jawa Tengah
Semarang. Mereka menginap di hotel Grand Candi. Mengunjungi Prambanan dan
Borobudur. Lalu ke air terjun Curug sewu terus ke Parang Tritis. Setelah
mengelilingi Candi mereka akhirnya masuk ke Bandung.. dan menginap di hotel
Grand Preanger. Jalan-jalan ke Subang.. Taman Bunga Nusantara, Cibodas,
Situpatengan serta Lido. Mengelilingi kota Bandung memang asyik. Ada yang aneh
dalam perjalanan mereka yaitu tidak boleh membawa ponsel.. dan tidak ada yang
boleh membeli oleh-oleh. Karena mencari oleh-oleh adalah salah satu yang akan
menyita waktu. Dan mereka tidak suka itu.
Saat mengunjungi Tangkuban Perahu Dilla
teringat dengan the great wall yang ada di China. Yang katanya sepanjang 11.000
meter. Di samping Borobudur, Tembok China juga termasuk salah satu keajaiban
dunia. tetapi apakah ada yang ajaib dalam perjalanan Frista, Dillla dan
Gandys??
Kini mereka sudah ada di hotel Seraton
Bandung. Sembilan hari sudah berlalu, lelah? Memang. Happy? Pasti! Frista
memandang Gandys yang berselonjoran di atas bed.
“Gimana Dys.. baru sembilan hari, pulau
Jawa saja belum bisa kita taklukan. Sulawesi.. itu ada air terjunnya yang
menarik, di Malino. Tanah Toraja dan pantai Bunaken. Padang dengan jam gadangya
serta danau maninjaunya yang indah. Sungai Musi yang di Palembang, juga Bengkulu
dengan pantai panjangnya yang lebih dari tujuh kilo meter itu.. kira-kira di
butuhkan berapa lama waktu untuk mengunjungi tempat-tempat itu ya?” kata Frsita
seakan menebak-menebak.
“Fris.. bisa-bisa aku di pecat..” protes
Gandys. Dilla tersenyum dan ia merebahkan tubuhnya di samping Gandys.
“Masih banyak waktu, masa mau di jalanin
sekaligus? Memangnya habis ini kalian mau ke mana?”
“Ya menikah. Memangnya tidak pernah
terpikirkan oleh kalian?” ujar Gandys penuh semangat.. sembari mengambil
handycam lalu menyodorkannya pada Dilla. Dilla menolak.
“Memangnya kalau sudah menikah tidak bisa
jalan-jalan lagi?” hela Dilla.
“Ya mungkin.” Kata Frista yang lagi asyik
membersihkan mukanya. Di rekam oleh Gandys. “tapi ya kalau menikah tidak bisa
membuat wanita kemana-mana, ngapain menikah?” lanjut Frista seperti meralat
ucapannya.
“Ya bukannya begitu Non, tapi suasananya
kan pasti beda.” Kilah Gandys. Kini Frista meraih handycam dari tangan Gandys.
Lalu mengarahkannya ke wajah Gandys, sambil bertanya.
“Apa yang kamu inginkan hari ini? Kamu
tidak menginginkan sesuatu? Kita akan segera kembali ke Jakarta lho…” tanya
Frista dan Gandys terlihat sedang berpikir sejenak. Frista meng-zoom wajah
Gandys menunggu wanita itu bicara.
“Tunggu sebentar.” Ia berjalan ke kamar mandi
di ikuti oleh handycam Frista. ”Hei, hentikan. Aku mau pipis..” ia menutup
pintu kamar mandi. Frista men-off record-nya sejenak. Ia melirik Dilla.
“Cepat ambil airnya…” pintanya pada
Dilla. Dilla langsung menuju kulkas, mengambil sebotol air dingin. Bersamaan
dengan itu pintu kamar pun di ketok dari luar.
“Tunggu sebentar…” jawab Dilla pada tamu
yang ada di luar kamar. Dilla menunggu Gandys keluar dari kamar mandi, saat
pintu kamar mandi terbuka dan handycam Frista sudah on kembali, Gandys keluar
dan…
Eng eng eng. Dilla pun mengguyur sebotol
air dingin ke atas kepala Gandys. Gandys panik, marah dan kedinginan.
“Apa-apaan sih? Gila… dingin tauk!”
Frista sudah merekam adegan itu. Lalu Dilla dan Frista memeluk Gandys.
“Selamat ulang tahun…..” lama mereka
berpelukan sampai suara ketukan dari luar terdengar lagi. Gandys menatap kedua
sahabatnya. Ia terharu.
“Kalian ini tega banget sih? Dingin
banget.. air kulkas ya?” kata Gandys. Dilla tersenyum lalu membuka pintu. Di
pintu seorang pelayan sedang menunggu dengan kue tart di tangannya. Dilla
buru-buru mengambil kue itu dan memberikan tip pada pria itu.
“Maaf ya Mas… kelamaan..” ia menutup
pintu setelah berucap terima kasih. Gandys kedinginan dan Frista tidak
memperbolehkan ia mengganti baju dulu sebelum meniup lilin. Frista masih serius
dengan handycam-nya lalu meletakannya di atas meja kecil, setelah menyetel di
posisi yang pas ia bergabung. Dilla meraih tangan Gandys.. Gandys sendiri tidak
tahu kalau teman-temannya akan memberikan kejutan seperti itu, sebenarnya ia
agak curiga tapi tidak menyangka akan secepat ini. Dilla dan Frista mulai
menyanyi…
“Selamat ulang tahun.. selamat ulang
tahun Gan….dysss… se mo ga ba haaaa giaa…” Frista bergabung dengan kedua
sahabatnya. Handycam masih stanby. ”Tiup lilinya.. tiup lilinnya sekarang
juuugaaaa…” Gandys pun meniup lilin dengan angka 27 itu. Lalu menoleh pada
kedua sahabatnya yang masih bertepuk tangan.
“Makasih ya…”
“Sama-sama… Dys, kamu kok gak surprise
sih dengan kejutan kita?” ujar Dilla. Gandys tersenyum.
“Gimana mau surprise orang kedinginan
begini.. aku ganti baju dulu ya, rambut ku basah banget nih”
“Eeiitt.” Frista menahan tangannya. ”Potong
dulu kuenya baru boleh ganti baju.” Paksa Frista. Gandys tidak bisa menolak
meski kedinginan oleh air kulkas.
Mereka akhirnya menikmati pesta kecil di
ulang tahunnya Gandys.. makan kue, bercanda dan tersenyum bahagia. Tertawa
lepas dan melupakan sejenak kejenuhan yang ada. Besok mereka akan menghadapi
rutinitas seperti biasanya.. menghadapi hidup yang nyata dan penuh tantangan.
Pagi itu Gandys menemukan setangkai mawar
merah di atas meja kerjanya.. serta secarik kertas kecil dengan tulisan tangan
seseorang yang sudah di kenalnya.
‘Kamu kemana aja sih? SELAMAT ULANG
TAHUN, nanti malam aku jemput ya.’
Gandys tersenyum setelah membaca tulisan
itu. Yudha. Pikirnya. Dia sudah kangen sekali
dengan
pria cool itu. Ia pun memutuskan untuk ke ruangan Yudha. Namun saat ia pas
sudah di depan pintu, ia mendengar suara seorang wanita dari ruangan Yudha.
“Yudha aku mohon…. Aku tidak bisa
menunggu lagi, pokoknya nanti malam kita harus ketemu, ingat! Kalau tidak, aku
bisa nekad.”
Huuhhh! Gandys lansung meninggalkan
tempat itu dan kembali lagi ke ruangannya.
‘Pagi-pagi begini, sudah ada cewek datang
ke kantor orang lain. Urusannya pasti sangat serius.
Gandys
memandangi mawar merahnya. Ada keperihan di sana dan teramat menyakitkan. Belum
pernah ia merasa sesakit ini, tiba-tiba ia merasa ingin menangis. Dia belum
pernah mendengar atau melihat pria yang di kencaninya di datangi orang
pagi-pagi. Biasanya juga dia cuek dan menganggap masa bodoh kalau cowoknya
jalan dengan wanita lain. Namanya juga masih pacaran, semua orang bisa
melakukannnya.. karena waktu masih pacaranlah orang masih bisa bebas berkencan.
Itu pendapat Gandys. Namun kenapa saat mendengar kata-kata wanita tadi, ia
merasa hatinya bagai di iris-iris. Sakit sekali dan dia kecewa. Dia tidak
pernah melarang cowoknya dekat dengan wanita mana pun.. dan dia tidak pernah
sakit hati, tetapi saat dengan Yudha. Jangankan melihat pria itu jalan dengan
wanita lain, mendengar wanita berbicara dengannya saja, membuat jantungknya
ketar-ketir dan sakit.
Frista juga masuk kantor seperti biasa,
setelah lima menit duduk di kursinya, Wina masuk. Sang sekretaris itu
menyampaikan hal penting dan ia mendengarkannya.
“Bu, minggu kemaren ada undangan acara
pemilihan ‘Women of the year’ di salah satu stasiun televisi swasta.”
“Oh ya… kenapa kamu tidak wakilkan saja?”
“Ada lagi bu..” Wina coba mengalihkan
topik. ”Dua hari yang lalu kita kehilangan proyek besar, aku ikut hadir dalam
pertemuan itu.”
Frista tersenyum kalem lalu menghela
napas dengan tenang. ”Win, lain kali jika menurut kamu itu bisa menguntungkan
perusahaan, yah… kamu harus belajar mengambil keputusan sendiri.”
Wina tersenyum dengan ekspresi menyesal.
Dilla sudah selesai bersiap-siap untuk
berangkat ke tokonya saat mamanya Hangga datang menemuinya. Dilla pun
mempersilahkan wanita itu untuk masuk. Di dalam, dia mengamati ruang tamu
Dilla. Dilla tidak berminat menyuruh mbok mengambil minum.. karena ia tahu
dengan pasti wanita itu tidak akan mau minum di rumahnya.
“Kelihatannya rumah kamu cukup bagus,
emm… jangan-jangan kamu pernah menjadi simpanan salah satu seorang pejabat
negeri ini.” Dia duduk di hadapan Dilla setelah di minta duduk dari tadi.
‘Ya Tuhan… kenapa ada wanita sesombong
ini?’ Dilla menghela napas dengan berat.
“Maaf bu, sebenarnya Ibu kesini ada perlu
apa?” Dilla masih bersikap sopan.
“O ya? Apa Hangga belum memberi tahu kamu
kalau minggu depan Hangga meminta kami ke sini, aku sih menurut saja, karena,
apa sih yang di cari orang tua kalau tidak demi kesenangan anaknya? Dan asal
kamu tahu? Aku mengikuti kehendak Hangga asal dia puas.. dan supaya dia tidak
berpikir kalau saya melarang keras hubungan kamu dengannya.” Dia menggaris
bawahi setiap kata demi katanya. ”Perlu juga kamu tahu.. saya ini sudah punya
calon sendiri untuk Hangga. Coba kamu pikir, seorang ibu mana yang menginginkan
menantu yang tidak jelas asal usulnya. Saya tidak peduli kamu punya harta atau
pekerjaan, karena saya mementingkan bibit-bebet-bobot.” Ujarnya dengan sangat
tegas. Berarti Hangga mengundurkan untuk mengajak kedua orang tuanya minggu
kemaren. Pikir Dilla.
Dilla menghela napas dalam-dalam. ”Sebenarnya
saya tidak peduli dengan Ibu,” ia bicara. ”Juga dengan Hangga atau dengan
keluarga terhormat Ibu itu, Ibu sudah terlalu banyak bicara.. dan saya sudah
harus berangkat sekarang.”
“Tunggu dulu, saya sebenarnya hanya ingin
memastikan bahwa kamu tidak akan mengganggu Hangga lagi, mengerti?! Dan minggu
besok itu adalah sekedar formalitas dari kami, dan kamu harus tahu posisi kamu
yang sesungguhnya! Paham!?”
“Saya sangat keberatan kalau di bilang
mengganggu.” Suara Dilla masih terkendali. ”Tapi Ibu tidak usah khawatir… saya
bisa pastikan dengan sangat baik.. bahwa ibu tidak akan pernah melihat Hangga
bersama saya lagi.”
“Hmm… sepertinya kata-kata kamu bisa saya
percaya. Saya permisi…!” dia pergi.
‘Huhh! Kenapa sesuatu yang tidak pernah
di harapkan seringkali terjadi?’ Dilla beranjak dari sofanya. Beberapa saat
kemudian ia berangkat menuju tokonya. Namun di tepi jalan ia melihat Pinky sedang
bertengkar dengan seorang pria. Dilla menghentikan mobilnya dan mengamati
mereka sejenak. Sepertinya serius. Dilla masih menunggu dan puncaknya Pinky
menampar wajah pria itu. Saat itu Dilla memutuskan untuk keluar dari mobil dan
menghampiri mereka. Melihat kemunculan Dilla memaksa Pinky spontan langsung
memeluknya. Pria itu menatap Dilla sejenak lalu buru-buru pergi. Pinky
menangis, Dilla membawanya ke mobil.. dan menatap Pinky yang masih menangis.
“Aku benci dia kak, aku benci dia!”
teriak Pinky di antara isaknya.
“Apa mau kakak antar pulang?”
Pinky menggeleng. ”Aku tidak mau pulang,
takut dan malu sama orang tua dan kak Hangga. Aku tidak akan punya muka untuk
ketemu dengan mereka kak.” Ia menatap Dilla. ”Saya hamil kak.” Ia mengakui
dosanya dengan Dilla di sertai linangan air mata.
“Ya Tuhan..” ia menatap Pinky
sungguh-sungguh lalu memeluknya lagi.. seakan memahami ka-
lau
Pinky tidak akan berani mengakui kesalahannya dengan orang lain. Pasti karena
bingung, takut atau pikirannya sedang buntu.
“Aku harus menggugurkannya.”
“Tidak, jangan pernah berpikir untuk
melakukan itu, Pinky.” Ia menatap mata Pinky. ”Kamu harus berjanji.”
“Tapi kak? Ini tidak mungkin karena saya
masih kuliah. Apalagi kak Hangga sendiri belum menikah.. dan saya bisa di bunuh
sama Papa.”
“Tenang dulu Pink, kita harus
memikirkannya bersama.. dan kamu harus berjanji sama kakak kalau kamu tidak
boleh menggugurkannya.”
“Kakak pernah liat, nggak? Seorang wanita
sering membunuh bayi mereka yang baru lahir.. karena prianya tidak mau
bertanggung jawab, setelah itu polisi mencarinya lalu menjebloskannya ke
penjara, sementara prianya di tanya juga tidak. Selain malu dan sakit
kehilangan bayinya, di penjara lagi. Kakak pernah dengar seperti itu?”
“Itu tidak akan pernah terjadi sama kamu
Pinky, percayalah sama kakak.”
Pingky mengusap air matanya. ”Kami
melakukannya suka sama suka kak, tapi dia tidak ingin menikah sebelum kuliahnya
selesai. Itu sama saja artinya menunggu anaknya berusia dua tahun. Bagaimana
aku mengadapinya….?”
“Sayang.. yang harus kamu lakukan
sekarang adalah berterus terang sama kedua orang tua kamu, karena dari sana
kamu akan menemui jalan keluarnya. Percayalah.”
“Pinky nggak bisa kak.”
“Kakak akan melakukannya untu kamu, kita
pulang sekarang.”
“Jangan, jangan sekarang kak. Beri aku
waktu.” Ucap Pinky. Dilla hanya menghela napas.
‘Kandungan Pinky akan terus membesar dan pria
itu harus menikahi Pinky, apa yang harus aku lakukan..? tapi Pinky masih punya
orang tua sementara aku sendiri sudah berjanji untuk tidak mau peduli dengan
keluarga terhormat itu. Namun saat ini kondisi Pinky benar-benar membuat aku
tidak bisa berdiam diri.’ Ia menatap Pinky. ’Peduli setan dengan keluarga itu,
yang penting sekarang yang ada di depan mata ku saat ini adalah seorang wanita
yang sedang butuh pertolongan.’
“Apa yang ada di pikiran kamu sekarang?”
“Entahlah kak.. aku benar-benar bingung..”
Pinky merasa dadanya terasa sesak. Dilla memegang bahunya.
“Sebaiknya kamu pulang dulu, jika belum
bisa menceritakannya sama mama kamu tidak apa-apa, kita akan cari jalan
keluarnya.. tapi kakak mohon, sebelum kamu berbuat ceroboh kamu harus ingat
dengan kakak... karena kakak tidak akan memaafkan kamu, oke?” Dilla mengancam
Pinky dengan nada permohonan. Pinky mengangguk. ”Ayo pulang.”
“Aku naik taksi aja kak.”
“Bener kamu tidak mau kakak kantar?”
tanya Dilla. Pinky mengangguk lagi, Dilla melepaskannya walau masih ragu, namun
ia harus yakin kalau Pinky akan baik-baik saja.
‘Mamanya terlalu sibuk mendikte aku
dengan Hangga sampai anak gadisnya sendiri luput dari pantauannya. Pinky, aah..
itu pasti kesalahan Pinky sendiri aku tidak boleh menyalahkan orang tuanya.
Tapi kenapa setiap kejadian yang menimpa seorang anak selalu orang tuanya yang
di kambing hitam kan?’
Dilla pulang dari tokonya pukul 19.17.
hari pertama masuk kerja setelah libur 10 hari membuatnya harus kerja ekstra,
memeriksa pembukuan dan melihat stock barang yang keluar.
Tapi di rumah, Hangga sudah menunggunya
di ruang tamu.. dan Dilla harus menyelesaikan mandinya. Sepuluh menit
berikutnya ia sudah muncul di hadapan Hangga dengan mengenakan celana pendek
dan kaus kasual. Ia duduk di sebelah Hangga dan isi gelas Hangga tinggal
separuh. Ia menoleh pada pria itu yang dari tadi memandangnya.
“Tidak seharusnya kamu ketemu aku lagi,
karena itu akan membuat aku tambah terhina.”
“Aku tahu, andai saja aku bisa tidak
ketemu dengan kamu.. tetapi aku tidak bisa hidup tanpa kamu,
Dill..mengertilah…”
“Tapi aku tidak mungkin bisa hidup dengan
seorang anak yang tidak di restui Ibunya.. lebih tepatnya sangat membenci aku,
coba kamu bayangkan…” Dilla mendesah. ”Aku sudah tidak punya orang tua, dan
jika aku menikah maka orang tua dari suamiku nanti akan aku jadikan orang tuaku
sendiri. Aku bukan wanita yang baik untuk kamu Ngga.” Kata Dilla pelan namun
tetap saja membuat Hangga menghela napas berat. Ia memegang tangan Dilla.
“Cinta akan mengalahkan segalanya.”
“Itu omong kosong.. yang ada di dalam
cerita dan puisi anak-anak SD.” Dilla bersandar di kursinya dan melepaskan
tangan Hangga. ”Aku sudah sepakat dengan mama kamu kalau aku tidak akan menemui
kamu lagi.” Ujar Dilla serius. Hangga tertawa namun mengandung kemarahan.
“Itu tidak mungkin Dill.. jangan pernah
berjanji dengan sesuatu yang tidak bisa kamu tepati.”
“Aku, tentu saja bisa.” Ia menegakkan
punggungnya.
“Tapi aku???!” kilah Hangga.
“Ya itu urusan kamu. Aku hanya tidak
ingin keluarga kamu malu hanya karena orang bodoh seperti aku. Dan aku tidak
ingin di musuhi orang.”
“Jadi kamu tidak ingin membantu aku? Kamu
tidak ingin memperjuangkan cinta kita?”
“Karena aku tidak bisa.”
“Kamu keras kepala.” Hangga bangkit dari
kursinya dan meninggalkan ruang tamu, Dilla tidak
bisa
berbuat apa-apa. Kenyataan memang sering menyakitkan.. seperti saat ini,
kenyataan bahwa Dilla harus melupakan Hangga. Dilla termangu di ruangan besar
itu. Beberapa menit kemudian ia kembali ke kamarnya. Menyalakah TV dan
bersandar di bednya. Ada acara criminal. Seorang pria memperkosa tetangganya
dan di hukum tiga tahun penjara.
‘Kenapa tidak di hukum seumur hidup
saja.’ geram Dilla. ’Pinky? ya Tuhan.. mudah-mudahan ia sudah membicarakan
kondisinya kepada kedua orang tuanya.’ Ponsel Dilla berdering. ‘Pasti Pinky.’
“Hei Gandys? Ada apa?” ternyata bukan
Pinky.
“Dill… bisa temani aku nggak?” suara
Gandys setengah menangis.
“Kamu di mana?”
“Di kedai kopi.”
‘Kedai kopi? Dilla melirik jam yang di
samping TV-nya. Pukul sembilan kurang. ”Ya, aku akan kesana..” ujar Dilla
akhirnya.
“Terima kasih ya Dill…” Gandys mematikan
ponselnya. dia senang karena Dilla bisa datang.. sebab kata-kata wanita yang di
dalam ruangan Yudha tadi terngiang di telinganya dan membuat matanya
menghangat. Dia bersandar di kursinya. Apalagi Yudha telah membuktikan kalau
ucapannya di kartu mawar itu bohong. Dia memilih lebih menemui wanita itu.
“Hei Gandys.. tumben, sendirian?” suara
pria itu sangat lantang di telingan Gandys. Gandys tersenyum melihat kemunculan
Hangga.
“Kamu juga, tumben dines malam? Emang
sudah nggak percaya lagi sama karyawan?”
“Bukannya begitu, habis di rumah terus
suntuk.” Ia duduk di depan Gandys.
Ketika masuk ke kedai kopi, langkah Dilla
terhenti. Ia tidak menyangka akan melihat Hangga sedang bersama Gandys. ’Ada
apa ini?’ Dilla tidak ingin membatalkan niatnya hanya gara-gara Hangga. Gandys
tersenyum saat melihat Dilla sudah ada di depan pintu. Hangga mengikuti arah
mata Gandys, ia agak kaget dan menghela napas panjang.
“Sorry Dys… sepertinya aku harus ke
belakang dulu.”
“Hei di sini aja…” Gandys menoleh namun
Hangga sudah menghilang. Dia ke belakang. ”Yah dia kabur deh..” akhirnya Gandys
menghampiri Dilla dan memeluknya. ”Makasih ya Dill sudah mau datang, duduk
yok..” ia memegang tangan Dilla. Dilla duduk dan menatap sahabatnya itu.
Hatinya di liputi tanda tanya.
‘Barusan ada Hangga, ke mana dia? Dan
kenapa dia pergi? Juga kenapa dengan Gandys?’
“Oya Dill, ada Hangga di sini, dia sedang
di belakang.. apa kamu mau menemuinya?” ia tidak tahu apa-apa sepertinya.
“Aku ke sini untuk kamu, bukan orang
lain. Ada apa?” ia menatap serius wajah gadis itu.
“Yudha.” Ekspersi wajah Gandys langsung
berubah mendung. ”Belum apa-apa sudah selingkuh
dengan
cewek lain, tampangnya saja sok cool, tapi buaya!!” Nadanya mengandung
kekesalan yang sangat dalam.
“Lihat langsung?”
“Ya nggak liat sih, tapi tadi pagi
sebelum aku ke ruangannya ada suara cewek mengancam dia, harus menemui dia
malam ini kalau tidak cewek itu akan berbuat nekad. Mau bunuh diri kali,
padahal Yudha itu sudah janji sama aku akan bertemu malam ini. Atau mungkin
cewek itu sudah…”
“Hamil? Hei hei… tidak boleh berprasangka
buruk seperti itu.”
“Bukannya begitu, sebelum aku datang ke
kantor, Yudha sudah meletakan rose di mejaku beserta kartu ucapan dan akan
mengajak aku dinner malam ini, ia akan menjemput aku pukul tujuh tapi
kenyataannya mana? Kita bisa liat buktinya, kan? Belum pernah aku di sakiti
seperti ini”
“Hooho..” Dilla malah menggodanya.
“Kok kamu gitu sih…?”
“Habisnya mau ngomong apa?” Dilla malah
tertawa.
“Eit, jangan ketawa dong, aku ini lagi
serius banget. Bete banget tau!”
“Ya sudah, lain kali kalau menyukai cowok
jangan terlalu.. karena buntut-buntutnya pasti pusing.”
“Ya gimana dong, masa aku harus menjalani
hidup seperti kemaren-kemaren? Kalian yang kasi saran agar aku menghentikan
kebiasaan burukku yang suka gonta-ganti pacar.”
“Mungkin belum saatnya kali.”
“Ih kamu aneh, sudah tahu orang lagi
patah hati begini..” ia lalu menoleh ke belakang. ”Hangga kemana ya? Kok gak
nongol-nongol lagi? Ngapain dia di dalam? Dill kamu kok cuek aja sih kalau aku
bilang ada Hangga di sini? Biar aku pesan kopi ya?”
“Tidak usah, memangnya kenapa sih, Dys?
Mau dia di sini kek, tidak masalah, yang penting bukan kamu yang meminta dia ke
sini.”
Gandys menatap Dilla tidak mengerti. ”Kalian
berantem? Pasti gara-gara nenek gombel itu, kan?” tuduh Gandys.
“Nggak. Tapi kami bubar!”
“Apa? Kapan? Kok secepat itu?”
“Kamu sendiri juga pernah pacaran satu
bulan, kan?”
“Ya sih… tapi Hangga kan, beda.”
“Apanya yang beda..??” Dilla masih
terlihat bisa mengontrol emosinya.
“Pantesan waktu aku tanya sama Hangga,
ngapain dines malam-malam jawabnya lagi suntuk.”
Dilla mengernyitkan alisnya. ”Dines
malam?”
“Ya iya… di sini. Jangan bilang kamu
belum tahu kalau kedai kopi ini milik Hangga.”
“Serius..??”
“Ya seriuslah.. masa aku berbohong.” Kata
Gandys mantap. Saat itu juga Dilla beranjak dari kursinya.. namun ponselnya
keburu berdering. Panggilan dari Frista. Gandys menatap wanita itu yang menerima
telepon sambil berdiri.
“Ya hallo… kamu di mana?” tanya Dilla dan
ia menyimak setiap ditel kata-kata Frista. Lalu ia menjawabnya. ”Tidak, tidak
minta apa-apa.. semuanya baik-baik kok, ya semua.. m mm.. daaa..” Dilla pun
mematikan ponselnya lalu melirik ke Gandys. ”Pulang sekarang nggak? Barusan
Frista telepon.” Katanya saat melihat tatapan Gandys, ia tidak ingin gadis itu
penasaran. ”Dys.. aku tidak bisa lama-lama di sini, aku mohon.” Pinta Dilla.
Gandys mengangguk mengerti. Mereka akhirnya meninggalkan kedai kopi. Dan dari
tadi pula Hangga membiarkan kedua sahabat itu bebas membicarakan apa saja tanpa
bermaksud untuk mengganggunya atau pun mendekatinya. ia tidak mau gegabah,
bagaimana pun juga ia tidak mau mendapatkan Dilla dengan cara paksaan, semuanya
butuh proses jika tidak ingin menyesal seumur hidup. Dilla memang gadis yang ia
impikan.
“Dys.. Frista di Malaysia.. menghadiri
pertemuan bisnis selama seminggu.”
“O o pantesan waktu aku telepon ke kantor
ia tidak ada di kantor. Tapi kenapa kamu bilang kita semuanya baik-baik saja?
apanya yang baik?” kata Gandys protes. Dilla menatap sahabatnya.
“Memangnya kita tidak sedang baik-baik
saja? Frista itu sedang bekerja, sepertinya bukan waktu yang tepat mengatakan
pada Frista kalau aku sudah bubaran dengan Hangga dan juga bilang kalau Yudha
sedang mengkhianati kamu. Ya, kan?”
“Ya setidaknya kan Frista harus tahu, dia
itu kan care banget sama kita.”
“Tapi kita juga harus care sama dia
dengan membiarkan dia fokus dulu sama pekerjaannya.”
“Ya kamu benar juga.” Gandys mengangguk.
Sebelum larut, mereka pulang dengan mobil masing-masing.
Gandys mematut dirinya di depan cermin.
Ia menarik napas dalam-dalam.. rasa kesalnya kepada Yudha semakin memuncak.
‘Dia pikir siapa dia? Sok romantis, sok
sangat mengenali aku, Yud.. kamu itu benar-benar tidak tahu diri. Aku benci
sama kamu.’
Papa Gandys menyusul anaknya, karena dia
sempat melihat Gandys pulang dengan wajah cemberut. Ia menghampiri putri
sulungnya itu dan memegang bahunya.
“Ada apa? Berantem sama pacar? Sini…” ia
membawa Gandya duduk di sofa. Gandys duduk dengan kasar.
“Laki-laki itu berengsek!” gerutu Gandys.
Papanya geleng-geleng kepala. Sudah ia duga kalau anaknya lagi sangat marah.
Tapi ia justru merasa senang dan mentertawai anaknya. Karena selama ini ia tahu
kalau Gandys tidak pernah komplin dengan masalah cowok.. kalau dia marah itu
pertanda baik.
“Sepertinya ada yang lagi jatuh cinta
nih..!”
“Bukan jatuh cinta, tapi patah hati..!”
“Tapi kalau menurut Papa sih sama aja.
Gimana bisa patah hati kalau tidak lebih dulu jatuh cinta.. hayoo…?”
“Papa kok ngomongnya gitu sih?”
“Coba kamu ingat, apa selama ini pernah
terpikir oleh kamu tentang perasaan pria yang pernah kamu kenal? Apa mereka
kecewa, sakit hati atau patah hati… seperti yang kamu maksud tadi.”
“Ya nggak tahu.” Ia menyandarkan
kepalanya pada bahu papa.
“Seharusnya kamu tahu, papa hanya ingin
mengatakan satu hal, jika kamu mencintai pria itu dan dia juga mencintai kamu,
maka kamu harus memperjuangkannya… apapun resikonya.” Ujar papa serius. Gandys
melirik papanya lalu tersenyum.
“Pa, gimana kalau seandainya pria itu
tidak mencintai aku…?”
“Berarti kamu harus melupakannya meski
pun harus patah hati.. karena kalau kamu kejar juga dia akan terus menjauh.”
Tutur papa. Gandys masih menyandar.
‘Kata-kata papa memang benar, Yudha
mungkin tidak mencintai aku, ini seperti karma. Aku selama ini tidak mau tahu
perasaan pria, jika benar Yudha bermaksud membalas aku, dia berhasil karena
hatiku saat ini sangat sakit.’
Di kantor, Yudha masuk ke ruangan Gandys.
Gandys merasa ada perasaan benci yang memuncak dan berharap pria itu tidak akan
muncul lagi di hadapannya.
“Aku kesini ingin minta maaf, karena..”
Yudha menghela napas berat dulu. ”Huuh.. aku tidak bisa menjemput kamu semalam,
maafkan aku ya.. makan siang nanti aku tunggu di bawah.”
“Tidak perlu.” Gandys mengangkat
wajahnya. ”Jangan lupa menutup pintu kembali.” Ia ingin Yudha segera pergi dari
hadapannya. Tapi pria itu masih menatapnya dengan serius.
“Aku akan menunggu kamu di bawah sampai
kamu muncul.” Kata Yudha sebelum berlalu dan menutup pintu. Gandys
menghempaskan punggungnya di sandaran kursi.
‘Liat saja, aku tidak akan datang. Maaf,
gampang sekali ia minta maaf. Dia pikir aku tidak tahu kemana ia semalam?
Telepon juga tidak’
“Datang ya…” tiba-tiba muka Yudha muncul
lagi dari sela-sela pintu yang ia buka sedikit. Dan buru-buru ia tutup kembali
sebelum Gandys melemparkan buku tebal ke wajahnya. Gandys sempat kaget melihat
sikap Yudha.
‘Sial!’
Saat makan siang Gandys menelepon kantin
agar di bawakan makan siangnya ke atas. Yudha menunggunya di baseman sangat
lama.
‘Keras kepala juga dia padahal aku sudah
minta maaf.’
Pegawai kantin membawakan pesanan makan
siang untuk Gandys.
“Kenapa sih mbak sampai gak sempat turun,
sibuk berat ya?”
“Ya gitu deh… terima kasih banyak ya.”
Gandys akhirnya makan sendirian di ruang kerjanya. Ia sebenarnya tidak suka itu
tapi tidak ada pilihan. Sementara Yudha kembali ke ruang kerjanya tanpa makan
siang. Ia tidak mengira kalau Gandys bisa semarah itu. Semunya gara-gara Cindy
yang mendadak kolokan seperti sebelum-sebelumnya, kalau tidak di turuti bisa
gawat.
Cindy itu adik kelas dan teman Yudha dari
kecil, Yudha sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. Dua hari yang lalu Cindy
baru saja kembali dari Kalimantan. kedua orang tua Cindy memang sudah kembali
menetap di Kalimantan sejak 6 tahun yang lalu. Ayah Cindy bekerja sebagai
karyawan Pertamina yang dulu sering di pindah tugaskan.. dan di Kalimantan
sepertinya tempat terakhirnya.
Sementara Cindy dari dulu memang sering
tinggal bersama tantenya yang serumah dengan neneknya di Jakarta. Tantenya
adalah wanita single meski sudah mencapai usia 40-an. Bisa di bayangkan betapa
manjanya Cindy di bawah asuhan nenek dan tantenya. Tapi yang lebih memanjakanya
adalah neneknya. Tantenya tidak begitu. Cindy anak ke 3 dari 4 bersaudara.. dan
dua wanita dan dua pria.
Seperti kejadian kemaren pagi di kantor.
Dia akan berteriak kalau Yudha tidak mengabulkan permintaannya agar Yudha main
ke rumahnya. Yang ternyata sekedar makan malam dan mendengar semua ceritanya
selama di Kalimantan.
Pulang kerja Yudha buru-buru menyusul
Gandys yang keluar duluan. Di parkiran ia berusaha mencegat Gandys yang sudah
berusaha masuk ke dalam mobil.
“Gandys, tunggu sebentar.” Kata Yudha.
Gandys menoleh sekilas lalu membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. ”Dys…”
Yudha memegang pintu mobil. ”Aku tahu kamu marah, tapi tunggu sebentar, ada
yang ingin aku jelaskan.”
“Yudha..!!?” suara itu memaksa Yudha
menoleh ternyata Cindy, detik berikutnya ia sudah ada hadapan Yudha dengan
senyumnya yang cemerlang.
‘Ya Tuhan…!’ Yudha mengeluh. Gandys
menatap gadis itu sejenak lalu menginjak gas mobilnya. Yudha berusaha memegang
mobil namun Gandys sudah meluncur. ’Sial!’ Yudha kesal sekali.
“Yud…” Cindy memegang tangan Yudha. ”Aku
ke sini ingin mengajak kamu makan malam di
tempat
kita suka nongkrong dulu. Aku kangen banget dengan tempat itu. Oya.. gadis di
dalam mobil tadi siapa?”
“Gandys.”
“Tadi kamu mengejarnya, sebenarnya ada
apa sih?” pertanyaan Cindy menyelidik.
Yudha tertawa. ”Pertanyaan kamu aneh,
kalau mau makan ayok, aku sedang laper berat nih.” Yudha menarik tangan Cindy
masuk ke mobilnya. Yudha masih memikirkan kemarahan Gandys, ia memang salah
karena tidak menempati janjinya pada gadis itu. Apalagi di saat ulang tahunnya.
‘Aduh Gandys, aku kan sudah minta maaf.’
“Yud, kamu sekarang kok aneh sih?
Jangan-jangan karena wanita itu. Kelihatannya dia….”
“Dia apa?”
“Dia satu kantor sama kamu? Pacar, ya?”
“Kemaren, nggak tahu kalau sekarang.
Kalau aku bilang pacar, di ajak ngomong dia nggak mau..”
“Lagi marahan ceritanya?” Cindy melirik
Yudha. ”Ngapain kamu punya pacar yang ngambekan begitu? Nggak ada untungnya,
masih banyak cewek lain yang lebih cakep.”
“Cin.. kamu itu bicara apa sih? Kenapa sejak
pulang dari Kalimantan bicara kamu menjadi ngawur? Kamu itu ngomongin orang
yang belum kamu kenal.” Yudha menekan emosinya.
Dan di tempat makan, Yudha benar-benar
menghabiskan makanannya. Kebetulan belum makan dari tadi siang. Cindy
memperhatikannya dengan seksama.
‘Dia tampan.’ Bathinnya. ’Apakah aku bisa
memilikinya lebih dari seorang teman? Tetapi untuk mendapatkannya aku harus
melakukan apa saja.’
“Cindy…?”
“Ya, o mm… apa?”
“Eh, sore-sore begini malah ngelamun.”
Kata Yudha. Cindy nyengir karena ketahuan sedang ngelamun.
“Nggak, asyik aja melihat kamu makan,
sepertinya kamu lupa makan siang tadi. Hari ini sibuk banget ya? Sampai
melupakan kesehatanmu, atau jangan-jangan karena wanita tadi membuat kamu
sangat sibuk?’”
“Aku ini memang laper dan makanan di sini
memang enak.”
“Tentu saja, ini kan tempat favorit kita.
Bagaimana kalau setiap pulang kerja kita makan di sini?”
“Kamu ini kayak nggak ada kerjaan aja, gimana
kabar cowok kamu? Apa masih sibuk dengan petualangannya? Gunung apalagi yang
belum ia daki?”
“Sudah berakhir, kami bubaran sejak tiga
bulan yang lalu. Dia lebih mencintai gunung-gunung dari pada saya, yang di
obrolin sama saya semuanya tentang kekagumannya pada gunung dan alam, tidak
pernah sekali pun tentang yang lain. Saya bosan mendengarnya.” Tutur Cindy dan
Yudha tersenyum melihat ekpresi gadis itu yang seperti anak kecil. Andai saja
Cindy bisa bersikap dewasa maka mereka tidak akan bubar. Ia ingat Gandys. Ia
tidak ingin mereka sampai bubar hanya karena gara-gara kemaren.
“Cin.. pulang yok! Aku baru ingat, ada
sesuatu yang harus aku kerjakan.”
“Apa aku bisa bantu?”
“Terima kasih, tapi aku yakin masih bisa
menyelesaikannya sendiri.”
“Tapi masih ada waktu untuk mengantar aku
pulang, kan?”
“Ya tentu saja.” mereka meninggalkan
tempat bersejarah itu.. tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu pulang
kuliah dulu. Dan malam ini Yudha akan ke rumah Gandys. Ia akan membawakan
setangkai bunga mawar yang indah serta mengajaknya makan malam.
‘Gandys harus mendengar penjelasanku,
kenapa aku sampai tidak menjemputnya semalam. Kalau dia benar-benar mencintaiku
dia pasti mau mengerti. Gandys aku benar-benar mencintaimu sayang…’
Dengan style yakin, Yudha sudah berdiri
di depan rumah Gandys. Sudah siap dengan semua kata-kata yang akan ia ucapkan,
dengan segala rangkaian bujukan tapi sayangnya Gandys bukan tipe cewek yang
suka menikmati kesedihan atau menangisi nasibnya dengan berdiam diri di rumah.
Gandys tidak sedang ada di rumahnya dan
tidak ada yang tahu di mana ia berada. Yang pasti ia adalah cewek party lover.
Yudha coba menghubungi ponselnya namun tidak berhasil. Dan coba menelepon Dilla
namun gadis itu pun tidak tahu kemana perginya Gandys.
Dilla sedang berusaha membantu Pinky,
karena Pinky mempercayainya. Mereka berdua mendatangi rumah pria yang bernama
Adhit sang pacarnya Pinky. Dilla merasa beruntung karena mama Adhit punya sifat
kebalikan dari mamanya Hangga. Sehingga dia bisa ngobrol dari hati-kehati
dengan wanita itu. Dia senang mendengar keputusan mamanya Adhit. Keluarga itu
bisa menerima Pinky.
“Anak sekarang kalau pacaran tidak pernah
mau tahu batasan-batasannya.” Ucap mama Adhit. Pinky hanya tertunduk malu di
sebelah Dilla. ”Saya kenal dengan keluarga Pinky tapi saya baru melihat kamu.
Saya harus bertemu dengan kedua orang tua Pinky, Adhit dan Pinky memang harus
menikah.”
“Saya ini hanya kakak angkat Pinky, bisa
juga di bilang temannya Pinky. Ibu bisa bertemu dengan kedua orang tua Pinky
besok.” Dilla pun menoleh ke Pinky. ”Kakak benarkan, Pinky?” tanya Dilla. Pinky
mengangguk ragu-ragu. Dia bisa bertahan dan datang ke rumah Adhit semua karena
Dilla. Dan ia pun mampu mempertahankan kandungannya hanya karena kata-kata
Dilla yang bisa meyakinkannya. Ia juga merasa hanya Dilla-lah yang bisa
memahami kondisinya.
Sebagai orang tua dari pihak pria mereka
mendatangi keluarga Pinky. Itu jarang terjadi. Itu penghormatan besar yang mereka
lakukan demi sebuah tanggungjawab. Jarang ada yang mau berbuat seperti itu,
yang ada pihak cewek yang mengemis meminta tanggungjawab pada pihak pria. Namun
Dilla sebagai wakil dari keluarga Pinky sudah memohon pada keluarga Adhit yaitu
sebuah pertanggungjawaban dari Adhit. Beruntung, keluarga Adhit bisa
menempatkan tanggungjawab di atas segalanya.
Di ruang tamu besar itu, Ayah Adhit
sedang membicarakan pokok permasalahan dari anak-anak mereka. Pinky duduk di
antara kedua orang tuanya. Semalam ia sudah membicarakan permasalahan itu pada
papanya. Ia berani terbuka sama papanya dan meminta maaf. Tidak ada yang pria
itu bisa lakukan, andai ia bunuh, maka dia yang akan masuk penjara, di marahi
tetap tidak bisa merubah keadaan, di pukul sampai babak belur pun tidak akan ada
hasilnya… kecuali rasa sakit keduanya.. pria itu hanya mendengar penjelasan
dari orang tua Adhit.
“Sebelumnya atas nama keluarga Adhit,
saya minta maaf..” tuturnya berusaha bijaksana, mama Pinky tak memperlihatkan
wajah bersahabat. Dia memang tahu Pinky dan Adhit dekat namun tidak tahu apa
yang sedang terjadi.
“Boleh saya bicara sebentar dengan Ibu.”
Katanya pada mama Adhit.
“Mm tentu saja..” ujar mama Adhit
menanggapi usulan mama Pinky. Akhirnya mama Pinky membawa mama Adhit ke ruang
tengah. Sementara Pinky terlihat cemas. Di ruang tengah wanita itu
mempersilahkan mama Adhit untuk duduk. Dan mama Adhit menatap mama Pinky.
“Saya yakin, ibu sudah tahu kan apa yang
akan kita bicarakan?”
“Saya tidak tahu tentang anda apalagi
dengan yang anda maksud.” Jawab mama Pinky apa adanya.
“Anak kita akan segera di nikahkan.”
“Maksud anda?”
“Kenapa anda bertanya seperti itu? Pinky
itu sedang hamil dan harus segera menikah.”
“Hamil? Kenapa anda bicara sembarangan di
rumah saya?” katanya tak terkendali. Mama Adhit menarik napas panjang.
“Saya tidak mengerti, anda ini memang
belum tahu atau sengaja menyembunyikannya?” tutur wanita itu berusaha memahami.
Namun mama Pinky memperlihatkan wajah aslinya.
“Andai Pinky benar seperti yang anda
sebutkan tadi, saya pikir tidak seharusnya dia menikah sekarang. Kandungannya
pasti masih sangat kecil, masih bisa di gugurkan.” Katanya dengan santai
seakan
tidak sedikitpun ia kaget dengan apa yang telah menimpa anaknya.
“Tidak. Mereka itu saling mencintai,
Pinky tidak boleh menggugurkan kandungannya. Saya tidak mengerti dengan ucapan
anda barusan, Adhit itu anak saya satu-satunya.”
“Tapi Pinky harus menyesesaikan
kuliahnya. Dan jangan anda pikir saya akan membiayai kuliahnya jika ia
memutuskan untuk menikah.”
“Saya akan membiayainya.”
“Sombong sekali anda?!”
“Saya ini mengatakan apa yang seharusnya
saya katakan Bu, saya mengerti perasaan anda. Kesalahan anak-anak memang orang
tua yang harus menanggung malunya. Namun apapun itu sebagai orang tua kita
harus berpikir panjang. Terkadang sebagai orang tua kita harus mengorbankan
harga diri. Tapi saya tidak memikirkan itu lagi, karena saya memikirkan yang
akan datang, bukan sekarang.”
“Apa anda coba menguliahi saya?”
“Maaf Bu, saya tidak bermaksud demikian.
Harapan saya supaya anak laki-laki saya tidak di salahkan sepenuhnya di dalam
kasus ini. Seorang wanita membawa Pinky ke hadapan saya, kata-katanya membuat
saya berpikir, bagaimana seandainya saya yang berada di posisi Pinky saat ini.
Dia wanita yang baik dan bijak. Anda pasti belum mengenalinya, tapi Pinky
menganggapnya sebagai kakak sendiri.” Jelasnya. Mama Pinky menghela napas
kesal. Ia merasa pusing, masalah yang di timbulkan Pinky membuatnya merasa di
permalukan di mata para rekan-rekan arisannya. Ia merasa berat sekali
menghadapi itu. Ia menatap mama Adhit.
“Lakukan saja apa yang ingin anda
lakukan, bila perlu bawa Pinky jauh-jauh. Saya tidak mau ambil resiko, saya
akan bilang kalau Pinky sedang menyelesaikan kuliahnya di luar.”
“Anda ini kenapa? Kenapa memperlakukan
Pinky seolah bukan anak kandung anda?”
“Justru saya melakukan itu karena dia
anak saya, kalau tidak mana mungkin saya peduli. Jika dia anak orang lain maka
saya tidak akan menanggung malunya.”
“Saya mengerti maksud anda, anda benar.”
Ia pun bangkit dan meninggalkan wanita itu. Ia tidak menyukai wanita egois itu.
Ia sudah kembali ke ruang tamu, menemui suaminya. ”Bagaimana Pa? kita bisa
pulang sekarang?” katanya datar, lalu ia mengangguk dan tersenyum pada papa
Pinky. Dan Pinky menunduk di samping papanya.
“Pak, kalau bisa kami ingin membawa Pinky
pulang bersama kami sekarang.” Ujar papa Adhit. Mendengar itu kepala Pinky
langsung terangkat. Papa Pinky tersenyum dan merangkul anaknya. Ia terharu
dengan ketulusan orang tua Adhit. Pria itu akhirnya menggeleng lembut.
“Tidak, bukan malam ini. Saya akan
melepaskan anak saya secara baik-baik, saya berterima kasih sekali pada kalian,
semoga Tuhan membalasnya.”
Mereka memahami dan tersenyum maklum
hingga akhirnya pamit pulang.
Pinky berlari ke kamarnya. Mamanya ngomel
panjang lebar pada suaminya… dan pria itu tidak memahami jalan pikiran
isterinya.
“Kita akan mengurus pernikahan mereka,
seharusnya kita bersyukur karena Adhit mau bertanggungjawab.”
“Kenapa papa menyetujuinya?”
“Maksud mama apa? Apa lagi yang kita
pikirkan?”
“Menggugurkan kandungan Pinky dan
memisahkan mereka.”
“Kenapa mama punya pikiran untuk membunuh
anak Pinky?”
“Papa itu harus berpikir realistis
sekikit, apa kata orang kalau tahu Pinky hamil di luar nikah?”
“Jadi mama pikir papa tidak pernah
memikirkannya? Seharusnya kita pikir ini jauh sebelumnya. Tapi sekarang kita
harus menghadapi kenyataan.”
“Sudahlah, percuma saja bicara sama papa.”
Wanita yang sedang kesal itu pergi ke kamar Pinky.
Pinky sedang memeluk bantal di atas
tempat tidurnya. Mama menatapnya dengan penuh amarah. Ia pun menghardik.
“Siapa wanita yang kamu ajak ke rumahnya
Adhit?”
“Teman.” Pinky tidak mau menatap mamanya.
“Teman? Jadi kamu pikir mama tidak bisa
melakukannya? Mama sangat kecewa dengan kamu Pinky, 18 tahun usia kamu namun
tidak sedikitpun kamu berpikir kalau perbuatan kamu itu akan berakibat
kehamilan. Kalau sudah begini siapa yang repot? Siapa yang malu?”
“Maafkan saya, ma.”
“Maaf, mama tidak butuh maaf kamu. Kamu
tahu? Kasus seperti ini, selalu saja pihak wanita yang di salahkan, yang di
bodohi dan menjadi bahan tertawaan orang. Lihat dirimu sekarang, apa dengan
janin yang terus membesar kamu bisa melanjutkan kuliah kamu?” katanya dengan
emosi tinggi. Dan saat itu Hangga masuk.
“Ma, jangan teriak-teriak, sudah malam.”
Ujar Hangga.
“Urus itu adikmu, semua susah di atur.”
Ia keluar masih dalam keadaan emosi. Hangga menghampiri adiknya. Ia sudah tahu
apa yang menimpa Pinky dari papanya. Mengejutkan memang.
“Kakak berhak memarahi Pinky, atau
memukul Pinky.” Pinky tidak bisa menahan air matanya lagi. Hangga memeluknya
dan menarik napas dalam-dalam. Sebagai laki-laki, ia salut dengan keluarga
Adhit.
“Sudahlah Pink… tidak perlu menangis
lagi, masalah kamu sudah teratasi. Setiap manusia pasti pernah melakukan
kesalahan, ada yang ringan ada juga yang fatal dan merugikan diri sendiri.
Kakak rasa keluarganya Adhit sangat menyayangi kamu. Kamu beruntung sayang…”
tiba-tiba ia ingat dengan Dilla. Andai saja mamanya bisa menerima Dilla.. tapi
Hangga tidak mau peduli lagi, restu orang tua memang penting, namun ia tidak
mau menyerah, jika sudah melangkah ia tidak akan mundur lagi. Tapi orang tua
juga bisa saja salah menilai calon menantunya. Hangga bertekad hari ini akan
menemui Dilla. Dia tahu kekasihnya itu punya hati yang mulia, dan Hangga begitu
mencintainya.
Pukul 19.00 Hangga ke rumah Dilla tanpa
menelepon terlebih dahulu.. itu di sebabkan Dilla tidak pernah mengangkat
telepon darinya.. karena sedang berusaha melupakan pria itu. Dilla merasa capek
mencintai dan berharap dengan sesuatu yang pasti, karena pekerjaannya sudah
menyita waktu.
Mbok membuka pintu dan mendapatkan Hangga
di depan pintu sedang berdiri di hadapannya.
“Selamat malam, mbok.”
“Mmm.. malam…”
“Dilla ada, kan?”
“Ada tapi….” Ia ragu-ragu.
“Mbok, saya harus bertemu dengan Dilla,
tolong bilang kalau saya yang datang.”
“M, anu… Non Dilla sedang tidak enak
badan… dia sedang istirahat. Hari ini kelihatannya dia lelah sekali. Mbok mohon
jangan ganggu dia..”
“Apa dia sakit?”
“Bukan, katanya hanya tidak enak badan.
Dari sore ia sudah rebahan di kamar.”
Hangga menghela napas. ”Mbok saya harus
melihat dia.”
“Tapi mbok harus bilang dulu, apa dia mau
bertemu atau tidak?”
“Mbok tidak perlu melakukan itu, dia pasti
menyuruh saya pulang tapi saya ingin sekali melihatnya. Tolong ya mbok kali ini
saja… saya mohon…” pinta Hangga. Wanita itu melihat ketulusan Hangga tanpa di
buat-buat membuatnya tidak tega menolak. Akhirnya ia membiarkan Hangga naik.
Hangga merasa sangat senang bisa menuju
kamar Dilla, kamar yang luas dan nyaman. Dilla memang tertidur tapi matanya
terbuka saat mendengar suara langkah kaki, ia kaget karena mbok membiarkan
orang yang tidak di inginkannya muncul di kamarnya.
“Hai…” sapa Hangga senang bercampur
cemas.
“Apa yang kamu lakukan?” Dilla bangun dan
duduk. Dia bersandar di bantalnya. Hangga menghampirinya. Dan memberikannya
seikat bunga aster. Dilla tidak menerimanya memaksa Hangga meletakkannya di
atas bed. Ia menatap wajah Dilla yang agak pucat itu.
“Kamu sakit?” ia duduk di bibir bed. ”Pasti
kecepean.”
“Ya Tuhan… kamu kenapa kesini sih? Kenapa
kamu tidak mau mengerti juga? Tolong bantu aku Ga, pahami posisiku.”
“Kenapa kamu selalu meminta aku mengerti?
Kamu pikir hati ini bisa mengerti? Aku kesini karena ingin tahu kondisi kamu,
aku kangen… kenapa kita harus menyiksa diri? Apa kamu memang tidak mau
menginginkan aku lagi? Salahku, apaaa?” Hangga sudah tidak tahu lagi apa yang
harus dia ucapkan. Dilla menarik napas panjang. Lalu ia melirik bunga aster dan
meraihnya. Hangga memegang tangannya. Mereka bertatapan, Dilla tahu kalau
hatinya sangat menrindukan pria itu. Usahanya untuk melupakan Hangga tidak
menuai hasil sama sekali. Ia merasa tubuhnya gemetar saat Hangga menggenggam
tangannya. Hangga sangat menginginkan wanita itu, ia menatap mata indah itu.
“Ya Tuhan, jangan pandangi aku seperti
itu Ga.” Kata Dilla nyaris tidak terdengar. Hangga meraihnya dan memeluknya. Ia
membenamkan wajah Dilla di dadanya. Dilla pun memeluk pria itu dengan segenap
perasaannya. Seakan ingin menyerahkan seluruh hatinya pada Hangga. Ia terharu
karena rasa cinta mereka yang begitu dalam. Getaran kalbu mendambakan
kehangatan dari cinta yang tulus.
“Sayang… aku tidak bisa hidup tanpa
kamu.” Bisik Hangga. Dilla masih memeluk tubuh hangat itu dengan mata masih
terpejam seakan tidak ingin mendengarkan apapun, kecuali berada dalam dekapan
Hangga yang hangat. Hangga mengusap rambut wanita yang mampu membuatnya merasa
bangga itu, karena telah melakukan kebaikan untuk Pinky, tanpa ingin di ketahui
oleh keluarganya. Dilla melepaskan pelukan Hangga. Ia menatap pria itu.
“Aku sudah berusaha melupakanmu tapi
tidak berhasil, maafkan aku..” akuinya. Hangga tersenyum lalu mencium keningnya.
“Aku senang karena kamu sudah berkata
jujur, wajah kamu pucat sayang.. kita ke dokter ya?”
“Aku tidak apa-apa, hanya sedikit
pusing.” Ia menyandar di bahu Hangga.
“Kamu itu terlalu keras bekerja dan
menyibukkan diri.”
“Ya, dan kenyataannya tidak berhasil juga
melupakanmu.”
“Aku bangga sama kamu, tapi aku mohon..
apa pun yang kamu lakukan jangan pernah berkata ingin melupakan aku.” Ia
mengusap pipi Dilla. Ia benar-benar akan mati jika Dilla meninggalkannnya. Ia
yakin itu. Dilla hanya menghela napas berat. Lalu ponselnya berdering. ”Biar
aku ambilkan.” Hangga meraih ponsel yang terletak di meja kecil dan
memberikannya ke tangan Dilla. Dilla langsung mengangkat ponselnya, karena
Gandys yang telepon.
“Gandys…” guman Dilla.
“Hallo Dill…, Frista.. Frista…” suara
Gandys gelagapan.
“Kenapa dengan Frista?” Dilla mulai panik
mendengar suara Gandys yang ketakutan.
“Frista kecelakaan.. di bawa ke rumah
sakit pusat.”
“Ya Tuhan… aku akan ke sana.” Ujar Dilla.
Hangga panik melihat perubahan di wajah Dilla. Dilla sudah menutup teleponnya.
“Ada apa sayang…?”
“Frista kecelakaan, aku akan segera
kesana..”
“Tidak. Kamu di rumah saja, biar aku yang
ke sana..”
“Ini tidak adil,…” ia beranjak dan melompat
dari atas bednya. Hangga memegang tangannya,
“Frista itu juga sahabatku, kondisi kamu
lagi lemah. Percayalah sama aku..”
“Kamu tidak mengerti Ga.”
“Baiklah, kita berangkat sekarang..”
Hangga menyerah.
Hangga menyetir mobil ke rumah sakit
pusat. Dilla menghubungi Gandys yang sudah ada di rumah sakit. Gandys
mendapatkan kabar dari keluarga Frista yang terlebih dahulu di hubungi dari
pihak kepolisian. Frista yang baru kembali dari Malaysia menumpangi taksi dan
mengalami kecelakaan di Tol.
Sebuah truk menyalip di luar dugaan.
Sopir taksi meninggal di tempat dan Frista mengalami luka serius. Bahkan bisa
saja meninggal. Gandys menceritakan kronologisnya membuat Dilla menangis. Bumi
seakan berguncang hebat, kepalanya terasa pusing.
“Sayang.. tenangkan dirimu, Frista tidak
akan apa-apa yakinlah..” Hangga coba menenangkan wanita itu. ”Tenang ya..”
ucapnya lagi. Sebenarnya dia sendiri juga takut terjadi hal yang tidak di
inginkan pada sahabatnya itu. Frista adalah seorang sahabat yang luar biasa.
Sejak di bangku sekolah dia selalu berada di urutan teratas. Hangga sangat
memahami sosok dan keinginan-keinginannya, cara pandangnya serta ambisinya.
Hangga juga tahu kalau laki-laki yang bernama Dias itu adalah salah satu teman
mereka yang begitu mencintai Frista.
‘Dias…. Dimana kamu saat ini, sobat?’
gumanya lirih.
Sebagai
teman Hangga memang menyayangi Frista, sebab Frista adalah salah satu teman
wanitanya yang brillian. Tapi jika Hangga melakukan kesalahan maka Frista tidak
segan-segan memarahinya. Hangga juga tahu kalau Frista sangat peduli sama dia,
dan menyayanginya. Makanya ia tidak pernah tersinggung atau sakit hati setiap
menerima omelan dari Frista.
‘Ya Tuhan selamatkan Frista.’ Doa Hangga
dan mereka tiba di rumah sakit setengah jam setelahnya.
Gandys menahan Dilla di depan pintu kamar
Frista, dan memeluk wanita itu. Kemudian ia membawa Dilla ke kursi panjang yang
ada di sisi kanan pintu.
“Bagaimana keadaannya?” kata Dilla tidak
sabar.
“Buruk, sedang ada keluarganya di dalam.”
“Apa kata dokter?” Hangga juga tidak bisa
menahan kepanikannya. Gandys menatap Hangga.
“Aku tidak tahu pasti, kata dokter kaki
kiri Frista patah, tulang lehernya retak dan entah apalagi…”
“Ya Tuhan separah itukah?” Dilla amat
terpukul.
“Tenanglah Dill…” Hangga memegang pundaknya.
”Apa Dias tahu tentang musibah ini?” Hangga bertanya pada Gandys.
“Waktu aku telepon keluarganya, mereka
bilang kalau Dias sedang ada di Sidney. Keluarga Dias juga akan ke sini karena
dapat kabar dari keluarga Frista.”
“Kamu menyimpan nomor Dias?” tanya
Hangga.
“Memangnya?”
“Nomornya di aku ke-apus..”
“Ya aku punya, kau saja yang
menghubunginya.” Gandys memberikan ponselnya pada Hangga. Keluarga Frista
keluar dari ruangan. Gandys dan Dilla langsung menghampirinya. Sementara Hangga
coba menghubungi Dias.
“Bagaimana keadaan Frista, tante….?”
“Tante tidak bisa menjelaskannya Dys,
kalian bisa melihatnya.” Wanita itu menitikkan air mata. Adik Frista membawanya
ke kursi.
Gandys, Dilla dan Hangga masuk ke ruangan
Frista, di mana Frista sedang berjuang memperjuangkan hidupnya. Dia belum
sadar… lehernya di gift dan kakinya terbalut perban tebal dari mata kaki sampai
lutut. Melihat keadaan Frista membuat leher Dilla yang seakan tercekik. Gandys
mendekatkan mulutnya ke telinga Frista dan berbisik.
“Hei wanita hebat, tempat kamu bukan di
sini.. bangunlah, kita ke sini ingin membawa kamu pulang dan kita akan pergi
keliling Nusantara lagi.” Suara Gandys serak seakan tersangkut di
tenggorokannya. Hangga menarik lembut tangan Gandys.
“Tenanglah, dia pasti mendengarkanmu..
mari kita berdoa untuk kesembuhannya…” sesaat kemudian mereka berdiri mendekati
tubuh Frista untuk meminta kesembuhan gadis itu kepada sang pencipta, pemilik
hidup dan mati. Tangan Dilla memegang tangan Frista. Ia berdoa untuk kesembuhan
Frista dan semoga sahabatnya itu tidak cacat. Tanpa sadar tangannya memegang
tangan Frista begitu erat. Hatinya sakit sebab dewi penolongnya itu sedang
terbaring di antara hidup dan mati. Dia tidak dapat membayangkan seperti apa
rasa jika harus kehilangan Frista.
Dokter memperkirakan kalau Frista akan
sembuh total, namun harus berada di dalam pengawasan penuh oleh tim medis
minimal satu bulan. Malam itu rekan kerja dan bisnis mengunjungi Frista saling
bergantian. Namun kondisi Frista masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Esoknya,
Dias kembali dari Sidney dan langsung
terbang ke rumah sakit. Frista sudah sadar dari paginya namun belum bisa
menggerakan tubuhnya sama sekali. Ia juga sudah di beritahu tentang kakinya
namun yang ia khawatirkan malah pekerjaannya yang di kantor. Jika ia ingat
punya staf yang begitu handal maka ia tidak perlu mengkhawatirkan masalah
pekerjaan. Tapi begitulah Frista, dia tidak ingin membuat orang repot dengan
pekerjaannya.. atau pun mengandalkan orang lain, mungkin di sanalah letak
kesuksesannya.
Dias tidak bicara apa-apa karena dia tahu
kalau Frista adalah bukan wanita yang butuh perhatian yang berlebihan. Dia
wanita kuat dan Dias tidak mau berbasa-basi dengan kata-kata klise, semisal
harus tabah, semoga cepat sembuh dan sebagainya dan sebagainya. Karena
kata-kata seperti itu tidak akan membuat Frista tertarik. Dan cocoknya ucapan
seperti itu untuk dirinya sendiri. Dias hanya tersenyum dan menyapanya.
“Hai… I miss you.”
Frista membalas senyum itu sekedarnya. ”Tapi
aku benci sama kamu.” Dias pun mengangguk mengiyakan. Ia duduk dan menatap mata
Frista dan mulai bercerita pelan.
“Beberapa bulan ini aku melihat kamu
memiliki teman-teman yang sangat hebat, aku senang. Mereka sangat menyayangi
kamu. Bisnis kamu pun maju pesat. Terkadang ada sesuatu, benci namun selalu
muncul di dalam memori kita. Kamu tahu Fris… sesuatu yang tidak kita inginkan
itu biasanya mengganggu. Aku tidak pernah ingin memikirkanmu, tapi kamu terlalu
kuat untuk di tepis.” Katanya lembut sembari mengusap tangan Frista yang
tertusuk jarum infuse. Dia mungkin berkata benar namun Frista tidak pernah
berharap pria itu muncul di saat-saat seperti itu. Sebab dia sendiri tidak
yakin dengan perasaannya pada Dias. Dia tidak mau terlena, tidak mau berharap
apalagi minta di kasihani.
Semua akan terjadi bila saatnya tiba,
tidak perlu berkhayal dengan mimpi-mimpi indah, karena hidup adalah kenyataan
bukan khayalan. Tapi hati kecil Dias bertekad apapun yang terjadi pada Frista
maka ia tidak akan berpaling. Seburuk apa pun itu, sekalipun kakinya harus di
amputasi. Dia rela menjadi tongkat Frista. Dia sedikit terhibur karena
kecelakaan itu tidak sampai merenggut nyawa Frista.
Yudha bermaksud menjenguk Frista namun
Cindy ngotot mau ikut. Yudha terlambat di kasi tahu oleh Dilla karena Gandys
sedang muak sama pria itu. Yudha selalu tidak punya pilihan jika sudah berhadapan
dengan Cindy. Ketika sampai di rumah sakit masih ada Gandys dan Dilla. Yudha
mengenalkan mereka pada Cindy. Cindy mengakui sebagai teman Yudha namun hati
kecilnya membantah. Sepertinya Gandys sendiri pun tidak percaya kalau mereka
sebagai teman.
Dilla menyadari kalau Gandys tidak menyukai
kehadiran Cindy. Namun tanpa di duga Yudha membawa Gandys keluar dari ruangan
itu dan Dilla mengajak Cindy menemaninya menemui Frista.
“Bagaimana kejadiannya? Namanya Frista,
kan?” tanya Cindy pada Dilla.
“Mungkin salah satu sopir ada yang
lengah… mungkin juga jalannya sudah harus seperti ini.”
“O.” mereka pun sudah ada di hadapan
Frista. ”Hai… semoga cepat sembuh ya…” ia memegang tangan Frista lembut dan
tersenyum tulus. Frista sudah mendengar tentang Cindy, ia pun tersenyum.
“Terima kasih..” ujar Frista dengan nada
yang sulit akibat lehernya masih di pasang penyangga. ”O ya… Yudha belum pernah
cerita tentang kamu…” nadanya masih terputus-putus.
“Yudha memang begitu.” Kata Cindy dengan
suara yang begitu menyakinkan. ”Dia cowok yang tidak banyak omong. Itu yang aku
suka dari dia, kami temenan sejak dari bangku kuliah. Tapi akhir-akhir ini….”
Cindy tidak meneruskan kata-katanya. Ia menatap Dilla, dan Dilla segera tahu
apa maksud dari kata-kata Cindy itu namun ia hanya tersenyum dingin.
‘Sepertinya saingan Gandys cukup berat
juga.’ Ujar Dilla dalam hati.
Frista tidak banyak berkomentar tentang
obrolan Dilla dengan Cindy.
Gandys mengacuhkan Yudha, dia menyesal
Dilla menelepon pria itu. Yudha menatap gadis itu dan coba memegang tangannya
namun di tepis oleh Gandys.
“Dys… aku sudah mengaku salah, kenapa
kamu tidak mau memaafkan aku? Cindy itu hanya teman, tolong percayai aku…”
“Bagaimana aku bisa percaya, di mana ada
kamu di sana juga ada dia.” Gandys bicara apa adanya. Yudha menghela napas
panjang. ”Aku juga bisa melihat yang di inginkan sahabat kamu itu dari kamu.
Jangan khawatir, akan aku berikan kalian kesempatan. Aku tidak akan apa-apa.”
“Apa maksud kamu, Dys…?”
“Aku sedang tidak ingin bertengkar Yud,
karena di sini temanku sedang sakit. Sebaiknya kamu mengajak teman kamu atau
pacar kamu itu pulang.” Gandys melangkah namun tetap di ikuti oleh Yudha.
“Dys…! Aku…”
“Hai…?” sapa Cindy. Mereka sudah
berhadap-hadapan… Gandys tersenyum namun ia tidak akan menatap Cindy dari ujung
kaki hingga kepala. ”Mm Yud… kita pulang sekarang ya.. aku sudah pamitan sama
Frista.” Ujar Cindy. Yudha mengeluh lagi.
“Ya tunggu sebentar ya..” ia masuk ke kamar
Frista. Dan Cindy menatap Gandys.. namun Gandys tidak mau terlalu ambil pusing
karena itu kekanak-kanakan dan aslinya dia memang cuek.
“Kamu keberatan… aku ada di sini?”
“Sedikit.” Ucap Gandys sejujurnya.
“Sepertinya Yudha sangat mencintai kamu.”
“Dulu, tapi sekarang kami sudah putus.”
“Oh ya? Kok Yuhda tidak cerita sama aku
ya?” ekspresi nada dan wajah Cindy seakan membakar emosi Gandys. Gandys
berusaha bersikap dewasa, ia sadar kalau wanita yang sedang berhadapan dengannya
saat ini adalah wanita yang tidak tahu malu.
“Dia pasti akan cerita kok., sorry ya
saya masuk dulu..” ia meninggalkan Cindy yang sedang tersenyum kemenangan.
Namun ia tidak peduli apa yang ada di pikiran Cindy terhadapnya. Padahal Cindy
sedang berguman ‘Selangkah lagi Yudha akan menjadi milikku’ sepertinya sebuah
kemenangan adalah sesuatu yang mengasyikkan. Cindy sepertinya sadar betul itu.
Mereka meninggalkan rumah sakit.
Kini, Frista sedang menatap Gandys dengan
senyum khasnya.
“Dia selingkuh atau kamu yang memberinya
peluang…?”
“Apa kamu lupa kalau aku pernah bilang
‘kalau laki-laki itu membosankan’” ucap Gandys setengah emosi, membuat Dilla
yang ada di antara mereka jadi tersenyum. Menambah keki hati Gandys. ”Dil.. jangan
senyum gitu dong.. aku lagi serius nih..”
“Memangnya aku menganggap kamu tidak
serius? Coba aja tanya Frista, ya kan Fris…??” ia melirik ke Frista. Senyum di
wajah Frista belum juga menghilang.
“Dys, kamu itu biasanya selalu jujur sama
kita tentang perasaan kamu. Ada apaaa???”
“Ya deh… sekarang aku mau jujur, dengar
ya. Aku ingin sekali kamu sembuh, karena aku sudah tidak sabar dan bosan
melihat kamu terbaring seperti ini terus.. aku kangen melihat kamu pakai baju
kantor, dan aku ingin sekali kita menikmati saat-saat seperti dulu, makan malam
bertiga, keliling kota dan… aku sering kali menonton rekaman perjalanan dan
kebersamaan kita, itu merupakan kebahagiaan tersendiri.” Ia melirik Dilla. ”Aku
benarkan, Dill…?” tegasnya. Dilla diam namun ia melihat raut wajah Frista
berubah sedih, ia mendekati wajahnya ke kepala Frista.
“Gandys memang berkata benar tapi aku
tidak pernah mau melihat wajah kamu seperti ini, aku tidak mau melihat kamu
putus asa, hmm… sebentar lagi kamu akan lihat gift itu akan lepas dari leher
kamu, dan kamu akan berjalan seperti biasa bersama kita, aku janji.” Dilla
memberi Frista senyuman, namun senyuman itu hanya membuat Frista ingin
menangis. ”Tersenyumlah..” tambah Dilla lagi.
“Mhmm… kenapa jadi serius begini sih?
Frsita kamu sendiri tahu, kan? Aku itu kalau bicara tidak pernah bisa serius..
apalagi dalam pacaran, terkadang omongan aku sendiri saja aku tidak tahu apa
artinya.” Gandys bicara asal tapi sebenarnya dia sangat sedih karena dia
sendiri tidak yakin kalau sahabatnya akan bisa berjalan normal lagi seperti
semula. Namun bawaannya yang cuek membuatnya tidak terlihat sedang sedih.
Orang cuek bukan tipe penikmat kesedihan..
tapi bukan berarti tidak peka, seperti masalah yang sedang Gandys hadapi dengan
Cindy dan Yudha, bukannya tidak berat namun Gandys tidak mau menganggapnya
berat. Permasalahannya itu sebenarnya cukup pelik hanya saja ia tidak mau ambil
pusing.
Dias bermaksud membawa Frista berobat ke
luar negeri. Ia pun menemui dokter yang menangani Frista. Menanyakan
perkembangan kondisi Frista. Dokter itu memberikan penjelasan yang sangat
memuaskannya.
“Ini hasil terakhir X-raynya.” Ia
memperlihatkannya pada Dias. Dias mengamati. ”Tulang kakinya telah menyatu
dengan sempurna, beberapa hari lagi kita akan memakai sistim terapi. Memang
butuh waktu dan kesabaran ekstra. Karena saat dia menginjakkan kakinya pertama
kali ke lantai itu akan terasa sangat sakit, butuh waktu beberapa bulan untuk
menghilangkan rasa nyeri itu. Dia butuh dukungan orang-orang terdekatnya. Namun
saya melihat perkembangan Frista sangat cepat apalagi emosi kejiwaannya. Gift
di lehernya akan di buka hari ini.. perkembangannya bagus sekali, itu berkat
dukungan teman-temannya. Anda tahu? Frista itu sebenarnya sangat kuat.”
“Terima kasih dok, saya tahu kalau gadis
itu sangat kuat.” Dias tersenyum. ’Dan berhati baja’ tambahnya dalam hati. ’jangan
coba-coba mengasihinya, bisa-bisa orang yang berniat baik di semprotnya dan
memang agak sedikit susah di mengerti.’
Setelah mendapat penjalasan yang mendetil
dari dokter ia menemui Frista.
Di ruangan itu terlihat Mamanya dan Mama
Frista sedang ngobrol. Mungkin sedang membahas perkembangan hubungan anak-anak
mereka. Sampai bosan Frista mendengarnya, membuatnya seakan ingin menghilang
dari tempat itu.
‘Tuhan ciptakan sayap untukku.’ gumannya
ngawur.
Dias menghampirinya dan bicara setengah
berbisik. ”Hei.. ada kabar baik buat kamu, waktu ke belakang tadi aku ketemu
dengan dokter kamu. Dia bilang gift yang di leher kamu akan di lepas hari ini,
dan kaki kamu akan segera sembuh, percayalah. Itu katanya.”
Frista tersenyum tipis. Ia melihat raut
wajah Dias yang sedang senang itu sesaat ‘Kalau itu sih aku juga sudah tahu.
Kenapa sih ia tidak mau berkata jujur kalau sebenarnya dia telah sengaja
menemui dokter itu? Ya Tuhan…’ keluh Frista.
“Terima kasih, aku senang mendengarnya.”
Sebenarnya ia tidak sedang ingin tersenyum tapi Dias sudah terlanjur senang.
Dias menoleh ke mamanya Frista lalu ke mamanya sendiri seolah memberitahukan
kalau Frista sangat mencintainya. Kedua wanita itu sebenarnya sudah ada di sana
sejak pagi dan Frista pun sudah memberitahukan pada dokternya kalau dia mau di
bukakan gif di lehernya setelah mamanya dan mama Dias pulang. Frista sebenarnya
tidak begitu dekat dengan mamanya namun lebih ke papanya. Ia suka papanya yang
memegang dan percaya dengan pendapat orang lain.
Frista baru bisa bernapas lega setelah
Dilla dan Gandys muncul dan yang tadi menemaminnya seharian sudah pulang ke
rumah. Gif di leher Frista pun sudah di buka oleh dokternya saat ada Dilla,
Gandys dan papanya Frista.
Frista menghela napas dalam-dalam setelah
benda yang mencekik lehernya terlepas. Namun kakinya masih terasa berat, dia
belum bisa menggerakannya. Kini dia bersandar dengan posisi setengah duduk.
“Gimana? Mendingan, kan?” tanya Dilla.
“Ya gitu deh… tapi tadi, ya ampun tahu
nggak?” ia memegang lehernya dengan mengusap pelan. ”Andai saja aku bisa
terbang.”
“Kalau kamu terbang, gimana kita bisa
ngobrol di sini?” celetuk Gandys.
“Tapi gimana pun juga mereka itu keluarga
kamu dan bagian dari kita, khususnya kamu Frist… kita terkadang memang harus
berhadapan dengan orang-orang yang tidak kita harapkan.”
“Kamu benar Dill. Seperti halnya dengan
Cindy, aku sama sekali tidak pernah berharap bertemu dengannya.” Ujar Gandys.
Dan saat itu dokter masuk bersama susternya beserta kursi roda dan di tangan
suster itu ada sepasang tongkat gif untuk Frista. Melihat itu Gandys buru-buru
menghampiri dokter itu.
“Maaf dok.” Katanya. Frista dan Dilla
tidak tahu apa yang sedang Gandys lakukan.
“Ada apa?” dokter itu menatap Gandys.
Gandys berbicara setengah berbisik.
“Tolong minta suster itu keluar sebentar
dan sekalian kursi rodanya.” Kata-kata itu membuat dokter itu mengangkat kedua
alisnya. ”Sekarang dok, saya mohon…” pinta Gandys setengah menekan. Lalu dokter
itu melirik susternya dan memerintahkan melalui gerakan mimik wajahnya. Dan
suster itu pun keluar membawa kursi roda yang tadi di dorongnya.
“Terima kasih, sus.” Kata Gandys sebelum
suster itu menghilang.
“Frista butuh kursi roda itu.” Ujar
dokter berbisik pada Gandys.
“Tidak.” Tegas Gandys dengan bisikan
juga.
“Maksud kamu?” sang dokter minta penjelasan.
Gandys menarik napas panjang.. namun suster itu masih menunggu di depan pintu
dengan kursi roda. Pria yang menginjak usia 50-an itu menatap Gandys. Baru kali
ini ia di suruh oleh rekan pasiennya. Gandys hanya tersenyum meminta pengertian
sang dokter. Membuat dokter itu keki.
“Apa lagi?”
“Mmm.. Frista tidak membutuhkan kursi
roda dan juga tongkat stik itu.. emm maksud saya, Dilla dan saya bisa
menggantikan kursi itu sekaligus stik itu…”
“Oh ya?!” dokter itu tersenyum setengah
mengejeknya karena kata-kata Gandys sangat tidak masuk di akal dokter itu.
“Dokter mengerti, kan, maksud saya?”
“Sangat mengerti.” Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Nona Frista akan menjalani terapi berjalan di
ruangan samping sana.” Ia menunjukkan jari ke arah luar kanan kamar. ”Jarak
ruangan itu dari sini lebih kurang dua puluh meter.. dan untuk mencapainya
Frista harus mengenakan kursi roda, juga sebelum mencapai pagar besi tempatnya
berlatih jalan, dia membutuhkan sepasang tongkat.” Ia melirik ke arah suster
sekilas yang masih ada di depan pintu.
“Tidak, kami bisa menggantikan alat itu,
percayalah, dok.” Kali ini Gandys memohon dan setengah memerintah.
“Oke, siapkan tenaga ekstra kamu.” Kata
dokter setelah berpikir sejenak.
“Dengan senang hati.” Ujar Gandys
semangat. Ia menatap Frista dan Dilla yang sudah cukup lama menantinya selesai
berbincang dengan dokter. Mereka mendekati Frista.
“Haloo Frista, sudah siap ke ruangan
sebelah?”
“Tentu saja dok, tapi…?” dia tidak mengerti
kenapa kursi roda dan stik tongkatnya di bawa lagi oleh suster itu. Gandys
memegang tangan Frista, dokter itu mengamatinya sejenak, menunggu apa yang akan
Gandys lakukan.
“Hei, tenang saja, aku dan Dilla akan
membantu kamu ke ruangan sebelah.” Ia melirik Dilla dan gadis itu langsung
mengerti arah ucapan Gandys. Ia mengangguk sambil buru-buru tersenyum. ”Ok dok,
kita sudah siap, mohon instruksinya.” Ucap Gandys.
Dokter itu mengangguk karena salut dengan
kekuatan persahabatan ketiga wanita itu. Itu berarti sekali untuk kecepatan
kesembuhan psikis Frista.
Dilla dan Gandys membantu Frista turun
dari ranjangnya di bantu juga oleh dokter. Dokter itu tidak habis pikir dengan
kebersamaan ketiga wanita itu. Bagaimana pun dorongan semangat seperti itu
sangat di butuhkan oleh pasien seperti Frista. Mereka membawa Frista ke ruangan
terapi. Frista tidak berani menjejakan kaki kirinya ke lantai. Gandys dan Dilla
menjadi penyangganya. Ia merasakan badannya sangat berat meski di bantu oleh
kedua sahabatnya. Dua menit berikutnya mereka sudah ada di ruangan itu. Dokter
menunjukkan dua buah besi yang sejajar yang ada di hadapan mereka. Itulah
tempat Frista akan berlatih untuk membiasakan kaki kirinya agar kuat lagi
seperti semula. Seperti hukum alam, segala yang pertama pasti lebih sulit, tapi
untuk Frista ada Dilla dan Gandys yang selalu menjadi tangga kemudahannya.
Frista mulai mencoba setelah dengan begitu susah payah, kedua sahabatnya
meletakkan tubuhnya di antara kedua sisi besi itu. Frista berjalan dengan kaki
kanannya, kedua tangan berpegang kuat pada batang besi lalu perlahan ia mulai
meletakan kaki kirinya di lantai dan saat itu wajahnya langsung meringis.
“Hati-hati.” Sergah Dilla panik. Gandys
menahan napas sementara dokter menunggu Frista di ujung besi. Frista memejamkan
matanya sesaat, dia tidak akan sanggup mencapai ujung besi itu. Tangannya
gemetaran dan ia sepertinya ingin sekali menangis. Tetapi dia tidak ingin Dilla
dan Gandys kecewa melihatnya menyerah bagaimana pun mereka berdua sudah
berusaha menggantikan posisi kursi rodanya. Frista mulai melangkahkan kakinya
dengan langkah kecil, satu dua tiga…..,
“Oke.” Dokter menghampiri Frista yang
sudah melangkah beberapa kali. ”Besok setelah sarapan kita lanjutkan lagi.. sekarang
kita kembali ke ruangan istirahat.”
Mereka mengikuti saran dokter.
Saat keluarga Frista sudah datang malam pun
sudah mulai larut.. dan mereka bertemu papa Frista di tangga lantai tiga. Mama
Frista heran melihat suaminya tidak sedang bersama Frista.
“Papa dari mana? Frista sendirian di atas.”
“Lagi ada teman-teman Frista di atas.
Dari tadi papa keluar soalnya ada keperluan.” Mereka akhirnya sama-sama menuju
kamar Frista.
Frista melihat kedua sahabatnya yang
mulai lelah, dia tidak ingin mereka sakit hanya gara-gara dia. Belum lagi besok
mereka harus kerja.
“Sudah terlalu malam, sebaiknya kalian
pulang. Sebentar lagi keluargaku akan ke sini, tadi juga papaku kan bilang
kalau dia hanya pergi sebentar.”
“Kita akan pulang kalau mereka sudah ada
di sini. Benar, kan Dys…?” kata Dilla. Gandys mengangguk pasti dan saat itu
terdengar suara-suara kaki melangkah ke arah kamar.
“Oke deh… sepertinya nyonya besar sudah
datang tuh, kamu istirahat yaa… tidur dan jangan punya pikiran macam-macam
karena dunia luar sedang menanti kita.” Frista tersenyum mendengar ocehan
Gandys. Gadis itu sepertinya memang tidak bisa melihat Frista sedih atau susah
apalagi sakit.
“Ya, pikirkan juga dirimu.” Protes
Frista.
“Frist… kami pulang dulu ya.” Dilla
mencium pipi Frista. Mereka pun sekalian pamit dengan keluarga Frista yang
sudah bergabung.
Saat di halaman parkir rumah sakit dari
dalam mobil Dilla memandang gedung rumah sakit itu. Dalam hati dia ia berkata
‘Di dalam gedung itulah Steve menghembuskan napas terakhirnya, Steve aku kangen
sama kamu.’ Dilla menghela napas panjang.
“Kita pulang.” Ucap Gandys.
“Ya, kita pulang.” Ia menyandarkan
punggungnya ke jok mobil. Sesaat setelah itu ia melirik Gandys yang sedang
memegang stir. ”Dys.. sebenarnya aku tadi kaget saat kamu bicara panjang lebar
sama dokter. Apalagi saat melihat suster membawa lagi kursi roda dan kedua
tongkatnya. Tadinya aku pikir kita tidak akan mungkin bisa melakukannya.”
“Aku tahu.” Gandys menstarter mesin
mobilnya. ”Aku sendiri sebenarnya tidak yakin, tapi saat
melihat
kursi roda sponstan saja aku berpikir Frista akan down. Bayangkan kalau dia
harus duduk di kursi sialan itu, harapannya pasti hancur, dengan begitu dia
tidak punya keinginan untuk sembuh lagi. Tidak ada seorang pun yang
berkeinginan untuk duduk di kursi roda sialan itu, kan?” ucap Gandys. Mobilnya
sudah meninggalkan pelataran parkir.
“Ya, tapi Frista juga berpesan.. ’pikirkan
juga diri mu.’” Dilla mengingatkannya. Gandys menoleh ke wajah Dilla sesaat. ia
tahu apa yang ada di pikiran Dilla dan Frista terhadap dirinya saat ini.
“Aku tahu, dia mengkhawatirkan hubunganku
dengan Yudha, kan? Anggap saja itu karma buat aku, yang harus aku terima.
Selama ini aku tidak pernah mengobral kata-kata cinta pada setiap cowok yang
aku kencani, beda dengan yang Yudha lakukan sama aku. Dia bilang mencintaiku
dan sayang sama aku. Ah…., itu yang di sebut gombal kali ya..? sekarang
tiba-tiba aku muak mendengarnya.”
“Tapi aku tidak melihat adanya bias
gombal pada diri Yudha. Aku rasa Cindy-nya saja yang bersikap berlebihan. Dia
sih mengakunya sebagai teman lama Yudha”
“Teman? Aku sih melihatnya lebih dari
itu. Yudha-nya aja yang nggak mau mengerti.”
“Yudha tidak akan mungkin memberikan
peluang masuk untuk Cindy dalam hubungan kalian. Sepertinya kamu yang tidak mau
menyadari hal itu.” Tutur Dilla membuat Gandys tersenyum.
“Dill… Dill…, terkadang banyak hal yang
tidak kita ketahui, namun ada hal yang kita ketahui dan kita membiarkannya
begitu saja.”
Dilla diam mendengar penuturan Gandys
yang ia sendiri tidak mengerti maksudnya. Sepertinya banyak kejadian yang
membuat orang menjadi dewasa. Seperti Gandys yang sepertinya lebih menerima
keadaan dan kesan egois serta manjanya berkurang. Dilla suka itu.
Minggu siang… Yudha bertemu dengan Gandys
di rumah sakit tanpa sepengetahuan Cindy. Dia mengajak Gandys makan siang. Di
meja makan ia menatap gadis itu dengan seksama, akhir-akhir ini gadis itu
sering kali menghindarinya. Dia tahu Gandys sulit memaafkannya, apalagi setiap
mereka ketemu selalu ada Cindy.
“Kenapa kamu bilang sama Cindy kalau kita
sudah putus?”
“Bagaimana menurut kamu sendiri?” ia
mengangkat wajahnya menatap mata Yudha.
“Jangan balik bertanya.” Ujar Yudha
pelan.
“Oke, sekarang begini saja… aku akan
menjalani apa yang menurut kamu benar.”
“Tapi benar menurut kamu belum tentu
menurut orang…” mereka saling bertatapan.. pesanan pun datang. Mereka menikmati
santap siang itu dengan pikiran masing-masing berkecamuk tidak karuan. Gandys
sendiri pun tidak peduli dengan pandangan orang. Hanya belum bisa melupakan
kejadian malam itu. Itulah malam pertama kali ia merasa di sakiti oleh pria.
Kenapa selalu ada yang pertama…???
Yudha meletakan sendok garpunya dengan
mata tetap tertuju pada Gandys. ”Aku tidak mungkin membiarkan hubungan kita
berakhir begitu saja.” kata Yudha. Ponselnya berdering. Ia melirik LCD-nya dan
detik berikutnya ia me-rejeck panggilan masuk itu, namun menyala lagi dan berikutnya
ia membiarkan ponselnya tetap berdering, hingga akhirnya ia memberikan ponsel
itu pada Gandys. Gandys menolak.
“Angkatlah Dys…”
“Jangan harap aku melakukan sesuatu yang
aku anggap tidak benar.” Tegas Gandys. Yudha kembali mematikan ponselnya. ”Apa
susahnya sih bicara…? Itukan teman kamu, tidak seharusnya kamu bersikap seperti
itu. Bayangkan kalau aku ada di posisinya. Kamu itu sama saja menyia-nyiakan
teman, siapa tau penting.”
“Kenapa kamu tidak mau memikirkan posisiku?
aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan hubungan kita. Tolong pahami
posisi aku..”
“Akan aku coba, tapi yang aku sesalkan
kenapa malam itu kamu tidak menelepon aku, aku kecewa.”
“Itu tidak akan terulang lagi.”
“Aku menghargainya.” Kata Gandys. Yudha
meraih tangan Gandys dan menggenggamnya erat.
“Terima kasih ya… aku kangen sama kamu.”
Ucap Yudha dari dalam hatinya yang paling dalam.
“Jangan kecewakan aku.”
Yudah
pun mengangguk pasti. Mereka tersenyum bersama.
Se-simple itukah…..??!!
Senin sore. Hangga bersama Dilla
berangkat ke rumah sakit dengan mengendarai mobil Hangga.
Pria
itu menatap Dilla sejenak.
“Pingky titip salam untuk kamu,
pernikahannya akan di adakan minggu depan di rumah Adith.”
“Kenapa tidak di rumah sendiri?”
“Mama tidak menginginkan itu, Papa tidak
mau ribut. Pingkynya sendiri tidak keberatan. Aku sebenarnya merasa tidak enak
juga sama Pingky.”
Dilla diam, dia mengerti bagaimana
perasaan Pingky saat ini. Pingky memang beruntung karena bisa masuk ke dalam
keluarga Adith. Mereka semua menyayangi Pingky. Apalagi Adith dan Pingky saling
mencintai. Itu awal yang baik. Sepertinya keluarga Adith akan membahagiakan
Pingky, semoga. Dan entah kenapa Dilla merasa yakin dengan perasaannya itu. Tapi
mama Hangga adalah tipe wanita yang tidak gampang menerima kehadiran perempuan
semacam Dilla. Namun Dilla percaya bahwa kekuatan cintanya bersama Hangga
melebihi rasa tidak suka itu sendiri. Tapi pada prinsifnya kekuatan saja tidak akan
cukup. Seperti yang terjadi pada Pingky, kekuatan cinta mereka masih perlu
dukungan yang sangat banyak dari orang lain. Tanpa dukungan tidak tahu apa yang
akan terjadi dengan nasib cinta mereka.
Sampai di rumah sakit. Dilla sangat
terkejut melihat Frista sedang berada di ruang terapi bersama Dias. Dan
sepertinya mereka sedang bertengkar hebat. Dilla langsung berlari ke arah
mereka.
“Dias… apa yang terjadi?”
“Aku hanya ingin membantunya… Dill… aku
bukannya menuntut sesuatu yang sempurna tapi aku hanya ingin dia sembuh, ingin
dia memiliki semangat itu… maafkan aku.”
Frista yang sedang putus asa mendorong
kursi roda dengan tongkatnya lalu membanting tongkatnya hingga tubuhnya
terjatuh ke lantai. Dias coba membantu namun langsung di tepis oleh Frista. Dilla
yang panik memegang Frista di bantu oleh Hangga.
“Sebenarnya jadwal terapi Frista itu
sejam lagi..” jelas Dilla. Dias mengangguk lalu menghela napas panjang.
“Sebaiknya aku pulang saja..” Dias merasa
tidak enak dan merasa serba salah.
“Maafkan dia ya…” pinta Dilla untuk temannya
itu. Dia sangat memahami kondisi Frista dan Dias. Dias mengangguk lagi, ia
bersyukur karena Frista memiliki teman yang baik seperti Dilla. Dias tidak
terlalu mempermasalahkan kondisi Frista nantinya. Andai Frista harus hidup di
atas kursi roda atau berjalan dengan kaki pincang ia akan tetap menikahi Frista
dengan satu alasan yaitu cinta.
Dilla dan Hangga membawa Frista ke ruang
istirahat. Kini dia bersandar di atas tempat tidurnya. Ia terlihat lelah dan emosi...
“Terima kasih ya Dill, karena sudah datang..”
“Jangan bicara seperti itu.” Dilla duduk
di sisi Frista. ”Kenapa kamu bisa semarah itu sama Dias?” tanya Dilla dan
Frista menghela napas berat.
“Aku tahu bagaimana rasanya menjadi orang
yang tidak berguna, seperti sampah yang kapan saja siap di buang ke tempat
sampah.” Wajah itu marah bercampur putus asa.
“Jangan pernah bicara seperti itu,
Frist.” Dilla memeluk sahabatnya. ”Aku mohon jangan bicara seperti itu lagi
ya.”
“Aku memang merasa seperti itu, tidak ada
yang harus aku sembunyikan sama kalian.” Jelas Frista. Hangga yang mendengar
itu tidak bisa bicara apa-apa. Ia memahami kondisi dan perasaan Frista yang
lagi down. Meski ia terlihat kuat namun ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya,
Hangga kenal betul dengan watak wanita itu. Ia jarang menyerah apalagi putus
asa, jika saat ini ia terlihat putus asa berarti permasalahannya sangat berat.
Adakah yang bisa membantunya? Apakah dorongan moril bisa membantunya? Frista
wanita yang tidak gampang di kasihani. Dia terbiasa kuat dan menyelesaikan
masalahnya sendiri. Dia tidak mau tergantung dengan orang lain, dia terbiasa
membantu orang bukan merepotkan orang. Mengalami patah tulang membuatnya amat
terpukul, tapi sepertinya ia hanya kasian sama dirinya sendiri tanpa
mempedulikan Dias yang selalu mencemaskannya. Dilla menatap Frista.
“Kita tidak akan memaksa kamu untuk
kembali ke ruang terapi, jika kamu tidak ingin.” Tutur Dilla. Frista menoleh ke
Hangga, pria itu tersenyum. Frista senang melihat mereka bisa bersama lagi.
“Hallooo….?!” Tiba-tiba Gandys muncul.
Ternyata dia datang bersama Yudha. ”Aku tidak terlambat, kan?” kedatangan
Gandys bersama Yudha memberi suasana baru. Meski pun demikian tetap saja
membuat Frista berpikir.
‘Bersandiwarakah mereka? Gandys juga
Dilla…? Kalau mereka pura-pura baikan hanya demi menyenangkan aku mereka salah.
aku tidak selemah itu, aku tidak ingin anggapan mereka sama dengan Dias. Ini
tidak boleh terjadi.’
“Hei..! kenapa bengong? Aku kan tidak
terlambat.” Protes Gandys.
Hangga bersalaman sama Yudha. Lalu kedua
pria itu memilih untuk ngobrol di luar, obrolan antar pria. Kini Frista
mengamati kedua sahabatnya yang sedang duduk di sampingnya.
“Apa ada sesuatu yang terjadi tidak aku
ketahui?” selidik Frista. Gandys dan Dilla saling tatap sejenak lalu menoleh
lagi ke wajah Firsta, kemudian keduanya menggelengkan kepala secara bersamaan.
“Tidak ada yang di sembunyikan, kenapa
tiba-tiba kamu berpikiran seperti itu sih?” ucap Dilla.
“Tidak tahu kenapa perasaan dan pikiran
itu tiba-tiba bisa muncul di otakku. hmm.. mungkin karena sudah terlalu lama
tidak melihat matahari kali ya?” Frista tersenyum. ”Lupakan, akhir-akhir ini
kata-kataku memang sering ngawur.. tetapi setidaknya aku senang melihat kalian
sudah baikan.”
“Hei… bagaimana dengan Dias? Dia itu
sangat memuja kamu lho.., lupa?” ujar Gandys berapi-api. Dilla menatap Gandys
yang tidak tahu kejadian barusan. Lalu ia menoleh ke Frista. Frista hanya
tersenyum dan ia tidak ingin mengecewakan kedua sahabatnya itu makanya ia nurut
saja saat mereka mengajak ke ruang terapi lagi, dan ia juga ingin sembuh demi
kedua sahabatnya dan dirinya sendiri.
Keesokan siangnya, Dilla dan Gandys
membuat suatu kejutan untuk Frista dengan membawa Frista ke Taman yang agak
jauh dari rumah sakit. Melalui proses yang agak sulit untuk meminta izin dari
dokter dengan menyakinkan kalau mereka bisa menjaga Frista. Mereka sudah ada di
Taman untuk menikmati makan siang di bawah sinar matahari yang tidak begitu
terik. Mereka menyediakan semua makanan kegemaran Frista. Chinnes food hingga
martabak keju. Sampagne serta jus alpukat. Mereka hanya ingin membuat frista
senang tapi Frista malah terharu. Tapi mereka berhasil membuat Frista melupakan
kepenatannya sejenak. Dia tersenyum bahagia. Semalam Frista mengatakan sudah
lama
tidak menikmati matahari di alam bebas. Dari situlah ide Gandys muncul.
Ponsel Gandys berdering saat mereka
menikmati santap siang. Yudha meneleponnya.
“Haloo…?”
“Dys, kamu di mana? Aku di kantor makan
siang sendirian ini. Nanti malam aku ke rumahmu ya, jangan pergi.”
“Sorry, ya sudah nanti aku akan menunggu
kamu di rumah.” Pembicaraan pun selesai.
“Baru nggak liat setengah hari aja di kantor,
dia sudah merasa kehilangan tuh.” Ledek Dilla. Gandys dan Frista hanya
tersenyum dan mereka meneruskan makan siangnya. Hidangan istimewa itu rasanya
sayang untuk di lewatkan begitu saja. angin alam yang berhembus menambah nyaman
suasana, dan makanan terasa lebih nikmat.
Malamnya Yudha benar-benar menempati
janjinya. Belum juga sampai lima belas menit ia ngobrol di teras dengan Gandys,
Cindy meneleponnya. Yudha menatap Gandys, gadis itu tidak merespon apa-apa.
Yudha memang tidak mau menerima telepon Cindy, sejujurnya Gandys merasa
terganggu karena setiap mereka bersama telepon Cindy selalu muncul. Ponsel itu
berdering lagi.
“Biar aku off ya…?”
Gandys menggeleng. ”Di jawab aja.”
“Aku tidak ingin.”
“Jawablah…” ucap Gandys pelan namun penuh
tekanan.
Yudha menjawab dengan loudspeaker.
Ternyata yang menelepon itu adalah tantenya Cindy.
“Yud… Cindy sedang di rumah sakit, karena
sudah mencoba mengakhiri hidupnya.”
“Di rumah sakit mana?” kata Yudha dengan
nada suara datar-datar saja.
“RSPP.”
Yudha menatap Gandys setelah tante
menutup teleponnya. ”Aku tidak tau, apakah ini sandiwara atau sungguhan?”
“Kenapa punya pikiran seperti itu? tadi
itu siapa?”
“Tantenya, apa aku harus percaya?” kata
Yudha dan berharap berita itu tidak benar, meski ada kecemasan di dalam
dirinya. Bagaimana pun juga ia mengenali Cindy yang suka tidak terkendali.
Gandys bersandar di kursinya.
“Kamu sudah mengenali keluarga mereka
sudah cukup lama dan kamu pasti tahu apa yang harus kamu lakukan.”
“Ya, tapi akhir-akhir ini aku merasa ada
yang berubah di keluarga itu, khususnya Cindy. Sebagai teman yang aku kenal,
kini dia berubah. Tidak tahu apa maksudnya melakukan itu?”
“Sebaiknya kamu ke RSPP sekarang, temukan jawabannya di sana.” Pinta
Gandys.
“Apa yang harus aku lakukan?” Yudha
merasa serba salah antara cinta dan persahabatan.
“Pergilah, aku percaya sama tantenya.”
“Gandys…?” pria itu berharap Gandys tidak
memintanya untuk pergi, karena dia masih ingin duduk bersama Gandys dan tidak
tega meninggalkannya.
“Aku tidak apa-apa…” Gandys memahami
keraguan Yudha. Yudha menatapnya sendu dan tidak percaya kalau gadis itu
membiarkannya pergi. Ia sedikit kacau dan berharap Gandys menahannya. Ia
menggenggam jemari Gandys.
“Aku sebenarnya lebih senang kalau kamu
membiarkan aku tetap di sini.”
Gandys menarik napas panjang dan harus
mengambil keputusan, ia benci jika harus berada di posisi seperti ini. Perlahan
ia menarik tangannya dari gemgaman Yudha.
“Ada seseorang yang mungkin lebih
membutuhkan kamu saat ini, pergilah.”
“Aku tidak ingin kamu menganggap aku
berubah, kita ke sana sama-sama ya?”
Gandys menggeleng, dalam hati ia berkata.
’Manusia memang tidak berubah tapi keadaan yang sedring berubah.’ Yudha pergi
karena keadaan di saat dia membutuhkan pria itu. Gandys mengutuk dirinya karena
terlalu lemah. Seharusnya waktu itu dia putus saja dengan Yudha.. tetapi kenapa
dia tidak melakukannya? Sial!!
Gandys sendirian, makanya dia membawa
mobilnya ke rumah Dilla.. tetapi Dilla sedang tidak ada di rumah. Ia coba
menghubungi ponselnya, ternyata gadis itu sedang menghadiri pernikahan Adit dan
Pingky. Gandys meluncur setelah di kasi alamatnya oleh Dilla.
Gandys kaget setelah mengetahui kalau
Pingky menikah secara diam-diam. Dilla tidak pernah menceritakan hal itu
padanya juga Frista. Dan anehnya lagi, tidak ada Hangga di sana.
Dilla mengerti kebingungan Gandys, ia
membawa gadis itu ke teras. ”Kamu mencari aku, ada apa?”
“Sebenarnya tidak ada apa-apa sih, hanya
kepengen ngobrol aja.”
“Tapi tidak di sini…”
“Tunggu dulu, kenapa kamu dan Hangga
tidak pernah memberitahukan kalau Pingky hari ini menikah?”
“Maaf, sebenarnya aku ingin tapi Pingky-nya….”
“Apa dia memang harus di nikahkan secara
diam-diam seperti ini…? Aku tidak melihat mamanya? Tapi seharusnya kan kamu
cerita ke Pingky kalau aku sama Frista itu sudah menjadi bagian dari kamu.”
“Seharusnya aku yang bicara seperti itu,
aku tidak pernah berpikir kalau kamu bisa mengerti
kondisinya.
Pingky hamil sudah hampir dua bulan. Setelah menikah, mereka akan tetap kuliah.
Pingky beruntung karena keluarga Adit sangat bijaksana. Apa kamu mau bertemu
dengan mereka?”
Gandys mengangguk, setelah itu dia akan
menelepon Frista di rumah sakit.
RSPP, di ruang UGD Yudha terpaku menatap
Cindy. Kata tantenya Cindy meneguk racun nyamuk nyaris sebotol. Terlambat
beberapa menit saja dia akan lewat dan terhenti. Neneknya mengusap-ngusap tangan
Cindy. Yudha melihat Cindy dari kaca, di temani oleh tante Cindy.
“Cindy itu benar-benar nekad dan gila.”
Ucap tante yang berdiri di sebelah Yudha. ”Kamu temannya, katakan apa yang
sedang terjadi dengan anak manja itu?” tanya tante datar.
Yudha melirik tangan tante yang sedang
meremas-remas kertas hingga terbentuk bola kecil. ”Apa yang tante pegang itu?”
Wanita itu membuka telapak tangannya lalu
memberikan gumpalan kertas itu ke Yudha. ”Tante juga tidak tahu apa maksudnya.
Akhir-akhir ini tante lihat anak itu menjadi pemarah. Dua hari sebelum kejadian ini dia sering menghubungi
kamu, dia mengumpat kalau kamu tidak mengangkat teleponnya.. untuk siapa dia
menulis kata-kata konyol di kertas itu?”
Yudha membaca tulisan yang sudah kusam
itu.
‘Aku
tidak akan pernah menyesal jika harus mati, dan aku akan sangat
menyesal bila tidak bisa hidup
dengan kamu!’
“Dia memang nekad.” Guman Yudha.
“Semua ini karena neneknya yang selalu
memanjakan dia.. kamu kenal dengan cowok yang dia maksud itu?” kata wanita itu
setelah menoleh pada Yudha sejenak. Yudha menggeleng. ”Tante khawatir dia akan
lebih nekad dari ini, dia itu jika menginginkan sesuatu selalu memaksa,
neneknya terbiasa selalu mengabulkan apapun keinginannya dan akibatnya tidak
baik buat Cindy sendiri.”
Yudha tidak berkata apa-apa lagi dan
membenarkan setiap ucapan tante Cindy. Dengan sikap Cindy seperti itu nyaris
saja membuat hubungan Yudha dengan Gandys
bubar.
Nenek memanggil tante karena Cindy sudah
sadar, tante dan Yudha masuk. Cindy begitu senang melihat kemunculan Yudha
hingga lupa dengan racun yang nyaris melenyapkan nyawanya. Tante hanya bisa
geleng-geleng kepala.. dengan sikap Cindy itu.
“Cindy, hentikan sikap kamu yang
kekanak-kanakan itu.” ujar tante.
“Ehh.. jangan begitu, masih untung dia
selamat.” Bela neneknya.
“Yud, kamu kemana aja sih? Nggak pernah
lagi peduli sama aku…”
“Tante benar…”Ujar Yudha dengan
hati-hati. ”Aku juga tidak suka kamu melakukan hal seperti ini.”
“Ini semua kan gara-gara kamu, wanita itu
membuatmu menjauhi aku…”
“Kamu ini bicara apa, sih?”
“Kamu kok ngomong gitu Yud? Aku kan
mencintai kamu.. apa pun akan aku lakukan asal kamu meninggalkan wanita itu.”
“Ya Tuhan….” Tante kaget.
“Apa??”
“Aku tidak main-main Yud, aku bahkan bisa
menjatuhkan diriku dari lantai sepuluh sekali pun.”
“Glia kamu, apa kamu tidak kenal siapa
aku?” Yudha melirik tante. ”Tante, tolong jelaskan sama dia.”
“Aduuuh…” nenek mendekati Yudha. ”Yud,
kalian ini kan sudah temenan sejak lama, apa yang mesti di jelasin lagi? Cindy
mencintai kamu, kalian itu adalah pasangan yang serasi.”
Yudha tidak menghiraukan kata-kata nenek,
dia menghampiri Cindy lebih dekat lagi. ”Cindy… kamu adalah teman aku dan akan
selalu seperti itu.. aku menyayangi kamu sudah seperti adik sendiri, kamu pun
tahu kan kalau aku sudah punya Gandys? Aku hanya cocok jadi teman kamu. Tidak
ada yang bisa merubahnya sampai kapan pun.”
“Kamu benar…” Cindy turun dari ranjangnya.
”Tidak ada seorang pun yang bisa merubahnya, kan?” Cndy mendekati jendela dan
badannya sudah ada di bagian luar. Seisi ruangan panik, Yudha mendekati Cindy.
“….jangan bodoh….“
“Berhenti di situ!” ujar Cindy.
Nenek sangat panik begitu pun tante.
“Cindy! Tante baru tau kalau kamu itu
ternyata sangat bodoh…”
“Tante, aku serius…” Cindy menatap Yudha.
”Kamu bilang tidak seorang pun yang bisa merubahnya jadi jangan kamu pikir aku tidak
bisa melakukannya…”
“Cindy…!” Yudha coba menggapai tangan
Cindy. ”Aku tau apa yang kamu pikirkan, kemarilah. Kita bisa membicarakannya,
aku mohon…”
“Tinggalkan Gandys, hanya itu yang aku
inginkan…”
“Cindy..” kata Yudha putus asa, tidak
sedikit pun gadis itu berusaha menjauhi jendela itu. dan sepertinya Cindy tahu
kalau Yudha tidak akan bisa meninggalkan Gandys.. dan dia akan mengambil
keputusan saat itu juga. Dan…..,
“Kamu tidak bisa mengiyakan permintaanku….?”
“Cind…..” kata Yudha, karena detik itu
juga Cindy membiarkan tubuhnya jatuh dari lantai 2 itu.
‘Ya Tuhan….’ Yudha tidak berhasil
menangkapnya. Tante dan nenek menjerit histeris. Yudha berlari ke bawah, saat
itu juga rumah sakit menjadi heboh. Dan sampai juga ke telinga Frista.
Ada wartawan yang meliput peristiwa itu.
Cindy di bawa ke UGD lagi untuk yang
kedua kalinya dengan kasus yang berbeda meski tujuannya sama. Yudha stress di
buatnya, dia tidak mengira kalau Cindy lebih gila dari yang ia bayangkan. Dia
sendiri bahkan tidak tahu sejak kapan Cindy mencintainya.
Yudha gelisah, haruskah dia merasa
bersalah? Ia menyayangi gadis itu sebagai teman, tidak lebih. Apa yang harus
dia lakukan andai terjadi apa-apa denga Cindy? Dia tidak mau wartawan bertanya
macam-macam, apalagi sampai meliput Cindy di ruang UGD, itu memalukan sekali.. dan
juga mempermalukan dirinya.
Bungkamnya keluarga Cindy dan Yudha
membuat orang makin bertanya-tanya, kenapa wanita itu melompat dari lantai dua
gedung RSPP? Tidak ada yang tahu pasti. Gosipnya hanya kecelakaan.
Frista menelepon Gandys karena ada yang
harus gadis itu ketahui. Seorang wanita yang mereka kenal, saat ini sedang
koma. Dokter yang menangani Cindy di wanti-wanti sama Yudha untuk tidak
mengatakan apa pun pada yang bertanya kepadanya. Dan mereka juga pasti akan
menyimpai baik-baik riwayat pasiennya.
Mendengar berita dari Frista membuat
Gandys merasa shock juga. Cindy ternyata benar-benar mencintai Yudha lebih dari
yang ia kira.. dan berani mempertaruhkan nyawanya untuk membuktikan itu.
‘Ya ampun… Yudha bisa saja menjadikan
Cindy sebagai pacarnya, sebab hubungan persahabatan lebih mudah untuk ke arah
sana, tinggal satu langkah untuk mewujudkannya.’
“Frist…., bagaimana keadaannya?”
“Dia melompat dari lantai dua, bayangin aja..
tapi denger-denger dia sempat tersangkut di jendela lantai satu. Sepertinya
luka di kepalanya cukup parah, itu yang gue denger.”
Gandys merasa bergidik. ”Terima kasih ya,
keadaan kamu sendiri, gimana?”
“Aku baik, kamu lagi bersama Dilla, ya?”
“Ya, mau ngomong…?”
“Nggak, salam aja.”
“Oke, sampai ketemu besok.” Gandys
mematikan ponselnya. Dilla menatapnya dengan cemas. Mereka bicara setelah pergi
dari rumah Adhit.
“Frista menelepon pasti ada sesuatu yang
serius, kan?” tanya Dilla sambil nyetir.
“Aku sepertinya harus melepaskan Yudha..”
“Tadi kamu bilang Yudha sedang ke RSPP
karena Cindy sudah berusaha mengakhiri hidupnya.”
“Dia melakukannya lagi, kali ini melompat
dari lantai dua, sekarang koma. Aku tidak bisa menebak apa yang telah Yudha
katakan pada gadis itu hingga membuatnya sangat nekad seperti itu, dan melompat
dari jendela.”
“Pastinya Yudha sudah berterus-terang
dengan hubungan kamu dengannya. Itu mungkin membuat Cindy frustasi dan kecewa.
Kurasa Yudha sudah melakukan hal benar, semua yang ia lakukan karena dia
mencintai kamu..”
“Ya, Cindy juga melakukan itu karena
cinta, tapi aku tidak akan segila itu. mencintai Yudha bukan berarti harus
bunuh diri. Itu bukan cinta yang sehat, tapi boleh juga.. itu pertanda masih
ada cinta sejati di muka bumi ini. Hmm… aku harus merelakan Yudha, cinta sehat
tidak harus memiliki.”
“Jangan ambil keputusan sendiri, Yudha
tidak akan setuju dengan hal itu.”
“Melihat keadaan Cindy, siapa pun bisa
berubah Dill…, besok kita ke sana
sekalian besuk Frista.”
“Kamu mau melihat Cindy? Memang sih,
siapa pun yang mendapat musibah akan kita besuk tapi harus melihat situasi dan
kondisi… ada nenek dan tantenya Cindy di sana, atau mungkin ada keluarga besarnya
juga.. yang datang dari Kalimantan, aku tidak mau mereka memandang negatif ke
kamu.”
Gandys menatap Dilla. ”Apa sejauh itu..?”
“Ya bisa saja, apalagi kalau mereka tahu
bahwa kamu itu pacarnya Yudha. Sedikit banyaknya pasti berpengaruh.” Kata Dilla
membuat Gandys diam, sepertinya sedang mempertimbangkan kata-kata Dilla. Dilla
mungkin benar, lagian kalau benar ia mau meninggalkan Yudha, ngapain juga dia
harus ketemu dengan Yudha dan Cindy..?
Gandys memang melakukannya, dia menghindari
Yudha sekali pun di kantor. Dilla sebenarnya tidak menyuruh Gandys untuk
menghindari Yudha tapi hanya melarangnya bertemu di depan Cindy di rumah sakit,
apalagi Cindy sedang kondisi tidak baik. Tapi Gandys malah tidak mau bertemu
dengan Yudha bahkan kalau bisa dia akan pindah kerja. Gandys memang tidak bisa
membuktikan cintanya kepada Yudha seperti apa yang di lakukan Cindy, memang dia
tidak ingin seperti itu, tapi bukan berarti dia tidak mencintai Yudha.
Cindy cacat dan mengalami kebutaan akibat
benturan keras di kepalanya. Kemungkinan sembuh memang ada, tapi tidak bisa di
prediksikan kapannya. ‘Cinta terkadang mampu membuat orang berpikiran konyol
dan tidak masuk akal’
Frista telah kembali ke rumah, meski belum sembuh total tapi dia tidak membutuhkan
kursi roda. Hanya besi yang menempel di kakinya untuk sementara waktu, bila
tulangnya sudah cukup kuat maka besi itu akan di lepas.
Frista belum ngantor, ada beberapa surat
dan file yang harus di tanda tangani dan sekretarisnya membawa ke rumah. Frista
bersyukur karena dengan kemajuan teknologi membuatnya bisa bekerja
dari
rumah sekali pun.
Dias yang menemaninya, nyaris sejam duduk
di samping laptop Frista, kini beranjak dari kursinya. Ia kebelakang kursi
Frista. Dia memegang kedua bahu Frista dan matanya ikut mengamati layar laptop.
“Kenapa sih kamu tidak izinkan aku
membantu?”
“Karena aku masih bisa mengerjakannya
sendiri.” jawab Frista datar. Dia berhenti mengetik dan memutar kursinya hingga
wajahnya menghadap ke Dias. Dias tersenyum dan Frista menghela napas.
“Kenapa sih Dias… kamu itu begitu baik
dan sabar banget sama aku… juga tulus. Sementara aku? Apa yang kamu dapat dari
aku?”
Dias memegang tangan Frista, kini ia
jongkok di depan gadis itu. ”Omelan dari kamu, itu yang aku dapat, selama ini
tidak ada yang mengomeli aku, hanya kamu yang bisa melakukannya. Kamu lupa ya…?
Kamu kan sudah berjanji untuk menikah denganku, sekarang aku menunggu janji
itu..”
“Kamu yang berjanji, bukan aku kok..”
“Hei, sampai kapan kamu tega membiarkan
aku terus-terusan menunggu seperti ini…?”
“Mhmmm… mungkin sampai aku sembuh dan
benar-benar sembuh.”
Dias menunduk lalu mengusap kaki kiri
Frista kemudian menatap wajah gadis itu. frista tidak tahu apa yang sedang di
pikirkan oleh Dias. Sesaat kemudian Dias berdiri lalu menggendong Frista dan
mengangkat.
“Hei, apa-apaan ini..?” Frista kaget.
Dias membawa Frista ke kamar. ”Dias turunkan aku… aku bisa jalan sendiri.”
Frista khawatir kalau mamanya yang sedang ke supermarket dengan bibi tiba-tiba
pulang. Dias menurunkan Frista di atas bed, ia ikut duduk di sebelahnya dan
menatap gadis itu.
“Istirahatlah, aku nggak mau melihat kamu
kecapean, oke?”
“Aku sudah lama nggak kerja, kerjaanku
sudah numpuk.” Frista memohon pengertian dari pria itu.
Dias melirik ke kaki Frista dan lagi-lagi
ia menanyakan hal yang sama. ”Kenapa harus menunggu kaki kamu sembuh untuk
menikahi denganku..? kamu membuat aku ragu, apakah benar kamu itu mencintai
aku? Sikap kamu menunjukkan kalau kamu seolah tidak pernah memikirkan aku,
apalagi menginginkanku. aku tidak pernah berhasil melihat cinta di mata kamu
untukku.”
Frista menatap mata Dias, mata yang
sangat indah itu, penuh cinta dan sangat tulus.. Frista memang mendambakannya.
‘Tuhan, kenapa Dias menanyakan semua itu?
apakah semua keraguan itu benar? Jika iya, maka mulai saat ini Dias tidak akan
menemukan lagi keraguan itu di mataku.’
“Aku mungkin tidak bisa menununjukkan
perasaanku ke kamu, padahal….” Frista ingin menatap mata Dias agak lama tapi ia
tidak kuasa. Pesona di mata itu begitu kuat. Dias meraih dagu Frista.
“istirahatlah, untuk hari ini kerjanya
sudah cukup, hampir seharian ini kamu menghabiskan duduk di meja kerja. Oya,
jangan lupa mimun obatnya. Aku harus pulang sekarang.” Dias menurunkan
tangannya. Frista meraihnya dan ikut berdiri bersama Dias dan menatapnya.
“Kamu tidak mau menemani aku sampai mama
kembali?”
“Aku tiak bisa lama-lama di sini, karena
pesonamu membuat aku ragu.. apakah aku mampu untuk keluar dari sini nanti? Dan
jangan coba menahan aku.”
Frista tidak peduli lagi dengan ucapan
Dias. Ia memeluk Dias dan membemankan wajahnya di dada pria itu. merasakan
detak jantungnya, membuatnya merasa menyatu dengan cinta itu, Dias merengkuhnya
dengan tak kalah erat, dengan segenap cintanya ia memberikan seluruh hatinya
pada Frista. Firan memejamkan matanya, kakinya yang mulai terasa ngilu ia
abaikan tapi lama-lama terasa semakin sakit. Tapi Frista tidak ingin memperlihatkan
rasa sakit itu di mata Dias. Sebulan lebih dia mengumpulkan semangat itu dan
rasa sakit saat ini terasa sangaaaat luar biasa.. karena berdiri agak lama
meski dalam pelukan Dias.
Kasih Dias dan kekuatan rasa sayang dari
kedua sahabatnya Dilla dan Gandys membuat dia harus kuat, meski hatinya
menangis. Rasa sakit itu nyaris saja membuat matanya berair. Lutut Frista sudah
terasa bergetar, ia ingin menjerit namun tetap ia tahan.
‘Tuhan, beri aku kekuatan untuk
menghadapi kenyataan ini.’
Yudha nyaris putus asa, karena tidak tahu lagi
bagaimana menjelaskan permasalahannya kepada Gandys, sebab Gandys selalu
menghindarinya. Baik di kantor, di rumah atau pun di telepon. Yudha tidak tahan
lagi dengan sikap Gandys itu, dia harus menyelesaikan masalahnya. Apakah
hubungan mereka pantas di lanjutkan ataukah berhenti di persimpangan?
Minggu pagi, seluruh keluarga Gandys
pamit sama Gandys untuk pergi ke Anyer, karena ada acara perkumpulan paguyuban.
Gandys yang menolak untuk ikut kini meneruskan tidurnya. Dia harus membayar
tidurnya yang terganggu semalam. Kalau sudah mengantuk, dia paling susah untuk
di ajak kemana-mana. Di taruh makanan kesukaan di depan hidungnya pun dia tidak
akan peduli, ia tetap tidak akan terbangun meski mencium aromanya. Ia lebih
memikirkan matanya dari pada perut.
Tapi detik ini ada yang tidak ia tahan,
yaitu suara deringan bel di pintu rumahnya yang terus terdengar kencang.
‘Ya Tuhan, kenapa manusia di dunia ini
tidak membiarkan aku tidur sebentar lagi?’
Suara
bel terus berbunyi seakan ingin mencongkel gendang telinga Gandys. Ingin
rasanya ia menarik kabel bel hingga putus atau menampar orang pemilik tangan
yang memencet bel itu.
‘Sial!! Sial!!’
Gandys
melompat dari atas tempat tidurnya, dia ingin buru-buru menendang manusia itu
dan
menyumpahnya
menjadi kue klepon biar langsung bisa ia telan. Gandys membuka pintu depan.
‘Oh, God…!’
Dia
tidak bisa mengutuk manusia satu itu menjadi apa pun, karena mahluk itu ada di
hatinya, di jantung dan di seluruh aliran darahnya.
“Untuk apa kamu ke sini..?”
Yudha memaksa masuk dan menarik Gandys ke
ruang tamu. Kedua tanganya memegang pipi Gandys. Dan sebelum gadis itu bertanya
lagi ia sudah mencium bibir Gandys tidak peduli seisi rumah memergokinya atau
mengusirnya. Gandys coba mendorong tubuh Yudha tapi percuma, pria itu terlalu
kuat. Ciuman itu begitu menggebu namun hangat, hingga tanpa sadar Gandys
terbawa arus dan membalas ciuman Yudha. Kini tangannya melingkar di leher
Yudha, alunan irama asmara mengalun indah memabukan hati mereka. Yudha terus
menciumnya, kerinduan panjang selama ini membuat mereka menginginkan satu sama
lain.
Yudha tersentak ketika Gandys benar-benar
mendorongnya. Ia menatap gadis itu. Gandys duduk di sofa dan ingin menangis. Ia
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Pergi Yud… aku mohon kamu segera pergi
dari sini…!”
Yudha jongkok di hadapannya dan memegang
lutut Gandys. ”Jangan terus-terusan menyiksa aku, tanpa kamu sadari kamu itu
juga sedang menyiksa diri kamu sendiri. Aku mencintai kamu dan membutuhkanmu,
apa kamu tidak?”
Gandys langsung berdiri. ”Tidak!”
Yudha ikut berdiri. ”Kenapa harus
berbohong?”
“Anggap saja itu tadi ciuman terakhir
dari aku, kita tidak mungkin bisa bersama karena Cindy lebih membutuhkan kamu.”
“Tolong jangan pake alasan itu lagi…”
pinta Yudha.
“Itu bukan alasan tapi kenyataan yang ada
di depan mata aku, dia telah mengorbankan segalanya untuk membuktikan kalau dia
lebih pantas buat kamu. Aku tidak memiliki cinta sebesar cintanya untuk kamu,
kau harus sadar itu.”
“Besok Cindy mau ke Singapore untuk
operasi mata.”
“Apa urusannya dengan aku?”
“Aku berharap operasinya berhasil.. dan
andai pun tidak, maka aku tetap tidak akan bisa menjadi pacarnya, karena aku
hanya mencintai kamu.”
“Tapi aku tidak!!”
“Jangan membodohi aku Gandys, kamu itu
mencintai aku. Mungkin kau tidak bisa berbuat seperti Cindy, tapi aku bisa
melihat ketulusan dari mata kamu, dan sesuatu yang lebih di mata kamu yang bisa
aku rasakan.. melebihi yang bisa di lakukan oleh Cindy.”
“Jangan sombong kamu!”
“Aku hanya mengatakan sesuatu yang bisaku
lihat dan aku rasa.” Yudha meraih bahu Gandys. ”Lihat mataku, apa di situ ada
Cindy? Katakan dengan jujur, dan katakan… apa kamu tidak mencintai aku lagi?
Katakan…!!?”
“Ya!” Gandys menepis tangan Yudha tanpa
melihat ke mata Yudha. ”Aku ti dak men
cin tai kamu. Sekali lagi aku tegaskan.
Aku tidak mencintai kamu!” tegas Gandys.
“Kamu mencintainya…, dulu… saat ini
bahkan sampai nanti.” Suara itu berasal dari arah pintu depan. Gandys dan Yudha
menoleh.
“Cindy…?” Yudha langsung menghampiri
Cindy yang berdiri di pintu bersama tantenya. Gandys hanya menarik napas
dalam-dalam. ”Kenapa tante membawa Cindy ke sini?”
“Dia ingin pamit, keberangkatannya di
percepat. Hari ini, pukul satu siang.”
“Gandys… aku ingin bicara sama kamu..”
Cindy mencari-cari Gandys. Gandys sungguh tidak tahu apa yang akan gadis itu
bicarakan sama dia, sementara dia sendiri tidak tahu harus berkata apa? Tante dan
Yudha menatap Gandys yang sedang menghela napas.
“Maafkan saya Cind… tidak benar kalau
saya masih mencintai Yudha.” Kata Gandys berusaha untuk berkata apa adanya,
meski ia tidak tahu apakah hatinya sendiri mengiyakan, itu?. Cindy mencoba
mendekati suara Gandys dengan berjalan sendiri ke arah Gandys. Yudha tante
membiarkannya.
“Gandys… apa pun yang kamu katakan jangan
kamu kira bisa mengelabui aku, satu hal yang harus kamu ketahui, aku tidak
pernah menyesal setelah menjadi seperti ini… cinta Yudha sama kamu tidak pernah
bisa di goyahkan dengan apa pun, aku seharusnya bangga punya sahabat seperti
dia. Seseorang pernah berkata padaku, jika aku bersedia menjalani operasi maka
setelah bisa melihat lagi, maka aku bisa menemukan begitu banyak pria yang
lebih baik dariYudha kamu itu…, dia pasti tidak pernah membohongi aku.” Cindy
tertawa kecil. ”Dan tentunya bukan sebagai teman, tapi pacar. Jadi kenapa aku
masih berpikir untuk menginginkan Yudha kamu..? Gandys…? Gandys…?!” Cindy
berusaha menggapai tubuh Gandys hingga kakinya membentur meja dan nyaris jatuh.
“Cindy!” Gandys reflek meraih dan memeluk
tubuh yang oleng itu supaya tidak benar-benar terjatuh. Cindy memeluk tubuh
Gandys dan ia merasa lega.
“Maafkan aku..” ucapnya.
“Tidak Cind.. aku tidak pantas
mendengarnya. Kamu wanita yang berani, aku sangat menghargai perasaan kamu,
andai saja aku tidak hadir di antara kalian…”
“Aku harus pergi, doain ya, kalau sembuh
aku akan menerima pekerjaan yang pernah temanku tawarkan di Singapore. Aku
pasti akan rindu sama kamu, seseorang juga pernah mengatakan kalau aku ini
adalah gadis manja, jika nanti ketemu dengannya lagi, makan imej itu tidak akan
pernah ia jumpai di diriku, lihat saja nanti.” Ujar Cindy lagi. Tante menatap
Yudha. Dia tidak tahu kalau ternyata Yudhalah yang bisa merubah sifat Cindy
yang kolokan itu.
Gandys tersenyum. ”Hanya orang bodoh yang
menganggap kamu manja.” Bisik Gandys di telinga Cindy. Cindy melepaskan
pelukannya.
“Terima kasih ya.” Cindy merasa sudah
tenang sekarang, dari hati kecilnya ia tidak ingin Yudha tersiksa dengan
ulahnya, dan tidak menginginkan Yudha dan Gandys bubaran, selama ini ia pikir
itu hanya keegoisannya yang tak
beralasan. Dia mengajak tantenya meninggalkan rumah Gandys dan menolak saat
Yudha ingin mengantarnya. Gandys hanya bisa menghela napas panjang
berkali-kali.
Yudha menatap Gandys dan gadis itu sedang
ingin sendiri maka dia meminta agar Yudha segera pulang. Melihat keadaan Cindy dan
ingat dengan kata-katanya membuat Gandys berpikir ‘Seperti itukah yang di sebut
pengorbanan? Jika iya, kenapa cinta begitu kejam? Bukannya cinta itu anugrah?’
Gandys tidak bisa memahaminya, semua ia
rasa aneh dan melelahkan bahkan terkadang menjengkelkan. Gandys ingin sekali
meneruskan tidurnya agar bisa melupakan semua itu. tapi masalah itu seakan
mengaduk-aduk pikiran dan otaknya. Sehingga tidak mampu membuat matanya
terpejam padahal dia masih ingin sekali tidur kembali. Lagi-lagi ia kesal karena
tidurnya terganggu. Tapi yang membuatnya lebih kesal karena tidak bisa
melupakan Yudha.. apa lagi mengingat ada gadis lain yang mencintai pria itu.
Gandys ingin sekali melupakan, tapi bayangan sosok itu seakan lebih kuat
membuatnya merasa kalah. Gandys meraih handuk.
Dia bertekad, jika tidak bisa mengalahkan
Yudha maka dia harus bisa mengalahkan dirinya sendiri. Setelah menyelesaikan
mandinya, ia mengenakan sepatu kets dan pakaian sportynya. Meraih kunci mobil
dan meninggalkan rumah kosong itu. Gandys tidak tahu harus pergi kemana, saat
ini yang terbesit di otaknya adalah menaklukkan dirinya.. tapi tidak tahu
bagaimana caranya. Dia terus menyetir, hanya berputar di Jakarta, sudah
berjam-jam dan tetap tidak punya tujuan. Akhirnya dia lelah dan berakhir di
pasir. Masih di dalam mobil, Gandys memandangi pasir putih dan air laut yang
berlomba serta saling berkejaran. Kini mata Gandys berpindah arah ke tengah
laut yang begitu luas seakan tak berujung, ombak terus bergulung-gulung seolah
tidak ada lelahnya dan tidak akan pernah berhenti ibarat cinta Gandys untuk
Yudha. Tapi Gandys bukanlah ombak-ombak itu, dia merasa yakin bisa mengakhiri
perasaanya kepada Yudha.
Gandys menyalakan mesin mobilnya lagi dan
dengan kecepatan tinggi ia melarikan mobilnya sampai di ujung pantai, lalu
berbalik lagi dan mengulanginya lagi. Pasir-pasir yang mengenai bannya
terhempas jauh ke belakang. Orang-orang yang ada di sekitar itu melihat mobil
Gandys seakan mendapat tontonan gratis dan tidak ada yang menyangka kalau yang
ada di dalam mobil itu adalah seorang wanita.
Gandys tidak peduli dengan orang sekitar,
dia terus melakukanya berulang-ulang bahkan semakin tidak terkendali, tambah
liar dan semakin memukau orang-orang di sana. Bekas ban mobilnya merusak
keindahan pantai, namun tidak berlangsung lama karena terhapus oleh ombak-ombak
kecil. Sebelum pengawas pantai turun tangan Gandys sudah kelelahan. Orang-orang
memberikannya tepuk tangan. Kini ia bersandar di joknya. Tidak ada yang ia
dapat selain rasa emosi jiwanya semakin memuncak.
Seseorang membuka pintu mobilnya, Gandys
menoleh dan orang tersebut sudah duduk di sebelahnya. Gandys semakin kesal di
buatnya.
“Kenapa? Apa dunia ini terlalu
sempitkah…??”
“Kenapa mengikuti aku?”
“Aku tidak mengikuti kamu, tapi cinta
yang mengikuti kamu. Berhentilah untuk selalu berusaha menghindari aku, jangan
lagi berbuat seperti ini. Aku bisa mati karena ketakutan, kamu pikir aku tidak
khawatir kalau kamu mati? Kamu pikir aku bisa hidup?”
Gandys membuka pintu mobilnya dan keluar
lalu bersandar di samping mobil dan menatap laut yang mulai gelap. Yudha
mengikutinya dan menatap gadis itu.
“Apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak mau
mempercayai aku lagi? Apa aku harus membuktikannya seperti yang di lakukan Cindy?
Bukankah itu kekanak-kanakan? Bicaralah….”
“Aku sangat membenci diriku.” Ucap Gandys
dengan mata masih terarah ke laut lepas. Dia benci karena tidak berhasil
mengalahkan dirinya. Semakin ia berlari sosok Yudha semakin jelas.
“Kamu tidak boleh membenci dirimu dan
jangan juga membenci aku lantaran aku mencintai kamu, tidak ada yang salah
dalam hal ini Dys..” Yudha memegang kedua bahu Gandys. ”Tolong jangan berbuat
apa-apa lagi, jangan menjauhi aku, jangan pula memaksa aku melupakanmu.. karena
aku tidak akan bisa.” Yudha memeluk Gandys, ia menghangatkan tubuh Gandys yang
mulai kedinginan oleh angin laut. Sunset menjadi saksi bisu kalau mereka
sebenarnya saling mencintai. Tapi Gandys masih mengutuk dirinya. Pengorbanan
Cindy membuatnya terus berpikir ‘Apakah ada cinta yang tidak adil?’ andai dia
terlahir kembali dia berdoa semoga tidak di pertemukan dengan Yudha dan Gandys.
Situasi saat ini membuatnya merasa bersalah dengan Cindy.
Yudha terus memeluk Gandys dan mengusap
punggungnya seakan mengajak gadis itu melupakan gegalauan di hati mereka.
Sejujurnya Yudha menghargai perasaan Cindy tapi dia tidak bisa menganggap Cindy
lebih dari teman.. dan dia menyayangi Cindy sampai kapan pun.
Gandys melepaskan pelukan Yudha dan
kembali bersandar di mobilnya. Dia tidak bisa melupakan Cindy, bagaimana pun,
dia belum pernah melihat ada wanita seperti itu, selama ini yang ia tahu banyak
wanita hanya menggertak tapi Cindy benar-benar melakukannya.. dengan dua kali
mencoba bunuh diri. Cindy selayaknya di beri penghargaan cinta sejati. Saat ini
Gandys ingin sendiri, hal yang jarang sekali ia lakukan sebelumnya dan pada
dasarnya dia tidak suka menyendiri. Yudha masih mengamatinya.
“Kita pulang sekarang ya…?”
“Aku masih ingin di sini.” Ia tidak menghiraukan
udara dingin yang mulai terasa menusuk kulitnya.
“Kalau begitu biar aku temani.”
Gandys menoleh. ”Tapi aku ingin sendiri.”
“Itu bukan kebiasaan kamu..”
“Aku akan terbiasa.”
“Dys… jangan mulai lagi.. jangan merubah
kebiasan yang tidak akan membuat kamu lebih baik.”
“Kamu pikir orang yang suka menyendiri
itu buruk?”
“Itu berlaku khusus untuk kamu, tapi
jangan pikir aku akan membiarkan kamu sendirian di sini.” Yudha serius. ”Maaf
kalau aku agak memaksa.”
“Oke, sekarang aku mau tanya ke kamu..,
kenapa kamu tidak mencintai Cindy? Dia itu bukan wanita yang sulit untuk di
cintai, dia memiliki semua yang bisa di banggakan oleh pria.. juga cinta.”
Yudha mengeluh, Gandys ternyata belum
juga mengerti sifatnya yang sebenarnya. Kalau dia sudah mencintai seseorang
maka dia tidak akan berpaling kepada siapa pun.
“Mungkin itulah letak kekurangan aku,
tidak bisa mencintai dua orang dalam waktu yang bersamaan. Jangan ungkit-ungkit
lagi masalah itu, oke?”
“Kamu itu tidak mengerti perasaan aku,
sebagai wanita, aku mengerti perasaan Cindy. Kamu mana mungkin tahu hal itu.”
“Oke, aku mungkin tidak bisa berpikir
sejauh itu. tapi sekarang kuingin tanya satu hal sama kamu, apa yang kamu
inginkan saat ini?”
“Sejujurnya, saat ini aku sedang ingin
sendiri….”
Yudha menghela napas panjang lalu
menghelanya pelan dan mengangguk-ngangguk kecil. Sepertinya saat ini dia harus
rela membiarkan gadis itu untuk sendirian, harus ia akui melakukan semua itu semata-mata
demi ketenangan gadis itu meski ia tidak tega. Tapi dia tahu kalau Gandys tidak
bisa di paksa.
“Baiklah…” dia menatap Gandys lalu
mengecup kening gadis itu sekilas. Ia berlalu meninggalkan Gandys bersama
deburan ombak. Gandys memejamkan matanya, ada rasa perih bercampur lega.
‘Tuhan… bawalah dia pergi bersama angin,
aku bisa hidup seperti ini, aku iklas.’
‘Gandys! Jangan bodoh, tidak ada satu pun
manusia di dunia ini yang rela melepaskan cintanya, yang ada hanya
ketidakberdayaan semata, maka jangan pernah melepaskan sesuatu yang tidak bisa
kamu
lepaskan!’ itu suara hati Gandys dari sisi lain yang berteriak.
Gandys memang sedang menikmati
kesendiriannya. Tidak mengangkat telepon dan tidak juga membalas SMS. Dia
menghabiskan malam dengan makan sendiri, melamun dan menyusuri pantai. Ternyata
rasa sakit pun jika di nikmati dengan akal sehat maka semuanya bisa berjalan
dengan baik-baik saja. detik itu juga harus Gandys akui kalau hatinya sedang
memikirkan dan menginginkan Yudha sebagai pendamping di sisa hidupnya kelak.
Gandys menatap langit indah di atas
hamparan laut luas, bintang-bintang bertaburan. Dia tidak mampu untuk
menghitungnya ibarat cintanya kepada Yudha. Tapi cinta itu akan tetap berkilau
baik malam atau pun siang. Yudha pantas di perjuangkan, karena cintanya untuk
Gandys jauh melebihi cinta Gandys padanya.
Akhirnya, sebuah keputusan pun harus di
ambil. Semua memang ada resiko di dalam setiap keputusan, dan Gandys telah
mengambil keputusan dengan resiko yang terkecil, untuknya juga untuk
orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Gandys kembali membawa cintanya dan
menyatukannya dengan cinta Yudha dalam bentuk pernikahan.
‘Menikahlah dengan orang yang kamu
cintai’ itu kata-kata obrolan mereka saat bersama Dilla, Frista. Terngiang
kembali di telinga Gandys. Gandys tidak perlu lagi untuk pindah kerja, karena
tidak perlu ada yang harus di hindari. Semua harus di hadapi dan di tuntaskan,
jikalau ingin memetik hasil dari permasalahan itu.
Hidup ini tidak ubahnya ombak yang ada di
laut, tidak akan pernah berhenti untuk bergelombang dan saling bergantian,
susul-menyusul dan akan selalu begitu. Tapi orang yang kuat akan selalu
berhasil mengatasi setiap problema dengan baik. Dan yang kuat dan sabar itu
akan menghasilkan orang-orang matang dan dewasa. Dan orang seperti itu akan
menganggap hidup takkan berarti tanpa ada tantangan sebuah problem dalam
hidupnya.
Perjalanan manusia itu tidak ada yang
datar-datar saja.. atau pun lurus-lurus saja. semua memiliki iramanya
masing-masing.
Seperti halnya dengan hidup Dilla.
Orang-orang seringkali mengatakan ‘Tidak adil rasanya jika satu orang mengalami
nasib atau cobaan hidup yang begitu berat, hingga merasa tidak mampu untuk
memikulnya.’ Tapi setiap problem yang berat atau pun ringan, tergantung cara
sudut pandang masing-masing orang.
Dua tahun sudah Dilla kenal dengan Gandys
dan Frista. Kedua sahabatnya itu telah menikah. Ia sudah menikmati kemeriahan
pernikahan kedua sahabatnya itu. hidup mereka berbahagia baik dari
yang
telihat atau pun kenyataan sebenarnya.
Hidup ini memang penuh dengan warna-warni
tapi Dilla merasa hidupnya hanya di dominan dengan warna gelap. Kebahagiaan
yang ia rasakan hanya sesaat, sesaat memiliki teman dan kekasih. Tetapi hidup
harus tetap di syukuri, dinikmati dan berbagi. Dilla merasa kalau materinya
sudah lebih dari cukup. Tapi akhir-akhir ini Gandys, Frista dan Hangga
menjauhinya. Dia tidak boleh putus asa atau pun berburuk sangka. Karena saat
memiliki mereka adalah hal terindah dan anugrah baginya.. dan nilai yang yang
tak terhingga. Tapi kini jika Tuhan menjauhi mereka darinya ia tidak harus
menuntut.
Dilla hanya merasa hanya sedikit bingung
karena dia merasa ada unsur kesengajaan dari mereka, yang sampai kini tidak ia
tahu apa penyebabnya. Ia coba mencari jawabannya dengan menelepon dan mengirim
SMS, tapi tidak satu pun telepon darinya mereka angkat apalagi sekedar untuk
membalas SMS atau BBM. Orang-orang terdekat mereka pun sepertinya bungkam.
Apakah mereka baru sadar kalau Dilla adalah seorang wanita kotor yang tidak
pantas di dekati?
‘Apa yang telah terjadi dengan mereka dan
denganku? Kenapa baru sekarang mereka menyadari kalau aku ini tidak pantas
menjadi bagian dari mereka?’
Hari itu, Dilla sengaja meninggalkan toko
karena bermaksud menemui Frista di kantor, dia masih penasaran, dan merasa aneh
dengan sikap mereka, ada apa….? Ia coba
mencari jawaban dari pertanyaannya itu.
Sampai di kantor, seseorang mengatakan
kalau Frista sedang tidak bisa di ganggu oleh siapa pun, apalagi kalau tidak
punya janji. Dilla coba menemui sekretaris Frista yaitu Wina. Dan Wina malah
mengatakan kalau Frista baru saja keluar setengah jam yang lalu untuk bertemu
dengan kliennya. Apakah sambil makan siang atau sedang menyelesaikan proyek.
“Tapi maaf sebelumnya, kok sebagai
sekretarisnya kamu tidak tahu dia pergi kemana, dan kenapa anda tidak ikut?”
Wina tersenyum. ”Bos saya memang sering
begitu mbak, dia tidak ingin semua detil urusan kantor di ketahui oleh siapa
pun, termasuk saya.”
Dilla coba memahaminya, lalu pamit
meninggalkan kantor Frista. Tapi entah kenapa dia merasa kalau saat ini Frista
sedang ada di kantor itu.. tapi ia tidak mau terbawa oleh perasaan yang di
karenakan rindu yang membabi buta. Barangkali Frista memang benar sedang sibuk.
Tapi apa iya.. sesibuk itu hingga tidak sedetik pun bisa mengangkat telepon
Dilla? Dilla masih di liputi tanda tanya yang amat besar, tapi dia tidak ingin
punya pikiran negatif terhadap Frista dan Gandys.
‘Ya Tuhan… apakah setelah menikah
seseorang bisa berubah? Tidak. pernikahan mereka sudah hampir eman bulan,
sedangkan keanehan ini terjadi dalam bulan-bulan ini saja.
Menjelang malam, Dilla datang ke rumah
Gandys. Rumah sederhana yang di tempati Gandys dengan suaminya Yudha. Di rumah
itu pun Dilla tidak menemukan Gandys. Yudha mengatakan kalau Gandys baru saja
keluar membawa mobil untuk membeli sesuatu.
‘Secara kebetulan atau sengaja?’ pikir
Dilla.
Yudha
membuatkan kopi untuk Dilla tanpa menyuruh pembantunya.. sebab sahabat istimewa
minumannya harus di buat dengan istimewa pula. Ia menemani Dilla ngobrol.
“Tunggu aja dulu, dia tidak akan lama
kok, ponselnya saja nggak di bawa sama dia. Lagian kalau jauh ia pasti minta di
antar.”
Yudha mungkin benar pikir Dilla, ia pun
tersenyum. Yudha mengajak Dilla menikmati kopi bikinannya. Si penikmat kopi itu
benar-benar menikmati kopinya.
“Terima kasih ya, Yud…”
“Sama-sama. Bagaimana dengan usaha kamu
sekarang? Pasti tambah maju tentunya?”
“Ya, saya bersyukur sekali. Mm…
akhir-akhir ini Gandys sepertinya sibuk berat ya?”
“Nggak juga, biasa-biasa saja.. tapi
akhir-akhir ini dia memang jarang menyinggung nama kamu. Kalian tidak sedang
bertengkar, kan? Ah tidak mungkin, kalau ada apa-apa dia pasti cerita sama
aku.” Yudha meralat kata-katanya. ”Aduuh! kenapa dia lama sekali ya?” Yudha
mulai merasa tidak enak karena Dilla mulai gelisah.
“Sepertinya aku tidak bisa menunggu
lama-lama, tolong sampaikan saja salamku untuk dia, aku pulang ya…”
“Dill… tunggu saja sebentar lagi. Aku
yakin dia nggak lama lagi pulang kok.” Yudha coba menahan kepergian Dilla.
“Tidak apa-apa kok. Sekali lagi terima
kasih kopinya, ya.”
‘Kalau sudah menitipkan salam barang kali
Gandys akan menelepon aku.’ Pikir Dilla dengan penuh harap.
“Ya baiklah, dia pasti akan menelepon
kamu.” Yudha mengantar Dilla sampai ke depan. Dengan masih di liputi pertanyaan,
Dilla tetap ingin berpikiran positif pada sahabatnya itu.
‘Yudha bilang dia tidak akan lama, apa
mungkin dia telah kembali dan melihat mobilku terus pergi lagi? Itu mustahil,
Gandys bukan orang seperti itu.’
Perasaan
Dilla mengatakan kalau Gandys tidak akan meneleponnya.. entah kenapa dia merasa
seyakin itu?
Hanya berselang beberapa menit saja Dilla
pergi, Gandys sudah pulang dengan membawa beberapa buah segar membuat Yudha
geleng-geleng kepala.
“Sayang… kamu kok lama sih, katanya hanya
sebentar?”
“Eh, sejak kapan kamu jadi bawel?” kata
Gandys dengan nada bergurau.
“Bukannya begitu, soalnya Dilla baru saja
pulang dari sini. Dia menunggu kamu agak lama, aku suruh tunggu sebentar lagi
ia tidak mau.”
“Dilla ke sini??”
“Ya, memangnya kenapa? Kok kaget begitu?”
ujar Yudha tidak biasa. ”Mm.. katanya akhir-akhir ini kamu sibuk sekali,
perasaan aku biasa saja. kenapa dia bilang seperti itu? dari nada suaranya aku
menangkap sesuatu yang aneh. Apa kalian sedang bertengkar?”
“Nggak, memangnya dia nggak ngomong ada
perlu apa gitu?” Gandys menatap suaminya. Pria itu menggeleng.
“Tidak, dia tidak bilang apa-apa. Itu
mungkin hanya perasaan aku saja. sepertinya dia hanya pengen ketemu saja dengan
kamu. Dia titip salam untuk kamu, telepon saja dia. Siapa tahu ada sesuatu yang
sedang ingin ia bicarakan, kelihatannya dia lagi sedih, semoga saja tidak
terjadi apa-apa dengan dia.”
“Ya, nanti aku coba hubungi.” Gandys
menghela napas ‘Berhasil!’ teriaknya dalam hati dan ia tersenyum puas. Dia
tidak akan menelepon Dilla apa pun alasannya, beberapa menit berikutnya dia
malah menghubungi Frista.
Frista juga mengabarkan kalau Dilla juga
pernah mencarinya di kantor. Sebenarnya kedua sahabat itu tidak tega
memperlakukan Dilla seperti itu, tapi apa boleh buat karena Dilla memang pantas
mendapatkannya. Bukan itu saja, mereka pun mengancam Hangga untuk melupakan
Dilla.
Oh…. Kejam sekali!!!
Makin hari, Dilla merasa hidupnya semakin
menyedihkan. Hampa dan membosankan. Hanya satu alasan yang kini masih
membuatnya untuk bertahan hidup, yaitu kenangan manis bersama mereka. Itu hal
terindah yang pernah ia rasa bersama Frista, Gandys dan Hangga. Meski pun
mereka hanya tertera beberapa lembar saja di buku lembaran hidupnya namun akan
ia simpan dengan baik hingga napas terakhirnya. Sepertinya halnya juga
kenangannya dengan Steve yang sempat mengisi beberapa lembar perjalanan
hidupnya. Kenang-kenangan itulah yang kini mampu membuatnya tetap berdiri
tegar. Hidup memang seperti buku yang selalu ada lembaran baru.
Dilla coba menepis kesepiannya dengan
berfokus ke tokonya. Tidak ada gunanya menghubungi mereka lagi, jika mereka
sudah tidak menginginkan dia, apa dia harus mengemis? Sepertinya orang punya alasan
sendiri untuk bersikap. Dilla merasa sudah lelah, dan ia berhak bersikap diam.
Dia pun sudah tidak mau lagi mencari rasa penasarannya.. jika mereka tidak
ingin lagi bertemu dengannya ia diam dan menyimpannya dalam hati. Mereka
mungkin selama ini keliru karena sudah berkenalan dengannya dan kini mereka
sadar kalau Dilla memang tidak pantas untuk di tempatkan di antara mereka.
Tiba-tiba Dilla merasa kasian pada mereka pernah kenal dengan wanita bodoh
tidak berakhlak sepertinya. Untuk meminta maafk pun kepada mereka Dilla merasa
tidak punya cara menghubungi mereka, tapi sudahlah dan biarkanlah…….,
Kita memang harus membiarkan sesuatu
terjadi dengan begitu saja, walau hati terasa sangat tersiksa.
Itulah adalah siksaan yang terasa amat
sangat menyakitkan yang pernah Dilla rasa semasa hidupnya.
Di hari ulang tahunnya Dilla merasa
benar-benar terluka. Dari pukul tujuh pagi, itu lebih pagi dari hari-hari
sebelumnya ia sudah berangkat ke kantor. Semalaman dia sama sekali tidak bisa
memejamkan matanya. Dia tidak mau menangis karena itu pekerjaan orang cengeng.
Di tokonya Dilla menjadi orang yang agak
sedikit ceroboh, barang dagangannya sering kali jatuh dari tangannya dan
berantakan. Karyawannya menegur sebagai rasa kekhawatiran sesama wanita.
“Ibu ada apa? Apa ibu sakit?”
“Tidak, saya tidak kenapa-napa kok.
Tolong kamu bersihkan, ya.”
“Baik bu, tapi hari ini saya melihat ibu
agak sedikit bingung.. dan tidak biasanya ibu datang terlalu pagi. Maaf bukan
maksud saya untuk ikut campur dengan urusan ibu, mm.. kalau ibu tidak sehat..
saya dan teman-teman bisa menangani toko dan ibu bisa istirahat di rumah.” Ujar
wanita yang usianya tidak jauh di bawah Dilla itu dengan tulus. Dilla
tersenyum.
“Tidak apa-apa, saya hanya kurang tidur
saja kok, tolong minta Danni bawakan kopi ke ruangan saya ya.” Ujarnya setelah
itu pergi ke ruangannya. Di ruangannya Dilla duduk bersandar di kursi dan
menghela napas berat, kenapa dia masih tidak bisa melupakan orang-orang yang
sudah menjauhinya itu.
Telepon di atas meja Dilla berdering.
Ternyata telepon dari supliernya yang memberitahukan kalau barang sudah menuju
ke tokonya. Berikutnya ponselnya yang berdering, membuat Dilla tersentak.
‘Pasti Gandys, Frista atau Hangga.’
Dilla meraih ponselnya tapi yang muncul
malah nomor dari rumahnya. Ia menjawab ringan.
“Ada apa, mbok?”
“Maaf Non, barusan mbok telepon nomor
kantor tapi sibuk terus. Mbok hanya mau tanya, apa hari ini Non jadi ke panti?
Soalnya tadi ada orang panti yang telepon ke rumah.”
“O, iya… biar saya hubungi langsung ke
sana.” Dilla sekan baru menyadari kalau punya janji sama orang panti. ”Terima
kasih ya, Mbok.” Dilla mengakhiri pembicaraannya. Dia ingat kalau ada janji
makan siang bersama dengan anak panti asuhan di mana ia bergabung sejak pertama
kali menyampaikan niatnya kepada Frista.. untuk melakukan sesuatu yang berguana
bagi orang lain. Tapi seisi panti tidak tahu kalau hari ini adalah hari ulang
tahunnya Dilla. Dilla merahasiakannya.
Di panti mereka makan bersama. Anak-anak
panti berdoa untuk kemajuan usaha Dilla. Dilla juga berharap kepada Tuhan agar
anak-anak panti punya masa depan yang bagus dan mendapatkan ilmu yang berguna
bagi mereka juga untuk orang lain.
Menjelang sore, kelelahan Dilla
memuncak.. rasa kantuk menyerangnya karena nyaris 24 jam ia belum bisa
memejamkan matanya, hingga membuat kepalanya sedikti pusing. Sampai di rumah ia
langsung rebahan di kamarnya, hanya beberapa detik saja ia bisa langsung tidur
dengan pulas dan benar-benar pulas.
Sore itu juga Gandys dan Frista datang ke
rumah Dilla. Gandys meminta ember beserta isinya dengan air kepada mbok. Wanita
paruh baya itu mengikuti saja printah Gandys dan Frista. Kini mereka sudah ada
di kamar Dilla dan memandangi wanita itu yang tertidur dengan pulasnya, dengan
posisi memeluk gulingnya. Sementara kepalanya sudah tidak mengenai bantalnya
lagi. Frista melirik Gandys.
“Kamu yakin dia benar-benar tidur?” kata
Frista setengah berbisik.
“Nggak liat apa, ledakan bom sekali pun
tidak akan membangunkannya. Kata mbo, semalaman dia tidak tidur, pagi-pagi
sudah ke toko, siang ke panti dan baru pulang sejam yang lalu dan langsung ke
kamar, dia pasti kecapean dan tertidur seperti itu…” kata Gandys panjang lebar.
“Kasihan dia, Dys… ide kamu ini
benar-benar gila… aku rasanya ingin sekali cepat-cepat memeluknya.”
“Kalau begitu cepat angkat embernya…”
kata Gandys pelan. Frista melirik ember yang sudah terisi dengan air di dekat
kakinya. Lalu menoleh ke Dilla yang tertidur seperti peri.
“Aku nggak bisa Dys.” Ucap Frista tidak
tega.
“Ah kamu ini payah, selalu saja begitu.
Nih pegang kuenya, ntar orangnya keburu bangun lagi.” Gandys menyerahkan kue
kecil yang ia pegang ke tangan Frista. Kue itu sudah di nyalakan lilinnya.
Gandys mengangkat ember dan mendekatinya ke tubuh Dilla. Sebelum mengguyur
tubuh Dilla ia sempat melirik Frista. Frista terlihat sedang menahan napas.
Lalu….
‘Biuuurrr…!’
Gandys benar-benar mengguyur tubuh Dilla
dengan air setengah ember. Dilla tersentak kaget dan langsung duduk dari
tidurnya. Dia membuka mata dan mendapatkan Gandys dan Frista berdiri di
hadapannya dengan senyum mengembang.
“Sorry Tuan putri…. Selamat ulang tahun…”
kata Gandys sembari menurunkan ember yang sudah kosong dari tangannya.
“Hai, selamat ulang tahun ya..” Frista
menyodorkan brownies kecil dengan lilin yang sudah menyala.
Hampir saja Dilla berteriak kaget
bercampur emosi saat menyadari tubuhnya sudah basah kuyup. Tapi senyum Frista
dan Gandys melenyapkan semua rasa itu. kejadian itu seperti mimpi, sambil
beranjak ia berguman.
“Aku benci kalian! Kalian pikir aku suka
kejutan seperti ini?” dia meraih handuknya lalu ke kamar mandi. Gandys dan
Frista berpandangan.
“Ternyata tidak seperti yang kita
bayangkan.” Ujar Frista. ”Dia sepertinya marah sekali, liat tadi ekspresi
wajahnya? tidak sedikit pun dia senang kita ada di sini.. tadinya aku pikir dia
terkejut dan akan memeluk kita dengan penuh rindu. Ternyata aku salah.”
Gandys menghela napas panjang. Dia
kecewa, rencana yang sudah di susun rapih menjadi berantakan. Dilla keluar dari
kamar mandi, Dilla dan Frista pandang-pandangan. Dilla melihat kue yang masih
di tangan Frista, ia mengambil kue itu lalu meletakkannya di atas meja hias. Ia
pun bersandar di meja itu dan menatap kedua sahabatnya. Mereka bermaksud mendekati
tapi tangan Dilla mengisyaratkan agar mereka tidak melangkah. Dilla menghela
napas dalam-dalam.
“Mau kalian apa?”
“Kita..?” Gandys mau bicara tapi Dilla
tidak memberinya kesempatan.
“Kalian sepertinya tidak pernah berpkir,
apa yang terjadi sama aku akhir-akhir ini? Kalau ingin menghukum jangan pakai
cara seperti itu.” mata Dilla mulai berkaca-kaca. ”Ratusan kali aku menelepon,
BBM dan SMS juga meninggalkan pesan pada orang-orang yang dekat dengan kalian.
Bahkan mencari kalian seperti orang gila. Apa kalian pernah berpkir bagaimana
perasaan ku?” Dilla menutup mulutnya untuk menahan agar air matanya tidak
keluar. ”Kalian pasti tidak akan pernah bisa merasakannya.”
Frista dan Gandys berpandangan sejenak
lalu detik berikutnya, mereka serentak memeluk Dilla. Mereka tidak peduli lagi
dengan kemarahan wanita itu.
“Aku benci kalian…” ucap Dilla.
“Ya ya… kita pantas menerimanya.” Ujar
Frista semakin tidak tega dengan Dilla. Pertemuan itu bukannya senang tapi
malah sedih-sedihan… Gandys melepaskan pelukannya.
“Aku benci dengan suasana seperti ini.”
Ia tertawa.” Tadinya aku membayangkan sesuatu yang luar biasa akan terjadi di
sini, eh tau-taunya begini.”
Dilla sudah mulai tersenyum dan mengusap
air matanya. ”Tapi terima kasih untuk usahanya. Sebenarnya jujur saja, aku
tidak pernah berpikir kalau kalian bisa segila ini. Aku sempat putus asa dan sangat
putus asa.”
Gandys mencium pipi Dilla. ”Sekali lagi
sorry ya, termasuk spring bednya kamu, tapi jangan khawatir.. kita sudah pesan
yang baru. Tapi kalau pesanannya tidak datang….”
“Sudah lupain aja, aku bisa tidur di mana
aja kok, sekali pun di atas tempat yang basah. Tidak
masalah
asal kalian senang.”
Frista meraih tangan Dilla. ”Lilin kamu…
dari tadi sudah menunggu.”
Dilla tersenyum haru. Dia menatap kedua
temannya, lalu ia pun meniup lilin itu dan kedua wanita itu mencium pipinya.
“Masih marah?” gurau Frista.
“Aku merasa menjadi wanita paling bahagia
saat ini.. tapi untuk membuat aku bahagia, jangan lagi mengulangi aksi demo
seperti minggu-minggu kemaren. Aku pastikan kalau aku bisa gantung diri.” Kata
Dilla setengah mengancam.
“Ya sudah… buruan ganti baju, ini bukan
aksi demo lagi… tapi ada kejutan kecil buat kamu.” Kata Gandys. Dilla
mengeryitkan keningnya dan menatap Gandys dengan penuh tanya. Tapi Gandys malah
melirik Frista.
Dilla jadi curiga. ”Ada apa lagi sih?
Jangan membuat aku pingsan. Kamu pasti punya akal-akalan lagi kan, Dys?” tuduh
Dilla pada wanita yang jago bikin kejutan itu.
“Sedikit kok, dan di jamin kamu tidak
akan pingsan. Ayolah buruan… kita sudah terlalu lama di sini.”
Dilla masih bingung, ia mengamati kedua
sahabatnya, mereka mengenakan pakaian santai tapi kenapa mereka malah
menyuruhnya ganti pakaian? Sedangkan dia sudah mengenakan pakaian pantas.
“Pastinya kalian tidak mengajak aku makan
malam di hotel berbintang lima, kan?”
“Tidak, ini makan malam biasa dan
tempatnya pun di rumah ini.” Jelas Frista.
“Apa?”
“Udah deh…” protes Gandys. Ia membuka
lemari pakaian Dilla lalu memilih baju yang bagus untuk wanita itu. setelah itu
menarik Dilla untuk mendandaninya dan menjauhinya dari kaca. Setelah berhasil
memaksa Dilla ganti baju mereka pun merapikan rambut Dilla. Tidak sampai
sepuluh menit saja mereka sudah selesai.
“Sudah, coba ngaca sana.” Kata Frista.
Dilla berdiri lalu menghadap ke cermin.
“Oh my God…! Kalian merubah aku menjadi
wanita Barbie, sepertinya kalian jago juga dalam urusan tata rias.” Dilla tersenyum.
”Tapi makasih.” Ia melirik kedua wanita yang sedang mengamatinya. ”Tapi kalian
tidak adil, aku seperti ini sementara kalian? Sorry…” Dilla buru-buru mengganti
pakaiannya dengan casual. Kaus lembut yang di padu dengan jins denim selutut. ”Ini
baru namanya be yourself.” Dilla memperlihatkan dirinya dengan santai dan
tersenyum kalem.
“Hei tidak boleh seperti itu, ini kan
hari ulang tahun kamu jadi harus terlihat lebih menawan dan anggun, yah…. seperti
tadi itu.” Gandys protes berat.
“Kalian ini kok aneh, makan di rumah
sendiri aja pake dandan segala. Memangnya di ruang makan ada wartawan apa,
haa…?!”
Frista menatap Gandys dan sepertinya
mereka tidak bisa berbuat banyak lagi.
“Ya udah deh, dengan pakaian apa pun juga
kamu tetap terlihat, emhm….”
“Frista….?” Gandys bingung karena Frista
sudah menyerah dengan membiarkan Dilla akan turun seperti itu. tapi apa boleh
buat. Frista hanya mengangkat kedua bahunya. Membuat Dilla tambah bingung
melihat sikap kedua sahabatnya itu.
“Hei hei…, kalian kok jadi aneh begini
sih? Ada apa di ruang tamu?” dia semakin penasaran.
“Tapi janji ya nggak boleh marah? Kalau
marah, kita akan pergi untuk selama-lamanya, sumpah.” Ucap Gandys dan di
perkuat dengan anggukan Frista.
“Oke, aku sudah nggak sabar.” Dilla
menarik tangan mereka dan mengajaknya ke bawah.. menuruni tangga, 1..2…3…4..
dan setelah menginjak lantai, kaki Dilla tiba-tiba mundur satu langkah. Oh
Tuhan…
“Ini keterlaluan.” Ujar Dilla.
“Rasain.” Goda Gandys. ”Sudah di dandani
ala puteri malah nggak mau…”
Dilla menatap Gandys. ”Kenapa nggak
ledakan bom saja sekalian di rumah ini.”
“Sudah terlambat Dill… sekarang anggap
saja kamu sebagai ibu Gubernur yang akan menyambut ibu Presiden.” Bisik Frista.
“Ya
Tuhan… apa sih maunya kalian ini?” Dilla merasa malu dan bercampur kesel dengan
kedua sahabatnya itu, tapi demi Tuhan saat ini dia tidak punya pilihan apa pun.
Dia menarik napas dalam-dalam dan apa mau di kata, sekarang dia sudah berdiri
di ruang tamunya sendiri. Yah… seperti kata Frista. Kini sang ibu Presiden itu
sudah berdiri dan menatapnya. Tatapan itu tidak seperti yang dulu, itu tatapan
lembut seorang ibu untuk anaknya. Dan setiap anak di dunia ini membutuhkan
tatapan lembut seperti itu. wanita itu menghampiri Dilla dengan senyumnya yang
paling manis. Ia membuka pelukannya dan menunggu Dilla masuk. Dilla diam,
bengong dan benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Apa kamu tidak ingin memeluk mama, nak?”
kata-kata itu ibarat berasal dari alam surgawi. Lembut dan sangat manis
terdengar di telinga. Dilla menoleh kepada kedua sahabatnya, mereka hanya
mengangguk dan tersenyum kecil. Lalu Dilla beralih pada wanita yang sudah
berubah seratus delapan puluh derajat itu, dan sepertinya wanita itu tidak
ingin menunggu lagi. Dia yang memeluk Dilla. Frista dan Gandys menjadi terharu
bercampur bahagia. ”Maafkan mama ya.” Bisik wanita itu di telinga Dilla. ”Sekali
lagi, maafkan mama, selamat ulang tahun ya sayang. Sayang… kamu mau kan
memaafkan mama?” pintanya tanpa berlebihan. Dilla tak kuasa berkata apa pun, ia
menarik napas panjang dan coba memberanikan diri untuk membalas pelukan wanita
itu. dan sepertinya wanita itu tahu kalau Dilla sudah memaafkannya. ”Terima
kasih sayang…. Saat ini mama bahagia sekali. Tapi mama ingin meminta sesuatu
dari kamu, apa kamu mau benar-benar menjadi anak mama dengan menerima Hangga
sebagai suami kamu?” tanya wanita itu. Dilla spotan melepas pelukannya. ”Sayang…
apa kamu belum bisa memaafkan mama?” ia terlihat cemas.
“Bukan, bukan itu bu…”
“Mama sayang, panggil mama….”
Frista dan Gandys membawa mereka duduk di
sofa. Mereka menatap Dilla, dan wanita itu berkata lagi.
“Mama sadar, kalau kebahagian itu ada di
atas segala-galanya. Kebahagian ternyata bisa berasal dari mana saja, karena
hanya ketulusan cinta yang mampu memberinya. Dari kehidupan Pingky membuat mama
berpikir. Mereka sekarang begitu bahagia, setahun lagi kuliah mereka selesai
dan Hangga… dia pasti akan sangat bahagia jika kamu mau menjadi isterinya.”
“Dan…. sekarang… keluarga baru kamu
sedang menunggu di luar.” Tambah Gandys sambil beranjak dari kursinya. Ia
menuju pintu depan. Mata Dilla mengikuti Gandys, yang membuka pintu dan detik
berikutnya muncul beberapa orang, di antaranya.. Dias, Yudha, Adit, Pingky..
papanya dan terakhir Hangga. Semuanya tersenyum kecuali Dilla. ”Silahkan
masuk…” Gandys berlagak seperti tuan rumah yang ramah. Dan semua yang ada di
sana tidak tahu bagaimana perasaan Dilla yang sebenarnya saat itu. dia tidak
bicara, tersenyum atau pun melotot. Ingin marah kepada Gandys dan Frista
percuma dan sepertinya rencana mereka tidak akan berhasil jika tanpa dukungan
dari semua yang hadir sekarang. Dilla merasa seperti terdakwa yang sedang di
vonis, hingga merasa ingin sekali pergi dari tempat itu, terbang jika bisa,
atau bersembunyi di dalam laci lemari.
Mbok keluar dengan membawakan senampan
minuman. Frista membantu mbok merapikan gelas. Ruang tamu Dilla sudah di sulap
menjadi ruang makan yang sepesial. Dilla belum pernah merasa sekaku ini seumur
hidupnya, ia juga tidak tahu kapan mbo mempersiapkan semua itu. Untung Pingky
mencairkan suasana.
“Kak Dilla, selamat ya… untuk semuanya.”
Mereka semua memberi ucapan selamat untuk Dilla, sementara Hangga masih berdiri
menatap wanita impiannya itu. Dilla masih juga salah tingkah, bukan karena
Hangga tapi semata-mata karena orang tuanya Hangga. Apalagi dengan papanya.
Pria itu ia segani dari dulu. Tiba-tiba Hangga menghampiri Dilla dengan
setangkai mawar di tangannya. Dilla tidak mau menjadi tontonan orang-orang yang
ada di ruang tamunya. Dia malah menarik tangan Frista dan Gandys ke ruang
tengah. Mama menghampiri Hangga.
“Tenanglah sayang… dia pasti malu.”
Katanya coba menghibur Hangga. Hangga memang amat bahagia karena mamanya sudah
berubah, tapi ia masih deg-degan dengan keputusan Dilla nanti.
Di ruang tengah. Dilla menatap kedua
sahabatnya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak bisa
bicara
kecuali mengeluh.
“Ya Tuhan…”
“Dill, jangan marah dong, please….” Ucap
Frista dan Gandys hampir bersamaan.
“Kenapa ya aku tidak bisa marah sama
kalian? Padahal aku ingin sekali… aku sedang kesal sekali, tau nggak?”
“Karena kita yang terbaik.” Kata Gandys
asal.
“Apa yang kalian inginkan..”
“Kebahagian seorang sahabat.” Ucap
Frista.
“Tapi cara kalian sudah berlebihan, aku
merasa tidak sanggup untuk menerima semua ini.”
“Tapi kita sudah memikirkan ini dari
jauh-jauh hari kok.” Gandys mulai merasa tidak bersalah.
“Termasuk melarang Hangga untuk tidak
menghubungi aku?”
Frista
dan Gandys mengangguk.
“Kita dapat skenario ini setelah mamanya
Hangga datang menemui Frista, dia mengatakan maksudnya untuk melamar kamu. Jadi
ini juga atas persetujuan beliau, kita hanya menjalani aja kok, swear.” Gandys
mengangkat telapak tangannya dan di iyakan oleh Frista.
“Ya sudahlah… lama-lama aku bisa pusing
dan gila, ayo ke depan…tidak enak kelamaan di sini.” Dilla mengajak
teman-temannya kembali ke ruang tamu. Di ruang tamu itu Dilla berusaha untuk
tersenyum, senyum itu hanya menandakan kalau dia menerima tamunya dengan baik.
“Kenapa lama sekali?” Hangga langsung
menghampirinya. Jantung Dilla terasa langsung berdebar kencang. Hangga
mengangsurkan mawar itu ke Dilla. ”Menikahlah denganku.” pinta Hangga. Dilla
tidak menjawab tapi malah menoleh ke papanya Hangga. Pria itu mengangguk pelan
di sertai senyum lembut.
“Kami menunggu jawaban kamu.” Kilahnya,
bak seorang Ayah untuk Dilla.
Hangga berkata lagi. ”Jangan kecewakan
aku, saat ini kamulah satu-satunya yang aku inginkan…”
“Jangan di teruskan…” Dilla menoleh ke
meja makan dengan bermacam-macam hidangan yang sudah di sediakan. Lagi-lagi ia
tidak tahu kapan mbok memasak semua itu. apalagi mbok tidak pernah minta uang
belanja tambahan darinya, apa mungkin Frista dan Gandys juga berperan dalam hal
makanan itu? “Duduklah Ga.” Lalu Dilla menoleh pada semua yang ada di tempat
itu. ”Kenapa tidak menikmati makanannya? Mbok pasti sudah bekerja seharian
untuk ini.”
“O,
tentu saja.” Gandys mengajak mreka makan dengan semangatnya yang luar biasa.
“Mm... aku pinjam Dilla sebentar ya.”
Kata Hangga. Dia akan meninggalkan mereka yang sedang menikmati santap malam.
Hangga pamit dan meraih tangan Dilla ke belakang. Sampai di dapur ia memeluk
Dilla. ”Selamat ulang tahun ya sayang….., aku kangen sekali.”
“Hei, hei… lepaskan…” Dilla berusaha
lepas dari pelukan Hangga.
“Sayang, jangan marah dong. Aku nggak
angkat telepon kamu kan karena permintaan mereka.”
“Aku tahu.”
“Jadi….?”
“Jadi apaaanya…?”
“Maksudku, apa perasaan kamu sama seperti
aku?” tanya Hangga menunggu jawaban Dilla dengan perasaan tidak menentu. Dilla
menatap mata pria itu. ia kangen karena sudah berminggu-minggu tidak melihatnya.
Dan Hangga tidak tahan lagi untuk mendengar kata-kata dari mulut Dilla.
“Mungkin lebih, aku sudah mendapatkan
semuanya. Teman, keluarga dan kamu… seandainya ini mimpi maka aku tidak ingin
di bangunkan, aku merasa berada di dalam….” Dilla tidak dapat lagi meneruskan kata-katanya
karena Hangga sudah keburu mencium bibirnya… hingga membuat Dilla memejamkan
matanya, seakan ingin terus berada di alam surgawi bersama Hangga dan untuk
beberapa saat mereka memang terlena. Menit berikutnya Hangga membawa Dilla ke
depan.
“Dia menerima lamaranku..” ujar Hangga
agak berteriak, hingga semua pun ikut berteriak ‘Yes!’
Gandys berdiri. ”Kebahagiaan ternyata
tidak perlu di cari ke ujung dunia atau menyebrangi samudra… sebab kebahagiaan
itu ada di sini… di depan mata kita. Dilla…., Sekarang yang memutuskan tanggal
pernikahan adalah tugas kamu dengan Hangga, kita semua yang di sini akan ada di
belakang kalian. Aku benar, kan…?” kata Gandys seakan bertanya pada semua yang
hadir. Dan sepertinya semua setuju saja. Dilla dan Hangga harus segera menikah.
Hangga mengajak Dilla makan malam di
tempat favoritnya yang paling istimewa, setelah itu dia membawa Dilla ke
apartemen yang baru di belinya. Apartemen di lantai 17 itu terletak di kawasan
elit Jakarta. Tempat yang indah untuk menikmati kerlap-kerlipnya lampu
Metropolitan di waktu malam hari.
Dari hati kecilnya Dilla tidak pernah
terpikir atau pun bermimpi mendapatkan hidup seperti ini, para perempuan di
mana pun rasanya memimpikan menemukan hidup seperti Dilla. Dapat teman-teman
yang hebat dan kekasih yang sayang sama dia juga mapan. Adakah hidup yang lebih
sempurna dari itu?
Dilla merasa kalau Tuhan sangat
menyayanginya. Jika kita memiliki hati yang baik, tidak peduli terlahir di
kolong jembatan sekali pun, karena di mata Tuhan, derajat umatnya adalah sama,
yang membedakannya adalah akhlak dari orang itu sendiri, itu yang membuat
manusia istimewa di mata Tuhan. Hidup akan terasa lebih berarti jika di jalani
dengan iklas.
Dilla berdiri di balkon dengan segelas
wine di tangan. Dia sedang memandangi pemandangan
malam
yang menakjubkan. Lalu Hangga memeluknya dari belakang dan menciumi pipinya,
kemudian
mengambil gelas dari tangan Dilla dan meletakkannya di balkon.
“Kamu tahu sayang…, betapa bahagianya aku
setelah mama merestui hubungan kita. Berdansalah denganku…”
Dilla membalikkan tubuhnya dan
menempelkan wajahnya di dada Hangga. ”Aku sebenarnya masih belum mengerti, apa
yang membuat mamamu berubah pikiran?”
“Mungkin karena dia mengagumi kamu atau…
tidak taulah, namun sekarang yang terpenting kamu jangan sampai berubah pikiran
sama aku ya?” ujar Hangga dan mengecup pipi Dilla lalu mengusap rambutnya.
Dilla merasa begitu nyaman, angin berhembus cukup kencang. Hangga masih terus
mengusap pipi Dilla hingga ke lehernya. Dilla merasakan tubuhnya sedikti
bergetar aneh. Dan saat mereka ciuman Dilla memeluk erat tubuh Hangga. Ciuman
Hangga semakin menghangat dan turun ke leher Dilla yang putih dan mulus. Dilla
seakan lupa di mana ia berada, yang ada hanya keinginan-keinginan yang aneh,
Hangga pun semakin membuatnya melupakan sesuatu. Dia hanya ingin membahagiakan
Dilla dengan coba terus mencumbu wanita itu.. hingga rasa itu tidak bisa di
bedakan lagi, apakah untuk kebahagian wanita itu atau untuk memuaskan dirinya
sendiri…? Antara keinginan untuk membiarkan Dilla terus merasakan setiap
sentuhannya atau ada yang lain? Dan tanpa mereka sadari kini keduanya sudah
bergumul di atas tempat tidur yang indah dan empuk. Hangga sudah membuka pakain
Dilla membuat Dilla seperti terhipnotis dengan kenikmatan sesaat.
Hangga sepertinya menginginkan sesuatu
yang lebih, lebih dari pelukan, lebih dari sekedar ciuman dan sesuatu yang
lebih itu adalah sex, sex yang terlarang…
Dilla tersentak saat menyadari Hangga sedang
berusaha membuka celananya.. membuatnya langsung duduk dan menatap pria itu.
“Maafkan aku… maaf…” katanya di tengah
suaranya yang tersengal.
“Kenapa sayang…?” ia memegang pipi Dilla
dengan perasaan cemas namun tidak merasa bersalah. Dan itu membuat Dilla
menggeleng sedih.
“Ini tidak benar.” Dia beranjak dari
tempat tidur dan merapikan pakaiannya.
“Apanya yang tidak benar? Hubungan kita
telah di restui.”
“Tetapi kita belum menikah.” Ujar Dilla
pelan.
“Apa bedanya kalau kita melakukannya
sekarang? Aku menginginkannya, kamu juga, kan?” Hangga masih membujuk wanita
itu. Dilla menghela napas panjang. Hangga memegangi kedua bahunya. ”Aku tau
kamu juga menginginkannya kan, sayang…?” kembali ia cium bibir Dilla. Hangga
benar-benar lepas control. Ia mendorong tubuh Dilla pelan sambil terus
memciuminya. Dilla tahu kalau Hangga sangat hebat, ciuman-ciuman Hangga tidak
mampu ia tolak. Sementara Hangga ingin membuktikan kalau dia adalah laki-laki
sejati. Dilla melepaskan ciuman Hangga.
“Hentikan Ga…” Dilla berusaha
mengendalikan Hangga.
“Aduh.. kamu ini kenapa sih? Aku
mencintai kamu dan menginginkan kamu…”
“Kita belum menikah. Hanya itu…”
“Itu lagi?! Memangnya kenapa?? Aku tahu
kamu juga menginginkannya. Menikah? Dulu kamu juga sering melakukannya sama
Steve, kan? Jadi apa bedanya….?”
Dilla menatap Hangga tidak percaya dengan
apa yang baru saja ia dengar dari mulut Hangga. Dia sangat tersinggung dengan
kata-kata itu. hatinya terasa tertusuk dan sakit. Ia menatap Hangga dari kepala
hingga ujung kaki. Tubuh yang atletis, tadinya ia mencintai sosok itu dan
menginginkan Hangga jadi orang yang paling bisa di banggakan. Dan jujur ia juga
menginginkan apa yang Hangga sebut-sebut itu, tapi dia ingat sesuatu…,
bagaimana pun dia masih punya prisnsif hidup sebagai wanita.
“Ga… kamu menyinggung perasaanku…”
“Maksud kamu apa?” Hangga masih terlihat
tidak ada masalah apa-apa.
“Aku tidak perlu berbohong sama kamu,
memang aku juga menginginkannya. Tapi satu hal yang harus kamu ketahui, dengan
Steve, aku menikah dengannya meski hanya secara Agama. Aku sah sebagai
isterinya meski statusnya hanya kawin kontrak…” kata Dilla dengan nada agak
tertahan.
“Tapi hubungan kita telah di restui dan
kita akan segera menikah. Anggap saja ini malam pertama kita.”
“Tidak, maaf… kalau aku mengecewakanmu.”
Dilla kembali merapikan bajunya. Hangga menatapnya dengan kesal dan perasaan
sangat kecewa.
“Kamu itu bersikap seolah seperti wanita
paling suci di dunia!” kata Hangga tanpa terkendali. Dilla menatap mata pria
itu, kali ini pria itu benar-benar telah menghinanya.
“Terserah penilaian kamu, terima kasih
untuk semuanya.” Dilla meraih tasnnya dan meninggalkan tempat itu dengan perasaan
teriris. Hangga telah sangat mengecewakannya. Apakah Dilla tidak bisa bersikap
dewasa? Ia tidak peduli apa pun dengan penilaian Hangga saat ini. Hangga pun
sama kesalnya.. emosinya ia rasa sampai ke ubun-ubun.
‘Heehhh! Siall!!’ dia menendang meja
hingga kakinya kesakitan, ia meringis. ’Ya Tuhan.. kemana dia?’ ia baru
menyadari kalau Dilla telah berlalu, ia pun berusaha mengejar Dilla tapi wanita
itu sudah menghilang. ’Apa yang terjadi padaku?’ Hangga masih mengeluh panjang.
Dilla pulang naik taksi. Ketika Hangga
menghubungi ponselnya dia langsung membuang ponsel itu ke jalanan. Air matanya
tidak keluar tapi hatinya menangis. Dia merasa hancur, orang yang dia cintai
dan percayai telah melumat hatinya hingga hancur berkeping-keping. Hangga yang
sekarang telah berubah drastis dan malam ini telah memperlihat sisi lain pada
dirinya. Kata-katanya sangat tidak enak di dengar, dia jadi pemaksa, tidak
berpesaan dan mengutamakan nafsunya. Dilla merasa
terluka
dan merasa di lecehkan oleh Hangga.
Keesokannya, setelah keluar dari toko,
Dilla tidak langsung pulang ke rumah tapi malah menghabiskan sisa waktunya
untuk minum-minum di diskotik. Sepertinya dia mabuk lagi dan kebiasaan buruk
itu kumat lagi. Terkadang tanpa di sadari orang sering mengulangi kesalahan
yang sama, meski sangat tidak ingin.
Seseorang yang mengenali Dilla segera
menghubungi Gandys. Yudha yang mengangkat teleponnya.
“Halo… siapa ya?” tanya Yudha karena
tidak ada nama di nomor yang masuk itu.
“Temanya Gandys. Gandys-nya ada…?”
“Lagi mandi, biar saya panggilkan..”
“Tidak usah mas… tolong sampaikan saja
kalau saat ini ada temannya yang bernama Dilla sepertinya sedang membutuhkan
dia. Saya pikir sebentar lagi wanita itu akan mabuk berat.”
“Di mana?” tanya Yudha. Dan orang itu
memberitahukan nama diskotik tempat Dilla sedang menikmati mimumannya. Beberapa
menit kemudian setelah telepon di matikan Gandys keluar dari kamar mandi. Yudha
menghampirinya. ”Sayang… saat ini sepertinya Dilla sedang ada masalah, dia
minum-minum di diskotik.” Tutur Yudha. Gandys yang sedang mengenakan baju
mengernyitkan keningnya.
“Jangan ngaco kamu, sudah lama Dilla
meninggalkan kebiasaan buruknya itu. memangnya tau darimana?”
“Barusan teman kamu yang di diskotik
Melawai telepon. Mungkin kita harus ke sana sekarang.”
“Melawai? Pasti Dinda, dia yang bekerja
di sana.” Ujarnya.
“Munkgin, cepat kamu berpakain.”
“Waduh… sepertinya buruk. Biar aku
telepon Frista saja.” Gandys menatap Yudha. ”Kamu tidak keberatan kan kalau aku
ke sana bersama Frista? Kayaknya Dilla sedang ada masalah, biar kami
menanganinya sesama wanita, gimana?”
“Sebenarnya aku ingin sekali membantu.”
“Niat kamu sudah cukup membantu sayang…
aku pergi yaaa..?”
“Oke, tapi ingat.. jangan ngebut.”
Gandys mengangguk dan sebelum pergi ia
mencium pipi Yudha, sebagai ucapan terima kasih atas pengertiannya. Dari dalam
mobil ia coba menghubungi Dilla tapi ponselnya ada di tangan orang lain. Lalu
ia menghubungi Dinda. Gadis itu menceritakan dan memastikan kalau Dilla sedang
minum sendirian. Kemudian Gandys menelepon Frista.
Frista yang mendengar kabar itu tidak
habis pikir, ada apa lagi dengan Dilla? Beberapa hari yang lalu dia sangat
bahagia menerima lamaran dari keluarga Yudha dan kalau sampai dia mabuk-mabukan
lagi pasti ada apa-apanya. Sesuatu yang aneh, tapi apa itu? Firan ingin sekali
segera mengetahui hal itu. dia meninggalkan pesan di kamar untuk Dias, karena
saat ini pria itu sedang meeting dengan rekan-rekannya dan pulangnya mungkin
agak larut.
Sampai di diskotik, Gandys dan Frista
menemui Dinda. Wanita itu menunjuk ke arah Dilla yang duduk di pojok ruangan.
Sendirian dan menikmati rokoknya, matanya terlihat sedang menatap kosong pada
anak-anak yang sedang di dance floor.
“Saya minta minumannya tiga botol.” Pinta
Gandys pada Dinda. Dinda memberikan minuman khas dari Meksiko.
“Dys…?!” Frista mengingatkan Gandys.
“Tenang aja, kita harus bergabung..” dia
menarik tangan Frista. ”Bantu aku membawakannya.” Mereka menghampiri tempat
duduk Dilla. Wanita itu sepertinya sudah lama di sana. Mereka bersyukur karena
Dilla belum mabuk, jadi masih bisa di ajak ngobrol. Gandys meletakkan botol di
atas meja. ”Hai, tidak keberatan kan kalau kita ikut bergabung?” Gandys
menuangkan minuman ke dalam gelas. ”Ayo bersulang untuk malam yang indah.”
Gandys menenggak miunamnya hingga habis.
Dilla tersenyum. ”Kenapa kalian tau aku
ada di sini?”
Gandys yang duduk di sebelah Dilla
menyenggol bahu Dilla sedikit. ”Memangnya ponsel kamu di kasih ke siapa haa…?”
“Ponsel?” Dilla menoleh ke Frista yang
ada di sebelah kirinya. ”O… mm… Frist.. apa ponselku tidak bersama kamu?”
Frista menyentuh tangan wanita itu,
sepertinya dia sudah mulai kehilangan kendali. Omongannya mulai ngaco, Frista
tidak menjawab tapi malah meraih gelas yang telah di isi oleh Gandys dan
bermaksud meneguknya seperti yang di lakukan Gandys barusan. Namun Dilla
langsung menahannya.
“Hei, apa-apaan kamu? Minuman itu tidak
baik buat paru-paru kamu!”
“Tidak ada salahnya kan mencoba? Aku
lihat kau menyukainya. Kamu minum, Gandys minum dan aku juga harus minum.”
Detik berikutnya Frista benar-benar mencobanya, tanpa sempat Dilla pegang
tangannya. Frista terbatuk, itu membuat Dilla menjadi kesal tapi Gandys malah
terkekeh melihat reaksi Frista setelah menenggak minuman itu.
“Hentikan kekonyolan ini…!!!” Dilla
berdiri dari kursinya dengan menatap kedua sahabatnya bergantian.
“Kamu yang konyo!” Frista menarik tangan
Dilla agar kembali duduk di bangkunya. ”Kamu pikir, kita ini siapa haa…?”
Frista mulai memperlihatkan sikap kepemimpinannya.
“Kalian pikir aku ini sepertinya sedang
bermasalah, apa menurut kalian setiap orang minum-
minum
itu lagi bermasalah? Kenapa kalian tidak pikir kalau aku sedang
bersenang-senang?” Dilla sudah duduk di tempatnya semula.
“Kamu memang sedang bersenang-senang dan
kita sedang melihatnya dengan sangat jelas.. apa kita tidak boleh ikut
menikmati kesenangan kamu saat ini?” tambah Frista. Dilla menarik napas lalu
menundukkan wajahnya. Percuma bicara seperti itu dengan mereka, mereka tidak
bodoh dan tidak mungkin bisa di bohongi oleh Dilla. Dilla memejamkan matanya
sejenak dan kata-kata Hangga terngiang kembali di kepala dan telinganya.
Gubraaakk!!!!
Dilla memukul meja dengan tangannya
hingga membuat separuh orang yang ada di tempat itu melirik ke arah mereka.
Frista coba menenangkan mereka dengan isyarat mimik wajahnya seakan mengatakan
kalau temannya tidak apa-apa dan itu hanya masalah kesalahpahaman sedikit.
Orang-orang itu sepertinya mengerti dan menganggap bahwa itu hanya urusan
pribadi mereka.
Gandys memegang bahu Dilla. Dilla masih
belum bisa mengontrol emosinya, meja terlihat berantakan.
“Dill…. Kita sadar kalau tidak setiap
malalah kamu harus kita ketahui, atau pun selalu bisa kita selesaikan.
Terkadang hanya kamu yang bisa menyelesaikannya sendiri. Jangan berpikir kalau
kita selalu ingin ikut campur. Kita hanya ingin kamu mendengarkan saja isi hati
kamu. Kamu boleh saja menceritakannya begitu pun sebaliknya.. tapi hanya satu
keinginan kita, jika kamu memilih untuk minum-minum seperti ini bukan jalan
keluar yang baik. Memilih untuk sendiri sepertinya akan lebih baik, tidak
perduli di mana pun tempatnya.”
“Dan…,” tambah Frista. ”Kita selalu siap
mendengar setiap permasalahan kamu, selama ini kamu selalu terbuka.. dan aku
masih berharap akan selalu seperti itu..”
Dilla memandang Gandys lalu ke Frista,
wajahnya sendu dan ingin sekali menangis. Gandys menggeleng karena tidak ingin
melihat air mata Dilla namun berbeda dengan Frista, dia malah ingin melihat
Dilla menangis karena dia tahu dengan menangis Dilla akan merasa sedikit lebih
lega. Tapi Dilla malah tersenyum meski agak getir dan hampa, tapi dia tidak
ingin mengecewakan kedua sahabatnya. Karena ia sadar, cinta hanyalah perasaan
sesaat, mungkin itulah yang ia rasakan dengan Hangga. Jadi rugi sekali bila
rasa sesaat itu ia harus korbankan perasaan teman-temannya yang begitu
menyayanginya.
“Tolong jangan menangis, aku tidak ingin
melihat air mata kamu..”
Dilla menggigit bibirnya dan menatap
Gandys. ”Maafkan aku, aku nggak tahu harus mulai darimana?”
“Tidak apa-apa kalau belum bisa cerita.”
Ujar Frista yang memaklumi.
“Nggak Frist…, aku hanya ingin mengatakan
bahwa selama ini aku berpikir kalau Hangga itu
adalah
pria yang baik, patuh dan menghargai wanita ternyata aku salah. dia bicara sama
aku seakan melemparku ke dalam kotoran.”
“Tidak mungkin Dill… itu pasti di luar
kendalinya, sebab cinta Hangga ke kamu tidak di ragukan lagi, percayalah…”
Dilla mengukir senyum pahit, ia yakin
temannya tidak akan bisa merasakan kepedihan yang ia rasakan, sebab kata-kata
Hangga membuatnya merasa sangat terhina, apalagi ucapan itu keluar dari mulut
seorang pria yang ia cintai.
“Sudahlah, aku mungkin berlebihan.. kita
pulang saja. aku jadi tidak enak dengan Yudha dan Dias. Gara-gara kebodohan kunanti
rumah tangga kalian jadi ribut. Maafkan aku yaa…”
“Kalau boleh tahu, Hangga itu sebenarnya
ngomong apa sih?” tanya Gandys pelan.
“Sebenarnya…. Mungkin sepele bagi kalian
dan Hangga, tapi tidak tahu kenapa aku sangat tersinggung mendengarnya.” Ia
menatap kedua wanita yang di sampingnya itu dengan bergantian. ”Apa menurut
kalian aku salah jika menolak dan harus menuruti keinginan Hangga sementara
kami belum menikah? Apa aku harus melakukannya?”
“Tidak juga sih…” jawab Gandys yang mulai
memahami permasalahannya.
Dilla menghela napas panjang. ”Aku tidak
marah saat Hangga menginginkan itu, tapi saat aku menjelaskannya, dan
menginginkan itu setelah aku sudah menjadi isterinya.. dia malah menganggap
penolakan itu sebagai kesombongan, dia bilang aku wanita sok suci di dunia dan
menyinggung juga masalah Steve, kalian tahu kan kalau aku dan Steve itu resmi,
menikah?”
Frista dan Gandys diam, mereka memang
sudah tahu hal itu. mereka menatap Dilla yang tersenyum seperti sedang
mentertawai dirinya sendiri.
“He..em…” Dilla memang menertawai
dirinya. Ia minum lagi dan menghabiskan sisa minuman yang ada di dalam botol.. yang
kebetulan selamat dari amukan tangan Dilla tadi saat menggubrak meja. ”Nikmat
sekali, aku sangat menyukainya. Kalian pulanglah, terima kasih atas… atas…
aduh, kepalaku berat sekali. Aku, aku ini memang bodoh, kuno, tak berguna,
tidak berpendidikan dan selalu membuat masalah. Mungkin aku seharusnya
melakukan apa yang di inginkan Hangga tetapi kenapa aku tidak bisa
melakukannya? Kenapa? Aku memang tidak pernah bisa membahagiakan orang lain.
Kalau saja bunuh diri itu tidak berdosa…” kini ia bersadar di kursinya begitu
saja, asal. Gandys tahu kalau wanita itu sudah mabuk. Frista menatap Gandys.
“Telepon Hangga.” Usul Gandys.
“Tidak.” Frista menggeleng. ”Biar di bawa
ke rumahku saja.” Frista tidak mungkin akan menyerahkan Dilla ke tangan Hangga,
karena saat ini mereka sedang berantem.
“Apa itu akan…. lebih baik?”
“Aku pikir begitu, dan akan lebih baik
kalau Hangga tidak tahu dulu keberadaan Dilla.”
Frista membawa Dilla ke rumahnya. Frista tidur
di kamar tamu menemani Dilla, saat pagi belum menjelang, Dilla masih terlelap.
Dias menemui Frista dan Dilla, ia duduk
di sisi mereka dan menatap Frista yang sudah terbangun. ”Kamu tidak bisa tidur
semalaman ya?” tanyanya dengan datar. Frista melirik Dilla sembari menarik
napas dalam-dalam.
“Kenapa ya, manusia tidak pernah lepas
dari masalah?” ucapnya seolah bertanya pada dirinya sendiri. Frista duduk di
sebelah Dias. Dias menatap wajah isterinya dengan tatapan yang sulit Frista
pahami.
“Tidak usah masuk kerja dulu hari ini ya..
Hmm… pernah nggak sih kamu berpikir tentang pandangan orang, jika kamu
terus-terus bergaul dengan wanita seperti Dilla?”
“Bergaul dengan wanita seperti Dilla?
Maksudnya kamu, apaaa?” Frista bukan tidak tahu, pertanyaannya hanya tidak
sependapat dengan Dias.
“Begini… dia itu sering mabuk, kan?”
“Ya, aku mengerti maksud kamu… tapi
tolong jangan bahas itu sekarang.” Pinta
Frista dan membawa Dias keluar dari kamar. Mereka meneruskan obrolan di kamar
mereka dan sama-sama duduk di sana. Dias menatap Frista dan Frista tahu kalau
Dias punya pandangan lain terhadap Dilla. ”Kelemahan yang paling mendasar pada
manusia adalah tidak pernah bisa menerima kelemahan orang lain. Aku tahu apa
yang ada di pikiran kamu saat ini, aku tidak malu punya seorang teman seperti
Dilla, dan aku tidak peduli dengan pandangan orang yang hanya bisa menilai
kejelekan orang saja. orang punya kelebihan jarang di bicarakan tapi jika
kelemahan itu terlihat maka akan di besar-besarkan.” Frista mengeluh. ”Banyak
sekali kemunafikan di dunia ini, hampir semua orang melakukan hal yang
sebenarnya tidak mereka sukai, tapi hanya demi pandangan bagus di mata orang
lain, maka mereka lakukan. Kamu tidak seperti itu kan, sayang….?” Harap Frista
pada pria lulusan negeri Kangguru itu.
Dias tersenyum lalu memeluk Frista. ”Aku
menyayangi kamu dan bangga padamu yang punya pandangan luas. Tadinya aku pikir
kamu hanya ingin menyembunyikan Dilla dari pandangan orang-orang yang tidak begitu
mengenalinya, ternyata aku salah. jangan marah ya, maafin aku…”
Frista menatap suaminya, ada yang tidak
pria itu ketahui, kalau saat ini ia sedang hamil empat minggu. Dias tidaklah
sepenuhnya salah, sebab orang punya pandangan masing-masing dan itu tidak bisa
di paksakan untuk menyamai pendapat kita. Hanya orang yang berjiwa besar, punya
pandangan luas dan penuh pemahaman yang mampu melihat setiap masalah dari segi
positifnya.
Ya Tuhan, Frista baru sadar kalau semalam
ia meneguk alkohol sementara ada calon bayi di dalam perutnya. Semoga tidak
terjadi apa-apa. Ia menyesal. Frista memang tidak ke kantor, dan ia
bisa
ngobrol seharian dengan Dilla.
Dilla tidak habis-habisnya menyalahkan
dirinya sendiri. ”Tapi aku tidak menyesal telah mengatakan hal itu kepada
Hangga, aku pun tidak peduli lagi apa pun pandangannya terhadapku. Wanita lebih
kuat dari laki-laki, kan?” ujar Dilla dalam arti mengendalikan perasaannya. Ia
memang selalu terlihat tegar dan itu sudah Frista buktikan. Makanya Frista
mengangguk pasti.
“He-em…” katanya dengan senyum penuh
dukungan. Bagaimana pun seorang wanita punya prinsip hidupnya masing-masing.
Meskipun banyak yang beranggapan itu kolot, tapi ia membenarkan pandangan
Dilla. Tidak ada yang berhak memvonis kalau pendapat Dilla itu adalah tidak
modern. ”Ada yang belum aku kasi tahu ke kamu juga pada Dias, aku hamil empat
minggu.”
“Ya Tuhan, benarkah…?” Dilla terlihat
sangat gembira dan memeluk Frista. ”Kabar ini seharusnya Dias yang tahu
duluan.”
“Aku tahu, nanti sore akan aku beritahu
ke dia.”
Dilla menatap sahabatnya seakan ingat
sesuatu dan ia sangat menyesal. ”Maafkan aku ya atas kejadian semalam, itu
bodoh sekali.” Ia memegang perut Frista. ”Aku berjanji atas anakmu, kalau
kejadian semalam tidak akan pernah terulang lagi.”
Frista tersenyum. ”Aku bangga sama kamu,
jangan pernah menyesali sebuah prinsip yang pernah kamu pegang karena prinsip
adalah cerminan dari hati.”
Dilla mengangguk, ia sangat memahami apa
yang di maksudkan Frista, maka itu bila kehilangan Hangga sekali pun ia tidak
akan menyesal. ’Terima kasih Tuhan… karena Engkau telah memberi aku seorang
sahabat yang terbaik yang tidak bisa aku nilai dengan harta apa pun di dunia
ini.’
Saat di rumah, Dilla sedang menerima
telepon dari Gandys melalui telepon rumah. Gandys menceritakan kalau Cindy
menelepon Yudha dan mengirimi foto lewat BB-nya. Di foto, Cindy terlihat begitu
cantik bersama seorang pria. Saat itu Dilla jadi ingat ponselnya yang telah ia
buang ke jalan dari dalam taksi di malam itu. Dilla menatap langit-langit
kamarnya.
‘Menikah? Kenapa setiap wanita harus
menikah? Persetan! Apakah aku juga harus menikah atas dasar demi status? Dan
apakah setiap wanita juga harus melakukan hal yang tidak ia inginkan? Jika aku
harus menikah, itu bukan atas dasar tidak enak sama siapa pun, atau karena
siapa-siapa. Itu pasti atas keinginanku sendiri, dan dengan orang yang aku
cintai.’
Pintu kamar di ketuk.
“Masuk aja mbok nggak di konci.” Kata
Dilla dengan datar dan pelan. Pintu kamar terbuka dengan tak kalah pelannya.
Tapi bukan mbok yang muncul tapi Hangga dan entah kenapa Dilla sama sekali
tidak merasa terkejut. Hangga mendekati Dilla dengan langkah penuh rasa
bersalah, ia meletakkan ponsel Dilla di atas meja kecil. Kini matanya menatap
Dilla.
“Aku menelepon, tapi yang menerima malah
orang lain. Kata orang itu ia menemukan ponsel kamu di pinggir jalan dan atas
permintaan saya, dia ingin mengembalikan ponsel ini.” Wajah Hangga tidak menunjukkan
kalau dia sudah berusaha sekuat tenaga meminta ponsel itu dari orang yang
menemukanannya. Padahal ia menjanjikan uang yang cukup banyak agar ponsel itu
bisa kembali ke tangan Dilla. Namun Dilla tidak mau mempertanyakannya. Hangga
duduk di kursi yang ada di dekat tempat tidur Dilla dengan mata masih tertuju
pada wanita itu. ”Aku tidak pantas meminta maaf sama kamu, kan? Aku tahu itu.
karena itu adalah perbuatan terbodoh yang pernah aku lakukan selama hidupku.
Aku seolah tidak pernah terpikir apa yang telah menimpa Pingky.” Hangga
menghela napas panjang. Dilla menatapnya dengan perasaan yang tidak bisa ia
lukiskan, antara marah dan coba memaklumi. Dan sepertinya Hangga tidak akan
memaksa Dilla jika wanita itu tidak mau menerimanya. Karena sesuatu yang di
paksakan itu hasilnya tidak akan baik.
Dilla bersandar di bantalnya tanpa
bergeming sekalipun, ia tidak tahu harus bicara apa. Dan yang pasti dia sudah
siap jika harus putus dengan Hangga, tidak ada sedikitpun yang perlu di
sesalkan. Cinta itu penuh kompromi, itu yang pernah ia dengar, dan perkara itu
benar atau tidak, entahlah!!!?
“Dill, bicaralah…. Setidaknya makilah
aku… mungkin dengan begitu akan membuat kamu merasa sedikit lega.” Ia berpindah
dan duduk di dekat Dilla, pas di ujung bed wanita itu. ia memegang tangan
Dilla. ”Aku tahu kalau kamu marah dan tersinggung dengan kata-kataku semalam,
aku sangat menyesal. Maafkan aku…” ia mengusap tangan Dilla sekilas, lalu…
kemudian berlalu meninggalkan Dilla yang masih diam dengan posisi seperti tadi.
Hangga pergi tanpa sepatahpun mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut
Dilla. Ia sudah mengatakan penyesalannya dan tidak begitu mau memaksakan diri
agar wanita itu memaafkannya. Dia hanya ingin Dilla tahu kalau ia mencintainya
dengan sepenuh hati, apa pun yang harus di lakukan sekarang telah ia lakukan,
mengenai hasilnya ia serahkan kepada Dilla. Sebab saat ini ia merasa menjadi
tersangka yang sudah siap menerima keputusan dari seorang hakim.
Dilla menghela napas sangat panjang dan
tidak tahu sama sekali apa yang di inginkan hatinya detik ini….
‘Memaafkan Hangga dan melupakan semua
kenangannnya? Kenapa selalu saja ada kesalahan? Dan kenapa pula selalu ada kata
maaf? Apakah aku memiliki stok maaf yang begitu banyak? Apakah setiap orang
meminta maaf harus di maafkan? Apakah setiap manusia punya begitu banyak
keinginan untuk memaafkan? Apakah aku tidak harus memaafkan Hangga tapi memilih
hidup bersamanya, karena demi cinta?! Dan apakah benar, bahwa persoalan kita
hanya kita sendiri yang bisa menyelesaikannya?? Hidup ini selalu penuh dengan
tanda tanya, andai saja selalu ada jawabannya!’
Pernikahan Dilla dan Hangga pun terjadi,
takdir!? Jodoh? Atau benar-benar karena cinta? Entahlah! Yang pasti Dilla
terlihat bahagia di depan teman-temanya. Acara resepsi di bagi dua tahap, pagi
sampai siang khusus untuk anak-anak panti dan keluarga terdekat… malamnya untuk
umum.
Ada yang membuat Dilla terkejut, juga
teman-temanya. Dilla yang sengaja mengundang Ryan tidak akan pernah tahu kalau
pria itu menggandeng wanita yang mereka sudah kenal.. cowok Guidenya waktu di
Singapore, karena cowok yang sangat pasih berbahasa Indonesia itu menggandeng
Cindy. Tidak ada yang menyangka, dunia ini benar-benar sempit, kita seolah
berjalan di satu tempat. Dan orang-orang silih berganti datang saling
bergantian. Cinta mungkin bisa di katakan lebih luas dari dunia itu sendiri.
Dilla belum pernah menceritakan
perkenalannya dengan Ryan kepada Gandys atau pun Frista, juga Hangga. Sebab
setiap individu punya sisi yang teramat pribadi di hati siapa pun.. yang
terkadang tidak bisa di ceritakan kepada orang terdekat sekali pun.
Kali ini, Hangga membawa Dilla ke rumah
pribadinya di kawasan terindah yang ada di Jakarta. Rumah mungil, sederhana dan
unik. Ia memperkenalkan setiap detil dan sudut rumah itu kepada kekasihnya yang
sudah ia nikahi itu.
“Kenapa malam ini tidak mengajak aku ke
apartemen kamu?” kata Dilla di sela keasyikan mereka.
“Aku mohon jangan di ingat-ingat lagi
ya…, kamu tidak tahu kan, kalau aku sudah menjualnya?”
“Kamu serius?” ia menatap pria itu
setengah tidak percaya.
“Tentu saja, apa aku terlihat seperti
pembohong?” katanya pelan.
“Tidak.” kata Dilla tidak bermaksud
menyinggung perasaan Hangga. ”Maaf… apa kamu ingin aku juga menjual rumah
pemberian Steve?”
“Tidak sayang…. Itu milik dan hak
kamu, aku tidak ingin kamu melakukan
sesuatu yang tidak kamu inginkan. Dan tentang malam itu, sekali lagi… maafkan
aku yaa….?”
“Sudahlah, jangan meminta maaf lagi. Aku
takut tidak punya cara untuk memaafkan kamu, walau aku tahu setiap kata ‘Minta’
selalu berpasangan dengan ‘Memberi’.”
Hangga tersenyum lalu meraih tangan
Dilla. ”Sini, berbaringlah di dekatku. Aku ingin mendengar cerita kamu, karena
aku punya waktu yang sangat panjang untuk mendengarkannya.”
“Apa yang harus aku ceritakan?” ia
menurut saat Hangga meraihnya pelan.
“Apa saja….”
Dia menarik napas dalam dan menatap
Hangga yang tersenyum tulus padanya. Dilla ikut tersenyum, ia malu di lihat
seperti itu seakan Hangga orang yang baru saja ia kenal. Ia telah jatuh cinta
pada pria itu untuk yang kesekian kalinya. Hangga mengusap wajah indah itu dan
berkata.
“Hei, jangan menggodaku seperti ini,
tanpa tersenyum pun kamu begitu menawan. Ceritakan tentang apaa… saja.”
sepertinya Hangga benar-benar ingin mendengar suara wanita itu.
“Aku tidak punya cerita yang menarik,
tapi yang masih aku ingat… aku, Gandys dan Frista punya cita-cita ingin
keliling Nusantara…”
“Bertiga?” tanya Hangga sembari mengusap
rambut Dilla. Dilla mengangguk, Hangga memahaminya. Bagaimana pun, ia tahu
kedekatan hubungan persahabatan mereka. Dia ingin mengabulkan cita-cita itu,
tanpa bermaksud untuk berlebihan.
“Cita-cita yang menarik, semua orang
pasti ingin melakukannya. Sini…” ia meraih tubuh Dilla ke dalam pelukannya. ”Pejamkan
mata kamu, dan berdoalah agar cita-cita kalian terlaksana.” Ucap Hangga dan
Dilla benar-benar memejamkan matanya.
Keliling dunia sekali pun, rasanya tidak
akan bisa melebihi keindahan di saat-saat berada di dalam pelukan sang kekasih
tersayang… karena cinta lebih indah dari apa pun, percayalah….!!
*********************
14 november 2011,
HELDA TUNKEME