SEBUAH NOVEL TENTANG
PERSAHABATAN
***
Kanker otak merupakan pembunuh yang bekerja diam-diam. Kehadiran kanker
otak kadang sangat sulit dideteksi. Gejala umum kanker otak adalah kepala
pusing dan mual/muntah.
S A H A B A T
‘Tara –
Khazilla’
Tara adalah seorang mahasiswi kedokteran, punya seorang kekasih yang
baik hati. Namun ia tidak pernah mempunyai seorang teman wanita yang
benar-benar akrab. Menurutnya punya teman seorang wanita itu lebih ribet, suka gosip dan tukang belanja.
Suatu malam, ia bertemu dengan seorang
wanita yang sederhana, seorang karyawan di sebuah butik. Seorang gadis yang
menjadi tulang punggung keluarganya, yang tinggal di kampung nan jauh dari
hiruk pikuk perkotaan. Seorang wanita yang menyimpan kepahitan hidup yang tidak
mungkin ia bisa selesaikan sendiri. Seorang wanita yang merasa tidak membutuhkan
siapa pun, dalam kontek tersendiri. Tidak ingin dikasihani dan berjuang demi
keluarga dalam kondisi dirinya yang sekarat.
Entah kenapa setelah bertemu dengan
gadis sederhana itu, Tara membuang pendapatnya tentang wanita yang cengeng,
suka belanja dan sering mengahabiskan waktu percuma di mall
mall.. dan dengan Khazilla, ia rela
melakukan apa saja, bahkan menjual rumahnya demi gadis yang bernama Khazilla
tersebut.
Tara ingin mewujudkan impiannya menjadi
seorang dokter yang hebat, sementara Khazilla ingin menjadi seorang perancang
busana yang terkenal.. namun keduanya menemui kendala yang tidak sulit.
Khazilla mengidap penyakit yang mengerikan, dan Tara merasa tidak sanggup
menghadapi itu, sebagai calon dokter ia di uji untuk menangani penyakit yang diderita
oleh sahabatnya sendiri. Sahabat sejati akan melakukan apapun….!
***
Cinta sahabat adalah cinta tanpa syarat……,
Kehadiran seorang sahabat ibarat
angin menepis mendung…!!!
KHAZILLA
PUTUS DENGAN RADIN
Di sebuah kafe yang sederhana, duduk
seorang pemuda yang tidak terlalu tampan namun cukup simpatik. Dia menatap
seorang gadis yang duduk di hadapannya. Gadis itu berusia sekitar 20-an,
rambutnya sebahu. Wajahnya lumayan manis dan saat senyum tipisnya mengembang
terpancar kearifan di wajahnya sehingga ia terlihat lebih bijaksana dari
usianya yang sesungguhnya.
“Kenapa kamu menganggap ‘Putus’ adalah demi kebaikan untuk aku?” tanya
si pria yang usianya kira-kira lima
tahun di atas usia si wanita. Gadis itu menghela napas berat, malam kian
merambat.
“Tidak mesti segala sesuatu itu harus
dijelaskan secara menditel, kan?”
jawabnya pelan. Pria itu menggeleng perlahan, sepertinya ia tidak sependapat
dengan alasan seperti itu.
“Jadi, apa arti dua tahun kebersamaan kita selama ini?” ia coba memegang
tangan gadis itu, namun di tolak secara halus. Satu dua orang terlihat sedang
sibuk menikmati makanan masing-masing atau sekedar minum bersama pasangan atau
keluarga.
“Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu.” Gadis itu meraih
gelas minumannya dan meneguknya sedikit. Ia coba menghindari tatapan mata pria
itu.
“Tapi kamu baru saja melakukannya.”
“Radin.” Gadis itu mengangkat wajah ovalnya. ”Aku sudah katakan, bahwa
kita lebih baik putus, itu saja.” kali ini ia menatap mata pria itu. Pria itu
tidak bisa memarahinya, kelembutan kata-kata serta nada bicaranya yang rendah
hanya mampu membuat pria itu menarik napas dalam-dalam. Ia coba mencari sebab
musabab kenapa gadis itu menginginkan hubungan mereka berakhir. Namun sedikit pun
ia tidak menemukan jawabannya.
“Khazilla, kenapa kamu menanamkan rasa penasaran di hatiku? Apa salahku?”
“Maafkan aku…” ucap gadis yang bernama Khazilla itu akhirnya.
“Maaf?” ulangnya tidak mengerti sama sekali.
Gadis itu beranjak dari kursinya, sekilas ia menyapu pandang di dalam
ruangan itu, tidak begitu ramai. Radin menyimak kekasihnya yang mengenakan
celana jins panjang di padu dengan kaus kasual. Gadis itu menoleh ke Radin.
“Sudah malam, aku harus kembali ke tempat kost.”
“Baiklah, tunggu sebentar. Aku ke kasir dulu..”
“Tidak, biar aku saja yang bayar.” Kata Khazilla cepat. Pria itu
tersenyum, ia tahu kalau Khazilla tidak pernah perhitungan untuk urusan yang
satu itu. Tapi nada bicara yang keluar dari mulutnya kali ini terdengar aneh di
telinga Radin.
“Oke, tapi jangan melarang aku untuk mengantar kamu ke tempat kost, ya?”
kali ini gadis itu tersenyum namun tetap menolak.
“Tidak Radin…, kita ini sudah putus.”
“Itu kan
kemauan kamu, bukan aku.” Sahut Radin.
“Tapi aku ingin kamu mengerti, tolonglah.” Ia melangkah ke kasir.
‘Seorang paranormal pun tidak akan bisa mengerti situasi ini..’ Radin
berguman seperti putus asa dengan kekasihnya. Sesaat ia tertegun di kursinya,
memikirkan apa yang salah dengan hubungan mereka. Ia coba menerka-nerka. ’Apakah
Khazilla jatuh cinta pada pria lain? Dan ia tidak mau berterus-terang karena
tidak ingin menyakiti perasaanku? Khazilla, dengan merahasiakannya akan membuat
aku lebih sakit bahkan lebih lama.’ Ia menoleh ke arah kasir. Khazilla sedang
menerima kembalian uangnya. Radin langsung menyusul.
“Zill…” ia meraih tangan gadis itu. Khazilla menatap Radin dan berusaha untuk
tenang, lalu..
“Aku tidak perlu di antar.” Kata Khazilla datar, mereka keluar dari kafe.
Di depan, saat menunggu angkot. Radin menatap Khazilla lagi. Dia sangat kecewa
namun sedikit pun ia tidak bisa memarahi Khazilla, meski sangat ingin karena
setiap kali ia menatap mata gadis itu, sama sekali ia tidak punya kekuatan
untuk memakinya. Entah kenapa ia sendiri tidak tahu apa sebabnya.
“Tidak apa-apa jika kamu menyukai cowok lain, tidak masalah, sungguh.
Aku akan tetap menunggu kamu untuk kembali sama aku.” kata Radin pasti.
“Jangan pernah menunggu aku, jangaaan.” Suara Khazilla bergetar.
“Terserah kamu saja, seperti halnya juga
hatiku. Aku tidak akan bisa melarangnya untuk tidak menunggu kamu.”
“Yang terpenting aku sudah memberitahukannya sama kamu untuk tidak
menantiku. Terima kasih untuk hari-hari indah yang telah kamu beri selama ini
padaku.., maafkan semua salahku.” itu kata ucapan perpisahan dari Khazilla
untuk Radin.
“Kamu kejam Zill…” suara itu seperti gumanan yang bergetar hebat namun
nyaris tidak terdengar. Khazilla menyetop angkot seolah tidak ingin mendengar
dakwaan Radin lebih dalam lagi, karena itu sama saja akan menyakiti dirinya
sendiri.
“Aku duluan ya…” Khazilla masuk ke dalam angkot yang sudah berhenti.
Radin hanya bisa memandang gadis itu menghilang di telan angkot bersama
penumpang yang lainnya.
Khazilla
menghela napas sedikit lega seakan baru saja menyelesaikan satu masalah di
dalam hidupnya. Ia tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang melirik ke
arahnya. Meski merasa seperti sudah terlepas dari Radin, namun dalam hatinya
yang terdalam ada rasa perih. Ia tidak bisa pungkiri itu, dua tahun menjalin
hubungan dan harus berpisah bukanlah hal yang gampang namun ia merasa itu
adalah yang terbaik buat mereka berdua. Kalau Radin bisa melupakannya, itu akan
sedikit membantu ketentangan batinnya. Khazilla memejamkan matanya beberapa
saat, ia harus berjuang keras agar bisa melupakan Radin. Pria itu terlalu baik
jika harus kecewa. Ia merasa tidak pantas mematahkan hati pria itu.
Seorang
gadis yang duduk di pojok mengamati Khazilla yang masih memejamkan matanya, ia
tidak tahu, entah kenapa wanita itu bisa menarik perhatiannya. Ponsel dalam
genggamannya berdering bahkan ia abaikan, malahan ia reject agar deringannya tidak sampai mengganggu penumpang yang
lain. Beberapa lama kemudian Khazilla membuka matanya, bersamaan dengan itu
gadis yang di pojok itu baru menyadari kalau dia harus segera turun.
“Bang… di depan kiri ya…” pintanya. Khazilla ikut mengamati suasana di
luar angkot.
‘Ya
Tuhan… ternyata aku sudah sampai.’ Ia ikut buru-buru keluar dari dalam angkot.
Sebelum ia menghampiri bang sopir, ia melihat seorang gadis yang turun duluan
tadi sedang mencari sesuatu dari kantong celana jinsnya, dompet atau semacam
uang untuk membayar ongkosnya. Dan sepertinya gadis itu tidak menemukan apa
yang ia cari, ia terlihat cemas. Khazilla meyadari kalau gadis itu sedang dalam
masalah. Abang sopir masih menunggu.
“Ini bang, untuk dua orang.” Khazilla menyerahkan selembar uang sepuluh
ribuan ke bang sopir.
“Bang saya…” gadis itu ingin berterus terang dengan sopir. Ia tidak
peduli orang salah paham atau menganggapnya sudah kehabisan uang. Tapi angkot
sudah keburu melaju meninggalkan tempat itu, sepertinya bang sopir tidak lagi
mendengar suara gadis itu.
“Sudah, tadi sekalian sama saya.. bang sopirnya bilang ia tidak punya
kembalian.” Kata Khazilla beralasan sembari menatap gadis itu sejenak. Kemudian
ia berbalik bermaksud melangkah.
“Maksud kamu?” gadis itu masih penasaran. Khazilla memutar tubuhnya
lagi.
“Maksud saya, saya bilang sama bang sopir untuk dua orang.” Ia menatap
gadis
Itu sejenak. Gadis itu melepaskan tawanya membuat
Khazilla heran. ’Apa ada yang lucu?’ pikirnya. Tapi ia tidak mau ambil pusing.
Ia membalikkan tubuhnya.
“Tunggu!” kata gadis itu cepat seakan baru sadar kalau Khazilla akan
segera pergi. Ia berubah serius. Khazilla lagi-lagi menghadap ke gadis itu,
yang sudah mengulurkan tangannya. ”Terima kasih ya, saya Tara.” Khazilla menyambut
tangan Tara di sertai anggukan kecil tanpa menyebut namanya untuk Tara. Sesaat kemudian ia melepaskan tangannya tanpa
bermaksud mengamati sosok Tara lebih jelas, namun dengan pasti ia bisa melihat
semua yang Tara pakai, dan semua terlihat sangat
pas dengan bentuk tubuhnya yang semampai. Dan Tara sendiri merasakan bahwa
sosok yang ada di hadapannya itu sangat kaku, cuek dan seakan merasa telah
menjadi dewi penolongnya yang angkuh hingga terkesan sombong. ”Kamu tinggal di
mana? Maksud saya…, nanti akan saya kembalikan uang kamu.” Kata Tara sepertinya
tidak mau berhutang dengan orang semacam itu.
“Tidak, tidak usah. Maaf.., saya buru-buru..” kali ini Khazilla
benar-benar meninggalkan gadis yang bernama Tara
itu. Namun Tara sepertinya mendengus keki.
“Sesama wanita kok sombong sekali..” sebelum melangkah ponselnya
berdering lagi. Datas memanggilnya. Pria yang sudah ia kenal cukup lama itu
adalah pacarnya.
“Aduh Tara, kamu di mana?” tanya Datas cepat dengan nada cemas.
“Udah deket rumah.”
“Sayang, gimana bisa nyampe? Dompet kamu aja ketinggalan di rumahku. Ya
sudah, besok pagi jangan pergi dulu sebelum aku mengantar dompet kamu, ya?”
“Iya, ya ya… udah ya.” Ia mengakhiri pembicaraan dengan Datas kemudian melangkah
menuju rumahnya yang berjarak sekitar 20 meter dari jalan utama. Sebelum ia
berbelok ke rumahnya, matanya menangkap sosok wanita tadi sepertinya sedang
berbicang dengan dua pria. Ia kenal dengan kedua pria tersebut. Ia juga tahu
kalau di belakang rumahnya ada tempat kos-kosan.
Jika
ada yang berbicara dengan kedua pria itu berarti ada yang tidak beres. Dengan
berlari-lari kecil Tara menghampiri mereka. ”Hai…” sapanya dengan napas agak
tersengal. Khazilla dan kedua pria itu menoleh. Kedua pria itu agak malu hati
dengan Tara. Mereka hanya anak-anak nakal yang
coba mengganggu Khazilla atau sekedar minta uang.
“Hei, Tara…” kata salah satu dari pria itu.
“Ngapain kalian di sini?” kata Tara
semacam introgasi.
“Nggak, nggak ngapa-ngapain…” cowok itu menyikut lengan temannya sambil
nyengir. Itu tanda kalau mereka harus segera pergi. Khazilla mengamati Tara. ”Yok…” akhirnya mereka melambaikan tangannya pada Tara lalu buru-buru pergi. Tara
menatap Khazilla yang sedang mengamatinya.
“Rumah saya di sebelah sana.” Kasi tahu Tara, dan sepertinya gadis itu
sama sekali tidak tertarik untuk menoleh ke arah yang di tunjuk oleh Tara. Namun kali ini ia benar-benar bisa melihat
penampilan Tara dengan jelas berkat bantuan
lampu jalan yang terang. Tara memiliki rambut
panjang, di lengan kirinya melingkar ikat rambut dan lengan kanannya di lilit
oleh sebuah jam indah dan terlihat dari modelnya kalau jam itu sangatlah mahal
harganya. Kaus semi ketat di padu dengan jins lembut, ia terlihat seperti mahasiswi
tingkat akhir.
“Sebenarnya saya bisa menangani kedua cowok tadi, tapi terima kasih.”
Khazilla meninggalkan Tara. Tara
tercenung seperti mentertawai dirinya sendiri. Ia merasa aneh saja peduli
dengan gadis yang sama sekali tidak memiliki basa-basi itu.
‘Wanita macam apa dia?’ Tara memutar
tubuhnya dan meninggalkan tempat itu. Namun sebelum Khazilla membuka pintu
pagar kosannya, ia menoleh ke Tara.. memandang
gadis itu sampai tak terlihat.
‘Saya tidak membutuhkan siapa-siapa, apalagi seorang teman.’ Guman
Khazilla seolah berjanji pada dirinya sendiri, tepatnya memperingati dirinya.
*******
KHAZILLA
Di dalam kamarnya, Khazilla duduk di atas tempat tidurnya dengan kasur
yang tipis. Saat memutuskan hubungan dengan Radin masih tergambar jelas dalam
benaknya. Ia menarik napas dalam-dalam. ’Semua akan berakhir dan aku pasti bisa
melupakan Radin.’ Ia meraih sebuah foto yang ada di atas meja kecil itu. Gambar
kelima adiknya dan kedua orang tuanya sedang tersenyum. Setiap melihat foto itu
ia merasa memiliki kekuatan lebih sekaligus merindukan mereka. Ia meciptakan
senyum tipis untuk keluarga tercintanya. Kini matanya menerawang jauh keluar
jendela, angin malam menerpa wajahnya. Pikirannya sedang berada di kampung
halamannya, di mana tempat semua keluarganya tinggal yang berjarak ribuan mil
darinya saat ini.
Khazilla adalah gadis sederhana, lahir dari keluarga sederhana, anak
sulung dari kelima adiknya. Dia hanya lulusan Sekolah Menengah Atas. Hampir
empat tahun ia berada di Jakarta, bekerja di sebuah perusahan kecil, karena ia
memiliki ijazah yang kecil pula. Dengan gaji yang sebenarnya hanya cukup untuk
menghidupi dirinya sendiri. Sementara untuk menambah penghasilan demi
adik-adiknya di kampung ia terpaksa menjadi pramusaji di sebuah kafe yang
terletak di dalam sebuah mall besar. Ia
bekerja di sana
dari pukul empat sore sampai sepuluh malam, setelah usai jam kerjanya di sebuah
butik. Begitulah hari-harinya di Jakarta. Ia punya niat untuk membantu
adik-adiknya sekolah, meski ia sendiri tidak bisa melanjukan sekolah, yang
penting adik-adiknya tidak ada yang buta huruf. Dengan bekerja siang malam, ia
juga bertekad akan membiayai kuliah adiknya. Harus ada yang mencicipi bangku
kuliah di dalam keluarganya. Itu tekadnya.
Namun setelah menerima hasil diagnosa dokter kemarin, ia merasa semua
cita-citanya runtuh di tengah jalan. Hancur berkeping-keping dan dunia terasa
gelap. Hasil chek-up itu meluluh lantakkan hatinya. Dokter mengatakan kalau ia
hanya bisa bertahan lebih kurang enam bulan lagi.
‘Enam bulan lagi… enam bulan lagi..’ kata-kata itu seakan menusuk
telinganya dan mencabik-cabik harapannya. Ia memeluk foto keluarganya. Setelah
mendengar hasil dari dokter, ia seakan ingin menjauhi semua orang, tak
terkecuali Radin.
Ia
melirik wajahnya di cermin, apakah rambutnya mulai rontok? Atau menipis? Tidak!
Rambut rontak jika ia menjalani terapi, pikirnya. Ia pernah melihat di berita kalau orang menjalani
terapi atau operasi.
Seringkali
Khazilla mengalami sakit kepala yang luar biasa, dan dulu beberapa bulan lalu
ia sering muntah. Semua itu ia kira masuk angin atau kecapean, Ia memegang
rambutnya dan mengelusnya. Besok ia
akan membiasakan diri untuk tidak memikirkan tentang penyakit itu. Karena enam
bulan ini ia akan bekerja keras untuk menabung, bukan untuk berobat, karena
gajinya sepuluh tahun pun tidak akan cukup untuk mengobati penyakitnya. Sebelum
mati ia akan meninggalkan gaji itu untuk keluarganya. Hanya itu yang bisa ia
lakukan, lain tidak.
*******
TARA.
Tara meletakkan tasnya di atas tempat tidur yang empuk.
Spring bed itu berada di bawah dengan hanya beralaskan karpet hijau. Jangan
salah, ia pernah tidur di atas dan terjatuh, sejak itu ia tidak pernah lagi
tidur di atas ranjang. Tara adalah anak rantau dari Bandung,
ia kuliah di Jakarta
mengambil kedokteran. Di samping kuliah ia juga bekerja di sebuah rumah sakit.
Ia punya seorang adik laki-laki, kini masih duduk di bangku SMU tinggal bersama
orang tuanya di Bandung.
Sementara ia sendiri tinggal di rumah yang di beli orang tuanya, bersama
seorang wanita paruh baya yang menemaninya sekaligus mengurus semua keperluannya.
Tara menarik napas dalam-dalam.., ia tak habis pikir
dengan gadis angkuh yang ia temui di
angkot itu. Di matanya gadis itu seperti menyimpan sesuatu yang luar biasa, ada
misteri dan sepertinya memiliki sesuatu yang akan membuatnya menjadi orang yang
di cari. Sebenarnya ia tidak menyukai sikap gadis itu, sangat tidak suka. Tapi
entah kenapa ia tidak bisa menghilangkan wajah itu dari pikirannya. Apanya yang
hebat dari dia? Dia tidak ubahnya seorang karyawan biasa, atau seorang wanita
yang sedang mengambil kursus di kota.
Ia memang punya daya tarik sebagai wanita dan punya postur tubuh yang bagus.
Namun keangkuhannya melenyapkan semua itu.
*******
Pagi-pagi sekali, Tara sudah berada di
depan rumah kos-kosan Khazilla. Seorang pembantu rumah kos membuka pintu dan ia
menemukan Tara, yang sudah ia kenal
sebelumnya.
“Tara… cari siapa?” tanya wanita paruh baya itu ramah. Tara agak bingung untuk menjawab, ia hanya tidak ingin
berhutang pada orang yang tidak ingin ia kenal.
‘Sial. Kenapa semalam tu orang tidak menyebut namanya ya. Aku baru liat
dia, pasti dia orang baru di tempat ini.’ Umpat Tara di dalam hati.
“Begini Bi, saya gak tahu siapa namanya. Anaknya tinggi, putih dan
rambutnya sebahu.” Tutur Tara kemudian.
“O,
cakep, manis dan tingginya sama dengan kamu? Dia pasti Khazilla, kamarnya ada
di paling belakang. Memangnya kenapa?”
Tara berpikir sejenak. ”Semalam saya pulang satu angkot
sama dia, kebetulan ada sesuatu yang harus saya kembalikan…” jelas Tara
akhirnya.
“O,
kalau begitu masuk aja lewat pintu samping. Sepertinya ia belum berangkat, tapi
gak tahu juga ya.. ia biasanya berangkat pagi.” Wanita itu meragukan ucapannya
sendiri.
“Terima kasih ya, Bi..” Tara menuju
pintu samping. ’KHAZILLA…? itu nama gadis gunung es situ.’ Tiba di kamar paling
ujung, Tara mengetuk pintunya. Khazilla yang
baru selesai mandi menyibak hordeng jendela untuk melihat orang yang berdiri di
depan pintunya pagi-pagi begini.
‘Tara? Untuk apa dia kemari?’ pikirnya. Pintu di ketuk
lagi dan Khazilla memutuskan untuk membukanya. Tara
berdiri dekat sekali dengan pintu.
“Hai…?” sapa Tara seperti orang kebingungan.
“Tara…, ada apa?”
“Kamu masih ingat dengan namaku?” Tara tersenyum, mungkin itu hal luar biasa menurutnya
padahal tidak. ”Aku ke sini ingin mengembalikan uang kamu yang semalam, lima ribu, kan?”
katanya ramah seperti orang yang bermaksud megucapkan terima kasih yang berlebihan.
Khazilla mengulurkan telapak tangannya ke hadapan Tara, melihat sikap Khazilla
memaksa Tara tersenyum seakan baru tersadar
maksud dari kedatangannya.
“Tentu.” Ia merogoh kantongnya. Sejenak saja uang lembaran lima ribuan berpindah ke
tangan Khazilla. Khazilla menggenggamnya.
“Terima kasih.”
“Khazilla..?” ujar Tara membuat
Khazilla menautkan kedua alisnya. ”Itu nama kamu, kan?” Tara
agak keki juga karena gadis itu tidak punya basa-basi sama sekali, apalagi
mengajaknya masuk.
“Maaf, saya harus bersiap-siap
untuk berangkat kerja. Tujuan kamu hanya ingin mengembalikan uang ini, kan?” ia menatap Tara
dan saat gadis itu menatap balik matanya, Khazilla berusaha menghindar dan
bermaksud menutup pintu, namun sebelum itu, terjadi ia bicara lagi. ”Mau
masuk?” suaranya pelan, tulus namun terkesan agak berat.
“Tidak.” Tara menentang kata hatinya.
Detik berikutnya ia menjauh dari depan pintu. Khazilla sedikit pun tidak punya
niat untuk menahannya karena ia memang sedang tidak ingin dekat sama siapa pun.
Namun sebagai orang yang dikunjungi ia masih menaruh hormat pada tamunya.
Sepertinya Tara tersinggung, masa bodohlah. Khazilla tidak ingin memikirkannya.
Ia mempersiapkan diri untuk berangkat kerja tak peduli kepagian tiba di kantor.
Waktunya hanya tinggal beberap bulan, ia harus menaklukkan waktu yang tersisa
itu sebaik mungkin. Sebab ia tidak akan mampu membeli waktu.
*******
Datas sudah muncul di rumah Tara dengan
motor besarnya. Semalam ia tidak bisa mengantar gadis itu karena ada urusan.
Setelah dari rumah Tara ia langsung ke kampus.
Karena Tara kuliah agak siang, dan sorenya ia pun akan langsung bekerja di
rumah sakit swasta. Kuliah sambil bekerja memang membutuhkan stamina yang prima, itu berlaku untuk
orang yang mempunyai kondisi tubuh yang sehat dan fit, tapi bagaimana dengan
Khazilla?
*******
Bersambunggggggg...>