Minggu, 03 Juni 2012

Damai dalam Gelisah




Bab 2
Kemarahan seorang teman...

Seminggu kemudian, di kontrakkan Kareena sedang menunggu Lucy pulang untuk mengajaknya makan malam di kafe langganan mereka, tapi hingga pukul tujuh malam Lucy belum pulang juga, Kareena menelepon tidak diangkat, pesanpun tidak dibalas dan ia baru muncul setelah pukul Sembilan malam dengan kemarahan yang meledak luar biasa.
       Di kamar ia memaki-maki Kareena yang masih menunggunya dan melemparkan kertas ke hadapan Kareena yang tadi ia pegang.
       “Apa maksud dari semua ini?!?” suara Lucy tinggi sekali dan benar-benar membuat Kareena kaget mendengarnya. Kareena pun mengambil kertas yang sudah terjatuh ke lantai itu. “Lo, kira lo itu siapa, hah?! Sudah hebat? Sudah bisa melakukan apa saja semau lo? Gue memang mahasiswi biasa yang hanya bisa menekuni kuliah, tanpa bisa menghasilkan uang sepersenpun, semua kebutuhan gue masih ditanggung oleh kedua orang tua gue….tapi apa lo pikir lo berhak
melakukan itu sama gue? Lo kejam Rin! apa selama ini gue pernah minta sama lo?! Gue.. gue…” Lucy merasa tidak bisa lagi meneruskan kata-katanya karena ia sangat sedih.
       “Lucy, a   ku…. Aku cuma ingin…”
       “Gue nggak perlu mendengar penjelasan lo, lo sudah menyalah artikan persahabatan kita selama ini.” Lucy menangis dan air mata itu keluar pun tanpa ia sadari hingga ia menghapusnya dengan sangat kasar. Detik berikutnya ia meraih kunci mobilnya yang tadi ikut terlempar bersama kertas itu. Ia berbalik dan pergi setelah sebelumnya membanting pintu kamar tanpa memberi kesempatan sedikitpun untuk Kareena membela diri.
       Tapi Kareena coba mengejar gadis itu dan memanggilnya. “Lucy…! Lucy tunggu..!” tapi Lucy telah menghilang bersama mobilnya. Kareena tertegun di pintu dan bi Ima menegurnya.
       “Ada apa, Non?”
       Kareena menoleh. “Bibi belum tidur?”
       “Bibi terbangun, tadi Bibi dengar Non Lucy teriak-teriak ada apa?” ia khawatir.
       “Tidak ada apa-apa Bi, hanya salah paham saja. Dia marah sama aku.” Kata Kareena lalu menutup pintu dan mengajak bi Ima untuk masuk lagi.
       “Sepertinya ia marah sekali.” Wanita itu ingin tahu apa yang sedang terjadi pada kedua gadis yang ia temani di tempat kos itu, karena sebelumnya mereka tidak pernah bertengkar.
       “Ya.” Kareena hanya menjawab pendek dan itu bukan jawaban seperti yang bi Ima harapkan. Tapi ia coba memahami mungkin Kareena belum bisa cerita. Pikirnya.
       “Tapi ke mana dia? Inikan sudah malam.”
       “Bibi tenang saja, nanti juga dia pulang, aku akan menunggunya. Biar aku telepon dia, Bibi kembali saja ke kamar dan istirahat.” Kata Kareena akhirnya.
       Kareena kembali ke kamarnya sendiri dan ia tidak yakin kalau malam ini Lucy akan pulang ke tempat kos, ia bisa merasakan kalau Lucy benar-benar marah dan belum pernah ia seperti itu. Kareena mengambil kertas copy-an yang dilempar Lucy tadi dan mengamatinya sejenak.
       Lucy, maafkan aku. Aku tidak pernah punya maksud apa-apa, apalagi sampai menyakiti hatimu. Sungguh, maafkan aku. Kata hati Kareena dengan sangat menyesal setelah melihat Lucy yang tadi sempat menangis. Kareena menghela napas panjang lalu duduk di atas tempat tidurnya. Lucy tidak akan memaafkannya, dan bagaimana harus menjelaskan kepada gadis itu? Kareena benar-benar sedang dilanda kebingungan dan sekaligus mengkhawatirkan keberadaan Lucy saat ini. Selama ini Lucy selalu membantunya dan memberikan jalan terbaik, ia berada di posisi saat ini juga karena jerih payah Lucy. Lucy terus memberinya support dan dengan segala hal yang ia punya, Kareena merasa tidak bisa membalas semua itu dan dengan memberikan sebagian hasilnya dengan Lucy, apakah tindakannya itu salah? Kareena masih bingung. Mungkin menurut Lucy itu salah, buktinya ia telah menolaknya dengan mentah-mentah.
       Kareena memang salah, karena tidak membertahukan hal itu lebih dulu kepada Lucy tapi kalau ia bilang apakah Lucy akan menerima atau bahkan lebih marah dari tadi? Lagi-lagi Kareena bingung, ia tak bisa berpikir jernih. Untuk menelepon Lucy saja ia tidak sanggup.
                                                                           *
       Di kafe,
       “Dimassss…. Beri gue minum!”
       Dimas memperhatikan Lucy yang baru tiba di meja bar kecilnya. “Luc, kenapa lo? Karin, mana?” Tanya pria dua puluhan itu seteleh melihat wajah Lucy seperti berlipat dan penuh amarah itu.
       “Gue nggak butuh pertanyaan lo, gue hanya butuh minum.”
       “Ya, tapi minum apa?” Dimas tidak ingin meladeni amarah Lucy.
       “Wisky, racun juga boleh!” sahut Lucy dengan cepat.
       “Bentar, bentar…. Kayaknya lo lagi kacau. Ada apa sebenarnya?” tanyanya lagi, untuk tempat itu belum terlalu ramai. Dimas kaget saat mendengar Lucy minta wisky, itu bukan minuman yang biasa ia minum. Tapi Lucy langsung menyambar kerah baju Dimas.
       “Berikan gue wisky sekarang atau kafe ini meledak.” Kata Lucy agak berbisik di telinga Dimas.
       “Lucy, tenang dulu.” Kata Dimas dan ia memandangi sekeliling, satu dua orang mulai memperhatikan mereka. Untuk tidak ada bosnya malam itu. “Lo, tenang. Biar gue ambil dulu minumannya, oke?”
       Lucy menurunkan tangannya dari kerah baju Dimas.
       Beberapa detik berikutnya. “Ini! Puaskan diri lo.” Ujar Dimas setelah meletakkan sebotol
wisky di hadapan Lucy. Lucy membuka tutup botol itu dan Dimas memberinya gelas kosong tapi sepertinya Lucy tidak membutuhkan gelas. Ia langsung menenggak isi botol hingga separuh membuat Dimas terhenyak. Ia tidak pernah melihat Lucy segila itu sebelumnya. Ia hanya melihat takjub sekaligus khawatir dengan keadaan Lucy. Lucy hanya tersenyum kepada Dimas dan pengunjung yang lain sepertinya tidak begitu mempedulikan mereka. Mungkin mereka pikir Lucy telah memenangkan lotre hingga merayakannya dengan menenggak minuman.
       “Luc, sebaiknya hentikan karena lo bisa teler.” Kata Dimas saat Lucy bermaksud menenggak lagi isi botol itu.
       “Enak juga Dim, mau?!” kata Lucy dan ia pasti mabuk. Pikir Dimas mulai menebak. Lucy minum lagi tanpa mempedulikan ucapan Dimas, setelah itu ia menekuk wajahnya di meja. Terbayang lagi ia dengan kejadian di ATM tadi sore. Lucy sangat kaget setelah mengetahui isi saldo di ATM-nya melampaui ratusan juta rupiah mungkin mendekati dua ratusan juta dan saat itu ia langsung menelepon papanya.
       “Pa, bulan ini Papa sudah transfer ke rekening Lucy belum?”
       “Sudah sayang, setiap awal bulan Papa selalu isi kartumu, kenapa, kurang? Kalau kurang, mulai bulan depan akan Papa tambah lima ratus lagi, dua juta setengah sebulan, cukup kan?”
       “Oh, ya sudah. Terima kasih ya, Pa.” Lucy menutup teleponnya dan masih berpikir dari mana uang sebanyak itu bisa ada di rekeningnya. Dan sore itu juga sebelum bank tutup ia mengecek ke bank. Dari sanalah Lucy mendapatkan laporan lengkap dan meminta hasil laporan itu. Di mana tertera nama Kareena yang mentransfer ke nomor rekeningnya. Kareena memang tahu nomor rekening Lucy sejak setahun lalu, saat itu Kareena belum punya rekening bank maka
kalau ada apa-apa, semisal ia minta uang dari orang tuanya dan malu meminta pada tantenya, ia minta dikirimkan ke nomor rekening Lucy. Itu hanya sekali terjadi.
       Lucy minum lagi, dan itu botol yang keduanya. Ponselnya tidak ia aktifkan dan tentu saja Kareena tidak bisa menghubunginya. Di tempat kos, Kareena benar-benar gelisah.
       Pagi-pagi sekali ia berniat menelepon kedua orang tua Lucy tapi tidak jadi karena takut mereka panik, iya kalau Lucy ada di sana, kalau tidak?! Mereka pasti bertanya balik. Pikir Kareena. Akhirnya Kareena hanya menuju bank untuk mengirim uang kepada orang tunya di kampung sekaligus menambah untuk Lucy. Tapi sayang pegawai bank mengatakan kalau nomor yang akan Kareena tuju sudah diblokir.
       “Nomor rekening ini sudah diblokir sama pemiliknya.” Jelas pegawai bank.
       Kareena menatap tak peracaya kepada wanita yang mengenakan seragam bank itu. “Benarkah?” katanya untuk memastikan.
       “Ya, bahkan semua uang yang ada di rekening itu di transfer ke nomor lain.” Tambah wanita itu lagi. “Ke nomor atas nama mbak Kareena.”
       Mendengar berita itu membuat Kareena menjadi lemas. Lucy akan melupakannya! Mungkin seumur hidup. Pikirnya. Setelah dari bank ia masih coba mencari Lucy, kali ini ke kafe langganan mereka, ia berpikir mungkin Lucy semalam mampir di tempat itu untuk sekedar ngobrol dengan Dimas.
       Dimas menyambut Kareena dan ia senang karena gadis itu tidak sedang marah-marah meski terlihat kecemasan di wajah itu. “Hai Rin, apa kamu juga ingin minum-minum seperti Lucy?”
       “Berarti semalam Lucy kemari ya, Dim?” tebak Kareena seakan menuduh pria itu.
       “Ya, bahkan sampai subuh. Aku sibuk mengantarnya bolak-balik ke toilet, ia minum wisky lebih dari dua botol.”
       “Apa?” Kareena kaget sekali mendengar penjelasan Dimas.
       “Wisky……, apalagi?” pria itu mengangkat kedua bahunya seakan menegaskan itulah yang sudah terjadi dengan sahabat Kareena itu.
       Berengsek!!! Itulah kata yang ingin Kareena lontarkan untuk Dimas tapi ia tidak bisa. “Kenapa kamu memberikannya minum wisky, Dim?” sesal Kareena.
       “Apa yang bisa aku lakukan?”
       “Aduh Dim, setidaknya. Yaaaaaaah sudahlah, aku pulang ya…” Kareena berbalik.
       “Hai, Karin…. Tunggu!” panggil Dimas tapi Kareena berjalan terus tanpa menghiraukan panggilan Dimas. Kareena merasa agak lelah hari ini, bukan karena capek menjalani syuting iklan atau yang lainnya tapi memikirkan Lucy. Jalan terakhir yang harus ia tempuh adalah menelepon mama Lucy. Ia menghubungi nomor mama Lucy.
       “Ya, Karin…. Ada apa?”
       Kareena agak ragu untuk mulai bicara. “Ya, Tante… Lucy lagi di rumah, kan?” hatinya agak berdebar tak menentu saat menanyakan itu.
       “Ya, katanya besok baru balik ke tempat kos, kamu nggak apa-apa?”
       Sebelum menjawab Kareena menghela napas lega terlebih dahulu. “Nggak, nggak apa-apa.”
       “Syukurlah, sekarang anaknya masih tidur. Mau Tante bangunin?”
       “O, tidak usah Tante. Terima kasih, maaf sudah mengganggu Tante.”
       “Kenapa bicara seperti itu, Tante nggak apa-apa kok, ya udah….kamu baik-baik ya.”
       Pembicaraan itu pun selesai, Kareena sudah sedikit tenang sekarang tapi itu belum selesai karena ia belum bicara langsung dengan Lucy. Kini ia istirahat sendirian di kamarnya. Ia masih memikirkan bagaimana reaksi Lucy jika besok ia benar-benar kembali.
       Lucy……..seorang gadis yang dikagumi oleh Kareena, wanita jangkung yang manis itu mengagumi sosok Christine Hakim. Lucy memang anak tunggal tapi ia dididik menjadi anak yang kuat, mandiri dan memiliki jiwa sosial yang tinggi dan peduli sekali dengan temanya. Dia memang judes, bawel tapi penuh perhatian seolah ingin memperlihatkan jiwa kepemimpinannya. Kareena masih tidak bisa menghilangkan momen kemarahan Lucy malam itu. Ia memang sering ngomel atau mengkritik Kareena tapi tidak pernah marah seperti itu.
       Ya, Tuhan….. semoga ia memaafkan aku.
       Minggu pagi, Kareena akan syuting dari pagi, kali ini mereka akan mengambil lokasi berbeda., untuk sesi iklan kedua mereka. Ia masih menunggu Lucy namun gadis itu belum muncul-muncul juga. Karena takut terlambat akhirnya ia memutuskan untuk pamit saja sama bi Ima.
       Di rumah Lucy, mamanya sedang memperhatikan Lucy, ia masih tidak mengerti mengapa
Anaknya bisa semarah itu, menurutnya Kareena tidak terlalu bersalah dalam masalah ini.
       “Mama jangan bela-belain Karin, dong.” Protes Lucy  mendengar tanggapan mamanya setelah ia cerita semua peristiwa yang baru ia alami dari kemarin. “Lucy tuh, tersinggung banget dengan sikap Kareena itu, dia pikir siapa dia?”
       “Sudah, sudah….tapi jangan sampai mabuk begitu dong, anak cewek kok marahnya pake mabok. Kamu harus baikan sama Kareena dan Mama tidak ingin kejadia seperti itu terulang lagi.” pinta mamanya dengan sungguh-sungguh.
       “Ya deh, Ma. Nggak bakalan lagi, tapi saat itu kan Lucy sedang sakit hati.” Ia masih berusaha membela diri.
       “Ya, Mama ngerti tapi apa enaknya coba minum begituan sampai muntah segala.”
       “Pahit Ma.” Lucy masih terbayang betapa pahitnya minuman itu saat mengenai lidahnya dan seakan membakar tenggorokannya.
       “Jadi hari ini nggak jadi balik ke kos? Apa Mama antar?” usulnya karena Lucy masih malas-malasan di atas tempat tidurnya.
       “Bentar lagi juga mau berangkat.” Sahut Lucy. Ia beranjak dan siap-siap untuk mandi.
       “Oh, ya. Mama bikinin kue untuk Bi Ima dan juga buat Kareena, kamu bawa ya.”
       “He eh.” Lucy mengiyakan sembari mengaktifkan ponselnya yang ia matikan dari kemarin sore. Ia melihat ada pesan masuk dari Kareena dan panggilan tak terjawab beberapa kali, satu pun tak ia balas atau menelepon balik. Ia masih sakit hati, itulah jeleknya Lucy, kalau sudah ter-
singgung lama sembuhnya, keras kepala!
       Lucy tiba di tempat kos sudah menjelang siang hari, ia memberikan kue titipan mamanya untuk bi Ima.
       “Aduh Non, terima kasih banyak ya.” Kata bi Ima yang sebenarnya lebih senang saat melihat Lucy kembali daripada dapat kue itu.
       “Ya, sama-sama Bi.” Lucy belum bisa tersenyum.
       “Non Lucy mau minum? Bibi ambilin ya?”
       “Boleh.” Sahutnya lalu membuka pintu kamar dengan kuncinya. Kamar itu punya dua kunci satu dipegang oleh Kareena. Tak ada yang berubah di dalam kamar itu, Lucy membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, ia merasa agak sedikit lelah dan bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan karena masih ada kepedihan yang tersisa di hatinya.

Bersambuunnnngggg.........>>>

Helda Tunkeme.