Bab 2
Kemarahan seorang teman...
Seminggu kemudian, di kontrakkan
Kareena sedang menunggu Lucy pulang untuk mengajaknya makan malam di kafe
langganan mereka, tapi hingga pukul tujuh malam Lucy belum pulang juga, Kareena
menelepon tidak diangkat, pesanpun tidak dibalas dan ia baru muncul setelah
pukul Sembilan malam dengan kemarahan yang meledak luar biasa.
Di kamar ia memaki-maki Kareena yang
masih menunggunya dan melemparkan kertas ke hadapan Kareena yang tadi ia
pegang.
“Apa maksud dari semua ini?!?” suara
Lucy tinggi sekali dan benar-benar membuat Kareena kaget mendengarnya. Kareena
pun mengambil kertas yang sudah terjatuh ke lantai itu. “Lo, kira lo itu siapa,
hah?! Sudah hebat? Sudah bisa melakukan apa saja semau lo? Gue memang mahasiswi
biasa yang hanya bisa menekuni kuliah, tanpa bisa menghasilkan uang
sepersenpun, semua kebutuhan gue masih ditanggung oleh kedua orang tua gue….tapi
apa lo pikir lo berhak
melakukan itu sama gue? Lo kejam
Rin! apa selama ini gue pernah minta sama lo?! Gue.. gue…” Lucy merasa tidak bisa
lagi meneruskan kata-katanya karena ia sangat sedih.
“Lucy, a ku…. Aku cuma ingin…”
“Gue nggak perlu mendengar penjelasan
lo, lo sudah menyalah artikan persahabatan kita selama ini.” Lucy menangis dan
air mata itu keluar pun tanpa ia sadari hingga ia menghapusnya dengan sangat
kasar. Detik berikutnya ia meraih kunci mobilnya yang tadi ikut terlempar
bersama kertas itu. Ia berbalik dan pergi setelah sebelumnya membanting pintu
kamar tanpa memberi kesempatan sedikitpun untuk Kareena membela diri.
Tapi Kareena coba mengejar gadis itu dan
memanggilnya. “Lucy…! Lucy tunggu..!” tapi Lucy telah menghilang bersama
mobilnya. Kareena tertegun di pintu dan bi Ima menegurnya.
“Ada apa, Non?”
Kareena menoleh. “Bibi belum tidur?”
“Bibi terbangun, tadi Bibi dengar Non
Lucy teriak-teriak ada apa?” ia khawatir.
“Tidak ada apa-apa Bi, hanya salah paham
saja. Dia marah sama aku.” Kata Kareena lalu menutup pintu dan mengajak bi Ima
untuk masuk lagi.
“Sepertinya ia marah sekali.” Wanita itu
ingin tahu apa yang sedang terjadi pada kedua gadis yang ia temani di tempat
kos itu, karena sebelumnya mereka tidak pernah bertengkar.
“Ya.” Kareena hanya menjawab pendek dan
itu bukan jawaban seperti yang bi Ima harapkan. Tapi ia coba memahami mungkin
Kareena belum bisa cerita. Pikirnya.
“Tapi ke mana dia? Inikan sudah malam.”
“Bibi tenang saja, nanti juga dia
pulang, aku akan menunggunya. Biar aku telepon dia, Bibi kembali saja ke kamar
dan istirahat.” Kata Kareena akhirnya.
Kareena kembali ke kamarnya sendiri dan
ia tidak yakin kalau malam ini Lucy akan pulang ke tempat kos, ia bisa
merasakan kalau Lucy benar-benar marah dan belum pernah ia seperti itu. Kareena
mengambil kertas copy-an yang
dilempar Lucy tadi dan mengamatinya sejenak.
Lucy,
maafkan aku. Aku tidak pernah punya maksud apa-apa, apalagi sampai menyakiti
hatimu. Sungguh, maafkan aku. Kata hati Kareena dengan sangat menyesal
setelah melihat Lucy yang tadi sempat menangis. Kareena menghela napas panjang
lalu duduk di atas tempat tidurnya. Lucy tidak akan memaafkannya, dan bagaimana
harus menjelaskan kepada gadis itu? Kareena benar-benar sedang dilanda
kebingungan dan sekaligus mengkhawatirkan keberadaan Lucy saat ini. Selama ini
Lucy selalu membantunya dan memberikan jalan terbaik, ia berada di posisi saat
ini juga karena jerih payah Lucy. Lucy terus memberinya support dan dengan segala hal yang ia punya, Kareena merasa tidak
bisa membalas semua itu dan dengan memberikan sebagian hasilnya dengan Lucy,
apakah tindakannya itu salah? Kareena masih bingung. Mungkin menurut Lucy itu
salah, buktinya ia telah menolaknya dengan mentah-mentah.
Kareena memang salah, karena tidak
membertahukan hal itu lebih dulu kepada Lucy tapi kalau ia bilang apakah Lucy
akan menerima atau bahkan lebih marah dari tadi? Lagi-lagi Kareena bingung, ia
tak bisa berpikir jernih. Untuk menelepon Lucy saja ia tidak sanggup.
*
Di kafe,
“Dimassss…. Beri gue minum!”
Dimas memperhatikan Lucy yang baru tiba
di meja bar kecilnya. “Luc, kenapa lo? Karin, mana?” Tanya pria dua puluhan itu
seteleh melihat wajah Lucy seperti berlipat dan penuh amarah itu.
“Gue nggak butuh pertanyaan lo, gue
hanya butuh minum.”
“Ya, tapi minum apa?” Dimas tidak ingin
meladeni amarah Lucy.
“Wisky, racun juga boleh!” sahut Lucy
dengan cepat.
“Bentar, bentar…. Kayaknya lo lagi
kacau. Ada apa sebenarnya?” tanyanya lagi, untuk tempat itu belum terlalu
ramai. Dimas kaget saat mendengar Lucy minta wisky, itu bukan minuman yang
biasa ia minum. Tapi Lucy langsung menyambar kerah baju Dimas.
“Berikan gue wisky sekarang atau kafe
ini meledak.” Kata Lucy agak berbisik di telinga Dimas.
“Lucy, tenang dulu.” Kata Dimas dan ia
memandangi sekeliling, satu dua orang mulai memperhatikan mereka. Untuk tidak
ada bosnya malam itu. “Lo, tenang. Biar gue ambil dulu minumannya, oke?”
Lucy menurunkan tangannya dari kerah
baju Dimas.
Beberapa detik berikutnya. “Ini! Puaskan
diri lo.” Ujar Dimas setelah meletakkan sebotol
wisky di hadapan Lucy. Lucy membuka
tutup botol itu dan Dimas memberinya gelas kosong tapi sepertinya Lucy tidak
membutuhkan gelas. Ia langsung menenggak isi botol hingga separuh membuat Dimas
terhenyak. Ia tidak pernah melihat Lucy segila itu sebelumnya. Ia hanya melihat
takjub sekaligus khawatir dengan keadaan Lucy. Lucy hanya tersenyum kepada
Dimas dan pengunjung yang lain sepertinya tidak begitu mempedulikan mereka.
Mungkin mereka pikir Lucy telah memenangkan lotre hingga merayakannya dengan
menenggak minuman.
“Luc, sebaiknya hentikan karena lo bisa
teler.” Kata Dimas saat Lucy bermaksud menenggak lagi isi botol itu.
“Enak juga Dim, mau?!” kata Lucy dan ia
pasti mabuk. Pikir Dimas mulai menebak. Lucy minum lagi tanpa mempedulikan
ucapan Dimas, setelah itu ia menekuk wajahnya di meja. Terbayang lagi ia dengan
kejadian di ATM tadi sore. Lucy sangat kaget setelah mengetahui isi saldo di
ATM-nya melampaui ratusan juta rupiah mungkin mendekati dua ratusan juta dan
saat itu ia langsung menelepon papanya.
“Pa, bulan ini Papa sudah transfer ke
rekening Lucy belum?”
“Sudah sayang, setiap awal bulan Papa
selalu isi kartumu, kenapa, kurang? Kalau kurang, mulai bulan depan akan Papa
tambah lima ratus lagi, dua juta setengah sebulan, cukup kan?”
“Oh, ya sudah. Terima kasih ya, Pa.” Lucy
menutup teleponnya dan masih berpikir dari mana uang sebanyak itu bisa ada di
rekeningnya. Dan sore itu juga sebelum bank tutup ia mengecek ke bank. Dari
sanalah Lucy mendapatkan laporan lengkap dan meminta hasil laporan itu. Di mana
tertera nama Kareena yang mentransfer ke nomor rekeningnya. Kareena memang tahu
nomor rekening Lucy sejak setahun lalu, saat itu Kareena belum punya rekening
bank maka
kalau ada apa-apa, semisal ia minta
uang dari orang tuanya dan malu meminta pada tantenya, ia minta dikirimkan ke
nomor rekening Lucy. Itu hanya sekali terjadi.
Lucy minum lagi, dan itu botol yang
keduanya. Ponselnya tidak ia aktifkan dan tentu saja Kareena tidak bisa
menghubunginya. Di tempat kos, Kareena benar-benar gelisah.
Pagi-pagi sekali ia berniat menelepon
kedua orang tua Lucy tapi tidak jadi karena takut mereka panik, iya kalau Lucy
ada di sana, kalau tidak?! Mereka pasti bertanya balik. Pikir Kareena. Akhirnya
Kareena hanya menuju bank untuk mengirim uang kepada orang tunya di kampung sekaligus
menambah untuk Lucy. Tapi sayang pegawai bank mengatakan kalau nomor yang akan
Kareena tuju sudah diblokir.
“Nomor rekening ini sudah diblokir sama
pemiliknya.” Jelas pegawai bank.
Kareena menatap tak peracaya kepada
wanita yang mengenakan seragam bank itu. “Benarkah?” katanya untuk memastikan.
“Ya, bahkan semua uang yang ada di
rekening itu di transfer ke nomor lain.” Tambah wanita itu lagi. “Ke nomor atas
nama mbak Kareena.”
Mendengar berita itu membuat Kareena
menjadi lemas. Lucy akan melupakannya! Mungkin seumur hidup. Pikirnya. Setelah
dari bank ia masih coba mencari Lucy, kali ini ke kafe langganan mereka, ia
berpikir mungkin Lucy semalam mampir di tempat itu untuk sekedar ngobrol dengan
Dimas.
Dimas menyambut Kareena dan ia senang
karena gadis itu tidak sedang marah-marah meski terlihat kecemasan di wajah
itu. “Hai Rin, apa kamu juga ingin minum-minum seperti Lucy?”
“Berarti semalam Lucy kemari ya, Dim?”
tebak Kareena seakan menuduh pria itu.
“Ya, bahkan sampai subuh. Aku sibuk
mengantarnya bolak-balik ke toilet, ia minum wisky lebih dari dua botol.”
“Apa?” Kareena kaget sekali mendengar
penjelasan Dimas.
“Wisky……, apalagi?” pria itu mengangkat
kedua bahunya seakan menegaskan itulah yang sudah terjadi dengan sahabat
Kareena itu.
Berengsek!!!
Itulah kata yang ingin Kareena lontarkan untuk Dimas tapi ia tidak bisa.
“Kenapa kamu memberikannya minum wisky, Dim?” sesal Kareena.
“Apa yang bisa aku lakukan?”
“Aduh Dim, setidaknya. Yaaaaaaah
sudahlah, aku pulang ya…” Kareena berbalik.
“Hai, Karin…. Tunggu!” panggil Dimas
tapi Kareena berjalan terus tanpa menghiraukan panggilan Dimas. Kareena merasa
agak lelah hari ini, bukan karena capek menjalani syuting iklan atau yang
lainnya tapi memikirkan Lucy. Jalan terakhir yang harus ia tempuh adalah
menelepon mama Lucy. Ia menghubungi nomor mama Lucy.
“Ya, Karin…. Ada apa?”
Kareena agak ragu untuk mulai bicara.
“Ya, Tante… Lucy lagi di rumah, kan?” hatinya agak berdebar tak menentu saat
menanyakan itu.
“Ya, katanya besok baru balik ke tempat
kos, kamu nggak apa-apa?”
Sebelum menjawab Kareena menghela napas
lega terlebih dahulu. “Nggak, nggak apa-apa.”
“Syukurlah, sekarang anaknya masih
tidur. Mau Tante bangunin?”
“O, tidak usah Tante. Terima kasih, maaf
sudah mengganggu Tante.”
“Kenapa bicara seperti itu, Tante nggak
apa-apa kok, ya udah….kamu baik-baik ya.”
Pembicaraan itu pun selesai, Kareena
sudah sedikit tenang sekarang tapi itu belum selesai karena ia belum bicara
langsung dengan Lucy. Kini ia istirahat sendirian di kamarnya. Ia masih
memikirkan bagaimana reaksi Lucy jika besok ia benar-benar kembali.
Lucy……..seorang gadis yang dikagumi oleh
Kareena, wanita jangkung yang manis itu mengagumi sosok Christine Hakim. Lucy
memang anak tunggal tapi ia dididik menjadi anak yang kuat, mandiri dan
memiliki jiwa sosial yang tinggi dan peduli sekali dengan temanya. Dia memang
judes, bawel tapi penuh perhatian seolah ingin memperlihatkan jiwa
kepemimpinannya. Kareena masih tidak bisa menghilangkan momen kemarahan Lucy
malam itu. Ia memang sering ngomel atau mengkritik Kareena tapi tidak pernah
marah seperti itu.
Ya,
Tuhan….. semoga ia memaafkan aku.
Minggu pagi, Kareena akan syuting dari
pagi, kali ini mereka akan mengambil lokasi berbeda., untuk sesi iklan kedua
mereka. Ia masih menunggu Lucy namun gadis itu belum muncul-muncul juga. Karena
takut terlambat akhirnya ia memutuskan untuk pamit saja sama bi Ima.
Di rumah Lucy, mamanya sedang
memperhatikan Lucy, ia masih tidak mengerti mengapa
Anaknya bisa semarah itu, menurutnya
Kareena tidak terlalu bersalah dalam masalah ini.
“Mama jangan bela-belain Karin, dong.”
Protes Lucy mendengar tanggapan mamanya
setelah ia cerita semua peristiwa yang baru ia alami dari kemarin. “Lucy tuh,
tersinggung banget dengan sikap Kareena itu, dia pikir siapa dia?”
“Sudah, sudah….tapi jangan sampai mabuk
begitu dong, anak cewek kok marahnya pake mabok. Kamu harus baikan sama Kareena
dan Mama tidak ingin kejadia seperti itu terulang lagi.” pinta mamanya dengan
sungguh-sungguh.
“Ya deh, Ma. Nggak bakalan lagi, tapi
saat itu kan Lucy sedang sakit hati.” Ia masih berusaha membela diri.
“Ya, Mama ngerti tapi apa enaknya coba
minum begituan sampai muntah segala.”
“Pahit Ma.” Lucy masih terbayang betapa
pahitnya minuman itu saat mengenai lidahnya dan seakan membakar tenggorokannya.
“Jadi hari ini nggak jadi balik ke kos?
Apa Mama antar?” usulnya karena Lucy masih malas-malasan di atas tempat
tidurnya.
“Bentar lagi juga mau berangkat.” Sahut
Lucy. Ia beranjak dan siap-siap untuk mandi.
“Oh, ya. Mama bikinin kue untuk Bi Ima
dan juga buat Kareena, kamu bawa ya.”
“He eh.” Lucy mengiyakan sembari
mengaktifkan ponselnya yang ia matikan dari kemarin sore. Ia melihat ada pesan
masuk dari Kareena dan panggilan tak terjawab beberapa kali, satu pun tak ia
balas atau menelepon balik. Ia masih sakit hati, itulah jeleknya Lucy, kalau
sudah ter-
singgung lama sembuhnya, keras
kepala!
Lucy tiba di tempat kos sudah menjelang
siang hari, ia memberikan kue titipan mamanya untuk bi Ima.
“Aduh Non, terima kasih banyak ya.” Kata
bi Ima yang sebenarnya lebih senang saat melihat Lucy kembali daripada dapat
kue itu.
“Ya, sama-sama Bi.” Lucy belum bisa
tersenyum.
“Non Lucy mau minum? Bibi ambilin ya?”
“Boleh.” Sahutnya lalu membuka pintu
kamar dengan kuncinya. Kamar itu punya dua kunci satu dipegang oleh Kareena.
Tak ada yang berubah di dalam kamar itu, Lucy membaringkan tubuhnya di atas
tempat tidur, ia merasa agak sedikit lelah dan bingung, tidak tahu apa yang
harus dilakukan karena masih ada kepedihan yang tersisa di hatinya.
Bersambuunnnngggg.........>>>
Helda Tunkeme.