'Kisah atlet bolavoli'
Dan, dioper ke tosser yang sedang menghadap ke arah pemain yang berada di posisi 4
dan ketika itu juga kedua blocker tim
lawan siap-siap melompat untuk mem-block
smash dari spiker tim Elang, namun diluar dugaan sang tosser melambungkan bola pendek kebelakang punggungnya menuju ke
arah Monette yang sudah siap melakukan serangan mematikannya, dalam hitungan
detik smash keras dari Monette
mendarat di lapangan lawan tanpa bisa di-block
sama sekali. Tepuk tangan penonton disertai sorak senang mengelu-elukan gerakan
cepat si Monette. Monette pun langsung memeluk tosser-nya diikuti temannya yang lain. Point untuk tim Elang
bertambah, saat itu pelatih tim lawan meminta time out, semua pemain
dari kedua tim berkumpul menuju ke pinggir lapangan di mana masing-masing
pelatih sedang menunggu untuk memberikan wejangan kepada pemainnya.
Penerjemah dari tim lawan sedang
menyambung kata-kata sang pelatih kepada awak tim yang tadi sempat marah kepada
blockers-nya. “Mengapa kalian tidak
mengerti dan melupakan umpan-umpan variasi dari tosser itu? Kalian sudah sangat mengenali gaya permainannya,’kan?
Kalian harus jeli!” ujar sang penerjemah padahal sebenarnya bukan itu yang
telah dikatakan oleh sang pelatih melainkan seperti ini…..
“Kalian ini bodoh sekali! Masa tidak kenal gaya fullback yang sering dilakukan tosser
yang satu itu?! Ingat itu!”
Pelatih dari tim Elang sedang memberi
semangat untuk semua pemainnya. “Jangan terlena, mereka tidak akan memberikan
peluang untuk kita menang jadi tak ada yang boleh lengah.” Katanya dengan nada
semangat.
**
Libur seminggu, intinya bukan libur tapi
tim Elang akan bermain lagi minggu depan jadi Monette minta izin pulang untuk
bertemu keluarganya dan si pengacau jiwanya akhir-akhir ini. Dialah si O’Niel
yang sering membuat hati Monette galau tak kala istirahat latihan. Apalagi pria
itu tidak akan menjumpai Monette di lapangan karena memang tidak diizinkan.
Di rumah Monette menceritakan kepada
kedua orang tuanya tentang keajaiban seorang tosser idolanya dengan rasa bahagia yang luar biasa.
“Bukannya ia sudah seringkali bermain dengan
kamu? Dan beberapa kali turnamen ke negara Asia, ‘kan?” ujar sang Ibu namun
tidak ingin mengecewakan anaknya, ia pun menanggapi cerita Monette dengan
senang hati sambil menyediakan makanan anaknya dengan lauk telor dadar
kegemaran Monette dari kecil.
“Ibu benar, tapi minggu kemarin itu
sangat berbeda, Bu. Selama ini Monette hanya bicara sekilas sama dia, dan foto
juga selalu bersama tim tapi kemarin terasa sangat spesial. Monette bicara
banyak sama dia sekaligus tanya tentang pengalamannya dan bagaimana bekerjasama
yang baik dengan tim. Yang selama ini diajarkan oleh pelatih terasa berbeda
jika bicara langsung dengannya. Dia memang sangat luar biasa, Monette tahu
kalau menjadi seorang tosser itu
sangat sulit, mungkin satu dibanding seratus orang yang bisa seperti dia.”
Monette masih
menggebu-gebu dengan ceritanya.
“Tapi bagi Ibu, kamu tak kalah hebatnya…
sudah banyak sekali prestasi yang kamu proleh selama ini. Meski tim putri
Indonesia belum pernah menjadi juara satu di negara Asia Tenggara tapi
prestasinya sudah cukup membanggakan.” Ujar Liandy yang selalu mengikuti
perkembangan perbolavolian dunia. Dan ia sudah merasa bersyukur karena setelah
menjadi atlet voli Monette anaknya sudah banyak sekali membantu ekonomi
keluarga. Dari dulu yang latihan ibarat senin kamis, ongkos juga terkadang
memotong uang sayur yang lumanyan banyak tak membuatnya menyerah demi masa
depan anaknya serta cita-cita mulia Monette. Dan sekarang mereka sudah bisa
merenovasi rumah mungil mereka yang berada di sebelah istana Mega Disty yang
mulai sepi.
Mega Disty sekarang tidak seperti dulu
lagi, ia sudah menjadi anak yang baik meski satu persatu harta keluarganya
menjauh dari mereka. Bisnis yang ayahnya jalankan selama ini sepertinya sudah
mulai bangrut. Tapi Monette tahu Mega berubah bukan karena itu, ia menjadi anak
baik karena telah bergabung dengan atlet-atlet di mana selalu mendapatkan
pelajaran tentang hidup serta kedisiplinan. Ia bukan lagi Mega Disty yang
sombong dan menganggap permainan bolavoli itu sekedar iseng demi menyaingi
seseorang. Ia perlahan menjadi tulang punggung keluarganya serta ibunya sudah
banyak belajar tentang hidup bahwa seseorang itu harus punya skill bukan mengandalkan yang sudah ada.
Itulah hidup, Monette sudah mulai memahami hal itu. Selagi eksis ia ingin
menabung disamping membantu keluarga.
Sore itu sang Ayah menyampaikan sesuatu
yang membuat Monette tersentuh. Ayahnya menceritakan tentang seorang anak
lelaki yang begitu giat berlatih bolavoli ditengah ejekan teman-temannya dan
menganggap kalau bermain bolavoli itu semacam permainan kampungan anak kampung.
“Dia anak orang kaya, tadinya orang
tuanya ingin memasukan dia di olahraga badminton dan sepertinya anak itu lebih
tertarik ke bolavoli. Tadinya ia bercerita kalau anak-anak sebayanya mungkin
tidak menyukai olahraga bolavoli karena bolavoli yang ada disekolahnya sangat
tidak memenuhi standar, kulit bolanya keras dan sangat tidak nyaman digunakan,
tapi sekarang Ayah rasa semua itu sudah diubah, bolavolinya sudah bisa dipakai
untuk anak-anak usia SD tapi entah mengapa tetap saja anak-anak tidak berminat
dalam olahraga yang satu itu. Teman Ayah yang juga mengajar di salah satu SMU
swasta mengatakan hal yang sama, siswa yang mengikuti ektrakulikuler bolavoli
hanya enam orang dan siswinya tak lebih banyak dari itu sedang di dalam basket
melebihi kapasitas.” Tutur sang Ayah didengar Monette dengan sangat santai,
lalu ia pun mengeluarkan pendapatnya.
“Kalau menurut Monette sih, hanya
kurangnya pengenalan saja. Ayah tahu sendirikan berapa kali setahun turnamen
bolavoli disiarkan di televisi-televisi? Sedang olahraga seperti sepak bola
atau yang lainnya hampir setiap hari, jadi wajar saja tidak banyak anak-anak
yang familiar dengan bolavoli.” Kilah Monette dan ayahnya pun menganggukkan
kepalanya pelan. “Anak yang Ayah sebutkan itu latihan di mana, Yah?” tanya
Monette merasa tertarik.
Pria itu pun membertahukan di mana
tempat anak itu latihan bahkan menyebut nama dan ciri-ciri anak itu.
**
Monette memberitahukan kepada O’Niel
saat pria itu meneleponnya bahwa ia akan mengunjungi sebuah tempat latihan
bolavoli dan meminta pria itu menemaninya ke sana.
Mengetahui Monette sedang ada di
rumahnya, seorang kenalan pun meminta Monette ikut bermain di timnya meski
hanya turnamen kampung, dengan merasa tidak keberatan gadis itu pun tidak
pernah menolak kalau ada yang meminta tolong kepadanya. Itulah Monette,
beruntung ia mendapatkan seorang kekasih yang sangat mengerti kondisinya.
Di dalam mobil O’Niel pun memohon.
“Sayang, andai nanti tim kamu masuk final di turnamen Proliga aku boleh ya ikut
ke Glora Bung Karno?”
“Upps… ada apa denganmu?” kata Monette
dengan jenaka sekaligus manja.” Pada pria anggota TNI itu.
“Aku sih nggak lupa dengan janji itu,
tapi masa iya sih kamu masih grogi main kalau aku
nonton langsung?”
Monette
memperlihatkan senyum prihatinnya sekaligus merasa bersalah kepada
O’Niel. “Yah, gimana kalau nanti pas pertandingan babak penyisihan kamu datang.
Siapa tahu penyakit grogiku sudah menghilang.” Monette coba mencari jalan
tengah. *
Halaman 193, bersambung...>