Kamis, 04 Oktober 2012

Si Monette


                                                                             BAB 1
                                                            ‘PROLIGA TAHUN 2012’

Si Monette
       “Yah, dari tim Rajawali sedang siap-siap untuk melakukan servis ke area tim Elang dengan tehnik float-nya, dan bola mengarah pas ke Libero tim Elang, sang Libero mengoper bola lambung ke Tosser disambut dengan back set lalu mengumpan ke belakang di mana ada si Monette yang berdiri di posisi  lima yang tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sedikit pun, langsung melakukan gerakan apprvoach-nya…..” sang komentator jeda beberapa detik lalu.. ”Yaaa…. Si Monette berhasil melakukan bounce-nya tanpa bisa di-block oleh tim Rajawali!”
       Tim Elang bergembira dan mereka berpelukan sejenak lalu kembali siap-siap pada posisi masing-masing.
       Sang komentator kembali berkicau, karena tidak ada time out yang diminta dari pihak mana pun hingga permainan bisa dilanjutkan.
       “Macth point untuk tim Elang di set kelima ini, di mana tim Elang sudah memenangkan dua set sebelumnya dengan perolehan 25-23, 25-27, 25-22, 23-25 dan sekarang 14 dan 13….., apakah akan kembali terjadi pindah bola…? Si Monette telah berada di posisi empat dan kita akan menunggu apa yang akan terjadi…., apakah ia akan menggunakan quick hit-nya? Atau dengan cross-shot-nya yang mematikan itu…? Kini si Maya sedang siap-siap untuk melakukan servis ke tim Rajawali di mana ke eman pemain sudah siap dengan posisi masing-masing, Maya akan melakukan jump serve…”
       Semua penonton yang berada di stadion Glora Bung Karno diam seolah menahan napas,
supporter dari tim Rajawali deg-degan tak terkecuali juga supporter dari tim Elang. Dan yang lebih deg-degan adalah seorang pria yang sedang menonton siarang langsung di televisi dari rumah, ia adalah kekasihnya Monette, yang tak pernah diperbolehkan ikut menonton langsung di lapangan lantaran kelemahan Monette adalah tidak bisa fokus bermain kalau ada kekasihnya dekat lapangan alias deg-degan.
       “…Yap, Maya telah berhasil melakukan jump serve-nya ke area tim Rajawali disambut dengan tenang oleh tim Rajawali, apakah tim Elang akan memenangkan final Proliga tahun ini? Atau tetap berada di runner-up seperti tahun kemarin….? Bola telah kembali ke tim Elang setelah Monette berhasil mem-block serangan dari tim Rajawali, sang Tosser memberikan operan Overhand pass kepada Monette dan……..”
       ……..???

                                                                     *******


7 Februari 2000
Sore itu, seorang gadis kecil terlihat sedang asyik duduk bersandar pada kaki ayahnya yang lagi fokus menonton pertandingan babak penyisihan turnamen bola voli antar kampung yang diadakan tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya.
       Ada beberapa anak kecil yang juga ikut menonton bersama orang tua mereka, tapi kebanyakan anak-anak hanya menghabiskan waktunya untuk jajan di tempat itu yang kebetulan banyak pedagang dadakan selalu hadir setiap ada momen yang menghadirkan keramaian. Tapi gadis yang berusia sekitar tujuh tahun itu malah asyik sekali melihat para pemain voli yang sedang berlaga itu tanpa merasa terusik dengan berisiknya suara komentator dari pengeras suara yang disediakan oleh panitia pelaksana turnamen.
      Mereka duduk tidak terlalu dekat lapangan karena ayahnya mungkin takut anaknya kena
smash oleh ketiga pemain nasional yang kebetulan masuk pada salah satu tim yang sedang
berlaga di lapangan itu.
       Pria-pria jangkung yang sedang membela tim mereka terlihat gesit sekali melakukan passing dan  tossing bola pada temannya lalu sang spiker menuntaskan operan itu dengan strong spike-nya. Semua momen, dan gerakan dari para pemain itu tak pernah lepas dari mata si gadis kecil, dan detik berikutnya ia berdiri dan melompat kegirangan saat salah satu pemain berhasil mem-block.
       “Min, hati-hati, Nak” ujar ayahnya takut anak itu jatuh karena melompat seolah ingin meniru sang blocker tadi.
       “Dia hebat Ayah!” teriaknya dengan suara nyaring bercampur dengan suara-suara riuh dan tepuk tangan para penonton.  
                                                                           ***


Gadis itu segera turun dari motor butut ayahnya lalu berlari ke dalam rumah untuk mencari ibundanya.
       “Ibu, Monette baru saja menonton bola sama Ayah.”
       “Ya, Ibu tahu.” Sahut ibunya yang kebetulan sedang menonton televisi karena tadi suaminya sudah pamit. Gadis kecil itu ikut duduk di depan tivi sedang adik laki-lakinya berlari menemui ayahnya untuk diajak keliling kampung naik motor.
       “Bu, Monette mau ikut main seperti kakak-kakak di lapangan itu.”
       “Apa?” wanita tiga puluhan itu kaget mendengar permintaan anak gadisnya. “Main bola?
Tidak! Anak perempuan tidak boleh main bola kaki, main bola itu pekerjaannya anak laki, kamu sekolah saja nanti jadi dokter atau jadi pramugari.” Tukasnya mengira gadis kecilnya ingin bermain bola kaki.      
       “Tidak, jadi pramugari nanti pesawatnya jatuh, Monette ikut jatuh.” Kata gadis kecil itu
dengan polosnya.
                                                                       **
       Ia dinamai ayahnya Mintonette. Ayahnya suka memanggil ‘Min’ sedang ibunya
memanggil ‘Mon’. si Monette kecil terlihat manyun karena ibunya melarang main bola tapi ia tidak akan putus asa, sebab ia belum menyampaikan keinginannya itu kepada ayahnya yang sering mengajaknya menonton turnamen sejak ia usia lima tahun.
       Ia kembali ke kamarnya di mana tempat ia dan adiknya tidur, Monette mengambil buku yang pernah dikasih ayahnya saat tiga bulan sebelum ia masuk SD. Sebuah buku dengan ketebalan tak lebih dari seratus halaman, buku tentang sejarah asal usul permainan bola voli dan ternyata dari buku itulah Monette tahu arti namanya. Ia mengulang lagi membaca buku itu….,
       Pada awal penemuannya, olahraga permainan bola voli ini diberi nama Mintonette. Olahraga Mintonette ini pertama kali ditemukan oleh seorang Instruktur pendidikan jasmani (Director of Phsycal Education) yang bernama William G. Morgan di YMCA pada tanggal 9 Februari 1895, di Holyoke, Massachusetts (Amerika Serikat).
William G. Morgan dilahirkan di Lockport, New York pada tahun 1870, dan meninggal pada tahun 1942. YMCA (Young Men’s Christian Association) merupakan sebuah organisasi yang didedikasikan untuk mengajarkan ajaran-ajaran pokok umat Kristen kepada para pemuda, seperti yang telah diajarkan oleh Yesus. Organisasi ini didirikan pada tanggal 6 Juni 1884 di London, Inggris oleh George William.
Setelah bertemu dengan James Naismith (seorang pencipta olahraga bola basket yang lahir pada tanggal 6 November 1861, dan meninggal pada tanggal 28 November 1939), Morgan menciptakan sebuah olahraga baru yang bernama Mintonette. Sama halnya dengan James Naismith, William G. Morgan juga mendedikasikan hidupnya sebagai seorang instruktur pendidikan jasmani. William G. Morgan yang juga merupakan lulusan Springfield College of YMCA , menciptakan permainan Mintonette ini empat tahun setelah diciptakannya olahraga permainan basketball oleh James Naismith. Olahraga permainan Mintonette sebenarnya merupakan sebuah permainan yang diciptakan dengan mengkombinasikan beberapa jenis permainan. Tepatnya, permainan Mintonette diciptakan dengan mengadopsi empat macam karakter olahraga permainan menjadi satu, yaitu bola basket, baseball, tenis, dan yang terakhir adalah bola tangan (handball). Pada awalnya, permainan ini diciptakan khusus bagi anggota YMCA yang sudah tidak berusia muda lagi, sehingga permainan ini pun dibuat tidak seaktif permainan bola basket.
Perubahan nama Mintonette menjadi volleyball (bola voli) terjadi pada pada tahun 1896, pada demonstrasi pertandingan pertamanya di International YMCA Training School. Pada awal tahun 1896 tersebut, Dr. Luther Halsey Gulick (Director of the Professional Physical Education Training School sekaligus sebagai Executive Director of Department of Physical Education of the International Committee of YMCA) mengundang dan meminta Morgan untuk mendemonstrasikan permainan baru yang telah ia ciptakan di stadion kampus yang baru. Pada sebuah konferensi yang bertempat di kampus YMCA, Springfield tersebut juga dihadiri oleh seluruh instruktur pendidikan jasmani. Dalam kesempatan tersebut, Morgan membawa dua tim yang pada masing-masing tim beranggotakan lima orang.
Dalam kesempatan itu, Morgan juga menjelaskan bahwa permainan tersebut adalah permainan yang dapat dimainkan di dalam maupun di luar ruangan dengan sangat leluasa. Dan menurut penjelasannya pada saat itu, permainan ini dapat juga dimainkan oleh banyak pemain. Tidak ada batasan jumlah pemain yang menjadi standar dalam permainan tersebut. Sedangkan sasaran dari permainan ini adalah mempertahankan bola agar tetap bergerak melewati net yang tinggi, dari satu wilayah ke wilayah lain (wilayah lawan).”(1)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                                                                                           (1)By : duniabaca.com Sumber: id.wikipedia.org                                                                                             
                                                                       ***
       Tidak tahu mengapa Monette senang sekali membaca buku pemberian ayahnya itu meski
ia belum begitu paham apa maksud dari isi buku itu.
       Monette kecil kembali membalikan lembar demi lembar halaman buku dengan posisi badannya sudah rebahan di atas tempat tidur usang, ia membaca hingga lelah sampai tidak mendengar ibunya memanggil agar ia segera mandi.
                                                                     *******

Vito, Januari 2012
Pria usia sepuluh tahun yang baru saja keluar dari sekolahnya duduk di bangku yang ada di depan halaman gedung sekolah SD Negeri 07 Ciputat. Ia sedang menunggu jemputan, entah mengapa Pak Damar yang biasa menjemputnya agak terlambat hari itu. Jika saja ia membawa ponsel sudah ia telepon sopir keluarganya itu, sayangnya pihak sekolah tidak mengizinkan anak-anak membawa telepon genggam ke sekolah.
       Baru saja ia duduk dua menit di sana, teman-temannya yang kebetulan rumahnya dekat dari sekolah mengganggu Vito.
       “Kenapa lo, ga berani pulang sendiri? Makanya jangan keseringan dijemput deh, kayak anak Mami saja.” Goda teman sekelasnya yang dikenal suka iseng.
       “Kenapa emangnya? Abis ini aku mau latihan voli di GOR, kalau sekedar pulang sih, bisa aja tinggal nyetop angkot bayar seribu juga nyampe rumahku.” Balas Vito yang tahu pasti kalau jarak sekolah dari rumahnya hanya tiga kilo meter, sedang jarak GOR ke rumahnya tujuh kilo meter.
       “Hah? Main Voli? Olahraga apaan tuh?” tambah anak iseng itu sambil tertawa dan dua temannya yang lain ikut tertawa sedang si Vito tak beranjak dari tempat duduknya. Ketiga teman sekelasnya itu masih ingin menggoda Vito. “Voli? gak zaman main voli sekarang yang ada bola kaki men, hihihihi…. Mana ada pemain voli dikenal di dunia ini, apalagi di negara kita…” ia melirik kedua temannya seakan minta dukungannya seperti biasa. “Lo, lo pernah dengar nama pemain bola voli? Pastinya nggak, kan? Yang ada juga.. Cristiano Ronaldo, Messi dan si Andik..!, atau Bambang Pamungkas.” kembali ia menatap Vito. “Siapa nama pemain voli yang lo tahu, sebut satu nama saja, gue mau dengar.” Katanya dengan nada meledek Vito.
       Baru saja Vito ingin menyebutkan nama-nama pemain voli yang sangat ia kagumi tapi keburu ditegur.
       “Hei, hei…. Pada ngapain?” satpam sekolah menegur anak-anak itu. “Kalian harus segera pulang, nanti orang tua kalian cemas di rumah.” Ujar pria paruh baya dengan seragam satpam lengkap mendekati mereka.
       “Ya, Pak.” Kata ketiga anak itu berbarengan sambil ngeloyor pergi sedang Vito masih duduk di tempatnya. Pak satpam itu ikut duduk di sebelah Vito.
       “Kamu sedang menunggu jemputan, ya?” tegur pak satpam itu, seperti biasa ia sangat peduli dengan anak-anak yang di sekolah itu, kepeduliannya bahkan lebih besar dari kecemasannya pada setiap anak-anak yang mau menyebrang jalan. Tak jarang ia sendiri keserempet motor untuk menyelamatkan anak-anak agar sampai di tepi jalan. Meski ada anak yang sudah besar dan berani nyebrang sendiri, ia tetap merasa wajib menyeberangkannya.
       “Ya, Pak.” Jawab Vito jujur. “Nggak tahu nih, gak biasanya pak Damar telat.” Ujar Vito dengan nada cemas sebab ia takut nanti terlambat sampai di tempat latihan.
       Pak satpam mengeluarkan ponselnya. “Ini, kamu telepon saja, siapa tahu mobilnya mogok.” Ia memberikan telepon genggamnya pada Vito untuk digunakan. Anak itu ragu-ragu tapi pak satpam itu harus beranjak untuk menyebrangkan anak-anak yang ingin pulang dengan berlawanan arah dari sekolah mereka. “Cepat ambil, Bapak mau bantuin temanmu yang mau ke seberang.” Katanya lagi agar Vito segera mengambil ponsel dari tangannya.     
       Akhirnya Vito meraih ponsel dari tangan pak satpam. Pria itu sudah berjalan untuk membimbing anak-anak sedang Vito menatap ponsel pak satpamnya yang baik hati itu lalu coba menekan nomor pak Damar. Dua detik saja sudah tersambung.
       “Ya, halo…?” 
       “Pak, ini Vito. Bapak lagi ada di mana?” nada suara Vito terdengar biasa walau sebenarnya ia cukup cemas.
       “Aduh, den Vito…. Ini Bapak masih di rumah ada sedikit masalah dengan mobilnya, tunggu ya, sebentar lagi kelar.” Kata pak Damar dengan suara sangat menyesal, sedang ia masih membetulkan mobil yang mana tadi pagi masih baik-baik saja.
       “O, gini aja Pak, Vito naik angkot aja pulangnya, nanti ke GOR baru di antar ya? Udah dulu, ini Vito pake telepon pak satpam nggak enak lama-lama telepon.” Beritahunya.
       “O, ya sudah.”
       “Bagaimana?” pak satpam sudah berdiri di samping Vito.
       Anak sepuluh tahun itu mengembalikan telepon pak satpam. “Ini Pak, terima kasih. Bapak benar, ada masalah dengan mobilnya. Saya naik angkot saja soalnya takut lama, nanti jam tiga ada latihan biar nggak telat.” Jelas Vito.
       “O, latihan? Latihan apa?”
       “M… main voli.” Beritahu Vito tanpa ragu. Ia tak akan malu seandainya pak satpam itu juga akan mengejeknya jika ketahuan latihan voli.
       “Voli? Bagus itu, di mana?” pria itu sepertinya ingin tahu. Ia tidak menyangka kalau anak  baru yang ia kenal pendiam dari kalangan atas itu mengikuti permainan voli.
       “Di GOR, setiap selasa dan minggu.”
       Pria itu duduk lagi di dekat Vito. “Sudah lama?”
       “Belum, Pak. Baru beberapa bulan saja. tepatnya sebulan setelah saya pindah ke sini.”
       “Mm… kamu suka permainan itu?” pak satpam merasa tertarik dengan cerita Vito.
       “Ya, tadinya Ibu saya menginginkan saya masuk klub badminton dan Ayah nyuruh masuk  SSB, tapi….”
       “Tapi kamu lebih menyukai voli?” potong pak satpam. Vito mengangguk. “Tidak apa-apa, jarang anak seusia kamu menyukai permainan voli, kalau kamu suka maka tekunilah dan giat berlatih.” Tutur pak satpam dan Vito suka karena lelaki itu mendukungnya. “Tapi Bapak jarang melihat kamu latihan voli di sini, di sekolah kita.”
       “O, di sekolah bolanya keras sekali Pak dan terasa sangat sakit di tangan, kalau pun jam
olahraga jarang dimainkan…atau mungkin juga karena teman-teman tidak ada yang suka main voli.” Tutur Vito tidak begitu mengerti apa sebab sehingga teman-temanya kurang menyenangi permaian itu, apalagi ingat ejekan ketiga temannya tadi.
       “Kamu ada benarnya juga.” Ia melirik anak itu sejenak lalu berdiri karena melihat ada angkot yang mendekat, ia menyetop angkot itu mendahului Vito yang sudah berdiri. “Itu angkotnya, jangan sampai kamu terlambat latihan. Hati-hati.”
       Vito mengangguk. “Terima kasih, Pak.” Anak itu naik ke dalam angkot dan pria empat puluhan yang sudah tujuh belas tahun menjadi satpam di sekolah itu tersenyum padanya.
                                                                            *
GOR, Pukul 15.00.
Vito telah tiba di tempat latihannya, pria sepuluh tahun dengan tubuh agak tambun itu sudah mengenakan sepatu dari rumah dengan seragam latihannya yang disediakan dari pihak klub setelah ia membayar uang pendaftaran.
       Ada beberapa anak pria dan wanita yang seusia dengannya juga ada anak tingkat SMP sekitar lima belas orang dan kesemua anak-anak yang ikut latihan tidak lebih dari dua puluh tujuh orang.
       “Hai, Vit….” Sapa salah satu teman Vito. Vito menyambutnya dengan senyuman dan sebuah jabat tangan seperti biasa, lalu ia dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita manis, yang sudah sangat amat dikenal oleh semua anak pecinta bola voli di tanah air.
       Wanita itu masuk bersama seorang wanita dan pria pelatih klub tempat Vito latihan, sejenak Vito merasa tidak percaya dengan pemandangan itu. Bagaimana mungkin seorang pemain muda yang sudah bermain di TIMNAS datang ke tempat itu.., tak beda jauh dari yang lain, sempat terpaku melihat kedatangan salah satu pemain andalan dari klub Elang itu.
       Separuh ada yang berteriak senang sedang yang lain masih terpaku dan takjub, ternyata sosok yang sering mereka lihat di televisi itu dengan kenyataannya lebih tinggi aslinya. Berbondong-bondonglah mereka berjabat tangan dan tak ketinggalan menggunakan kesempatan  untuk foto bersama. Saat Vito berjabat tangan wanita itu memegang kepala Vito.
       “Kamu yang bernama Vito?” ia ingat saat ayahnya menyebutkan ciri-ciri Vito.
       “Ya, Kak.” Kata Vito setengah tidak percaya kalau wanita itu tahu namanya.
       “Ada salam dari Ayah saya, latihan yang lebih keras ya.” Gumanya agak berbisik pada Vito. Sedang yang lain sempat bertanya-tanya sendiri apa yang wanita itu bisikan.   
       ‘Ayah?!’  batin Vito tak mengerti apa maksudnya. ‘Ah, biarlah itu menjadi pertanyaan di
dalam hatiku dan aku akan menemukan jawabannya nanti.’
       Pelatih memperkenalkan gadis itu secara resmi pada anak didiknya, sekaligus sang pemain voli TIMNAS menyumbangkan bola baru untuk klub yang baru merintis itu.
       Sang atlet pun menyampaikan sepatah dua patah kata untuk memotivasi mereka yang baru mengenal permainan bola voli.
       “Adik-adik yang ada di sini yang mungkin karena keingian sendiri atau karena kemauan dari orang tua kalian, tidak masalah. Kalian datang ke sini karena hobi atau karena memang orang tua kalian ingin mengenalkan bola voli pada kalian, yang kata orang tak kenal maka tak sayang, perlu kalian ketahui satu hal, cobalah segala sesuatunya dengan serius, berjuanglah… karena tidak ada perjuangan yang sia-sia. Tapi jika kalian memang tidak berminat setelah menjalani beberapa minggu latihan dan menyukai olahraga yang lain, maka bicarakanlah pada orang tua kalian dengan baik-baik, karena kakak rasa zaman sekarang tidak semua orang tua yang memaksakan kehendaknya.”
       Beberapa orang tua yang kebetulan mengantar anaknya ikut mendengar kata-kata pemain muda itu jadi terpukau. Dan mungkin di atara mereka ada yang kebetulan memasukan anaknya ke tempat itu padahal anaknya sendiri ingin masuk ke cabang olahraga lain.
       “Semua bisa dimusyarawahkan, sebelum kalian terlambat karena setelah pergi dari sini kalian bisa masuk ke olahraga lain yang kalian sukai dan bisa berprestasi, karena bagaimana pun juga semua terserah kalian dan prestasi di bidang olahraga apa pun semuanya kembali demi bangsa kita tercinta ini. Tapi jika kalian berada di sini karena menyukainya dan ingin berprestasi…..maka tidak ada yang tidak mungkin, tetap semangat, ya.” Gadis itu mengakhiri
ucapannya disambut tepuk tangan oleh anak-anak.
       Sedang Vito masih memikirkan gadis itu dan sebelum pamit gadis ia mengedipkan sebelah matanya pada Vito membuat Vito tambah penasaran.
       Gadis itu telah keluar dari dalam GOR, di luar ia sedang ditunggu oleh teman prianya yang tadi sengaja mengantar gadis itu mampir, karena sebenarnya ia akan melangsungkan pertandingan turnamen terbuka yang diadakan salah satu perusahaan swasta. Pria dengan rambut cepak itu sudah duduk di belakang stir dan tersenyum pada kekasihnya.
       “Bagaimana?” sapanya seperti biasa, lembut, sopan dan penuh perhatian.
       “Bagaimana apanya? Kamu sih, kenapa tadi tidak ikut masuk.” Protes gadis itu disertai senyuman apalagi ingat dengan wajah Vito yang tembem namun manis.
       “Nggak enak kesannya kalau aku masuk, ayok…nanti terlambat, sebentar lagi kamu main, kan?” pria itu menyalakan mesin mobilnya.
       “Main kedua, biasanya sekitar setengah lima, kamu nanti tetap di mobil ya.” Pintanya seperti biasa. Pria itu melirik kekasihnya lalu tersenyum sebab sudah mengerti maksud dari permintaan itu. Ia tidak boleh menonton langsung di lapangan. Meski terkadang ingin sekali.
                                                                            *

       Masih di dalam GOR, pelatih sedang menjelaskan secara detil tentang gadis tadi yang juga sempat menyumbangkan dua buah bola dengan mutu terbaik.
       “Kalian tahu berapa usia wanita tadi? Ia baru Sembilan belas tahun dan sudah sering
memperkuat tim Indonesia bermain di Asia, waktu usia 15 tahun ia sudah memperkuat timnas junior, dan ikut andil dalam meraih kejuaraan Asia Tenggara tahun kemarin.” Jelas sang pelatih dengan semangat, karena ia juga terkejut saat pemain muda itu meneleponnya dan mengatakan akan berkunjung ke tempat latihan. Sebagai pribadi ia menyukai anak muda yang selalu rendah diri itu. Memiliki segudang prestasi namun tidak pernah melupakan asal usulnya.
       Anak-anak menjadi lebih semangat berlatih apalagi setelah melihat langsung pemain nasional dari dekat dan menyempatkan diri mampir di tempat mereka berlatih, itu merupakan semacam gairah sendiri bagi anak-anak itu. Tapi Vito, ada atau tidaknya kunjungan gadis itu tak akan pernah menyurutkan niatnya untuk tetap giat berlatih. Tak peduli semua teman di kelasnya mengejek atau tergila-gila dengan permainan bola kaki atau olahraga yang lainnya.
       Di mobil, di parkiran GOR, pak Damar sedang dihubungi oleh ibunya Vito. Wanita karir itu selalu memantau setiap kegiatan anaknya.
       “Ya, Bu…?”
       “Pak Damar, Vito latihan, kan?” itu pertanyaan seperti biasa dan pak Damar tidak pernah
bosan memberi kabar apa pun tentang Vito kepada majikannya itu.
       “Ya, Bu. Barusan ada anak TIMNAS yang berkunjung ke tempat latihan Vito.” Beritahu-
nya, mungkin bagi majikannya itu bukan hal penting tapi ia tidak peduli karena ia memang merasa harus memberitahukannya.
       “Oh, ya? Vito pasti senang.” Sahutnya dengan nada ikut senang. “Nanti malam saya tanya lagi sama Vito, ia pasti ingin bercerita, sudah ya Pak Damar, hati-hati kalau sudah pulang.” Tambahnya lagi mengakhiri pembicaraan.
       “Ya, Bu.” Pria itu menutup teleponnya lalu kembali bersandar di jok mobil.
                                                                         *
       Wanita yang kini menginjak usia tiga puluh tujuh tahun itu adalah sebagai manager di sebuah perusahaan besar. Ia menikah saat usia dua puluh enam tahun, tujuh belas tahun sudah lulus dari sekolah menengah atas dan menyelesaikan S2-nya saat usia dua puluh dua tahun. Ia memang wanita jenius tapi menikah dengan pria biasa, dan juga memiliki pekerjaan biasa pula, gajinya tiga kali lipat diatas penghasilan suaminya, meski begitu ia sangat menghargai suaminya itu. Dan mereka berdua telah membiarkan anaknya Vito memilih olahraga yang ia sukai. Meski tadinya ia pribadi menginginkan Vito masuk club badminton.
       Pukul tujuh malam ia sudah tiba di rumah, di sambut Vito dengan mencium punggung tangan ibunya. Vito tidak akan menanyakan kenapa ibunya pulang agak cepat, paling-paling juga jalan sore itu tidak terlalu macet. Pikirnya.
       Seperti biasa, sebelum melakukan sesuatu atau bertanya banyak hal pada Vito atau pada mengurus rumah, terlebih dahulu ia akan mandi. Sedang suaminya dinas sore dan akan pulang sekitar pukul dua belas malam.
       Di meja makan, makan malam sudah disediakan oleh pengurus rumahnya. Meski tak begitu bernafsu makan, ia akan tetap menikmatinya dan malam itu ia makan bersama Vito.
       “Bagaimana sekolahmu hari ini?” tanyanya seperti malam-malam sebelumnya.
       “Baik, Bu.” Vito menatap ibunya sejenak.
       “Latihanmu?” katanya lagi sembari menyendok makanannya.
       “Juga baik, mm… tadi ada pemain nasional datang ke tempat latihan, mungkin orang tuanya teman dari pelatih Vito dan ia menyumbangkan dua buah bola voli.” Jelas Vito tak bermasud untuk berlebihan.
       “Oh, begitu. Minggu depan Ibu usahain untuk datang ke tempat latihanmu, tidak apa-apa, kan?” wanita itu minta pertimbangan anaknya.
       “Ya, nggak apa-apa Bu, Vito malah senang.” Kata anak gempal itu namun hidungnya masih terlihat mancung.
       “Les-mu setiap jum’at sore berjalan dengan baik juga, kan?” sepertinya wanita itu
mengingingkan anaknya tetap mengutamakan pendidikan formal lebih serius dari yang
lainnya.
       “Ya.” Sahut Vito tanpa beban.
                                                                *******


Kampung Bulak.
Di ruangan kelas satu SDN kampung Bulak, anak-anak mendengar Bu guru sedang berbicara di depan kelas. Ada yang serius mendengarkan dan tak sedikit juga yang asyik ngobrol sendiri dengan teman-teman sebangkunya, tapi si Monette yang hari itu ke sekolah dengan rambut kuncirnya terlihat asyik sekali menyimak setiap kata yang diucapkan gurunya.
       “Anak-anak….. siapa yang hafal lagu Indonesia Raya?” tanya bu guru dengan suara khasnya. Seorang gadis yang duduk pas di depan Monette mengangkat telunjuknya.
       “Saya, Bu.”
       “Ya, sini maju. Nyanyikan di depan teman-teman kamu..” pinta bu guru. Anak yang Monette kenal suka menyanyikan lagu apa saja itu telah maju ke depan kelas. Dengan keyakinan penuh ia telah berdiri di sebelah bu gurunya dan dalam hitungan detik ia telah mengumandangkan lagu karya WR. Supratman itu dengan lantang sekali. Monette dan teman-temannya yang lain hanya menyimak saja dari tempat duduk masing-masing.
       Beberapa menit kemudian, bu guru tepuk tangan karena anak itu menyanyikannya dengan sempurna diikuti teman sekelasnya. Anak itu tersenyum dengan bangga, seakan ia telah menyanyi di depan panggung gembira dan mendapatkan sambutan dari semua orang.
       “Kamu sudah menyanyikannya dengan sangat baik, sekarang duduklah.” Perintahnya. Anak itu pun kembali ke tempat duduknya. “Anak-anak…. Lihatlah, salah satu teman kalian sudah hafal lagu Indonesia Raya sampai selesai. Kalian juga harus hafal lagu itu, karena lagu itu adalah lagu kebangsaan kita, yang dinyanyikan setiap hari senin waktu upacara di sekolah-sekolah dan akan dikumandangkan setiap anak-anak Indonesia mendapat juara olahraga di luar negeri.” Jelas bu guru.
       Si Monette pernah melihat di televisi lagu itu pernah dinyanyikan waktu tim badminton,
memenangkan kejuaraan Uber cup di luar negeri dan ia tidak ingat di negara mana itu. Apakah pemain bola voli, jika menang di luar negeri akan menyanyikan lagu itu juga? Pikirnya. Mata Monette melirik ke samping kelasnya, di mana terlihat pohon pisang tumbuh tidak beraturan di antara rumput liar. Sedang gurunya telah menulis tentang pelajaran hari itu, Monette masih memikirkan tentang bola voli.
       Jam belajar kelas satu di tempat Monette berakhir sebelum pukul sepuluh, karena pukul sepuluh kelasnya akan ditempati oleh kelas empat. Sebelum pulang Monette melihat kakak kelasnya yaitu kelas lima sedang bermain di lapangan. Ada yang memegang bola basket, bola voli dan ada juga yang memegang raket dan memukul bola itu ke arah temannya yang juga memegang raket, namun yang menarik perhatian Monette hanya bola voli, ia hafal sekali dengan bentuk bola itu, sebab sudah sering menonton turnamen di kampung tetangganya bersama sang Ayah.
       Beberapa anak berlari menemui ibu mereka yang kebetulan mengantar dan menunggu di luar halaman sekolah hingga pelajaran selesai. Sedang Monette tidak di antar apalagi di jemput oleh ibunya, sebab sekolahny tidak begitu jauh dari rumahnya dan Monette memang tidak minta di jemput, apalagi ia tahu adik laki-lakinya suka minta jajan terus kalau ibunya menunggu di sekolah, sedang ia tahu ibunya terkadang tidak punya uang.
       Monette masih berdiri menatap kakak-kakak kelasnya yang sedang diajarkan cara memukul bola voli oleh guru olahraga di sekolah mereka. Monette sendiri belum tahu siapa nama guru olahraga itu, terbesit di benaknya untuk segera mengetahui nama guru itu dan
bertanya, apakah ia boleh ikut bermain seperti kelas lima itu?
       Monette kecil belum berani menemui guru itu untuk bertanya, sebab ia masih duduk di kelas satu beberapa bulan saja, tapi di daftar pelajarannya ia tidak menemukan adanya pelajaran olahraga. Monette makin penasaran saja......
bersambungggg....>>>>