BAB 1
‘PROLIGA
TAHUN 2012’
Si Monette
“Yah, dari tim Rajawali sedang siap-siap untuk melakukan servis ke area
tim Elang dengan tehnik float-nya,
dan bola mengarah pas ke Libero tim Elang, sang Libero mengoper bola lambung ke
Tosser disambut dengan back set lalu mengumpan ke belakang di
mana ada si Monette yang berdiri di posisi
lima yang tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sedikit pun, langsung
melakukan gerakan apprvoach-nya…..”
sang komentator jeda beberapa detik lalu.. ”Yaaa…. Si Monette berhasil
melakukan bounce-nya tanpa bisa di-block oleh tim Rajawali!”
Tim Elang bergembira dan mereka berpelukan sejenak lalu kembali
siap-siap pada posisi masing-masing.
Sang komentator
kembali berkicau, karena tidak ada time
out yang diminta dari pihak mana pun hingga permainan bisa dilanjutkan.
“Macth point untuk tim Elang di set kelima ini, di mana tim Elang sudah
memenangkan dua set sebelumnya dengan perolehan 25-23, 25-27, 25-22, 23-25 dan
sekarang 14 dan 13….., apakah akan kembali terjadi pindah bola…? Si Monette
telah berada di posisi empat dan kita akan menunggu apa yang akan terjadi….,
apakah ia akan menggunakan quick hit-nya?
Atau dengan cross-shot-nya yang
mematikan itu…? Kini si Maya sedang siap-siap untuk melakukan servis ke tim
Rajawali di mana ke eman pemain sudah siap dengan posisi masing-masing, Maya
akan melakukan jump serve…”
Semua penonton yang berada di stadion Glora Bung Karno diam seolah
menahan napas,
supporter dari tim Rajawali
deg-degan tak terkecuali juga supporter
dari tim Elang. Dan yang lebih deg-degan adalah seorang pria yang sedang
menonton siarang langsung di televisi dari rumah, ia adalah kekasihnya Monette,
yang tak pernah diperbolehkan ikut menonton langsung di lapangan lantaran
kelemahan Monette adalah tidak bisa fokus bermain kalau ada kekasihnya dekat
lapangan alias deg-degan.
“…Yap,
Maya telah berhasil melakukan jump serve-nya ke area tim Rajawali disambut
dengan tenang oleh tim Rajawali, apakah tim Elang akan memenangkan final Proliga tahun ini? Atau tetap
berada di runner-up seperti tahun
kemarin….? Bola telah kembali ke tim Elang setelah Monette berhasil mem-block serangan dari tim Rajawali, sang Tosser memberikan operan Overhand pass kepada Monette dan……..”
……..???
*******
7 Februari 2000
Sore itu,
seorang gadis kecil terlihat sedang asyik duduk bersandar pada kaki ayahnya
yang lagi fokus menonton pertandingan babak penyisihan turnamen bola voli antar
kampung yang diadakan tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya.
Ada beberapa anak kecil yang juga ikut
menonton bersama orang tua mereka, tapi kebanyakan anak-anak hanya menghabiskan
waktunya untuk jajan di tempat itu yang kebetulan banyak pedagang dadakan
selalu hadir setiap ada momen yang menghadirkan keramaian. Tapi gadis yang
berusia sekitar tujuh tahun itu malah asyik sekali melihat para pemain voli
yang sedang berlaga itu tanpa merasa terusik dengan berisiknya suara komentator
dari pengeras suara yang disediakan oleh panitia pelaksana turnamen.
Mereka duduk tidak terlalu dekat lapangan
karena ayahnya mungkin takut anaknya kena
smash oleh ketiga pemain
nasional yang kebetulan masuk pada salah satu tim yang sedang
berlaga
di lapangan itu.
Pria-pria jangkung yang sedang membela
tim mereka terlihat gesit sekali melakukan passing
dan tossing
bola pada temannya lalu sang spiker
menuntaskan operan itu dengan strong
spike-nya. Semua momen, dan gerakan dari para pemain itu tak pernah lepas
dari mata si gadis kecil, dan detik berikutnya ia berdiri dan melompat
kegirangan saat salah satu pemain berhasil mem-block.
“Min, hati-hati, Nak” ujar ayahnya takut anak itu jatuh karena
melompat seolah ingin meniru sang blocker
tadi.
“Dia hebat Ayah!” teriaknya dengan suara
nyaring bercampur dengan suara-suara riuh dan tepuk tangan para penonton.
***
Gadis itu
segera turun dari motor butut ayahnya lalu berlari ke dalam rumah untuk mencari
ibundanya.
“Ibu, Monette baru saja menonton bola
sama Ayah.”
“Ya, Ibu tahu.” Sahut ibunya yang
kebetulan sedang menonton televisi karena tadi suaminya sudah pamit. Gadis
kecil itu ikut duduk di depan tivi sedang adik laki-lakinya berlari menemui
ayahnya untuk diajak keliling kampung naik motor.
“Bu, Monette mau ikut main seperti
kakak-kakak di lapangan itu.”
“Apa?” wanita tiga puluhan itu kaget
mendengar permintaan anak gadisnya. “Main bola?
Tidak!
Anak perempuan tidak boleh main bola kaki, main bola itu pekerjaannya anak
laki, kamu sekolah saja nanti jadi dokter atau jadi pramugari.” Tukasnya
mengira gadis kecilnya ingin bermain bola kaki.
“Tidak, jadi pramugari nanti pesawatnya
jatuh, Monette ikut jatuh.” Kata gadis kecil itu
dengan
polosnya.
**
Ia dinamai ayahnya Mintonette. Ayahnya
suka memanggil ‘Min’ sedang ibunya
memanggil
‘Mon’. si Monette kecil terlihat manyun karena ibunya melarang main bola tapi
ia tidak akan putus asa, sebab ia belum menyampaikan keinginannya itu kepada
ayahnya yang sering mengajaknya menonton turnamen sejak ia usia lima tahun.
Ia kembali ke kamarnya di mana tempat ia
dan adiknya tidur, Monette mengambil buku yang pernah dikasih ayahnya saat tiga
bulan sebelum ia masuk SD. Sebuah buku dengan ketebalan tak lebih dari seratus
halaman, buku tentang sejarah asal usul permainan bola voli dan ternyata dari
buku itulah Monette tahu arti namanya. Ia mengulang lagi membaca buku itu….,
“Pada awal penemuannya,
olahraga permainan bola voli ini diberi nama Mintonette. Olahraga Mintonette
ini pertama kali ditemukan oleh seorang Instruktur pendidikan jasmani (Director
of Phsycal Education) yang bernama William G. Morgan di YMCA pada tanggal 9
Februari 1895, di Holyoke, Massachusetts (Amerika Serikat).
William G. Morgan dilahirkan di Lockport, New York pada tahun
1870, dan meninggal pada tahun 1942. YMCA (Young Men’s Christian Association)
merupakan sebuah organisasi yang didedikasikan untuk mengajarkan ajaran-ajaran
pokok umat Kristen kepada para pemuda, seperti yang telah diajarkan oleh Yesus.
Organisasi ini didirikan pada tanggal 6 Juni 1884 di London, Inggris oleh
George William.
Setelah bertemu dengan James Naismith (seorang pencipta olahraga
bola basket yang lahir pada tanggal 6 November 1861, dan meninggal pada tanggal
28 November 1939), Morgan menciptakan sebuah olahraga baru yang bernama
Mintonette. Sama halnya dengan James Naismith, William G. Morgan juga mendedikasikan
hidupnya sebagai seorang instruktur pendidikan jasmani. William G. Morgan yang
juga merupakan lulusan Springfield College of YMCA , menciptakan permainan
Mintonette ini empat tahun setelah diciptakannya olahraga permainan basketball
oleh James Naismith. Olahraga permainan Mintonette sebenarnya merupakan sebuah
permainan yang diciptakan dengan mengkombinasikan beberapa jenis permainan.
Tepatnya, permainan Mintonette diciptakan dengan mengadopsi empat macam
karakter olahraga permainan menjadi satu, yaitu bola basket, baseball, tenis,
dan yang terakhir adalah bola tangan (handball). Pada awalnya, permainan ini
diciptakan khusus bagi anggota YMCA yang sudah tidak berusia muda lagi,
sehingga permainan ini pun dibuat tidak seaktif permainan bola basket.
Perubahan nama Mintonette menjadi volleyball (bola voli) terjadi
pada pada tahun 1896, pada demonstrasi pertandingan pertamanya di International
YMCA Training School. Pada awal tahun 1896 tersebut, Dr. Luther Halsey Gulick
(Director of the Professional Physical Education Training School sekaligus
sebagai Executive Director of Department of Physical Education of the
International Committee of YMCA) mengundang dan meminta Morgan untuk
mendemonstrasikan permainan baru yang telah ia ciptakan di stadion kampus yang baru.
Pada sebuah konferensi yang bertempat di kampus YMCA, Springfield tersebut juga
dihadiri oleh seluruh instruktur pendidikan jasmani. Dalam kesempatan tersebut,
Morgan membawa dua tim yang pada masing-masing tim beranggotakan lima orang.
Dalam kesempatan itu, Morgan juga menjelaskan bahwa permainan
tersebut adalah permainan yang dapat dimainkan di dalam maupun di luar ruangan
dengan sangat leluasa. Dan menurut penjelasannya pada saat itu, permainan ini
dapat juga dimainkan oleh banyak pemain. Tidak ada batasan jumlah pemain yang
menjadi standar dalam permainan tersebut. Sedangkan sasaran dari permainan ini
adalah mempertahankan bola agar tetap bergerak melewati net yang tinggi, dari
satu wilayah ke wilayah lain (wilayah lawan).”(1)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(1)By : duniabaca.com
Sumber: id.wikipedia.org
***
Tidak tahu mengapa Monette senang sekali
membaca buku pemberian ayahnya itu meski
ia belum begitu paham
apa maksud dari isi buku itu.
Monette kecil kembali membalikan lembar
demi lembar halaman buku dengan posisi badannya sudah rebahan di atas tempat
tidur usang, ia membaca hingga lelah sampai tidak mendengar ibunya memanggil
agar ia segera mandi.
*******
Vito, Januari 2012
Pria usia sepuluh tahun
yang baru saja keluar dari sekolahnya duduk di bangku yang ada di depan halaman
gedung sekolah SD Negeri 07 Ciputat. Ia sedang menunggu jemputan, entah mengapa
Pak Damar yang biasa menjemputnya agak terlambat hari itu. Jika saja ia membawa
ponsel sudah ia telepon sopir keluarganya itu, sayangnya pihak sekolah tidak
mengizinkan anak-anak membawa telepon genggam ke sekolah.
Baru saja ia duduk dua menit di sana,
teman-temannya yang kebetulan rumahnya dekat dari sekolah mengganggu Vito.
“Kenapa lo, ga berani pulang sendiri?
Makanya jangan keseringan dijemput deh, kayak anak Mami saja.” Goda teman
sekelasnya yang dikenal suka iseng.
“Kenapa emangnya? Abis ini aku mau
latihan voli di GOR, kalau sekedar pulang sih, bisa aja tinggal nyetop angkot
bayar seribu juga nyampe rumahku.” Balas Vito yang tahu pasti kalau jarak
sekolah dari rumahnya hanya tiga kilo meter, sedang jarak GOR ke rumahnya tujuh
kilo meter.
“Hah? Main
Voli? Olahraga apaan tuh?” tambah anak iseng itu sambil tertawa dan dua
temannya yang lain ikut tertawa sedang si Vito tak beranjak dari tempat
duduknya. Ketiga teman sekelasnya itu masih ingin menggoda Vito. “Voli? gak
zaman main voli sekarang yang ada bola kaki men,
hihihihi…. Mana ada pemain voli dikenal di dunia ini, apalagi di negara
kita…” ia melirik kedua temannya seakan minta dukungannya seperti biasa. “Lo,
lo pernah dengar nama pemain bola voli? Pastinya nggak, kan? Yang ada juga..
Cristiano Ronaldo, Messi dan si Andik..!, atau Bambang Pamungkas.” kembali ia
menatap Vito. “Siapa nama pemain voli yang lo tahu, sebut satu nama saja, gue
mau dengar.” Katanya dengan nada meledek Vito.
Baru saja Vito
ingin menyebutkan nama-nama pemain voli yang sangat ia kagumi tapi keburu
ditegur.
“Hei, hei…. Pada ngapain?” satpam
sekolah menegur anak-anak itu. “Kalian harus segera pulang, nanti orang tua
kalian cemas di rumah.” Ujar pria paruh baya dengan seragam satpam lengkap
mendekati mereka.
“Ya, Pak.” Kata ketiga anak itu
berbarengan sambil ngeloyor pergi sedang Vito masih duduk di tempatnya. Pak
satpam itu ikut duduk di sebelah Vito.
“Kamu sedang menunggu jemputan, ya?”
tegur pak satpam itu, seperti biasa ia sangat peduli dengan anak-anak yang di
sekolah itu, kepeduliannya bahkan lebih besar dari kecemasannya pada setiap
anak-anak yang mau menyebrang jalan. Tak jarang ia sendiri keserempet motor
untuk menyelamatkan anak-anak agar sampai di tepi jalan. Meski ada anak yang
sudah besar dan berani nyebrang sendiri, ia tetap merasa wajib
menyeberangkannya.
“Ya, Pak.” Jawab Vito jujur. “Nggak tahu
nih, gak biasanya pak Damar telat.” Ujar Vito dengan nada cemas sebab ia takut
nanti terlambat sampai di tempat latihan.
Pak satpam mengeluarkan ponselnya. “Ini,
kamu telepon saja, siapa tahu mobilnya mogok.” Ia memberikan telepon genggamnya
pada Vito untuk digunakan. Anak itu ragu-ragu tapi pak satpam itu harus
beranjak untuk menyebrangkan anak-anak yang ingin pulang dengan berlawanan arah
dari sekolah mereka. “Cepat ambil, Bapak mau bantuin temanmu yang mau ke
seberang.” Katanya lagi agar Vito segera mengambil ponsel dari tangannya.
Akhirnya Vito meraih ponsel dari tangan
pak satpam. Pria itu sudah berjalan untuk membimbing anak-anak sedang Vito
menatap ponsel pak satpamnya yang baik hati itu lalu coba menekan nomor pak
Damar. Dua detik saja sudah tersambung.
“Ya, halo…?”
“Pak, ini Vito. Bapak lagi ada di mana?”
nada suara Vito terdengar biasa walau sebenarnya ia cukup cemas.
“Aduh, den Vito…. Ini Bapak masih di
rumah ada sedikit masalah dengan mobilnya, tunggu ya, sebentar lagi kelar.”
Kata pak Damar dengan suara sangat menyesal, sedang ia masih membetulkan mobil
yang mana tadi pagi masih baik-baik saja.
“O, gini aja Pak, Vito naik angkot aja
pulangnya, nanti ke GOR baru di antar ya? Udah dulu, ini Vito pake telepon pak
satpam nggak enak lama-lama telepon.” Beritahunya.
“O, ya sudah.”
“Bagaimana?” pak satpam sudah berdiri di
samping Vito.
Anak sepuluh tahun itu mengembalikan
telepon pak satpam. “Ini Pak, terima kasih. Bapak benar, ada masalah dengan
mobilnya. Saya naik angkot saja soalnya takut lama, nanti jam tiga ada latihan
biar nggak telat.” Jelas Vito.
“O, latihan? Latihan apa?”
“M… main voli.” Beritahu Vito tanpa
ragu. Ia tak akan malu seandainya pak satpam itu juga akan mengejeknya jika
ketahuan latihan voli.
“Voli? Bagus itu, di mana?” pria itu
sepertinya ingin tahu. Ia tidak menyangka kalau anak baru yang ia kenal pendiam dari kalangan atas
itu mengikuti permainan voli.
“Di GOR, setiap selasa dan minggu.”
Pria itu duduk lagi di dekat Vito.
“Sudah lama?”
“Belum, Pak. Baru beberapa bulan saja. tepatnya
sebulan setelah saya pindah ke sini.”
“Mm… kamu suka permainan itu?” pak
satpam merasa tertarik dengan cerita Vito.
“Ya, tadinya Ibu saya menginginkan saya
masuk klub badminton dan Ayah nyuruh masuk
SSB, tapi….”
“Tapi kamu lebih menyukai voli?” potong
pak satpam. Vito mengangguk. “Tidak apa-apa, jarang anak seusia kamu menyukai
permainan voli, kalau kamu suka maka tekunilah dan giat berlatih.” Tutur pak
satpam dan Vito suka karena lelaki itu mendukungnya. “Tapi Bapak jarang melihat
kamu latihan voli di sini, di sekolah kita.”
“O, di sekolah bolanya keras sekali Pak
dan terasa sangat sakit di tangan, kalau pun jam
olahraga jarang
dimainkan…atau mungkin juga karena teman-teman tidak ada yang suka main voli.”
Tutur Vito tidak begitu mengerti apa sebab sehingga teman-temanya kurang
menyenangi permaian itu, apalagi ingat ejekan ketiga temannya tadi.
“Kamu ada benarnya juga.” Ia melirik
anak itu sejenak lalu berdiri karena melihat ada angkot yang mendekat, ia
menyetop angkot itu mendahului Vito yang sudah berdiri. “Itu angkotnya, jangan
sampai kamu terlambat latihan. Hati-hati.”
Vito mengangguk. “Terima kasih, Pak.”
Anak itu naik ke dalam angkot dan pria empat puluhan yang sudah tujuh belas tahun
menjadi satpam di sekolah itu tersenyum padanya.
*
GOR, Pukul 15.00.
Vito telah tiba di tempat latihannya,
pria sepuluh tahun dengan tubuh agak tambun itu sudah mengenakan sepatu dari
rumah dengan seragam latihannya yang disediakan dari pihak klub setelah ia
membayar uang pendaftaran.
Ada beberapa anak pria dan wanita yang seusia dengannya juga ada anak
tingkat SMP sekitar lima belas orang dan kesemua anak-anak yang ikut latihan tidak
lebih dari dua puluh tujuh orang.
“Hai, Vit….” Sapa salah satu teman Vito. Vito menyambutnya dengan
senyuman dan sebuah jabat tangan seperti biasa, lalu ia dikejutkan dengan
kedatangan seorang wanita manis, yang sudah sangat amat dikenal oleh semua anak
pecinta bola voli di tanah air.
Wanita itu masuk bersama seorang wanita dan pria pelatih klub tempat
Vito latihan, sejenak Vito merasa tidak percaya dengan pemandangan itu.
Bagaimana mungkin seorang pemain muda yang sudah bermain di TIMNAS datang ke
tempat itu.., tak beda jauh dari yang lain, sempat terpaku melihat kedatangan salah
satu pemain andalan dari klub Elang itu.
Separuh ada yang berteriak senang sedang yang lain masih terpaku dan
takjub, ternyata sosok yang sering mereka lihat di televisi itu dengan
kenyataannya lebih tinggi aslinya. Berbondong-bondonglah mereka berjabat tangan
dan tak ketinggalan menggunakan kesempatan
untuk foto bersama. Saat Vito berjabat tangan wanita itu memegang kepala
Vito.
“Kamu yang bernama Vito?” ia ingat saat ayahnya menyebutkan ciri-ciri
Vito.
“Ya, Kak.” Kata Vito setengah tidak percaya kalau wanita itu tahu
namanya.
“Ada salam dari Ayah saya, latihan yang lebih keras ya.” Gumanya agak
berbisik pada Vito. Sedang yang lain sempat bertanya-tanya sendiri apa yang
wanita itu bisikan.
‘Ayah?!’ batin Vito tak mengerti apa maksudnya. ‘Ah, biarlah itu menjadi pertanyaan di
dalam hatiku dan aku akan menemukan jawabannya nanti.’
Pelatih memperkenalkan gadis itu secara resmi pada anak didiknya,
sekaligus sang pemain voli TIMNAS menyumbangkan bola baru untuk klub yang baru
merintis itu.
Sang atlet pun menyampaikan sepatah dua patah kata untuk memotivasi
mereka yang baru mengenal permainan bola voli.
“Adik-adik yang ada di sini yang mungkin karena keingian sendiri atau
karena kemauan dari orang tua kalian, tidak masalah. Kalian datang ke sini karena
hobi atau karena memang orang tua kalian ingin mengenalkan bola voli pada
kalian, yang kata orang tak kenal maka tak sayang, perlu kalian ketahui satu
hal, cobalah segala sesuatunya dengan serius, berjuanglah… karena tidak ada
perjuangan yang sia-sia. Tapi jika kalian memang tidak berminat setelah
menjalani beberapa minggu latihan dan menyukai olahraga yang lain, maka
bicarakanlah pada orang tua kalian dengan baik-baik, karena kakak rasa zaman
sekarang tidak semua orang tua yang memaksakan kehendaknya.”
Beberapa orang tua yang kebetulan mengantar anaknya ikut mendengar
kata-kata pemain muda itu jadi terpukau. Dan mungkin di atara mereka ada yang
kebetulan memasukan anaknya ke tempat itu padahal anaknya sendiri ingin masuk ke
cabang olahraga lain.
“Semua bisa dimusyarawahkan, sebelum kalian terlambat karena setelah
pergi dari sini kalian bisa masuk ke olahraga lain yang kalian sukai dan bisa
berprestasi, karena bagaimana pun juga semua terserah kalian dan prestasi di
bidang olahraga apa pun semuanya kembali demi bangsa kita tercinta ini. Tapi
jika kalian berada di sini karena menyukainya dan ingin berprestasi…..maka
tidak ada yang tidak mungkin, tetap semangat, ya.” Gadis itu mengakhiri
ucapannya disambut tepuk tangan oleh
anak-anak.
Sedang Vito masih memikirkan gadis itu dan sebelum pamit gadis ia
mengedipkan sebelah matanya pada Vito membuat Vito tambah penasaran.
Gadis itu telah keluar dari dalam GOR, di luar ia sedang ditunggu oleh
teman prianya yang tadi sengaja mengantar gadis itu mampir, karena sebenarnya
ia akan melangsungkan pertandingan turnamen terbuka yang diadakan salah satu
perusahaan swasta. Pria dengan rambut cepak itu sudah duduk di belakang stir
dan tersenyum pada kekasihnya.
“Bagaimana?” sapanya seperti biasa, lembut, sopan dan penuh perhatian.
“Bagaimana apanya? Kamu sih, kenapa tadi tidak ikut masuk.” Protes gadis
itu disertai senyuman apalagi ingat dengan wajah Vito yang tembem namun manis.
“Nggak enak kesannya kalau aku masuk, ayok…nanti terlambat, sebentar
lagi kamu main, kan?” pria itu menyalakan mesin mobilnya.
“Main kedua, biasanya sekitar setengah lima, kamu nanti tetap di mobil
ya.” Pintanya seperti biasa. Pria itu melirik kekasihnya lalu tersenyum sebab
sudah mengerti maksud dari permintaan itu. Ia tidak boleh menonton langsung di
lapangan. Meski terkadang ingin sekali.
*
Masih di dalam GOR, pelatih sedang menjelaskan secara detil tentang
gadis tadi yang juga sempat menyumbangkan dua buah bola dengan mutu terbaik.
“Kalian tahu berapa usia wanita tadi? Ia baru Sembilan belas tahun dan
sudah sering
memperkuat tim Indonesia bermain di
Asia, waktu usia 15 tahun ia sudah memperkuat timnas junior, dan ikut andil
dalam meraih kejuaraan Asia Tenggara tahun kemarin.” Jelas sang pelatih dengan
semangat, karena ia juga terkejut saat pemain muda itu meneleponnya dan
mengatakan akan berkunjung ke tempat latihan. Sebagai pribadi ia menyukai anak
muda yang selalu rendah diri itu. Memiliki segudang prestasi namun tidak pernah
melupakan asal usulnya.
Anak-anak menjadi lebih semangat berlatih apalagi setelah melihat
langsung pemain nasional dari dekat dan menyempatkan diri mampir di tempat
mereka berlatih, itu merupakan semacam gairah sendiri bagi anak-anak itu. Tapi
Vito, ada atau tidaknya kunjungan gadis itu tak akan pernah menyurutkan niatnya
untuk tetap giat berlatih. Tak peduli semua teman di kelasnya mengejek atau
tergila-gila dengan permainan bola kaki atau olahraga yang lainnya.
Di mobil, di parkiran GOR, pak Damar sedang dihubungi oleh ibunya Vito.
Wanita karir itu selalu memantau setiap kegiatan anaknya.
“Ya, Bu…?”
“Pak Damar, Vito latihan, kan?” itu pertanyaan seperti biasa dan pak
Damar tidak pernah
bosan memberi kabar apa pun tentang
Vito kepada majikannya itu.
“Ya, Bu. Barusan ada anak TIMNAS yang berkunjung ke tempat latihan
Vito.” Beritahu-
nya, mungkin bagi majikannya itu bukan
hal penting tapi ia tidak peduli karena ia memang merasa harus
memberitahukannya.
“Oh, ya? Vito pasti senang.” Sahutnya dengan nada ikut senang. “Nanti
malam saya tanya lagi sama Vito, ia pasti ingin bercerita, sudah ya Pak Damar,
hati-hati kalau sudah pulang.” Tambahnya lagi mengakhiri pembicaraan.
“Ya, Bu.” Pria itu menutup teleponnya lalu kembali bersandar di jok
mobil.
*
Wanita yang kini menginjak usia tiga puluh tujuh tahun itu adalah
sebagai manager di sebuah perusahaan besar. Ia menikah saat usia dua puluh enam
tahun, tujuh belas tahun sudah lulus dari sekolah menengah atas dan
menyelesaikan S2-nya saat usia dua puluh dua tahun. Ia memang wanita jenius
tapi menikah dengan pria biasa, dan juga memiliki pekerjaan biasa pula, gajinya
tiga kali lipat diatas penghasilan suaminya, meski begitu ia sangat menghargai suaminya
itu. Dan mereka berdua telah membiarkan anaknya Vito memilih olahraga yang ia
sukai. Meski tadinya ia pribadi menginginkan Vito masuk club badminton.
Pukul tujuh malam ia sudah tiba di rumah, di sambut Vito dengan mencium
punggung tangan ibunya. Vito tidak akan menanyakan kenapa ibunya pulang agak
cepat, paling-paling juga jalan sore itu tidak terlalu macet. Pikirnya.
Seperti biasa, sebelum melakukan sesuatu atau bertanya banyak hal pada
Vito atau pada mengurus rumah, terlebih dahulu ia akan mandi. Sedang suaminya
dinas sore dan akan pulang sekitar pukul dua belas malam.
Di meja makan, makan malam sudah disediakan oleh pengurus rumahnya.
Meski tak begitu bernafsu makan, ia akan tetap menikmatinya dan malam itu ia
makan bersama Vito.
“Bagaimana sekolahmu hari ini?” tanyanya seperti malam-malam sebelumnya.
“Baik, Bu.” Vito menatap ibunya sejenak.
“Latihanmu?” katanya lagi sembari menyendok makanannya.
“Juga baik, mm… tadi ada pemain nasional datang ke tempat latihan,
mungkin orang tuanya teman dari pelatih Vito dan ia menyumbangkan dua buah bola
voli.” Jelas Vito tak bermasud untuk berlebihan.
“Oh, begitu. Minggu depan Ibu usahain untuk datang ke tempat latihanmu,
tidak apa-apa, kan?” wanita itu minta pertimbangan anaknya.
“Ya, nggak apa-apa Bu, Vito malah senang.” Kata anak gempal itu namun
hidungnya masih terlihat mancung.
“Les-mu setiap jum’at sore berjalan dengan baik juga, kan?” sepertinya
wanita itu
mengingingkan anaknya tetap
mengutamakan pendidikan formal lebih serius dari yang
lainnya.
“Ya.” Sahut Vito tanpa beban.
*******
Kampung Bulak.
Di ruangan kelas satu SDN kampung
Bulak, anak-anak mendengar Bu guru sedang berbicara di depan kelas. Ada yang
serius mendengarkan dan tak sedikit juga yang asyik ngobrol sendiri dengan
teman-teman sebangkunya, tapi si Monette yang hari itu ke sekolah dengan rambut
kuncirnya terlihat asyik sekali menyimak setiap kata yang diucapkan gurunya.
“Anak-anak….. siapa yang hafal lagu Indonesia Raya?” tanya bu guru
dengan suara khasnya. Seorang gadis yang duduk pas di depan Monette mengangkat
telunjuknya.
“Saya, Bu.”
“Ya, sini maju. Nyanyikan di depan teman-teman kamu..” pinta bu guru.
Anak yang Monette kenal suka menyanyikan lagu apa saja itu telah maju ke depan
kelas. Dengan keyakinan penuh ia telah berdiri di sebelah bu gurunya dan dalam
hitungan detik ia telah mengumandangkan lagu karya WR. Supratman itu dengan
lantang sekali. Monette dan teman-temannya yang lain hanya menyimak saja dari
tempat duduk masing-masing.
Beberapa menit kemudian, bu guru tepuk tangan karena anak itu
menyanyikannya dengan sempurna diikuti teman sekelasnya. Anak itu tersenyum
dengan bangga, seakan ia telah menyanyi di depan panggung gembira dan
mendapatkan sambutan dari semua orang.
“Kamu sudah menyanyikannya dengan sangat baik, sekarang duduklah.”
Perintahnya. Anak itu pun kembali ke tempat duduknya. “Anak-anak…. Lihatlah,
salah satu teman kalian sudah hafal lagu Indonesia Raya sampai selesai. Kalian
juga harus hafal lagu itu, karena lagu itu adalah lagu kebangsaan kita, yang
dinyanyikan setiap hari senin waktu upacara di sekolah-sekolah dan akan
dikumandangkan setiap anak-anak Indonesia mendapat juara olahraga di luar
negeri.” Jelas bu guru.
Si Monette pernah melihat di televisi lagu itu pernah dinyanyikan waktu
tim badminton,
memenangkan kejuaraan Uber cup
di luar negeri dan ia tidak ingat di negara mana itu. Apakah pemain bola voli,
jika menang di luar negeri akan menyanyikan lagu itu juga? Pikirnya. Mata
Monette melirik ke samping kelasnya, di mana terlihat pohon pisang tumbuh tidak
beraturan di antara rumput liar. Sedang gurunya telah menulis tentang pelajaran
hari itu, Monette masih memikirkan tentang bola voli.
Jam belajar kelas satu di tempat Monette berakhir sebelum pukul sepuluh,
karena pukul sepuluh kelasnya akan ditempati oleh kelas empat. Sebelum pulang
Monette melihat kakak kelasnya yaitu kelas lima sedang bermain di lapangan. Ada
yang memegang bola basket, bola voli dan ada juga yang memegang raket dan
memukul bola itu ke arah temannya yang juga memegang raket, namun yang menarik
perhatian Monette hanya bola voli, ia hafal sekali dengan bentuk bola itu,
sebab sudah sering menonton turnamen di kampung tetangganya bersama sang Ayah.
Beberapa anak berlari menemui
ibu mereka yang kebetulan mengantar dan menunggu di luar halaman sekolah hingga
pelajaran selesai. Sedang Monette tidak di antar apalagi di jemput oleh ibunya,
sebab sekolahny tidak begitu jauh dari rumahnya dan Monette memang tidak minta
di jemput, apalagi ia tahu adik laki-lakinya suka minta jajan terus kalau
ibunya menunggu di sekolah, sedang ia tahu ibunya terkadang tidak punya uang.
Monette masih berdiri menatap kakak-kakak kelasnya yang sedang diajarkan
cara memukul bola voli oleh guru olahraga di sekolah mereka. Monette sendiri
belum tahu siapa nama guru olahraga itu, terbesit di benaknya untuk segera
mengetahui nama guru itu dan
bertanya, apakah ia boleh ikut bermain
seperti kelas lima itu?
Monette kecil belum berani
menemui guru itu untuk bertanya, sebab ia masih duduk di kelas satu beberapa
bulan saja, tapi di daftar pelajarannya ia tidak menemukan adanya pelajaran
olahraga. Monette makin penasaran saja......
bersambungggg....>>>>