Rabu, 23 Januari 2013

Selembar Tirai

BAB 1
Siapa mencintai siapa?

Gema suara guntur menggelegar membahana seakan mau membelah bumi ini diiringi derasnya hujan yang berjatuhan dari langit, inilah alam yang penuh dengan misterinya namun Tuhan maha mengetahui. Air mulai menggenangi halaman rumah-rumah penduduk, banjir kecilpun sudah mulai kelihatan. Jakarta memang rawan banjir, apalagi kalau kota Bogor sudah hujan maka Jakarta rela tidak rela akan menerima air kiriman dari sana.
       Kareena menyandar di tiang halte bis, gadis itu terlihat kedinginan. Ia tak peduli dengan satu dua orang yang ada di bawah halte itu, matanya menatap kosong pada titik-titik hujan yang jatuh di depannya. Ia melipat kedua tangannya di dada, ia melamun atau sedang mengingat masa lalunya waktu di Palembang. Perjalananya masih sangat panjang.
      “Karin…….?” Suara itu disertai dengan sentuhan lembut di pundak Kareena memaksanya menoleh dari datangnya suara dan terlihatlah sebuah senyuman manis dan gigi-gigi putih yang cemerlang, Kareena pun membalas senyum tulus itu. “Pulang bareng, yuk?” ajak Arman. Teman sekelas Kareena. Mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu, hanya saja Arman menutupinya dengan jaket kulit. Arman datang ke sekolah mengendarai motor tapi tadi Kareena tidak mendengar suara motornya berhenti. Entah itu untuk yang keberapa kalinya Arman mengajak Kareena pulang bersamanya dan belum pernah dikabulkan oleh Kareena.
      “Duluan aja, Ar….. lagian masih gerimis ini.” Kata Kareena beralasan dan belum beranjak dari tempat duduknya.
       “Oke, kalau begitu gimana kalau kita sama-sama tunggu gerimisnya reda.” Sepertinya Arman bersikeras dan bersabar, kesabaran Arman selama ini membuat Kareena seringkali goyah. Sudah hampir dua bulan ini pria itu coba mendekatinya, itu yang diketahui Kareena, tapi menurut lucy sahabat Kareena, pria itu menyukai Kareena sejak ia masuk sekolah itu. Mungkin.
      Arman bukan anak sembarangan, ia termasuk murid yang jenius, sopan dan tampan pastinya. Tapi dia playboy dari anak orang kaya. Tapi sejak menyukai Kareena ia jarang membawa mobil karena ia tahu Kareena tidak suka ia mengumbar kekayaan orang tuanya. Sepertinya demi mendapatkan cinta Kareena saja.
      Kali ini pria itu sudah berdiri di samping Kareena dan bicara dengan agak berbisik. “Karin… kamu tidak menyukai aku, ya?”
      Kareena melirik ke wajah Arman sekilas. “Kamu ngomong apa sih?” katanya pelan dan malu, lalu menoleh lagi ke jalanan.
      Arman belum menjauhkan wajahnya dari dekat Kareena. “Bukannya tanpa alasan aku bertanya seperti itu, jawablah.” Ujarnya. Kareena tidak ingin terlalu menghiraukan kata-kata Arman. Ia menarik napas sejenak lalu menatap pria itu. Pria itu masih menantinya dengan sabar.
      “Sepertinya untuk menjawab pertanyaanmu, kali ini aku harus mengikuti ajakanmu.” Kali ini Kareena mengalah.
       Arman menatap gadis itu dengan rasa masih tidak percaya. Beberapa detik berikutnya mereka sudah meninggalkan area halte karena hujan pun sudah mulai berhenti. Arman masih tidak percaya kalau akhirnya Kareena benar-benar mau pulang bersamanya. Setelah perjalanan satu menit Arman menepikan motornya. Berhenti.
      “Bagaimana kalau kita mampir dan makan dulu di sana?” usulnya setelah menunjuk ke arah kafe kecil.
       “Sebaiknya kita langsung pulang saja.” Kareena tidak mengabulkan permintaan Arman.
       Arman menoleh ke belakang sedikit untuk bicara dengan Kareena. “Kenapa? Apa anak SMA tidak pantas makan di kafe?” katanya sembari tertawa kecil.
      “Mungkin ya, tapi yang pasti aku merasa nggak enak aja dengan seragam yang masih kita kenakan ini.” Sahut Kareena. Ia tidak ingin dilihat orang makan-makan di kafe dengan masih mengenakan seragam sekolah. Kurang etis saja, itu pikir Kareena.
      “Oke….” Arman memaklumi apa yang Kareena katakan. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan dan gerimis pun turun lagi. Ketika sampai di tempat tinggal Kareena, Arman tidak mau masuk meskipun tantenya Kareena sudah menawarkannya untuk mampir. Arman cukup merasa bahagia bisa mengantar Kareena pulang. Arman Arman…..!
      Tante yang melihat baju Kareena basah menjadi khawatir. “Mengapa memaksa pulang kalau masih hujan?” katanya. Ia tidak mempermasalahkan Kareena pulang naik motor temannya tapi kalau kehujanan gadis itu bisa saja sakit.
       “Tadi sebenarnya dari sekolahan hujannya sudah berhenti Tante, tapi pas mau nyampe hujan lagi, rasanya tanggung juga berhenti lagi.” Kareena sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
       “Tapi lain kali tidak boleh seperti itu lagi nanti kamu bisa sakit, kamu ganti baju sana terus makan, tidak usah menunggu Yoga.” Saran tantenya dengan nada seperti biasa, lembut dan penuh perhatian. Wanita karir itu berjalan ke kamarnya, hari sabtu ia libur dan memang senang menghabiskan waktunya di rumah. Kalaupun pergi biasanya hari minggu itupun biasanya ke pantai bersama suaminya.
       Kareena masuk ke kamarnya, ia belum ada nafsu untuk makan. Beberapa detik saja alunan suaranya Tantri Kotak terdengar indah ‘Masih Cinta’ Hmm….. bayangan Dody pun muncul bersama lagu itu. Kareena tidak tahu apa ia menyukai lagu itu atau berusaha memunculkan bayangan Dody. Hampir tiga tahun sudah ia coba melupakan pria itu.
      Di Palembang, waktu kenaikan kelas 3 SMP Kareena dipindahkan dari 3C ke 3A karena ia juara 1 di kelasnya. Kareena ingat saat itu Zonzona teman sekelasnya memanggilnya.
       “Karin……..!” pria hitam manis itu berlari ke arah Kareena. Kareena menoleh sedetik saja pria itu sudah ada dihadapannya dengan napas ngos-ngosan. “Aku, aku…….dapat bocoran dari guru matematika kita, katanya nilai kamu tertinggi di kelas, selamat ya.”
      Saat itu Kareena hanya tersenyum, apa mungkin belajar sembari mendengarkan lagu bisa menjadi bintang kelas? Pikirnya. Karena setiap belajar di rumah Kareena selalu menyetelkan lagu-lagu kesukaannya. Tapi Kareena memang menyukai pelajaran matematika, didukung oleh gurunya yang selalu menyenangkan. Fokus saat menerima penjelasan di kelas dan latihan mengerjakan soal, hanya itu yang Kareena lakukan.
       Di kelas 3A berkumpul anak-anak yang dianggap rajin belajar dengan tekun dan memang sudah jenius. Kareena termasuk bukan yang jenius, ia hanya rajin mengulangi pelajaran di rumah dan tekun menyimak guru di sekolah dan ia paling anti menyontek. Kareena sendiri tidak tahu mengapa gurunya membuat sistim seperti itu.
      Dody adalah ketua kelas 3A, ia tampan sekali, kulitnya putih dan bibirnya seksi. Ia jago bicara Inggris, terkadang suka membuat tulisan-tulisan dengan bahasa Inggris di papan tulis kalau lagi jam istirahat. Hampir setiap ada kesempatan Kareena mencuri pandang kepada pria itu, tapi demi Tuhan, sebelah mata pun Dody tidak pernah meliriknya. Mungkin di matanya Kareena hanyalah gadis lugu yang pemalu. Pernah mereka mengerjakan tugas kelompok soal matematika, hanya sebatas itu. Dody bicara pada Kareena hanya soal matematika saja, tidak lebih. Ia boleh bicara cas cis cus dengan Inggrisnya tapi ia lemah di matematika. Dan yang sangat menyakitkan hati Kareena ketika ia mengetahui kalau Dody ternyata dekat dengan Lina, gadis itu sudah sekelas dengan Dody sejak dari kelas 1. Kareena terluka, akhirnya selepas SMP ia mengabulkan permintaan tantenya untuk pindah dari Palembang ke Jakarta. Sebenarnya sejak dari SMP tantenya sudah memintanya pindah, alasannya di rumah kurang orang. Karena beliau hanya memiliki Yoga sementara Kareena lima bersaudara dan Kareena anak tertua.
       Suara deringan ponsel membuyarkan lamunan Kareena, ia langsung mengangkatnya. “Halo…?’
       “Rin….” Ternyata Arman. “Aku mengajak kamu nonton nanti malam, mau ya?” pinta Arman. Kareena diam, bingung. “Ayolah Rin…. Tidak mungkin aku berani mengajakmu kalau bukan malam minggu.” Suara Arman pelan namun penuh harap sementara Kareena masih membisu. Ia tidak percaya kalau Arman begitu cepat bersikap berani. “Karin…..kamu masih di situ, kan?”
       “Ya, tentu saja. Aku masih mendengarkanmu.” Sahut Kareena pelan setelah lama diam.
       “Tapi mengapa? Kurasa film yang diputar di bioskop tidak hanya untuk dua puluh tahun ke atas, kan? Pasti ada untuk usia tujuh belas tahunnya.” Kata Arman setengah menjelaskan. Kareena hanya tersenyum dan tentu saja Arman tidak melihat senyumnya.
       “Oh, ya? Tapi asal kamu tahu Man, aku ini belum tujuh belas tahun.” Sahut Kareena setengah tertawa.
       “Oh, ya?” Diam sesaat. Lalu…. “Tapi Rin….. apa yang harus aku lakukan? Aku sebenarnya ingin sekali nonton bersama kamu malam ini.” Rengek Arman.
       “Kita lihat saja nanti….”
       Putus!
*
       Pukul lima sore, Yoga baru saja pulang di saat Kareena baru bangun dari tidur siangnya dan seperti biasa ia menegur Yoga dan dijawab sekedarnya sambil lalu ke kamarnya. Yoga si cool yang cuek berbeda sekali dengan Om dan Tante, saking cueknya hampir tiga tahun Kareena tinggal di rumahnya belum juga ia tahu bagaimana pribadi Yoga yang sebenarnya dan siapa pacarnya. Di mata Kareena pria itu agak misterius. Kalau sekali-kali mereka bertemu pandang Kareena langsung buru-buru mengalihkan matanya ke arah lain karena sepasang mata Yoga seperti mata elang yang kapan saja siap menerkamnya, itu menakutkan tapi Kareena penasaran… dan terkadang menginginkan tatapan itu.
       Tante menyambut Yoga dengan senyum bijak seorang ibu. “Yoga, nanti malam bisa temani Mama dan Karin belanja?” Tanya tante setelah Yoga menyelesaikan makannya. Yoga menatap mamanya.
       “Belanja?” ulangnya seakan menegaskan.
       “Ya, tapi kalau nggak bisa juga nggak apa-apa kok.” Katanya tidak memaksa anaknya.
       “Ya, nanti Yoga usahain deh, Ma.” Kata Yoga mempertimbangkan, setelah itu ia dan mamanya meninggalkan meja makan karena akan segera dibersihkan oleh bi Ima. Yoga menuju ruangan televisi sementara mamanya pergi ke kamar Kareena.
       “Karin…. Nanti malam ada acara tidak?” kata tante setelah duduk di tempat tidur keponakannya itu. Kareena menoleh kepada tantenya karena pertanyaan seperti itu tidak pernah ia dengar sebelumnya. Wajah tante terlihat begitu tenang dan Kareena pikir inilah saatnya untuk mengatakan sesuatu. Tapi ia tidak yakin apakah tantenya akan marah atau bahkan memaki-makinya dan mengatakan ia tidak tahu diri! “Hei….. kamu mengapa bengong?”
      Kareena coba untuk tersenyum, ia jadi salah tingkah karena ketahuan melamun. “Mm... Tante, nanti malam, temanku si Arman mengajak nonton bioskop, boleh?” nadanya agak tertahan karena takut dimarahi. Tiba-tiba Kareena merasa bodoh mengapa bertanya seperti itu padahal Arman sendiri tidak pernah berjanji untuk menjemputnya, mengiyakan ajakan Arman saja belum. Tapi pertanyaan itu sudah terlanjur keluar dan Kareena sudah siap menanggung resiko dari kebodohannya tapi anehnya ia malah melihat tantenya melebarkan senyuman.
       “Tidak apa-apa, Tante juga melihat ia pemuda yang baik. Bukannya Tante mendorong kamu untuk bergaul bebas, karena semua itu ada ketentuannya dan yang lebih penting harus bisa menjaga diri.” Wanita itu lagi-lagi tersenyum, mungkin ia ingat saat pertama kali pergi dengan cowok dulu waktu ia duduk di kelas tiga SMP. “Tapi Tante agak sedikit kecewa.” Tambahnya. Kareena tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh tantenya. “Jangan bingung begitu sayang… Tante tadi sebenarnya sudah bicara sama Yoga agar ia bisa mengantar kita belanja malam ini.”  
       “Oh, kalau begitu akan aku batalkan kepergianku sama Arman.” Sahut Kareena dengan cepat karena merasa tidak enak dengan tantenya.
       Wanita itu jadi tersenyum. “Tidak sayaaannng, kalian yang lebih dulu berjanji. Kita bisa pergi kapan saja.” Ujarnya lalu meninggalkan Kareena. Kareena tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi tantenya keluar dari kamar. Ketulusan wanita itulah yang membuat ia betah tinggal di rumah itu, kalau ia ingat sikap Yoga maka rasanya ia ingin sekali buru-buru menamatkan sekolahnya lalu mencari kerja dan hidup mandiri.
*
       Kareena turun dari kamar, di ruang keluarga ia melihat Yoga sedang asyik sekali menyimak acara di televisi. Entah mengapa ia kali ini menonton di ruang keluarga, biasanya juga mendekam di kamarnya yang dilengkapi segala macam benda elektronik. ‘sombong sekali mahluk satu itu.’ Guman Kareena dalam hari sembari berjalan ke dapur tempat bi Ima sibuk, Kareena senang membantu bi Ima di dapur. Dari kelas 3 SD ia memang sudah dibiasakan oleh ibunya untuk mengurus dapur dan belajar masak.
       “Ayo Karin…..apa yang sedang kamu lakukan?” kata tante setelah melihat Kareena ada di dapur, ia sedang sibuk bersama bi Ima di meja dapur. Kareena ikut duduk di sebelah tantenya.
       “Tante…..” sapa Kareena sepelan suara tantenya tadi. “Tante sepertinya salah kalau selalu melarangku untuk membantu Bi Ima.” Protes Kareena sebab wanita itu selalu saja mengkhawatirkannya kalau sedang bersama bi Ima.
       “Apa nanti kata Ibumu? Tugas kamu di sini adalah belajar dan meramaikan rumah ini.” Sahutnya.
       Kareena menatap tentenya. “Bagaimana aku bisa belajar masak kalau tidak pernah diperbolehkan ke dapur? Coba Tante bayangin seandainya nanti aku tidak mampu untuk membayar orang seperti Bi Ima, apa yang harus aku lakukan pada keluargaku nanti?” katanya seolah minta pertimbangan wanita yang baik hati itu. Tante melebarkan senyumnya dan sekilas melirik bi Ima.
       “Bi, denger tuh.” Ledeknya. Bi Ima hanya senyum-senyum masam. Kembali tante menatap Kareena. “Kata-kata kamu memang ada benarnya Rin, apa semua ini karena seorang Arman?”
       “Tidak Tante, Arman itu bukanlah siapa-siapa, untuk lima tahun ke depan tugasku adalah belajar dan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya kendatipun begitu aku tetaplah seorang wanita yang harus mengerti tentang dapur, karena wanita harus memiliki ilmu lebih dari lelaki, aku benarkan, Tante?” ucapnya kemudian.
       “Tante mengangguk. “Tentu saja.”
*
Menjelang malam, cuaca sangat cerah.
Kareena duduk di kamarnya seperti orang bingung, ia bertanya-tanya dalam hati apakah Arman akan menjemputnya atau tidak? Di bawah terdengar Om baru saja pulang dari kerja, dia adalah pria yang sangat dihormati di rumah itu. Perawakannya tinggi besar, rajin sekali menegur setiap orang yang ditemuinya, penyayang dan tegas dalam bersikap.
      Yoga menghampiri mamanya. “Ma, aku sepertinya aku bisa mengantar Mama.” Ucapan Yoga itu terdengar hingga ke telinga Kareena. Sebab ruang tengah mereka pas ada di dekat tangga menuju lantai atas, di mana kamar Yoga dan Kareena bersebelahan.
       “Wah, besok saja ya sayang…. Malam ini Kareena tidak bisa ikut karena sudah ada janji dengan temannya.”
       Yoga sedikit kaget mendengar pernyataan mamanya, tidak biasanya Kareena punya janji pergi pada malam hari. “Janji?” katanya seakan tidak percaya dengan keterangan mamanya.
      Kriiiiiinnnnnnnnng!!!
       Bel pintu depan berdering. Tante menoleh ke Yoga. “Sayang…..tolong bukakan pintu sebentar ya.” Pintanya. Sepertinya ada tamu. Yoga berjalan ke arah pintu, belum juga hilang kagetnya mendengar penuturan mamanya tadi ditambah lagi munculnya seorang pemuda yang tak dikenalnya. Keduanya saling berpandangan sejenak, lalu pemuda itu menegur Yoga.
       “Malam, Bang…”
       Tatapan Yoga penuh selidik. “Cari siapa?” katanya tidak bersahabat, ia ingat dengan pembicaraannya dengan mama tadi dan sepertinya pemuda itu akan menemui Kareena. Pikirnya.
       “Kareena.”
       “Kareena…?” ulang Yoga dan ia sudah mendengar dengan baik nama itu dan seharusnya tidak perlu diulang lagi.
       Pemuda itu mengulurkan tangannya kepada Yoga. “Mmm…saya Arman.” Di sambut Yoga acuh tak acuh. “Anda pasti Abangnya Kareena.” Lanjut Arman berusaha ramah.
       “Saya memang Abangnya, ingat itu! Karin boleh bergaul dengan siapa pun tapi jika ia sedang bersama kamu, maka dia sepenuhnya tanggung  jawab kamu. Silahkan masuk.” Katanya setelah memberi ultimatum kepada pemuda itu.
       Arman memaksa tersenyum. “Terima kasih.”
       Pemuda inilah yang membuat Kareena membatalkan niat Mama untuk belanja!
Beberapa menit kemudian, Kareena pergi dengan ceria setelah mendapatkan izin dari Om dan Tantenya. Om-nya sempat terkejut juga, untung tante memberinya penjelasan. Kareena tidak kalah terkejut setelah mengetahui kalau Arman mengajaknya nonton dengan naik mobil mewah.
       Mereka sudah ada di dalam mobil. “Nggak salah nih? Mobil siapa yang kamu bawa?” ledek Kareena sembari bercanda. Arman hanya tersenyum dan sekali-kali melirik ke wajah Kareena yang duduk di sebelahnya. Tidak bisa ia sembunyikan kebahagiaan di hatinya. ‘Inilah malam bersejarah yang aku tunggu-tunggu selama ini.’ Guman Arman di dalam hati. Kareena adalah gadis impiannya selama ini dan malam ini gadis impian itu telah bersedia diajak nonton berdua dengannya. ‘Tuhan…. Inilah anugrah terindah-Mu’
      ‘Arman…..jangan senang dulu, belum tentu Kareena menyukaimu.’ Sisi lain di hati Arman sedang membantah.
       “Arman….?”
       Arman menoleh ke Kareena lalu ke jalanan lagi. “Kenapa? Kamu nggak suka ya? Bapakku aja nggak keberatan meminjamkannya untuk kita.” Jelas Arman sedikit sombong.
      “Bukan, bukan itu…..” Kareena tidak meneruskan kata-katanya ia berpikir dengan mengikuti ajakan Arman membuatnya merasa bersalah. Ia takut telah menaburkan harapan untuk Arman. Tuhan….apa yang telah aku lakukan ini? Mobil pun berhenti.
       Arman memandang Kareena. “Kita sudah sampai.” Kata Arman. Mobil memasuki area parkir gedung bioskop. Mereka sampai setengah jam lebih awal sehingga bisa melihat-lihat dulu film apa saja yang akan diputar dan sayangnya semua film yang tersedia berasal dari luar. “Yang mana Rin?” Tanya Arman.
       “Memangnya kamu suka film apa?” kata Kareena balik bertanya.
       “Kalau aku sih terserah kamu saja.” Mereka berdiri di depan poster film yang akan ditayangkan.
       Kareena melirik Arman sekilas. “Yah, nggak bisa begitu dong. Aku tidak mau kamu menonton film yang tidak kamu sukai hanya karena aku.”
       Arman tersenyum, di depan mereka ada beberapa judul film yang sebenarnya tidak begitu mereka sukai tapi karena sudah berniat untuk menonton tidak enak juga dibatalkan. “Aku pilih teater nomor tiga dan nomor satu.” Kata Arman akhirnya.
       Giliran Kareena yang tersenyum. “Memangnya mau nginep di sini? Nonton dua sekaligus…
Oke, kita pilih yang nomor tiga saja.” Usul Kareena. Film yang memceritakan tentang ketidakpuasan manusia dengan penciptanya alias menolak takdir.
       “Siapa takut!” Arman setuju dan ia langsung memesan dua tiket untuk teater nomor tiga. Setelah itu mereka duduk di ruangan di mana remaja terlihat berpasang-pasangan ramai sekali sehingga tempat duduk pun nyaris tak tersisa. Menit berikutnya Arman membawa Kareena ke kantin. “Kamu mau pesan minuman dan makanan kecilnya apa, silahkan pilih.” Arman bersikap layaknya kekasih Kareena yang rela memberikan apa saja kepada Kareena dan malah membuat Kareena bingung.
       “Nanti saja deh.” Tolaknya halus.
       “Kita masih punya banyak waktu dan bisa menikmati minuman sembari duduk dan menunggu teater dibuka.” Kata Arman dan kali ini nadanya terkesan tidak ingin direpotkan lagi nanti, ia pun memesan dua minuman kaleng dengan merek ternama juga dua box makanan kecil lalu mengajak Kareena kembali ke tempat duduk.
       Kareena menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sembari menghela napas dengan berat. Minuman kaleng yang baru saja diberikan Arman masih tertutup rapat, matanya memandang beberapa pasangan yang terlihat sedang bergandengan tangan yang ada nyaris di setiap sudut ruangan sembari melihat-lihat poster film yang ditempatkan sepanjang dinding di ruangan itu. Mereka sepertinya terlihat mesra-mesra dan juga menyukai film-film barat. Pikir Kareena.
       “Rin……?” lamunan Kareena buyar oleh panggilan pelan dari Arman. Kareena menoleh seakan baru sadar kalau ada Arman yang sedang duduk bersamanya, ia coba untuk tersenyum….
“Kok belum diminum?” tegur Arman setelah melihat kaleng yang di tangan Kareena masih rapat dan detik berikutnya tangannya melingkar ke pundak Kareena membuat Kareena sedikit tersentak dan coba menenangkan tarikan napasnya hingga akhirnya bisa rileks kembali. “Karin…?” lanjut Arman. Ia menatap Kareena dan mereka saling tatap sejenak dan diam. Tidak ada yang mengiraukan apa pun yang akan mereka bicarakan di tempat itu dan seperti yang ada di pikiran Kareena bahwa setiap pasangan yang ada di tempat itu sekarang pastilah pasangan kekasih meski semuanya belum tentu benar seperti halnya Kareena dengan Arman.
       “Kenapa menatap aku seperti itu?” ujar Kareena tiba-tiba merasa risih ditatap oleh Arman.
       Arman malah tertawa pelan. “Aku ini bodoh sekali.” Ucapnya seperti orang salah tingkah. “Bagaimana menurut kamu, apa pantas aku mengatakannya sekarang?”
       “Mengatakan apa?” Kareena pura-pura tidak mengerti apa yang Arman maksudkan. Tangan Arman sudah turun dari pundak Kareena namun kini ia menatap mata Kareena dengan begitu lekat.
       “Aku menyukai kamu, aku mencintai kamu, Karin.” Ujarnya setengah berbisik seakan tidak rela orang lain mendengar perkataannya untuk Kareena.
       Oh Tuhan…..
Kareena merasakan kalau saat itu wajahnya berubah merah, biru, kuning atau bahkan semua warna pelangi. Bodoh! mana ada pelangi di malam hari, yang ada juga bintang atau bulan. Kareena tersenyum kalem, ia merasa yakin sekali kalau Arman akan mengatakan kata-kata itu hanya saja ia tidak percaya akan secepat itu. Ya namanya juga anak muda, ia tidak mau terlambat khawatir akan didahului orang lain.
       “Karin…maaf, kamu jangan marah dulu ya. Aku sebenarnya tidak gampang jatuh cinta, kamu boleh ambil keputusan kapan saja dan aku akan menunggu sampai kapan pun, kapan pun.”
       Kareena bingung, ia memang membutuhkan Arman tapi apakah itu cinta atau bukan, ia tidak tahu. Terdengar suara indah Maria Oentu dari rekaman monitor untuk mempersilahkan para calon penonton untuk segera masuk ke dalam teater masing-masing. Arman dan Kareena beranjak dari tempat duduk mereka.
       Di dalam gedung bioskop mereka sangat menikmati pertunjukan film, hingga tanpa terasa waktu berlalu dengan begitu cepatnya. Kareena tidak mengajak Arman untuk ngobrol di dalam, selain akan mengganggu penonton yang lain juga karena niatnya datang memang untuk menonton. Dua jam berikutnya mereka melangkah meninggalkan ruangan gelap itu.
       “Bagaimana menurut kamu tentang cerita film tadi?” Tanya Arman setelah mereka melewati lorong menuju pintu keluar. Pria itu coba menggandeng tangan Kareena. Menurut Kareena, Arman itu pemuda yang baik hingga detik ini karena ia tidak pernah berusaha untuk mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Biasanya seorang cowok kalau mengajak cewek nonton bioskop mereka hanya bermaksud untuk mencium ceweknya bukan menonton film. Itu kata Lucy pada Kareena dalam kesempatan di sekolah mereka sekitar seminggu lalu. Tapi untungnya Arman bukan cowok seperti itu. Pikir Kareena. “Karin…..?” Arman bicara lagi. “Bagaimana?”
       “Apa? Masih mengenai film?” ujar Kareena. Lalu ia melanjutkan. “Kalau menurut aku pribadi, itu hanya kelemahan seseorang yang tidak bisa menerima takdir atau kenyataan hidup karena tidak rela ditinggalkan orang yang teramat ia cintai hingga berusaha untuk menghidupkan pasangannya lagi. Mengharukan sekaligus tidak bisa diterima nalar.” Kata Kareena panjang lebar. “Semua itu diakibatkan cinta yang berlebihan, kata orang  tuaku, segala yang berlebihan itu tidak baik akibatnya.” Tambah Kareena seakan belum puas dengan penjelasannya.
       Arman hanya tertawa kecil, ia tak menyangka kalau penjelasan Kareena begitu mendetail. Mereka menuju tempat parkir dan di sana tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara yang tidak sopan sekaligus mengancam.
       “Hai?!” sapa seorang wanita dan detik berikutnya menyusul tiga orang pria dari belakangnya. Wanita itu menatap tajam ke wajah Arman. “Sepertinya kamu sudah coba menyingkirkan aku!” ketusnya agak geram.
       “Hai, Sally.” Sapa Arman lalu menoleh ke Kareena. “Kenalkan, ini Kareena.” Katanya dengan santai seolah tidak memahami kemarahan wanita yang bernama Sally itu. Kareena yang tidak mengerti apa-apa menoleh ke Arman lalu ke wanita yang dimaksud Arman. Wanita itu menatap Kareena dengan rendah hingga ia terkesan sombong, tatapannya sinis ke Kareena. Ia menganggap Kareena adalah gadis penakut yang telah merebut pacarnya. Tapi apa pedulinya.

Siapa Sally..???
**
Bersambung....)))

Selasa, 22 Januari 2013

'Adik kelas $ si Gadis kwaci'





                                     
ADIK KELAS DAN SI GADIS KWACI

       Saat itu ada acara penanaman seribu pohon di Kabupaten Rejang Lebong…oleh KOSGORO dan mengundang menteri lingkungan hidup. Sebelum Pak menteri datang, kita di minta oleh pak Kades, setiap desa di ambil 5 orang untuk kemping di tepi danau Tes Rejang Lebong, Bengkulu selama 3 hari 3 malam. Aku dan sahabatku di tambah 3 orang lainnya…mewakili desa kami.
       Saat mendirikan tenda, aku dan teman-temanku bekerja sangat kompak, dan kita tidak tahu pasti ada berapa tenda yang akan kemping di tempat itu, pokoknya ramai sekali. Hmmm….danau Tes yang indah, juga menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Air satu-satunya di Rejang Lebong. (Dulu, diresmikan oleh Presiden Soeharto.)
       Setelah selesai mendirikan tenda, dan sepertinya tenda kami terlalu kecil untuk ukuran lima orang, dan asli, sumpah..aku merasa kesulitan untuk memejamkan mata. Tapi karena lelah, akhirnya aku pun bisa tidur setelah melewati candaan yang tidak begitu penting.
*
       Keesokannya aku bertemu dengan mantan kakak kelasku waktu di SMA, dia wanita cantik dan terkenal sangat cerewet, dia pun ribut dengan orang yang ada di tetangga tendanya, aku tidak tahu dengan pasti apa permasalahannya.
       Pagi itu kami di kasih beberapa bungkus mie instant oleh kakak-kakak dari KOSGORO untuk sarapan…juga di kasih kaus loreng juga topi, seragam, sebagai tanda kalau kami adalah peserta kemping.

       Hari kedua, kami hanya di kasih ilmu oleh kakak-kakak KOSGORO mengenai kehutanan. Pentingnya hutan dan pohon untuk kelangsungan hidup anak manusia dan bumi ini.
       Sorenya kami menikmati indahnya danau dan berdayung sampan di atasnya. Indah memang. Dan hari ke tiga, Pak Menteri pun datang, kami mengadakan semacam upacara penyambutan dan acara penyerahan bibit pohon secara simbolis pun di lakukan…ada acara hiburan di panggung yang terletak pas di sisi danau Tes. Kenangan itu memang indah, sangat indah.

****

       Sebenarnya bukan itu inti dari cerita ini,
       Setelah pulang dari kemping, sekitar tiga hari setelahnya..atau lebih. Aku di minta sama Pak Kades untuk mengkuti acara pelatihan kepemimpinan karang taruna untuk se-Provinsi Bengkulu yang akan di adakan di hotel Bengkulu, untuk sepuluh hari. Entah kenapa aku tidak bisa menolak saat Pak Kades datang sendiri ke rumahku.

       Hotel tempat diadakannya seminar itu lumayan jauh dari rumahku, menempuh perjalanan sekitar tiga jam naik mini bus. Mini bus yang akan membawa kami ternyata menjemput langsung ke rumah.
       Aku duduk di bangku pas di belakang sopir. Ada salah satu cewek yang berasal dari tentangga desaku. Orangnya rame, lucu tapi polos hingga tak jarang terkesan garing candaannya, namun ia super PeDe dan aku tahu usianya pasti sama denganku, karena kami selentingan di sekolah, hanya saja dia anak SMEA, aku SMA.

       Mini bus pun terus melaju melewati beberapa desa untuk menuju Bengkulu kota. Tempat tinggalku sendiri adanya di Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten yang paling top dan orangnya terkenal cakep-cakep hehehe…

       Sungguh aku tidak tahu ada berapa desa yang harus aku lewati, kini mini bus sudah melewati tempat SMP-ku dulu, dan kenangan saat-saat SMP-pun menyeruak di benakku, di mana saat pertama kali aku menyukai pria, pria yang cool, jenius dan calm…hmmm aku rasa aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya tapi dia adalah adik kelasku.
       Hihihihi…jadi malu, masa menyukai adik kelas?! Bodohlah, namanya juga cinta, jatuhnya kan nggak bisa di atur atau di kira-kira. Mengingat semua itu aku pun jadi tersenyum simpul. Di mana pria itu sekarang ya? Tanyaku dalam hati. Apa dia kuliah? Atau langsung mencari kerja setelah lulus SMA?? Wajahnya masih terekam dengan sempurna di memoriku.
       Mini bus masih melanjutkan perjalanannya, aku tidak begitu peduli dengan suara-suara yang ada di belakangku, karena aku sendiri sedang asik dengan pikiranku, mataku tak lepas memandangi pemandangan jalan yang sempurna, terus terang, aspal yang ada di daerahku semuanya licin hingga tanpa aku sadari aku mengantuk berada di dalam mini bus yang terasa menganyun-ayun tubuhku.
       Beberapa jam pun telah di lewati oleh mini bus, dan aku tidak tahu pasti ada berapa penunpang yang ada di dalam mini bus itu, karena penumpangnya tidak dari anggota seminar semua, sebab mini bus itu mengambil penumpang lain untuk setoran.
       Tiba-tiba mini bus yang membawa kami mogok di jalan, bannya kempes. Kami semua harus turun dan ternyata kami berada pas di atas jembatan Taba Penanjung, Bengkulu Tengah.
       Tujuan kami menuju hotel sekitar setengah jam lagi. Hmmmm…….aku turun agak belakang, dan setelah kakiku menginjak aspal, aku melihat ada sosok pria jangkung yang sedang berdiri di tepi jembatan memegang pagarnya dan menghadap ke arah sungai yang ada di bawah jembatan. Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan sosok itu, dari samping rasanya aku begitu mengenalinya….dan aku yakin dia adalah salah satu penumpang yang satu bus sama aku, karena tidak ada mobil lain di sekitar itu dan ia tidak terlihat sedang lewat di jalan itu.
       Seperti magnet yang menarik aku, akhirnya kakiku berjalan ke arahnya. Sebelum aku sampai di dekatnya ia sudah berpaling ke arahku.
       Deeg……..!!!

       Pria itu, dia adik kelasku, pertama kali aku melihatnya saat dia duduk di kelas 2 SMP, pas waktu dia menerima hadiah dari guru karena mendapat juara kelas ( hmmm..waktu itu saat penerimaan raport, semua yang menjadi juara kelas dari kelas 1 sampai kelas 3, di panggil ke lapangan, dan diperlihatkan sama murid-murid yang lain.) aku tidak tahu pasti apa tujuan guru kami melakukan hal itu, hanya mereka yang tahu.
        Aku tidak terlalu merasa seperti ABG yang tiba-tiba melonjak kegirangan, tapi jujur hatiku sempat menghilang sejenak dari tempatnya…hmmm, dia lebih tampan dari waktu beberapa tahun silam. Apalagi saat senyumnya mengembang untukku…hem oh Tuhan..apakah senyum itu untukku?

       “Kamu? Kamu naik bus ini juga? Kok aku tidak melihatmu?” sapanya dengan lembut dan aku melihat ada bias senang terpancar di wajah imutnya itu. Hmmm sepertinya aku sedang Ge eR, aku mengangguk. “Kamu duduk di depan, ya? Pasti, soalnya aku masuk lewat pintu belakang. Apa kabar…?”
       Sumpah aku tidak ingat, apakah waktu itu dia menjabat tanganku atau sekedar bertanya. Huhhh payah, memoriku mulai rusak sepertinya.
       “Ya, aku duduk pas di belakang supir. Ikut pelatihan juga?” tanyaku, yang sudah mulai bisa mengontrol perasaanku yang tadi sempat terguncang cinta. Untung tidak ada badai asmara, coba kalau badai itu lewat, aku mungkin tidak jadi ikut ke acara pelatihan. Heh…cinta memang sering merusak suasana. Aku tidak begitu peduli dengan sopir dan keneknya yang sedang memasang ban pengganti, dan juga teman-teman yang lain sedang menikmati arus sungai yang mengalir entah di mana muaranya. Aku hanya berharap kalau bus itu tidak buru-buru meninggalkan tempat itu…hmm ada cinta bersemi di atas jembatan Taba Penanjung, dan cinta itu masih terus bercengkrama dengan indahnya, mungkin kalau ada lagu yang ingin kudengar saat itu adalah lagunya Melly Goeslow ‘I just wanna say I love you’ oh Melly…kamu pandai sekali bikin lagu, salut deh buat kamu.
       “Ya, tidak tahu nih sebenarnya apa yang akan dibahas nanti di pelatihan itu. Gimana kabar kamu dan apa selama ini selalu ada di kampung?”
       “Begitulah, tiga hari yang lalu ada acara penanaman seribu pohon, aku ikut meramaikan dan kemping di dekat danau Tes.” Kataku sekedar bercerita.
       “Ah, yang benar? Aku juga ikut tapi kok tidak melihat kamu.” Kali ini wajahnya terlihat sumringah.
       “Oh, ya?” kataku agak kaget juga. “Maklumlah, pesertanya kan ratusan bahkan lebih, jadi harap dimaklumi kalau tidak ketemu.” Ucapanku sepertinya klise sekali, tapi aku yakin saat itu pesertanya mencapai lima ratusan..mungkin lebih.

       Hmm…mini bus akan meneruskan perjalanan dan kami buru-buru naik kembali dan tetap duduk di kursi semula. Pikiranku masih tertuju pada si mantan adik kelas, tapi ada amanah Pak Kades yang kuemban dan itu membuatku ingat apa tujuanku berada di dalam mini bus itu.
       Aku merasa tidak sampai setengah jam kami pun telah sampai di depan hotel. Mini bus mengantar kami sampai pintu hotel, dan menurunkan kami. Di gerbang ternyata kami telah di tunggu oleh kakak-kakak panitia. Kami pun di suruh mendaftar dan mengisi selebaran.
       Setelah itu di kasih kamar. Aku dan beberapa teman yang satu bus tadi ternyata bukan yang pertama datang, sebab sudah ada beberapa teman yang terlihat duduk di lobi hotel, aku tidak tahu dari Kabupaten mana saja mereka.
       Siang itu, kami berbagi kamar, aku satu kamar dengan tiga orang wanita yang lainnya. Aku sempat mendengar peserta penataran itu ada 90 orang, 11 wanita dan selebihnya pria yang datang dari berbagai desa dan Bengkulu kota, khsususnya yang berkecimpung dengan Karang Taruna. Terus-terang, aku sendiri sebenarnya bukanlah ketua Karang Taruna di desaku, tapi entah kenapa Pak Kades mengirim aku untuk mengikuti pelatihan itu. mungkin karena dia melihat aku wanita yang tidak bisa diam, dan suka ikut kegiatan apa saja di desa, di tambah lagi, aku adalah pengangguran, tidak kuliah karena tidak ada biaya, tidak juga bekerja.., komplitlah penderitaanku. Pengangguran sejati…coy.
*

       Menjelang sore, kami saling berkenalan dengan peserta yang lain. 90% usia kami sama, sekitar 20 sampai 24 tahun. Aku 20 tahun kurang.

      Ahaaa…….! Ada gadis tomboy, dia muncul agak sore, aku yakin dia adalah peserta yang datang paling belakang, dia hanya membawa tas ransel. Dia tipikal gadis periang, jangkung, dan sepertinya cerdas. Semoga! Ramenya sama seperti gadis tetangga desaku, tapi dia terlihat lebih smart dan omongannya bermutu.. tidak lebay.

      Malam itu, tepat pukul tujuh malam, kami mengadakan kelas pertama di ballroom hotel. Pembicaranya seorang pria dari dinas sosial, katanya dari Jakarta. Yang di bicarakan adalah mengenai peran pemuda di desa, dan cara memimpin teman-teman di lingkungan remaja. Intinya sama persis dengan judul seminar ‘Pelatihan manajemen kepemimpinan’ di dalam Karang Taruna. Aku suka sekali mengikuti acara itu, hingga 2 jam pun di lewati tanpa terasa. Sampai aku lupa di mana si adik kelasku itu duduk.

       Kami diberi makan setiap jam makan, tiga kali sehari..sudah seperti peraturan minum obat saja…he. Tepat pukul 21.00 kami bubar, tidak boleh keluar dari hotel kecuali ada alasan yang sangat tepat, tahu sendiri, remaja seusia kami mana bisa tidur di jam segitu. Tapi di malam pertama itu, kami coba menikmatinya sesantai mungkin, ada yang saling kenal lebih dekat..dan ada yang ngelawak, dan si tomboy itu…hihihihi dia malah bernyanyi dengan indahnya…’When you tell me that you love me’ wew……itu lagunya Diana Rose… lagu lawas coy!  Tapi jujur, aku suka sekali suaranya. Si tomboy itu sepertinya benar-benar jenius, dia ketua Karang Taruna dari desanya, Kabupaten Bengkulu Tengah. Hmm pantas saja dia telat datang.., orang dekat sudah biasa datang belakangan. Kebiasaan yang tidak boleh di tiru.
*

       Malam itu, aku memang agak kesulitan untuk tidur mau ngobrol sama teman sekamar tidak cocok, mereka bertiga seperti berkelompok. Mungkin mereka berasal dari desa yang berdekatan, entahlah. Aku tidak pernah menanyakannya. Oh, di mana si adik kelasku itu? dia pasti ada di lantai atas, karena para pria kebanyakan di tempatkan di kamar lantai dua.
*

       Pagi-pagi, kami sarapan. Tepatnya bukan sarapan tapi makan pagi. Dan pukul tujuh pagi kami harus mengikuti kelas lagi, aku tidak tahu akan berlangsung berapa jam kalau siang. Aku duduk bersama si tomboy, apakah dia yang duduk duluan atau aku… Lupa! Payah nih memori sudah kena virus polusi, jadi banyak lupanya.
       Hohoho… saat menoleh ke belakang bagian kanan, aku menemukan sosok jangkung yang memiliki wajah baby face itu. hatiku tidak terlalu bergejolak, mungkin karena aku merasa kalau dia tidak terlalu memperhatikan aku, meski dia sempat tersenyum ke arahku. Aku hanya menikmati senyum itu sejenak, hanya sejenak. Lalu kembali tekun menyimak ilmu yang di berikan oleh sang pengajar, kali ini orangnya lain lagi. Bukan pria yang semalam, tetap dari dinas sosial dan lagi-lagi katanya datang jauh-jauh dari Jakarta. Ia sampai mencatat namanya di white board. Aku percaya tidak satu pun di antara kami yang mencatat alamat beliau, termasuk aku. Ah, kami memang sama-sama tidak peka.
       Upps…! gadis tomboy yang di sampingku, ternyata sedang asik menikmati kwaci, dia langsung menawarkannya padaku. Aku tersenyum, dia asik menikmati makanan kecil itu senikmat ia mengikuti apa yang dibicarakan oleh pria yang berdiri di depan kami.
       Acara itu diselingi dengan debat, kami di minta membahas permasalahan tentang usaha apa yang harus remaja desa lakukan, khususnya yang putus sekolah. Menarik…dan kami di bagi dalam tujuh kelompok, yang nantinya akan melakukan observasi di lapangan.
       Kami memiliki ketua umum, dan ketua umum itu memilih aku masuk ke dalam kelompoknya, dan aku terpisah dengan si tomboy. Acara debat hari itu, berakhir menjelang siang hari, tepat pukul sebelas. Huh! Padat juga acaranya. Kami istirahat untuk makan siang, sholat dan sepertinya pukul satu siang akan di lanjutkan lagi.
       Seperti seminar para pejabat saja yaaa? Hehehe.
*

       Malamnya, aku tidak tahu bagaimana si tomboy yang ramah itu bisa berada satu kamar denganku. Aku suka gayanya yang periang, dan sepertinya menyimpan sesuatu misteri yang membuat aku semakin menyukainya. Entah kenapa aku merasa dia ingin cerita banyak hal padaku…dan malam itu, kami pun bercerita hingga larut malam, tepatnya aku menjadi pendengarnya. Huh……! Gadis yang luar biasa, kuat dan pintar. Terkadang aku melihat ada tatapan kosong di matanya. Lalu ia tersenyum, aku merasa seakan sudah mengenalinya begitu lama.
       Gadis yang unik.

       Di jam istirahat siang, dia mengajak aku ke samping hotel, ternyata ada toko buku di sana, kami sempat membaca buku di tempat itu untuk beberapa saat. Dan lagi-lagi ia membeli banyak kwaci di sebelah toko buku. Ada lagi yang ia beli, upps…itu rahasia. Biarlah aku dan dia yang tahu. Ia pun sempat cerita dengan kekonyolannya mengenai kebiasaa jeleknya itu. lucu.

       Siang itu kami tidak ada kelas.. dan si adik kelasku mendekatiku. Hmm.. ternyata dia ingat juga sama aku. Oh Tuhan, dia mangajak aku ke pantai, berdua. Tuhan… ini mimpi apa musibah?
Aku sempat tidak percaya sama sekali. Pantai dari Bengkulu hotel tidak terlalu jauh.., aku masih berpikir, ikut atau tidak? Kutatap wajahnya dengan lekat-lekat…dan tidak kutemukan adanya hal yang meragukan di wajah itu. dia terlihat baik dan tidak memaksa, justru itu yang membuat aku luluh.
       Kami pun pergi dan sebelumnya dia pamit dengan si tomboy. Dan sempat aku dengar si tomboy menimpali.
       “Jangan lama-lama ya.”
       Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu, dia, si adik kelasku waktu SMP mengajak aku jalan-jalan dan bodohnya, aku pun mengabulkannya.
       Kami naik angkot sebanyak dua kali dengan jarak yang tidak terlalu dari angkot satu ke angkot berikutnya untuk sampai di pantai Panjang.
       Hmmm…aku lupa, mungkin itu ketiga kalinya aku menginjakkan kakiku di pantai itu.
       Adik kelasku itu namanya Anno, hmm… itu bukan nama aslinya, itu nama ciptaanku yang aku ambil dari nama tengahnya. Ternyata dia suka. Kami duduk di bawah tenda, siang itu cuaca terlihat indah dan bersahabat. Dia membelikan kacang dan minuman ringan. Kami menikmati pemandangan laut yang bergejolak, cerita kami pun mengalir seperti sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu. Jujur aku sedang merasakan gejolak perasaan yang sulit aku kendalikan, dan detak jantungku pun terasa tidak normal, untung otakku masih normal..
       ‘Wah gawat ini.’ Makiku dalam hati.
       “Sejujurnya, aku berterima kasih sekali kamu mau datang ke sini bersamaku.” Ucapnya kemudian. Aku hanya menatapnya sekilas. “Kamu tahu nggak? Tadi sehabis sholat, aku berdo’a
semoga kamu mau mengabulkan permintaanku. Aku takut sekali kamu menolak.” Lanjutnya kemudian dengan muka serius, terlihat agak malu namun kata-katanya menyakinkan, tidak terkesan ngegombal! Entah kenapa aku merasa ia tidak berbohong dan tidak berani membohongiku, apa karena aku adalah kakak kelasnya? Aku tidak tahu pasti, yang aku lihat tuh anak, rajin sholatnya.
       ‘Ah, masa segitunya?’ pikirku.
       Dia melanjutkan lagi. “Dua hari ini aku selalu memperhatikan kamu, ya di kelas, di lobi juga melihatmu bersama pria-pria yang coba mendekatimu, dalam hati aku berkata..’wah sepertinya berat-berat nih saingan.’ Dan si tomboy itu, dia satu-satunya yang aku lihat cocok dengan kamu, dia baik dan sepertinya menghargai kamu, makanya tadi aku pamit sama dia untuk mengajak kamu ke sini.” Tuturnya panjang lebar.
       Aku hanya tersenyum saat ia mengatakan si tomboy itu, dialah sahabatku satu-satunya di tempat itu. ‘Ah, kenapa aku tidak mengajak dia, ya?’ tapi aku yakin si Anno tidak akan setuju kalau aku mengajaknya. Pria, gitu lho!

       Aku merasa kalau Anno mulai bicara mengarah ke hal serius, apalagi saat ia mengatakan tentang saingan. Apakah ada yang ingin dia raih dariku? Terlalu cepat rasanya. Tadinya aku mengharapkan hal itu, dan kini aku merasa kalau itu adalah hal yang bukan luar biasa. Hari mulai menjelang sore, kami banyak cerita masalah keluarga, tentang orang tua yang sangat menyayangi kami, dan tentang selera makan yang nyaris sama. Entah kenapa kami bisa bicara seleluasa itu dan rasanya nyaman sekali. Tidak ada yang kami sembunyikan, cerita itu mengalir dengan indahnya, juga di sertai tawa dan senyum yang seringkali mengembang dari bibir kami.., sambil masih menikmati kacang kulit dan sesekali menikmati luasnya hamparan laut. Aku rasa kami akan menunggu datangnya sunset.. itu baru luar biasa.
       Kami juga membicarakan tentang pelatihan itu, yang menurut kami sangat baik dan sangat di perlukan oleh remaja-remaja seperti kami. Dalam hati aku berjanji bahwa apa yang telah aku pelajari di pelatihan itu akan aku terapkan di desaku kelak.
       Tidak terasa, senja berubah menjadi petang, dan cerita kami sepertinya tidak akan pernah habis…hingga sunset menghentikan keberadaan kami di tempat itu, setelah menikmati sunset, kami pun bergegas kembali ke hotel dengan perasaan yang belum aku mengerti, seperti apa itu.

       Huh!!! Kami terlambat meski hanya beberapa menit saja,
       Kelas akan di mulai pukul tujuh malam. Aku buru-buru mandi, beberapa menit berikutnya masuk ke kelas. Si manis yang tomboy itu langsung menyapaku pas sedetik setelah aku menghenyakkan pantat di kursi yang ada di sebelahnya.
       “Aku kan sudah bilang jangan lama-lama..” aku tidak bisa menangkap makna kata-katanya, apakah marah karena keterlambatanku atau khawatir, karena aku pulang agak kemalaman.
       “Maaf, baru juga mulai, kan?” sahutku dengan perasaan bersalah pada kakak yang sudah memberi materi juga pada sahabat baruku itu. yang jelas aku merasa tidak enak pada kakak yang sudah ada di depan kami, dia tidak marah, dan justru itu membuat aku tambah merasa bersalah dan merasa tidak tahu diri, meski aku yakin dia sudah ada di tempat itu tidak kurang dari lima menit.
       Aku bisa mengikuti materi dengan tenang, dan sahabatku tetap dengan kebiasaannya yaitu menikmati kwaci. Apa aku harus memanggilnya dengan ‘gadis kwaci?’
       Di sela-sela menikmati kwacinya, ia berceloteh tanpa peduli kalau kami duduk di kursi paling depan, dan di pojok kanan.
       “Kamu tahu nggak? Waktu kamu di pantai sama Anno, aku seperti orang tolol di hotel ini, aku akhirnya pergi ke toko buku sebelah, gilanya lagi, aku bilang pada penjaga toko itu kalau di sini tidak ada yang asik kecuali kamu. Eh si penjaga toko malah bilang gini ‘Apakah dia tomboy juga?’ tidak kataku, tapi orangnya enak diajak ngomong dan nyambung.” Katanya panjang lebar.
       Aku hanya meliriknya sekilas lalu kembali fokus pada pria yang ada di depan kami dan tidak menyangkal sedikit pun kata-kata sahabatku, karena apa yang ia katakan itu memang benar. Aku hanya menanggapinya dengan seulas senyum tipis dan aku yakin itu senyum termanisku.
      
       Oh, Anno…! kamu telah membuat aku meninggalkan sahabatku. Aku pasti akan menebusnya.
*

       Dan benar, besoknya pas hari minggu kami hanya ada kelas pagi, setelah itu kami dapat
acara bebas, yaitu boleh keluar dari hotel.
       Gadis kwaci mengajak aku keliling kota Bengkulu, mengunjungi tempat temannya dan jalan-jalan ke Tapak Padri, masih di lingkungan pantai tapi kami naik ke atas bangunan, duduk di sana menikmati keindahan pantai dari atas, kami pun sempat tidur-tiduran sambil membaca majalah remaja.
       Pergi dengan sahabat dan dengan pria yang kita sukai sangatlah berbeda namun punya keasikan tersendiri dan itu tidak kalah menariknya.
       Gadis kwaci itu, menceritakan banyak hal denganku, ya tentang kisah cintanya dengan pria bak beringin karena teduh, yang pernah menghilang, juga tentang perjalanan Karang Taruna yang diketuainya. Semuanya menarik dan tidak membosankan. Ada yang tidak bisa lepas darinya selain kwaci…ah, semoga saja saat ini sudah bisa ia hilangkan kebiasaan itu. tapi tetap saja di mataku dia adalah gadis yang luar biasa, punya wawasan luas, punya prinsip hidup dan sepertinya sudah banyak makan asam garam kehidupan.., ternyata usianya dua tahun di atasku. Tapi aku melihatnya lebih matang dari usianya yang sesungguhnya. Aku menyanyanginya. Ia juga menjelaskan kalau ketua kami adalah satu-satunya pria yang sudah menikah. Ups!
       Dia menjelaskan hal itu karena merasa kalau pria itu menaruh perhatian lebih sama aku.
*

       Acara obsevasi ke lapangan pun kami jalani di hari berikutnya. Kami datang ke balai desa yang sudah ditunjuk, kami mengenakan jaket biru seragam yang di kasih panitia, di sana kelompok kami di terima dengan sangat baik, bahkan sudah di sediakan tempat pertemuan kecil.. di sana kami berbincang dengan kepala desa, dan yang dibicarakan tidak lepas dari lingkungan dan peran anak muda. Hmmm…menarik memang, aku menyukai pekerjaan itu.. dan sangat menikmatinya, tidak hanya sampai di situ. Kami pun punya jadwal harus mengunjungi rumah-rumah penduduk untuk menanyakan bagaimana peran pemuda di tempat itu, apakah pemuda berperan penting di dalam masyarakat?

       Setelah mendapatkan hasil yang memuaskan, dan mencatatnya di buku, Kami merasa lega, dan masih memiliki waktu yang lumayan panjang untuk kembali ke hotel, sebab malamnya kami akan mengikuti kelas lagi. Dan kita memutuskan untuk mengunjungi Benteng Malborough peninggalan Belanda, tempat di mana presiden Soekarno pernah di asingkan.
*

       Si ketua kelompok, yang aku rasa memilik perhatian lebih sama aku, tidak pernah lepas dari kameranya, sejak dari balai desa, dia selalu mendokumentasikan kegiatan kami dan di tempat wisata pun begitu. ‘Dia sudah punya isteri.’ Kata-kata si gadis kwaci waktu itu terngiang lagi.
       Eh…dia minta foto berdua denganku. Aku mengabulkannya dan (foto itu masih aku simpan.)

       Ah, di mana si Anno? Di kelompok berapa dia? Dan di desa mana dia melakukan observasi? Dan si gadis kwaci, apakah dia satu kelompok dengan Anno? Aku tidak tahu.

       Malamnya, kami di minta mendiskusikan hasil observasi tadi siang. Seru, dan si Anno terlihat sangat dominan dalam diskusi itu, entah kenapa aku merasa seolah ia ingin memperlihatkan sesuatu padaku kalau dia bisa seperti pria-pria lain yang ada di ruangan itu…dan ada lagi satu pria yang coba dekat denganku, hmmm…dia cukup macho…, akrab denganku juga dengan gadis kwaci, kami pun sering menikmati kwaci bersama-sama.
      Dan, aku dengan gadis kwaci tahu kalau besok adalah ulang tahun pria itu.
      Aku dan gadis kwaci harus memberinya kado kecil, dan kami memutuskan untuk membelinya di warung samping hotel. Hmmm….pasti seru. Lilin kecil pun tidak ketinggalan, kami membungkus kado mungil itu dengan kertas kado warna biru dan putih.

      Malam itu, teman-teman kami terlihat masih asik menikmati malam, aku tidak tahu apakah ada yang mengalami cinta lokasi atau sekedar berteman. Di mana Anno? Lagi-lagi mataku mencari-cari sosoknya. Semoga dia baik-baik saja.

       Kami duduk di lobi bercanda dan bersenda gurau.., aku merasa kalau kami sudah memiliki hubungan yang begitu dekat, sudah lebih dari seminggu kami tinggal bersama-sama di dalam ruangan itu. makan bersama-sama dan melakukan banyak hal bersama. Yang tinggal di ruangan itu sekitar lima orang, yang lainnya mungkin sudah tidur atau sedang ngobrol di kamar karena aku yakin, banyak teman kami yang tidak tahu kalau ada di antara anggota kami sedang berulang tahun.
       Tepat pukul 00.00, gadis kwaci mengeluarkan kado kecil itu dan mendirikan lilin mungil di atasnya. Ia minta teman kami yang lain menyalakan lilin itu, dan yang berulang tahun ada di depan kami. Dia tidak akan menyangka kalau ada di antara kami yang akan menghadiahkannya sesuatu yang istimewa untuknya. Hihihi…hanya aku dan si gadis kwaci yang tahu isi kado itu, karena itu memang pilihan kita berdua untuk pria itu. semoga saja dia suka.
       Kami menyanyikan lagu selamat ulang tahun, pria itu terharu, dan kami merasakan kebersamaan yang dalam. Dia meniup lilinnya lalu kami memintanya membuka kado ajaib itu, tahu apa isinya? Yah…se-pack kwaci, hehehe….
       Pria itu terlihat sangat senang, meski tidak percaya kalau isinya adalah kwaci. Keterlaluan!!
       “Maaf ya teman, hanya itu yang bisa kita kasih.” Kata gadis kwaci. Pria itu tertawa dan mengucapkan terima kasih, pesta kwaci pun terjadi malam itu. sebuah hadiah memang tidak perlu dilihat dari besar kecil nilai dan harganya, namun ketulusan dan rasa kebersamaan lebih terasa bernilai dari apa pun.
*

       Besok adalah hari terakhir kami ada di hotel itu. ketua meminta kami mengumpulkan foto dan alamat rumah untuk membuat album kenangan. Itu tidaklah terlalu sulit, tapi yang tersulit aku rasa nanti di saat kami harus berpisah dengan teman-teman, waktu sepuluh hari yang kami lewati bersama-sama, berkumpul di bawah atap yang sama, yang datang dari berbagai daerah di Bengkulu yang luas ini, dan kami cintai tentunya. Sejujurnya kami merasa seperti kelompok yang telah melakukan karantina, tapi karantina yang menyenangkan. Tidak ada persaingan, tidak ada kompetisi untuk mendapatkan piala satu atau semacamnya, karena kedatangan kami hanya untuk menuntut ilmu.., ilmu yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.

       Ilmu bagaimana cara memanfaatkan lahan kosong yang efektif, cara memimpin teman-teman, cara mengambil keputusan di dalam rapat dan bagaimana caranya menciptakan lahan pekerjaan dan masih banyak lagi. Pokoknya pertemuan dalam sepuluh hari itu, bukan saja mendapatkan kenalan dan teman baru, tapi mendapatkan sesuatu yang tidak akan kami lupakan untuk selamanya.

       Malam itu, adalah malam terakhir untuk kami. Acara perpisahan pada kakak-kakak pembina, kesan pesan dan entah apalagi, aku juga tidak ingat dengan pasti. Dan ada yang aneh di aula itu, masa ada teman-teman yang minta bajunya di tandatangan sama teman yang lain. Seperti anak sekolah yang baru lulus saja. Pake coret-coret baju segala.
       Tidak ada yang bisa menghindar dari acara gila itu, termasuk aku. Teman-teman memaksa untuk mencoret bajuku, dan aku hanya membatasi siapa saja yang boleh melakukannya. Pertama adalah si gadis kwaci, lalu sang ketua, juga pria yang malam itu ulang tahun, dan…ya Tuhan…, si adik kelasku tidak menghampiriku, aku bahkan kesulitan untuk menemukan di mana sosoknya dan di mana batang hidungnya. Ah, kenapa aku tidak merindukannya? Apa karena dia tidak peduli denganku? Tapi apa artinya sore di pantai itu?? apakah tidak sedikit pun terkesan dalam ingatannya? Aku tidak mau tahu apa yang ia rasakan saat ini…karena yang aku tahu, dia tidak pernah sedikit pun berusaha untuk bergabung denganku di malam perpisahan itu.
      
       Acara perpisahan dengan kakak pembina pun usai, kami pun keluar dari hotel, tapi masih akan menginap untuk terakhir kalinya di hotel. Malam itu, kami menghabiskan waktu untuk makan di warung tenda. Si gadis kwaci tidak pernah semenit pun berpisah dariku. Kami sangat bahagia, makan bersama, memesan sate dan yang lainnya. Ada beberapa pria yang bergabung dengan kami, dan lagi-lagi tidak ada adik kelasku. Entah bersama siapa dia makan….?!
       Kami benar-benar menikmati malam itu, hingga mendekati tengah malam dan kembali ke hotel untuk istirahat.
        Di hotel pun kami tidak lantas langsung tidur, aku dan gadis kwaci menikmati sisa malam dengan berbincang di tepi tempat tidur, sementara teman sekamar kami yang dua orang itu sudah beringsut memasuki dunia mimpi indahnya, atau mungkin karena sudah tidak sabar untuk bertemu dengan keluarga, disebabkan jarang berada jauh dari keluarga, aku dan gadis kwaci sepertinya tidak perlu di ragukan lagi, karena kami sudah sama-sama mandiri, dan terntunya sudah pernah merantau, hingga berada jauh dari keluarga itu menjadi hal biasa bagi kami.
       Seperti malam-malam sebelumnya, gadis kwaci memang sering bicara dan aku menjadi pendengar setianya, lagi. Sekali-kali ia membahas kelanjutan hubunganku dengan adik kelasku itu, aku tidak bisa berkomentar banyak karena aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi denganku dan adik kelasku itu. tapi menurut gadis kwaci, aku dan adik kelasku itu cocok dan ia menebak kalau pria itu mencintaiku. Aku hanya bisa memberinya senyuman, itu tanda jawaban tidak pasti dariku saat itu. ia juga mengatakan kalau dia lumayan tampan. Hmm kalau yang itu memang benar dan tidak perlu diragukan lagi!
       Saat aku bercerita tentang Palembang, gadis kwaci itu terlihat bersemangat, ternyata dia juga pernah tinggal di sana, dengan wajah berbinar dia mengajak aku mengunjungi kota itu kapan-kapan.
       Ya kapan-kapan. Lirihku dalam hati.
       Ada kesamaan antara aku dengan gadis kwaci, yaitu sama-sama tidak menyukai orang yang menilai orang lain dari sisi luarnya saja. Itu sering kali terjadi, di kehidupan dan lingkungan kami.
       Aku tidak melihat adanya kelelahan di wajah itu, terkadang ia terlihat seperti wonder women, terkadang serupa anak kecil yang minta direngkuh, ia seolah ingin menuangkan segala perjalanan hidupnya padaku padahal kami baru saja dekat dalam satu minggu ini, tiga hari sebelumnya tidak bisa di bilang dekat, itu baru tahap perkenalan namun entah kenapa aku merasa kami sudah kenal dalam puluhan tahun, aneh memang. Tidak ada keraguan di antara aku dan dirinya untuk membuka hati dalam kancah persahabatan, aku hanya bisa berharap semoga tali kasih sayang kami tidak akan pernah putus hingga kami tua. Jika pun harus berpisah oleh hal yang tidak kami inginkan, setidaknya aku telah meletakkan dia di sisi hatiku yang paling indah.   
       Ah!! Seorang sahabat sejati memang tidak bisa di temukan di sembarang tempat.
*

       Pagi itu, kami masih dapat makan. Ketua membagikan album kenangan yang lumayan tebal. Dan kami juga mendapat uang saku dari penyelenggara seminar itu…atau dari mana asalnya, aku juga tidak tahu pasti tapi lumayan, alhamdullilah, itu tidak pernah terpikir sebelumnya dan aku menganggapnya sebagai bonus.

       Hmmm….saatnya salam perpisahan dengan teman-teman, yang dekat dengan Bengkulu hotel akan pulang sendiri-sendiri dan aku tentu saja akan pulang dengan rombongan ke Rejang Lebong meski tidak banyak, dan mini bus akan datang menjemput kami. Ya Tuhan…..tanpa aku sadari mini bus itu ternyata sudah ada di halaman parkir hotel, entah kapan dia berada di sana yang pasti aku tidak menyadarinya, mungkin karena ramenya suara anak-anak yang sibuk pamit dengan teman-teman.
       Aku akan masuk mini bus itu, dan meninggalkan si gadis kwaci. Aku tidak akan melihat wajahnya untuk terakhir kali, karena aku yakin tidak akan sanggup. Aku sudah sering mengalami perpisahan dengan teman dekatku, dan itu menyakitkan rasanya, aku tidak suka itu. sebelum aku diam-diam untuk masuk ke mini bus, aku sempat mendengar suaranya mencariku, dan menanyakan pada teman yang masih menunggu kerabat menjeput atau menunggu siapa..tidak tahu, yang jelas masih ada banyak yang di dalam lobi itu. dua kali mungkin lebih ia meneriakkan, apakah ada yang melihat aku?
       Aku sudah duduk di dalam mini bus tepat di sisi kiri, dekat kaca jendela. Mini bus itu belum ada tanda-tanda untuk segera berangkat, mesin memang sudah dinyalakan tapi di mana sopirnya. Saat itu aku yakin masih pagi, tidak lebih dari pukul Sembilan. Aku berdiam di tempat dudukku, dan mengambil napas dalam-dalam.
      Sebuah suara memanggilku, aku menoleh. Gadis kwaci itu sudah ada di sisi luar mini bus, dia menghampiriku. Sungguh aku tidak bisa menahan perasaan, aku memutuskan untuk turun. 
       Kami sudah bertatap muka begitu dekat, demi Tuhan…saat itu aku melihat matanya berkaca-kaca, tas ransel menggantung di bahu kanannya. Sosok jangkung itu mengenakan jins dan kaus merah, ia tak lepas menatapku. Rambut lebatnya yang di potong pendek terlihat sangat serasi dengan bentuk tubuhnya yang sintal. Gadis ketua Karang Taruna di Kecamatannya, yang memiliki pribadi yang mengagumkan, apakah aku bisa berpisah darinya? Dan kehilangan kisah-kisahnya? Ya Tuhan…, aku hanya bisa berdoa semoga ini bisa dilewati.
       “Aku tadi di dalam mencarimu, ternyata kamu sudah di mobil, oke….selamat jalan ya. Semoga kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti.”
       Aku melihat dia berusaha kuat untuk menahan agar tidak menangis, tapi dadaku malah yang terasa sesak. Entah siapa yang mulai, akhirnya kami berpelukan.
       Huh…!!! Tidak ada yang menyukai situasi seperti itu, siapa pun itu. tapi yang namanya pertemuan pasti ada perpisahan, tapi yang aku yakini, perpisahan hanyalah bumbu dari perjalanan hidup di mana nanti kita akan mengenangnya dengan indah, karena ada kisah luar biasa di awal perpisahan itu.
       ‘Mini bus segera berangkat.’ ada suara yang memintaku segera masuk. Aku menatap gadis kwaci lagi, setelah pelukan kami lepas.
       “Kamu pulang sama siapa?” ujarku dengan nada serak.
       Dia tersenyum di antara sendu. “Gampanglah, aku dekat kok. Setengah jam juga nyampe.”
       Aku hanya mengangguk pelan. Dan lagi-lagi terdengar suara reseh berteriak dari dalam mini bus, eh ternyata dia gadis tetangga desaku.
       Terakhir kalinya aku hanya menyentuh tangannya.., dan tidak berkata apa-apa lagi begitu pun dia, kami hanya menciptakan senyuman, itu senyuman terakhirnya yang aku lihat......

       Setelah aku duduk di tempat semula, aku masih sempat melihat dia belum beranjak dari tempatnya berdiri, dan ia melambaikan tangannya. Huh….!
       Mobil telah membawaku perlahan, semoga saja gadis itu telah berlalu dan itu akan membuat hatiku sedikit tenang. Tapi aku tiba-tiba terdiam, dan membisu di tempatku seolah hanya ragaku yang ada di tempat itu. Aku tak habis pikir kenapa ada orang yang mampu merusak suasana hatiku dalam waktu yang begitu singkat.
       “Sedih ya, kalau harus berpisah dengan seorang teman.” Kudengar sebuah suara seperti memahami perasaanku, bukan menggodaku atau melecehkan.
      Aku menoleh ke belakang dari arah datangnya suara itu. ternyata dia, si adik kelasku, ia duduk tepat di belakang kursiku. Ya Tuhan…berarti dari tadi dia menyimak aku dengan gadis kwaci itu. aku tidak mampu bicara apa pun, hanya senyum yang menghias di bibirku dan aku yakin itu senyum tidak ada indah-indahnya. Bodolah, hatiku kan masih sedih karena telah berpisah dari sahabatku. Apakah ada seorang pria yang benar-benar memahami situasi itu?
       Mini bus telah melaju dengan kencang, dan hatiku masih tertinggal separuh di hotel, aku kesulitan membawanya pulang. Biarlah, tanpa bisa kupungkiri lembaran hidupku telah tertulis di sana meski sebagian. Karena perjalan hidupku masih panjang, masih banyak yang harus diisi. Aku tidak banyak bicara di dalam mobil, selain menikmati suasana hati, menikmati pemandangan di sela cerita-cerita dan candaan tawa temanku.
       Sekali-kali adik kelasku bertanya, dan kujawab tanpa gairah dan pertanyaan pun tidak ada yang menjurus ke hal yang penting. Aku pun malas berpikir tentang kisah di pantai Panjang itu. itu hanya segelintir kisah yang mengisi kisah Bengkulu hotel. Meski sejujurnya harus aku akui, saat itu kami merasa sangat dekat..dan kedekatan itu tidak kurasakan lagi, seperti sunset yang seolah tenggelam begitu saja.
=========
Bersambung...>>>
*

       By : Helda Tunkeme Xwp.