BAB 1
Siapa mencintai
siapa?
Gema suara guntur menggelegar membahana
seakan mau membelah bumi ini diiringi derasnya hujan yang berjatuhan dari
langit, inilah alam yang penuh dengan misterinya namun Tuhan maha mengetahui.
Air mulai menggenangi halaman rumah-rumah penduduk, banjir kecilpun sudah mulai
kelihatan. Jakarta memang rawan banjir, apalagi kalau kota Bogor sudah hujan
maka Jakarta rela tidak rela akan menerima air kiriman dari sana.
Kareena menyandar di tiang halte bis, gadis itu terlihat kedinginan. Ia
tak peduli dengan satu dua orang yang ada di bawah halte itu, matanya menatap
kosong pada titik-titik hujan yang jatuh di depannya. Ia melipat kedua
tangannya di dada, ia melamun atau sedang mengingat masa lalunya waktu di
Palembang. Perjalananya masih sangat panjang.
“Karin…….?” Suara itu disertai dengan sentuhan lembut di pundak Kareena
memaksanya menoleh dari datangnya suara dan terlihatlah sebuah senyuman manis
dan gigi-gigi putih yang cemerlang, Kareena pun membalas senyum tulus itu.
“Pulang bareng, yuk?” ajak Arman. Teman sekelas Kareena. Mereka masih
mengenakan seragam putih abu-abu, hanya saja Arman menutupinya dengan jaket
kulit. Arman datang ke sekolah mengendarai motor tapi tadi Kareena tidak
mendengar suara motornya berhenti. Entah itu untuk yang keberapa kalinya Arman
mengajak Kareena pulang bersamanya dan belum pernah dikabulkan oleh Kareena.
“Duluan aja, Ar….. lagian masih gerimis ini.” Kata Kareena beralasan dan
belum beranjak dari tempat duduknya.
“Oke, kalau begitu gimana kalau kita sama-sama tunggu gerimisnya reda.”
Sepertinya Arman bersikeras dan bersabar, kesabaran Arman selama ini membuat
Kareena seringkali goyah. Sudah hampir dua bulan ini pria itu coba
mendekatinya, itu yang diketahui Kareena, tapi menurut lucy sahabat Kareena,
pria itu menyukai Kareena sejak ia masuk sekolah itu. Mungkin.
Arman bukan anak sembarangan, ia termasuk murid yang jenius, sopan dan
tampan pastinya. Tapi dia playboy dari anak orang kaya. Tapi sejak menyukai
Kareena ia jarang membawa mobil karena ia tahu Kareena tidak suka ia mengumbar kekayaan
orang tuanya. Sepertinya demi mendapatkan cinta Kareena saja.
Kali ini pria itu sudah berdiri di samping Kareena dan bicara dengan
agak berbisik. “Karin… kamu tidak menyukai aku, ya?”
Kareena melirik ke wajah Arman sekilas. “Kamu ngomong apa sih?” katanya
pelan dan malu, lalu menoleh lagi ke jalanan.
Arman belum menjauhkan wajahnya dari dekat Kareena. “Bukannya tanpa
alasan aku bertanya seperti itu, jawablah.” Ujarnya. Kareena tidak ingin
terlalu menghiraukan kata-kata Arman. Ia menarik napas sejenak lalu menatap
pria itu. Pria itu masih menantinya dengan sabar.
“Sepertinya untuk menjawab pertanyaanmu, kali ini aku harus mengikuti
ajakanmu.” Kali ini Kareena mengalah.
Arman menatap gadis itu dengan rasa masih
tidak percaya. Beberapa detik berikutnya mereka sudah meninggalkan area halte
karena hujan pun sudah mulai berhenti. Arman masih tidak percaya kalau akhirnya
Kareena benar-benar mau pulang bersamanya. Setelah perjalanan satu menit Arman
menepikan motornya. Berhenti.
“Bagaimana kalau kita mampir dan makan dulu di sana?” usulnya setelah
menunjuk ke arah kafe kecil.
“Sebaiknya kita langsung pulang saja.” Kareena tidak mengabulkan
permintaan Arman.
Arman menoleh ke belakang sedikit untuk bicara dengan Kareena. “Kenapa?
Apa anak SMA tidak pantas makan di kafe?” katanya sembari tertawa kecil.
“Mungkin ya, tapi yang pasti aku merasa nggak enak aja dengan seragam
yang masih kita kenakan ini.” Sahut Kareena. Ia tidak ingin dilihat orang
makan-makan di kafe dengan masih mengenakan seragam sekolah. Kurang etis saja,
itu pikir Kareena.
“Oke….” Arman memaklumi apa yang Kareena katakan. Mereka akhirnya
melanjutkan perjalanan dan gerimis pun turun lagi. Ketika sampai di tempat
tinggal Kareena, Arman tidak mau masuk meskipun tantenya Kareena sudah menawarkannya
untuk mampir. Arman cukup merasa bahagia bisa mengantar Kareena pulang. Arman
Arman…..!
Tante yang melihat baju Kareena basah menjadi khawatir. “Mengapa memaksa
pulang kalau masih hujan?” katanya. Ia tidak mempermasalahkan Kareena pulang
naik motor temannya tapi kalau kehujanan gadis itu bisa saja sakit.
“Tadi sebenarnya dari sekolahan hujannya sudah berhenti Tante, tapi pas
mau nyampe hujan lagi, rasanya tanggung juga berhenti lagi.” Kareena sedang
mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
“Tapi lain kali tidak boleh
seperti itu lagi nanti kamu bisa sakit, kamu ganti baju sana terus makan, tidak
usah menunggu Yoga.” Saran tantenya dengan nada seperti biasa, lembut dan penuh
perhatian. Wanita karir itu berjalan ke kamarnya, hari sabtu ia libur dan
memang senang menghabiskan waktunya di rumah. Kalaupun pergi biasanya hari
minggu itupun biasanya ke pantai bersama suaminya.
Kareena masuk ke kamarnya, ia belum ada nafsu untuk makan. Beberapa
detik saja alunan suaranya Tantri Kotak terdengar indah ‘Masih Cinta’ Hmm…..
bayangan Dody pun muncul bersama lagu itu. Kareena tidak tahu apa ia menyukai
lagu itu atau berusaha memunculkan bayangan Dody. Hampir tiga tahun sudah ia
coba melupakan pria itu.
Di Palembang, waktu kenaikan kelas 3 SMP Kareena dipindahkan dari 3C ke 3A
karena ia juara 1 di kelasnya. Kareena ingat saat itu Zonzona teman sekelasnya
memanggilnya.
“Karin……..!” pria hitam manis itu berlari ke arah Kareena. Kareena
menoleh sedetik saja pria itu sudah ada dihadapannya dengan napas ngos-ngosan.
“Aku, aku…….dapat bocoran dari guru matematika kita, katanya nilai kamu
tertinggi di kelas, selamat ya.”
Saat itu Kareena hanya tersenyum, apa mungkin belajar sembari
mendengarkan lagu bisa menjadi bintang kelas? Pikirnya. Karena setiap belajar
di rumah Kareena selalu menyetelkan lagu-lagu kesukaannya. Tapi Kareena memang
menyukai pelajaran matematika, didukung oleh gurunya yang selalu menyenangkan.
Fokus saat menerima penjelasan di kelas dan latihan mengerjakan soal, hanya itu
yang Kareena lakukan.
Di kelas 3A berkumpul anak-anak yang dianggap rajin belajar dengan tekun
dan memang sudah jenius. Kareena termasuk bukan yang jenius, ia hanya rajin
mengulangi pelajaran di rumah dan tekun menyimak guru di sekolah dan ia paling
anti menyontek. Kareena sendiri tidak tahu mengapa gurunya membuat sistim
seperti itu.
Dody adalah ketua kelas 3A, ia tampan sekali, kulitnya putih dan
bibirnya seksi. Ia jago bicara Inggris, terkadang suka membuat tulisan-tulisan
dengan bahasa Inggris di papan tulis kalau lagi jam istirahat. Hampir setiap
ada kesempatan Kareena mencuri pandang kepada pria itu, tapi demi Tuhan,
sebelah mata pun Dody tidak pernah meliriknya. Mungkin di matanya Kareena
hanyalah gadis lugu yang pemalu. Pernah mereka mengerjakan tugas kelompok soal
matematika, hanya sebatas itu. Dody bicara pada Kareena hanya soal matematika
saja, tidak lebih. Ia boleh bicara cas cis cus dengan Inggrisnya tapi ia lemah
di matematika. Dan yang sangat menyakitkan hati Kareena ketika ia mengetahui
kalau Dody ternyata dekat dengan Lina, gadis itu sudah sekelas dengan Dody
sejak dari kelas 1. Kareena terluka, akhirnya selepas SMP ia mengabulkan
permintaan tantenya untuk pindah dari Palembang ke Jakarta. Sebenarnya sejak
dari SMP tantenya sudah memintanya pindah, alasannya di rumah kurang orang.
Karena beliau hanya memiliki Yoga sementara Kareena lima bersaudara dan Kareena
anak tertua.
Suara deringan ponsel membuyarkan lamunan Kareena, ia langsung
mengangkatnya. “Halo…?’
“Rin….” Ternyata Arman. “Aku mengajak kamu nonton nanti malam, mau ya?”
pinta Arman. Kareena diam, bingung. “Ayolah Rin…. Tidak mungkin aku berani
mengajakmu kalau bukan malam minggu.” Suara Arman pelan namun penuh harap
sementara Kareena masih membisu. Ia tidak percaya kalau Arman begitu cepat
bersikap berani. “Karin…..kamu masih di situ, kan?”
“Ya, tentu saja. Aku masih mendengarkanmu.” Sahut Kareena pelan setelah
lama diam.
“Tapi mengapa? Kurasa film yang diputar di bioskop tidak hanya untuk dua
puluh tahun ke atas, kan? Pasti ada untuk usia tujuh belas tahunnya.” Kata
Arman setengah menjelaskan. Kareena hanya tersenyum dan tentu saja Arman tidak
melihat senyumnya.
“Oh, ya? Tapi asal kamu tahu Man, aku ini belum tujuh belas tahun.”
Sahut Kareena setengah tertawa.
“Oh, ya?” Diam sesaat. Lalu…. “Tapi Rin….. apa yang harus aku lakukan?
Aku sebenarnya ingin sekali nonton bersama kamu malam ini.” Rengek Arman.
“Kita lihat saja nanti….”
Putus!
*
Pukul lima sore, Yoga baru saja pulang di saat Kareena baru bangun dari
tidur siangnya dan seperti biasa ia menegur Yoga dan dijawab sekedarnya sambil
lalu ke kamarnya. Yoga si cool yang
cuek berbeda sekali dengan Om dan Tante, saking cueknya hampir tiga tahun
Kareena tinggal di rumahnya belum juga ia tahu bagaimana pribadi Yoga yang
sebenarnya dan siapa pacarnya. Di mata Kareena pria itu agak misterius. Kalau
sekali-kali mereka bertemu pandang Kareena langsung buru-buru mengalihkan
matanya ke arah lain karena sepasang mata Yoga seperti mata elang yang kapan
saja siap menerkamnya, itu menakutkan tapi Kareena penasaran… dan terkadang
menginginkan tatapan itu.
Tante menyambut Yoga dengan senyum bijak seorang ibu. “Yoga, nanti malam
bisa temani Mama dan Karin belanja?” Tanya tante setelah Yoga menyelesaikan
makannya. Yoga menatap mamanya.
“Belanja?” ulangnya seakan menegaskan.
“Ya, tapi kalau nggak bisa juga nggak apa-apa kok.” Katanya tidak
memaksa anaknya.
“Ya, nanti Yoga usahain deh, Ma.” Kata Yoga mempertimbangkan, setelah
itu ia dan mamanya meninggalkan meja makan karena akan segera dibersihkan oleh
bi Ima. Yoga menuju ruangan televisi sementara mamanya pergi ke kamar Kareena.
“Karin…. Nanti malam ada acara tidak?” kata tante setelah duduk di
tempat tidur keponakannya itu. Kareena menoleh kepada tantenya karena
pertanyaan seperti itu tidak pernah ia dengar sebelumnya. Wajah tante terlihat
begitu tenang dan Kareena pikir inilah saatnya untuk mengatakan sesuatu. Tapi
ia tidak yakin apakah tantenya akan marah atau bahkan memaki-makinya dan
mengatakan ia tidak tahu diri! “Hei….. kamu mengapa bengong?”
Kareena coba untuk tersenyum, ia jadi salah tingkah karena ketahuan
melamun. “Mm... Tante, nanti malam, temanku si Arman mengajak nonton bioskop,
boleh?” nadanya agak tertahan karena takut dimarahi. Tiba-tiba Kareena merasa
bodoh mengapa bertanya seperti itu padahal Arman sendiri tidak pernah berjanji
untuk menjemputnya, mengiyakan ajakan Arman saja belum. Tapi pertanyaan itu
sudah terlanjur keluar dan Kareena sudah siap menanggung resiko dari
kebodohannya tapi anehnya ia malah melihat tantenya melebarkan senyuman.
“Tidak apa-apa, Tante juga melihat ia pemuda yang baik. Bukannya Tante
mendorong kamu untuk bergaul bebas, karena semua itu ada ketentuannya dan yang
lebih penting harus bisa menjaga diri.” Wanita itu lagi-lagi tersenyum, mungkin
ia ingat saat pertama kali pergi dengan cowok dulu waktu ia duduk di kelas tiga
SMP. “Tapi Tante agak sedikit kecewa.” Tambahnya. Kareena tidak mengerti apa
yang dimaksudkan oleh tantenya. “Jangan bingung begitu sayang… Tante tadi
sebenarnya sudah bicara sama Yoga agar ia bisa mengantar kita belanja malam
ini.”
“Oh, kalau begitu akan aku batalkan kepergianku sama Arman.” Sahut
Kareena dengan cepat karena merasa tidak enak dengan tantenya.
Wanita itu jadi tersenyum. “Tidak sayaaannng, kalian yang lebih dulu
berjanji. Kita bisa pergi kapan saja.” Ujarnya lalu meninggalkan Kareena.
Kareena tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi tantenya keluar dari
kamar. Ketulusan wanita itulah yang membuat ia betah tinggal di rumah itu,
kalau ia ingat sikap Yoga maka rasanya ia ingin sekali buru-buru menamatkan
sekolahnya lalu mencari kerja dan hidup mandiri.
*
Kareena turun dari kamar, di ruang keluarga ia melihat Yoga sedang asyik
sekali menyimak acara di televisi. Entah mengapa ia kali ini menonton di ruang
keluarga, biasanya juga mendekam di kamarnya yang dilengkapi segala macam benda
elektronik. ‘sombong sekali mahluk satu
itu.’ Guman Kareena dalam hari sembari berjalan ke dapur tempat bi Ima
sibuk, Kareena senang membantu bi Ima di dapur. Dari kelas 3 SD ia memang sudah
dibiasakan oleh ibunya untuk mengurus dapur dan belajar masak.
“Ayo Karin…..apa yang sedang kamu lakukan?” kata tante setelah melihat
Kareena ada di dapur, ia sedang sibuk bersama bi Ima di meja dapur. Kareena
ikut duduk di sebelah tantenya.
“Tante…..” sapa Kareena sepelan suara tantenya tadi. “Tante sepertinya
salah kalau selalu melarangku untuk membantu Bi Ima.” Protes Kareena sebab
wanita itu selalu saja mengkhawatirkannya kalau sedang bersama bi Ima.
“Apa nanti kata Ibumu? Tugas kamu di sini adalah belajar dan meramaikan
rumah ini.” Sahutnya.
Kareena menatap tentenya. “Bagaimana aku bisa belajar masak kalau tidak
pernah diperbolehkan ke dapur? Coba Tante bayangin seandainya nanti aku tidak
mampu untuk membayar orang seperti Bi Ima, apa yang harus aku lakukan pada
keluargaku nanti?” katanya seolah minta pertimbangan wanita yang baik hati itu.
Tante melebarkan senyumnya dan sekilas melirik bi Ima.
“Bi, denger tuh.” Ledeknya. Bi Ima hanya senyum-senyum masam. Kembali
tante menatap Kareena. “Kata-kata kamu memang ada benarnya Rin, apa semua ini
karena seorang Arman?”
“Tidak Tante, Arman itu bukanlah siapa-siapa, untuk lima tahun ke depan
tugasku adalah belajar dan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya kendatipun begitu
aku tetaplah seorang wanita yang harus mengerti tentang dapur, karena wanita
harus memiliki ilmu lebih dari lelaki, aku benarkan, Tante?” ucapnya kemudian.
“Tante mengangguk. “Tentu saja.”
*
Menjelang malam, cuaca sangat cerah.
Kareena duduk di kamarnya seperti orang
bingung, ia bertanya-tanya dalam hati apakah Arman akan menjemputnya atau tidak?
Di bawah terdengar Om baru saja pulang dari kerja, dia adalah pria yang sangat
dihormati di rumah itu. Perawakannya tinggi besar, rajin sekali menegur setiap
orang yang ditemuinya, penyayang dan tegas dalam bersikap.
Yoga menghampiri mamanya. “Ma, aku sepertinya aku bisa mengantar Mama.”
Ucapan Yoga itu terdengar hingga ke telinga Kareena. Sebab ruang tengah mereka
pas ada di dekat tangga menuju lantai atas, di mana kamar Yoga dan Kareena
bersebelahan.
“Wah, besok saja ya sayang…. Malam ini Kareena tidak bisa ikut karena
sudah ada janji dengan temannya.”
Yoga sedikit kaget mendengar pernyataan mamanya, tidak biasanya Kareena
punya janji pergi pada malam hari. “Janji?” katanya seakan tidak percaya dengan
keterangan mamanya.
Kriiiiiinnnnnnnnng!!!
Bel pintu depan berdering. Tante menoleh ke Yoga. “Sayang…..tolong
bukakan pintu sebentar ya.” Pintanya. Sepertinya ada tamu. Yoga berjalan ke
arah pintu, belum juga hilang kagetnya mendengar penuturan mamanya tadi
ditambah lagi munculnya seorang pemuda yang tak dikenalnya. Keduanya saling
berpandangan sejenak, lalu pemuda itu menegur Yoga.
“Malam, Bang…”
Tatapan Yoga penuh selidik. “Cari siapa?” katanya tidak bersahabat, ia
ingat dengan pembicaraannya dengan mama tadi dan sepertinya pemuda itu akan
menemui Kareena. Pikirnya.
“Kareena.”
“Kareena…?” ulang Yoga dan ia sudah mendengar dengan baik nama itu dan seharusnya
tidak perlu diulang lagi.
Pemuda itu mengulurkan tangannya kepada Yoga. “Mmm…saya Arman.” Di
sambut Yoga acuh tak acuh. “Anda pasti Abangnya Kareena.” Lanjut Arman berusaha
ramah.
“Saya memang Abangnya, ingat itu! Karin boleh bergaul dengan siapa pun
tapi jika ia sedang bersama kamu, maka dia sepenuhnya tanggung jawab kamu. Silahkan masuk.” Katanya setelah
memberi ultimatum kepada pemuda itu.
Arman memaksa tersenyum. “Terima kasih.”
Pemuda inilah yang membuat Kareena
membatalkan niat Mama untuk belanja!
Beberapa menit kemudian, Kareena pergi
dengan ceria setelah mendapatkan izin dari Om dan Tantenya. Om-nya sempat
terkejut juga, untung tante memberinya penjelasan. Kareena tidak kalah terkejut
setelah mengetahui kalau Arman mengajaknya nonton dengan naik mobil mewah.
Mereka sudah ada di dalam mobil. “Nggak salah nih? Mobil siapa yang kamu
bawa?” ledek Kareena sembari bercanda. Arman hanya tersenyum dan sekali-kali
melirik ke wajah Kareena yang duduk di sebelahnya. Tidak bisa ia sembunyikan
kebahagiaan di hatinya. ‘Inilah malam
bersejarah yang aku tunggu-tunggu selama ini.’ Guman Arman di dalam hati.
Kareena adalah gadis impiannya selama ini dan malam ini gadis impian itu telah
bersedia diajak nonton berdua dengannya. ‘Tuhan….
Inilah anugrah terindah-Mu’
‘Arman…..jangan senang dulu, belum tentu
Kareena menyukaimu.’ Sisi
lain di hati Arman sedang membantah.
“Arman….?”
Arman menoleh ke Kareena lalu ke jalanan lagi. “Kenapa? Kamu nggak suka
ya? Bapakku aja nggak keberatan meminjamkannya untuk kita.” Jelas Arman sedikit
sombong.
“Bukan, bukan itu…..” Kareena tidak meneruskan kata-katanya ia berpikir
dengan mengikuti ajakan Arman membuatnya merasa bersalah. Ia takut telah
menaburkan harapan untuk Arman. Tuhan….apa
yang telah aku lakukan ini? Mobil pun berhenti.
Arman memandang Kareena. “Kita sudah sampai.” Kata Arman. Mobil memasuki
area parkir gedung bioskop. Mereka sampai setengah jam lebih awal sehingga bisa
melihat-lihat dulu film apa saja yang akan diputar dan sayangnya semua film
yang tersedia berasal dari luar. “Yang mana Rin?” Tanya Arman.
“Memangnya kamu suka film
apa?” kata Kareena balik bertanya.
“Kalau aku sih terserah kamu saja.” Mereka berdiri di depan poster film
yang akan ditayangkan.
Kareena melirik Arman sekilas. “Yah, nggak bisa begitu dong. Aku tidak
mau kamu menonton film yang tidak kamu sukai hanya karena aku.”
Arman tersenyum, di depan mereka ada beberapa judul film yang sebenarnya
tidak begitu mereka sukai tapi karena sudah berniat untuk menonton tidak enak
juga dibatalkan. “Aku pilih teater nomor tiga dan nomor satu.” Kata Arman
akhirnya.
Giliran Kareena yang tersenyum. “Memangnya mau nginep di sini? Nonton
dua sekaligus…
Oke, kita pilih yang nomor tiga saja.”
Usul Kareena. Film yang memceritakan tentang ketidakpuasan manusia dengan
penciptanya alias menolak takdir.
“Siapa takut!” Arman setuju dan ia langsung memesan dua tiket untuk
teater nomor tiga. Setelah itu mereka duduk di ruangan di mana remaja terlihat
berpasang-pasangan ramai sekali sehingga tempat duduk pun nyaris tak tersisa.
Menit berikutnya Arman membawa Kareena ke kantin. “Kamu mau pesan minuman dan
makanan kecilnya apa, silahkan pilih.” Arman bersikap layaknya kekasih Kareena
yang rela memberikan apa saja kepada Kareena dan malah membuat Kareena bingung.
“Nanti saja deh.” Tolaknya halus.
“Kita masih punya banyak waktu dan bisa menikmati minuman sembari duduk
dan menunggu teater dibuka.” Kata Arman dan kali ini nadanya terkesan tidak
ingin direpotkan lagi nanti, ia pun memesan dua minuman kaleng dengan merek
ternama juga dua box makanan kecil lalu mengajak Kareena kembali ke tempat
duduk.
Kareena menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sembari menghela
napas dengan berat. Minuman kaleng yang baru saja diberikan Arman masih
tertutup rapat, matanya memandang beberapa pasangan yang terlihat sedang
bergandengan tangan yang ada nyaris di setiap sudut ruangan sembari
melihat-lihat poster film yang ditempatkan sepanjang dinding di ruangan itu.
Mereka sepertinya terlihat mesra-mesra dan juga menyukai film-film barat. Pikir
Kareena.
“Rin……?” lamunan Kareena buyar oleh panggilan pelan dari Arman. Kareena
menoleh seakan baru sadar kalau ada Arman yang sedang duduk bersamanya, ia coba
untuk tersenyum….
“Kok belum diminum?” tegur Arman setelah
melihat kaleng yang di tangan Kareena masih rapat dan detik berikutnya
tangannya melingkar ke pundak Kareena membuat Kareena sedikit tersentak dan
coba menenangkan tarikan napasnya hingga akhirnya bisa rileks kembali.
“Karin…?” lanjut Arman. Ia menatap Kareena dan mereka saling tatap sejenak dan
diam. Tidak ada yang mengiraukan apa pun yang akan mereka bicarakan di tempat
itu dan seperti yang ada di pikiran Kareena bahwa setiap pasangan yang ada di
tempat itu sekarang pastilah pasangan kekasih meski semuanya belum tentu benar
seperti halnya Kareena dengan Arman.
“Kenapa menatap aku seperti itu?” ujar Kareena tiba-tiba merasa risih
ditatap oleh Arman.
Arman malah tertawa pelan. “Aku ini bodoh sekali.” Ucapnya seperti orang
salah tingkah. “Bagaimana menurut kamu, apa pantas aku mengatakannya sekarang?”
“Mengatakan apa?” Kareena pura-pura tidak mengerti apa yang Arman
maksudkan. Tangan Arman sudah turun dari pundak Kareena namun kini ia menatap
mata Kareena dengan begitu lekat.
“Aku menyukai kamu, aku mencintai kamu, Karin.” Ujarnya setengah
berbisik seakan tidak rela orang lain mendengar perkataannya untuk Kareena.
Oh Tuhan…..
Kareena merasakan kalau saat itu
wajahnya berubah merah, biru, kuning atau bahkan semua warna pelangi. Bodoh! mana ada pelangi di malam hari, yang
ada juga bintang atau bulan. Kareena tersenyum kalem, ia merasa yakin
sekali kalau Arman akan mengatakan kata-kata itu hanya saja ia tidak percaya
akan secepat itu. Ya namanya juga anak muda, ia tidak mau terlambat khawatir
akan didahului orang lain.
“Karin…maaf, kamu jangan marah dulu ya. Aku sebenarnya tidak gampang
jatuh cinta, kamu boleh ambil keputusan kapan saja dan aku akan menunggu sampai
kapan pun, kapan pun.”
Kareena bingung, ia memang membutuhkan Arman tapi apakah itu cinta atau
bukan, ia tidak tahu. Terdengar suara indah Maria Oentu dari rekaman monitor
untuk mempersilahkan para calon penonton untuk segera masuk ke dalam teater
masing-masing. Arman dan Kareena beranjak dari tempat duduk mereka.
Di dalam gedung bioskop mereka sangat menikmati pertunjukan film, hingga
tanpa terasa waktu berlalu dengan begitu cepatnya. Kareena tidak mengajak Arman
untuk ngobrol di dalam, selain akan mengganggu penonton yang lain juga karena
niatnya datang memang untuk menonton. Dua jam berikutnya mereka melangkah
meninggalkan ruangan gelap itu.
“Bagaimana menurut kamu tentang cerita film tadi?” Tanya Arman setelah
mereka melewati lorong menuju pintu keluar. Pria itu coba menggandeng tangan
Kareena. Menurut Kareena, Arman itu pemuda yang baik hingga detik ini karena ia
tidak pernah berusaha untuk mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Biasanya
seorang cowok kalau mengajak cewek nonton bioskop mereka hanya bermaksud untuk
mencium ceweknya bukan menonton film. Itu kata Lucy pada Kareena dalam
kesempatan di sekolah mereka sekitar seminggu lalu. Tapi untungnya Arman bukan
cowok seperti itu. Pikir Kareena. “Karin…..?” Arman bicara lagi. “Bagaimana?”
“Apa? Masih mengenai film?” ujar Kareena. Lalu ia melanjutkan. “Kalau
menurut aku pribadi, itu hanya kelemahan seseorang yang tidak bisa menerima
takdir atau kenyataan hidup karena tidak rela ditinggalkan orang yang teramat
ia cintai hingga berusaha untuk menghidupkan pasangannya lagi. Mengharukan
sekaligus tidak bisa diterima nalar.” Kata Kareena panjang lebar. “Semua itu
diakibatkan cinta yang berlebihan, kata orang tuaku, segala yang berlebihan itu tidak baik
akibatnya.” Tambah Kareena seakan belum puas dengan penjelasannya.
Arman hanya tertawa kecil, ia tak menyangka kalau penjelasan Kareena
begitu mendetail. Mereka menuju tempat parkir dan di sana tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara yang tidak sopan sekaligus mengancam.
“Hai?!” sapa seorang wanita dan detik berikutnya menyusul tiga orang
pria dari belakangnya. Wanita itu menatap tajam ke wajah Arman. “Sepertinya
kamu sudah coba menyingkirkan aku!” ketusnya agak geram.
“Hai, Sally.” Sapa Arman lalu menoleh ke Kareena. “Kenalkan, ini
Kareena.” Katanya dengan santai seolah tidak memahami kemarahan wanita yang
bernama Sally itu. Kareena yang tidak mengerti apa-apa menoleh ke Arman lalu ke
wanita yang dimaksud Arman. Wanita itu menatap Kareena dengan rendah hingga ia
terkesan sombong, tatapannya sinis ke Kareena. Ia menganggap Kareena adalah
gadis penakut yang telah merebut pacarnya. Tapi apa pedulinya.
Siapa Sally..???
**
Bersambung....)))