Jumat, 14 September 2012

FIRAN FIRANA


Sinopsis Novel ( Firan Firana )
       Firan Firana, seorang gadis yang cuek, hobi membaca novel dan bermain biliar. Ia tidak memiliki seorang pun teman sejak lulus dari SMA. Saat kuliah di semester 4, ia punya sahabat baru bernama Rossi. Tadinya Firan tidak ingin berteman dengan gadis itu. Rossi seorang wanita yang cantik, tidak heran jika ada saja yang menggodanya atau sekadar iseng, tapi ada juga yang sampai melecehkannya.

Sebagai sahabat Rossi, Firan merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Saking tidak bisa membelanya ia terlihat sangat cuek dengan apa yang menimpa Rossi. Ia beranggapan bahwa kaum wanita terlahir di dunia ini hanya sebagai objek keisengan kaum pria saja. Tak disangka, satu demi satu, orang-orang yang mengganggu atau menyakiti Rossi ditemukan tewas dengan cara yang mengenaskan dan misterius.


Rossi menghilang, padahal dia penyebab utama terbunuhnya beberapa orang. Firan yang yang telah lulus dan menjadi seorang pengacara, menangani kasus pembunuhan ini. Siapakah sebenarnya pelaku pembunuhan berantai tersebut? Dapatkah Firan mengungkapnya?

 

Kamis, 13 September 2012

Selembar Tirai




                                                              BAB 1
Siapa mencintai siapa?
     Gema suara guntur menggelegar membahana seakan mau membelah bumi ini diiringi derasnya hujan yang berjatuhan dari langit, inilah alam yang penuh dengan misterinya namun Tuhan maha mengetahui. Air mulai menggenangi halaman rumah-rumah penduduk, banjir kecilpun sudah mulai kelihatan. Jakarta memang rawan banjir, apalagi kalau kota Bogor sudah hujan maka Jakarta rela tidak rela akan menerima air kiriman dari sana.
       Kareena menyandar di tiang halte bis, gadis itu terlihat kedinginan. Ia tak peduli dengan satu dua orang yang ada di bawah halte itu, matanya menatap kosong pada titik-titik hujan yang jatuh di depannya. Ia melipat kedua tangannya di dada, ia melamun atau sedang mengingat masa lalunya waktu di Palembang. Perjalananya masih sangat panjang.
      “Karin…….?” Suara itu disertai dengan sentuhan lembut di pundak Kareena memaksanya menoleh dari datangnya suara dan terlihatlah sebuah senyuman manis dan gigi-gigi putih yang cemerlang, Kareena pun membalas senyum tulus itu. “Pulang bareng, yuk?” ajak Arman. Teman sekelas Kareena. Mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu, hanya saja Arman menutupinya dengan jaket kulit. Arman datang ke sekolah mengendarai motor tapi tadi Kareena tidak mendengar suara motornya berhenti. Entah itu untuk yang keberapa kalinya Arman mengajak Kareena pulang bersamanya dan belum pernah dikabulkan oleh Kareena.
      “Duluan aja, Ar….. lagian masih gerimis ini.” Kata Kareena beralasan dan belum beranjak dari tempat duduknya.
       “Oke, kalau begitu gimana kalau kita sama-sama tunggu gerimisnya reda.” Sepertinya Arman bersikeras dan bersabar, kesabaran Arman selama ini sering membuat Kareena seringkali goyah. Sudah hampir dua bulan ini pria itu coba mendekatinya, itu yang diketahui Kareena, tapi menurut lucy sahabat Kareena, pria itu menyukai Kareena sejak ia masuk sekolah itu. Mungkin.
      Arman bukan anak sembarangan, ia termasuk murid yang jenius, sopan dan tampan pastinya. Tapi dia playboy dari anak orang kaya. Tapi sejak menyukai Kareena ia jarang membawa mobil karena ia tahu Kareena tidak suka ia mengumbar kekayaan orang tuanya. Sepertinya demi mendapatkan cinta Kareena saja.
      Kali ini pria itu sudah berdiri di samping Kareena dan bicara dengan agak berbisik. “Karin… kamu tidak menyukai aku, ya?”
      Kareena melirik ke wajah Arman sekilas. “Kamu ngomong apa sih?” katanya pelan dan malu, lalu menoleh lagi ke jalanan.
      Arman belum menjauhkan wajahnya dari dekat Kareena. “Bukannya tanpa alasan aku bertanya seperti itu, jawablah.” Ujarnya. Kareena tidak ingin terlalu menghiraukan kata-kata Arman. Ia menarik napas sejenak lalu menatap pria itu. Pria itu masih menantinya dengan sabar.
      “Sepertinya untuk menjawab pertanyaanmu, kali ini aku harus mengikuti ajakanmu.” Kali ini Kareena mengalah.
       Arman menatap gadis itu dengan rasa masih tidak percaya. Beberapa detik berikutnya
mereka sudah meninggalkan area halte karena hujan pun sudah mulai berhenti. Arman masih tidak percaya kalau akhirnya Kareena benar-benar mau pulang bersamanya. Setelah perjalanan
satu menit Arman menepikan motornya. Berhenti.
      “Bagaimana kalau kita mampir dan makan dulu di sana?” usulnya setelah menunjuk ke arah kafe kecil.
       “Sebaiknya kita langsung pulang saja.” Kareena tidak mengabulkan permintaan Arman.
       Arman menoleh ke belakang sedikit untuk bicara dengan Kareena. “Kenapa? Apa anak SMA tidak pantas makan di kafe?” katanya sembari tertawa kecil.
      “Mungkin ya, tapi yang pasti aku merasa nggak enak aja dengan seragam yang masih kita kenakan ini.” Sahut Kareena. Ia tidak ingin dilihat orang makan-makan di kafe dengan masih mengenakan seragam sekolah. Kurang etis saja, itu pikir Kareena.
      “Oke….” Arman memaklumi apa yang Kareena katakan. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan dan gerimis pun turun lagi. Ketika sampai di tempat tinggal Kareena, Arman tidak mau masuk meskipun tantenya Kareena sudah menawarkannya untuk mampir. Arman cukup merasa bahagia bisa mengantar Kareena pulang. Arman Arman…..!
      Tante yang melihat baju Kareena basah menjadi khawatir. “Mengapa memaksa pulang kalau masih hujan?” katanya. Ia tidak mempermasalahkan Kareena pulang naik motor temannya tapi kalau kehujanan gadis itu bisa saja sakit.
       “Tadi sebenarnya dari sekolahan hujannya sudah berhenti Tante, tapi pas mau nyampe hujan
lagi, rasanya tanggung juga berhenti lagi.” Kareena sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
       “Tapi lain kali tidak boleh seperti itu lagi nanti kamu bisa sakit, kamu ganti baju sana terus makan, tidak usah menunggu Yoga.” Saran tantenya dengan nada seperti biasa, lembut dan penuh perhatian. Wanita karir itu berjalan ke kamarnya, hari sabtu ia libur dan memang senang menghabiskan waktunya di rumah. Kalaupun pergi biasanya hari minggu itupun biasanya ke pantai bersama suaminya.
       Kareena masuk ke kamarnya, ia belum ada nafsu untuk makan. Beberapa detik saja alunan suaranya Tantri Kotak terdengar indah ‘Masih Cinta’ Hmm….. bayangan Dody pun muncul bersama lagu itu. Kareena tidak tahu apa ia menyukai lagu itu atau berusaha memunculkan bayangan Dody. Hampir tiga tahun sudah ia coba melupakan pria itu.
      Di Palembang, waktu kenaikan kelas 3 SMP Kareena dipindahkan dari 3C ke 3A karena ia juara 1 di kelasnya. Kareena ingat saat itu Zonzona teman sekelasnya memanggilnya.
       “Karin……..!” pria hitam manis itu berlari ke arah Kareena. Kareena menoleh sedetik saja pria itu sudah ada dihadapannya dengan napas ngos-ngosan. “Aku, aku…….dapat bocoran dari guru matematika kita, katanya nilai kamu tertinggi di kelas, selamat ya.”
      Saat itu Kareena hanya tersenyum, apa mungkin belajar sembari mendengarkan lagu bisa menjadi bintang kelas? Pikirnya. Karena setiap belajar di rumah Kareena selalu menyetelkan lagu-lagu kesukaannya. Tapi Kareena memang menyukai pelajaran matematika, didukung oleh gurunya yang selalu menyenangkan. Fokus saat menerima penjelasan di kelas dan latihan mengerjakan soal, hanya itu yang Kareena lakukan.
       Di kelas 3A berkumpul anak-anak yang dianggap rajin belajar dengan tekun dan memang sudah jenius. Kareena termasuk bukan yang jenius, ia hanya rajin mengulangi pelajaran di rumah
dan tekun menyimak guru di sekolah dan ia paling anti menyontek. Kareena sendiri tidak tahu mengapa gurunya membuat sistim seperti itu.
      Dody adalah ketua kelas 3A, ia tampan sekali, kulitnya putih dan bibirnya seksi. Ia jago bicara Inggris, terkadang suka membuat tulisan-tulisan dengan bahasa Inggris di papan tulis kalau lagi jam istirahat. Hampir setiap ada kesempatan Kareena mencuri pandang kepada pria itu, tapi demi Tuhan, sebelah mata pun Dody tidak pernah meliriknya. Mungkin di matanya Kareena hanyalah gadis lugu yang pemalu. Pernah mereka mengerjakan tugas kelompok soal matematika, hanya sebatas itu. Dody bicara pada Kareena hanya soal matematika saja, tidak lebih. Ia boleh bicara cas cis cus dengan Inggrisnya tapi ia lemah di matematika. Dan yang sangat menyakitkan hati Kareena ketika ia mengetahui kalau Dody ternyata dekat dengan Lina, gadis itu sudah sekelas dengan Dody sejak dari kelas 1. Kareena terluka, akhirnya selepas SMP ia mengabulkan permintaan tantenya untuk pindah dari Palembang ke Jakarta. Sebenarnya sejak dari SMP tantenya sudah memintanya pindah, alasannya di rumah kurang orang. Karena beliau hanya memiliki Yoga sementara Kareena lima bersaudara dan Kareena anak tertua.
       Suara deringan ponsel membuyarkan lamunan Kareena, ia langsung mengangkatnya. “Halo…?’
       “Rin….” Ternyata Arman. “Aku mengajak kamu nonton nanti malam, mau ya?” pinta Arman. Kareena diam, bingung. “Ayolah Rin…. Tidak mungkin aku berani mengajakmu kalau bukan malam minggu.” Suara Arman pelan namun penuh harap sementara Kareena masih membisu. Ia tidak percaya kalau Arman begitu cepat bersikap berani. “Karin…..kamu masih di situ, kan?”
       “Ya, tentu saja. Aku masih mendengarkanmu.” Sahut Kareena pelan setelah lama diam.
       “Tapi mengapa? Kurasa film yang diputar di bioskop tidak hanya untuk dua puluh tahun ke atas, kan? Pasti ada untuk usia tujuh belas tahunnya.” Kata Arman setengah menjelaskan. Kareena hanya tersenyum dan tentu saja Arman tidak melihat senyumnya.
       “Oh, ya? Tapi asal kamu tahu Man, aku ini belum tujuh belas tahun.” Sahut Kareena setengah tertawa.
       “Oh, ya?” Diam sesaat. Lalu…. “Tapi Rin….. apa yang harus aku lakukan? Aku sebenarnya ingin sekali nonton bersama kamu malam ini.” Rengek Arman.
       “Kita lihat saja nanti….”
       Putus!
                                                                            *
       Pukul lima sore, Yoga baru saja pulang di saat Kareena baru bangun dari tidur siangnya dan seperti biasa ia menegur Yoga dan dijawab sekedarnya sambil lalu ke kamarnya. Yoga si cool yang cuek berbeda sekali dengan Om dan Tante, saking cueknya hampir tiga tahun Kareena tinggal di rumahnya belum juga ia tahu bagaimana pribadi Yoga yang sebenarnya dan siapa pacarnya. Di mata Kareena pria itu agak misterius. Kalau sekali-kali mereka bertemu pandang Kareena langsung buru-buru mengalihkan matanya ke arah lain karena sepasang mata Yoga seperti mata elang yang kapan saja siap menerkamnya, itu menakutkan tapi Kareena penasaran… dan terkadang menginginkan tatapan itu.
       Tante menyambut Yoga dengan senyum bijak seorang ibu. “Yoga, nanti malam bisa temani Mama dan Karin belanja?” Tanya tante setelah Yoga menyelesaikan makannya. Yoga menatap mamanya.
       “Belanja?” ulangnya seakan menegaskan.
       “Ya, tapi kalau nggak bisa juga nggak apa-apa kok.” Katanya tidak memaksa anaknya.
       “Ya, nanti Yoga usahain deh, Ma.” Kata Yoga mempertimbangkan, setelah itu ia dan mamanya meninggalkan meja makan karena akan segera dibersihkan oleh bi Ima. Yoga menuju ruangan televisi sementara mamanya pergi ke kamar Kareena.
       “Karin…. Nanti malam ada acara tidak?” kata tante setelah duduk di tempat tidur keponakannya itu. Kareena menoleh kepada tantenya karena pertanyaan seperti itu tidak pernah ia dengar sebelumnya. Wajah tante terlihat begitu tenang dan Kareena pikir inilah saatnya untuk mengatakan sesuatu. Tapi ia tidak yakin apakah tantenya akan marah atau bahkan memaki-makinya dan mengatakan ia tidak tahu diri! “Hei….. kamu mengapa bengong?”
      Kareena coba untuk tersenyum, ia jadi salah tingkah karena ketahuan melamun. “Mm... Tante, nanti malam, temanku si Arman mengajak nonton bioskop, boleh?” nadanya agak tertahan karena takut dimarahi. Tiba-tiba Kareena merasa bodoh mengapa bertanya seperti itu padahal Arman sendiri tidak pernah berjanji untuk menjemputnya, mengiyakan ajakan Arman saja belum. Tapi pertanyaan itu sudah terlanjur keluar dan Kareena sudah siap menanggung
resiko dari kebodohannya tapi anehnya ia malah melihat tantenya melebarkan senyuman.
       “Tidak apa-apa, Tante juga melihat ia pemuda yang baik. Bukannya Tante mendorong kamu
untuk bergaul bebas, karena semua itu ada ketentuannya dan yang lebih penting harus bisa menjaga diri.” Wanita itu lagi-lagi tersenyum, mungkin ia ingat saat pertama kali pergi dengan cowok dulu waktu ia duduk di kelas tiga SMP. “Tapi Tante agak sedikit kecewa.” Tambahnya. Kareena tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh tantenya. “Jangan bingung begitu sayang… Tante tadi sebenarnya sudah bicara sama Yoga agar ia bisa mengantar kita belanja malam ini.”  
       “Oh, kalau begitu akan aku batalkan kepergianku sama Arman.” Sahut Kareena dengan cepat karena merasa tidak enak dengan tantenya.
       Wanita itu jadi tersenyum. “Tidak sayaaannng, kalian yang lebih dulu berjanji. Kita bisa pergi kapan saja.” Ujarnya lalu meninggalkan Kareena. Kareena tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi tantenya keluar dari kamar. Ketulusan wanita itulah yang membuat ia betah tinggal di rumah itu, kalau ia ingta sikap Yoga maka rasanya ia ingin sekali buru-buru menamatkan sekolahnya lalu mencari kerja dan hidup mandiri.
       Kareena turun dari kamar, di ruang keluarga ia melihat Yoga sedang asyik sekali menyimak acara di televisi. Entah mengapa ia kali ini menonton di ruang keluarga, biasanya juga mendekam di kamarnya yang dilengkapi segala macam benda elektronik. ‘sombong sekali mahluk satu itu.’ Guman Kareena dalam hari sembari berjalan ke dapur tempat bi Ima sibuk, Kareena senang membantu bi Ima di dapur. Dari kelas 3 SD ia memang sudah dibiasakan oleh ibunya untuk mengurus dapur dan belajar masak.
       “Ayo Karin…..apa yang sedang kamu lakukan?” kata tante setelah melihat Kareena ada di dapur, ia sedang sibuk bersama bi Ima di meja dapur. Kareena ikut duduk di sebelah tantenya.
       “Tante…..” sapa Kareena sepelan suara tantenya tadi. “Tante sepertinya salah kalau selalu
melarangku untuk membantu Bi Ima.” Protes Kareena sebab wanita itu selalu saja mengkhawatirkannya kalau sedang bersama bi Ima.
       “Apa nanti kata Ibumu? Tugas kamu di sini adalah belajar dan meramaikan rumah ini.” Sahutnya.
       Kareena menatap tentenya. “Bagaimana aku bisa belajar masak kalau tidak pernah diperbolehkan ke dapur? Coba Tante bayangin seandainya nanti aku tidak mampu untuk membayar orang seperti Bi Ima, apa yang harus aku lakukan pada keluargaku nanti?” katanya seolah minta pertimbangan wanita yang baik hati itu. Tante melebarkan senyumnya dan sekilas melirik bi Ima.
       “Bi, denger tuh.” Ledeknya. Bi Ima hanya senyum-senyum masam. Kembali tante menatap Kareena. “Kata-kata kamu memang ada benarnya Rin, apa semua ini karena seorang Arman?”
       “Tidak Tante, Arman itu bukanlah siapa-siapa, untuk lima tahun ke depan tugasku adalah belajar dan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya kendatipun begitu aku tetaplah seorang wanita yang harus mengerti tentang dapur, karena wanita harus memiliki ilmu lebih dari lelaki, aku benarkan, Tante?” ucapnya kemudian.
       “Tante mengangguk. “Tentu saja.”
                                                                           *
Menjelang malam, cuaca sangat cerah.
Kareena duduk di kamarnya seperti orang bingung, ia bertanya-tanya dalam hati apakah Arman
akan menjemputnya atau tidak? Di bawah terdengar Om baru saja pulang dari kerja, dia adalah pria yang sangat dihormati di rumah itu. Perawakannya tinggi besar, rajin sekali menegur setiap orang yang ditemuinya, penyayang dan tegas dalam bersikap.
      Yoga menghampiri mamanya. “Ma, aku sepertinya aku bisa mengantar Mama.” Ucapan Yoga itu terdengar hingga ke telinga Kareena. Sebab ruang tengah mereka pas ada di dekat tangga menuju lantai atas, di mana kamar Yoga dan Kareena bersebelahan.
       “Wah, besok saja ya sayang…. Malam ini Kareena tidak bisa ikut karena sudah ada janji dengan temannya.”
       Yoga sedikit kaget mendengar pernyataan mamanya, tidak biasanya Kareena punya janji pergi pada malam hari. “Janji?” katanya seakan tidak percaya dengan keterangan mamanya.
      Kriiiiiinnnnnnnnng!!!
       Bel pintu depan berdering. Tante menoleh ke Yoga. “Sayang…..tolong bukakan pintu sebentar ya.” Pintanya. Sepertinya ada tamu. Yoga berjalan ke arah pintu, belum juga hilang kagetnya mendengar penuturan mamanya tadi ditambah lagi munculnya seorang pemuda yang tak dikenalnya. Keduanya saling berpandangan sejenak, lalu pemuda itu menegur Yoga.
       “Malam, Bang…”
       Tatapan Yoga penuh selidik. “Cari siapa?” katanya tidak bersahabat, ia ingat dengan pembicaraannya dengan mama tadi dan sepertinya pemuda itu akan menemui Kareena. Pikirnya.
       “Kareena.”
       “Kareena…?” ulang Yoga dan ia sudah mendengar dengan baik nama itu dan seharusnya tidak perlu diulang lagi.
       Pemuda itu mengulurkan tangannya kepada Yoga. “Mmm…saya Arman.” Di sambut Yoga acuh tak acuh. “Anda pasti Abangnya Kareena.” Lanjut Arman berusaha ramah.
       “Saya memang Abangnya, ingat itu! Karin boleh bergaul dengan siapa pun tapi jika ia sedang bersama kamu, maka dia sepenuhnya tanggung jawab kamu. Silahkan masuk.” Katanya setelah memberi ultimatum kepada pemuda itu.
       Arman memaksa tersenyum. “Terima kasih.”
       Pemuda inilah yang membatalkan niat Mama untuk belanja!
Beberapa menit kemudian, Kareena pergi dengan ceria setelah mendapatkan izin dari Om dan Tantenya. Om-nya sempat terkejut juga, untung tante memberinya penjelasan. Kareena tidak kalah terkejut setelah mengetahui kalau Arman mengajaknya nonton dengan naik mobil mewah.
       Mereka sudah ada di dalam mobil. “Nggak salah nih? Mobil siapa yang kamu bawa?” ledek Kareena sembari bercanda. Arman hanya tersenyum dan sekali-kali melirik ke wajah Kareena yang duduk di sebelahnya. Tidak bisa ia sembunyikan kebahagiaan di hatinya. ‘Inilah malam bersejarah yang aku tunggu-tunggu selama ini.’ Guman Arman di dalam hati. Kareena adalah gadis impiannya selama ini dan malam ini gadis impian itu telah bersedia diajak nonton berdua dengannya. ‘Tuhan…. Inilah anugrah terindah-Mu’
      ‘Arman…..jangan senang dulu, belum tentu Kareena menyukaimu.’ Sisi lain di hati Arman sedang membantah.
       “Arman….?”
       Arman menoleh ke Kareena lalu ke jalanan lagi. “Kenapa? Kamu nggak suka ya? Bapakku aja nggak keberatan meminjamkannya untuk kita.” Jelas Arman sedikit sombong.
      “Bukan, bukan itu…..” Kareena tidak meneruskan kata-katanya ia berpikir dengan mengikuti ajakan Arman membuatnya merasa bersalah. Ia takut telah menaburkan harapan untuk Arman. Tuhan….apa yang telah aku lakukan ini? Mobil pun berhenti.
       Arman memandang Kareena. “Kita sudah sampai.” Kata Arman. Mobil memasuki area parkir gedung bioskop. Mereka sampai setengah jam lebih awal sehingga bisa melihat-lihat dulu film apa saja yang akan diputar dan sayangnya semua film yang tersedia berasal dari luar. “Yang mana Rin?” Tanya Arman.
       “Memangnya kamu suka film apa?” kata Kareena balik bertanya.
       “Kalau aku sih terserah kamu saja.” Mereka berdiri di depan poster film yang akan ditayangkan.
       Kareena melirik Arman sekilas. “Yah, nggak bisa begitu dong. Aku tidak mau kamu menonton film yang tidak kamu sukai hanya karena aku.”
       Arman tersenyum, di depan mereka ada beberapa judul film yang sebenarnya tidak begitu mereka sukai tapi karena sudah berniat untuk menonton tidak enak juga dibatalkan. “Aku pilih teater nomor tiga dan nomor satu.” Kata Arman akhirnya.
       Giliran Kareena yang tersenyum. “Memangnya mau nginep di sini? Nonton dua sekaligus…
Oke, kita pilih yang nomor tiga saja.” Usul Kareena. Film yang memceritakan tentang ketidakpuasan manusia dengan penciptanya alias menolak takdir.
       “Siapa takut!” Arman setuju dan ia langsung memesan dua tiket untuk teater nomor tiga. Setelah itu mereka duduk di ruangan di mana remaja terlihat berpasang-pasangan ramai sekali sehingga tempat duduk pun nyaris tak tersisa. Menit berikutnya Arman membawa Kareena ke kantin. “Kamu mau pesan minuman dan makanan kecilnya apa, silahkan pilih.” Arman bersikap layaknya kekasih Kareena yang rela memberikan apa saja kepada Kareena dan malah membuat Kareena bingung.
       “Nanti saja deh.” Tolaknya halus.
       “Kita masih punya banyak waktu dan bisa menikmati minuman sembari duduk dan menunggu teater dibuka.” Kata Arman dan kali ini nadanya terkesan tidak ingin direpotkan lagi nanti, ia pun memesan dua minuman kaleng dengan merek ternama juga dua box makanan kecil lalu mengajak Kareena kembali ke tempat duduk.
       Kareena menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sembari menghela napas dengan berat. Minuman kaleng yang baru saja diberikan Arman masih tertutup rapat, matanya memandang beberapa pasangan yang terlihat sedang bergandengan tangan yang ada nyaris di setiap sudut ruangan sembari melihat-lihat poster film yang ditempatkan sepanjang dinding di ruangan itu. Mereka sepertinya terlihat mesra-mesra dan juga menyukai film-film barat. Pikir Kareena.
       “Rin……?” lamunan Kareena buyar oleh panggilan pelan dari Arman. Kareena menoleh seakan baru sadar kalau ada Arman yang sedang duduk bersamanya, ia coba untuk tersenyum….
“Kok belum diminum?” tegur Arman setelah melihat kaleng yang di tangan Kareena masih rapat dan detik berikutnya tangannya melingkar ke pundak Kareena membuat Kareena sedikit tersentak dan coba menenangkan tarikan napasnya hingga akhirnya bisa rileks kembali. “Karin…?” lanjut Arman. Ia menatap Kareena dan mereka saling tatap sejenak dan diam. Tidak ada yang mengiraukan apa pun yang akan mereka bicarakan di tempat itu dan seperti yang ada di pikiran Kareena bahwa setiap pasangan yang ada di tempat itu sekarang pastilah pasangan kekasih meski semuanya belum tentu benar seperti halnya Kareena dengan Arman.
       “Kenapa menatap aku seperti itu?” ujar Kareena tiba-tiba merasa risih ditatap oleh Arman.
       Arman malah tertawa pelan. “Aku ini bodoh sekali.” Ucapnya seperti orang salah tingkah. “Bagaimana menurut kamu, apa pantas aku mengatakannya sekarang?”
       “Mengatakan apa?” Kareena pura-pura tidak mengerti apa yang Arman maksudkan. Tangan Arman sudah turun dari pundak Kareena namun kini ia menatap mata Kareena dengan begitu lekat.
       “Aku menyukai kamu, aku mencintai kamu, Karin.” Ujarnya setengah berbisik seakan tidak rela orang lain mendengar perkataannya untuk Kareena.
       Oh Tuhan…..
Kareena merasakan kalau saat itu wajahnya berubah merah, biru, kuning atau bahkan semua warna pelangi. Bodoh! mana ada pelangi di malam hari, yang ada juga bintang atau bulan. Kareena tersenyum kalem, ia merasa yakin sekali kalau Arman akan mengatakan kata-kata itu hanya saja ia tidak percaya akan secepat itu. Ya namanya juga anak muda, ia tidak mau terlambat
khawatir akan didahului orang lain.
       “Karin…maaf, kamu jangan marah dulu ya. Aku sebenarnya tidak gampang jatuh cinta, kamu boleh ambil keputusan kapan saja dan aku akan menunggu sampai kapan pun, kapan pun.”
       Kareena bingung, ia memang membutuhkan Arman tapi apakah itu cinta atau bukan, ia tidak tahu. Terdengar suara indah Maria Oentu dari rekaman monitor untuk mempersilahkan para calon penonton untuk segera masuk ke dalam teater masing-masing. Arman dan Kareena beranjak dari tempat duduk mereka.
       Di dalam gedung bioskop mereka sangat menikmati pertunjukan film, hingga tanpa terasa waktu berlalu dengan begitu cepatnya. Kareena tidak mengajak Arman untuk ngobrol di dalam, selain akan mengganggu penonton yang lain juga karena niatnya datang memang untuk menonton. Dua jam berikutnya mereka melangkah meninggalkan ruangan gelap itu.
       “Bagaimana menurut kamu tentang cerita film tadi?” Tanya Arman setelah mereka melewati lorong menuju pintu keluar. Pria itu coba menggandeng tangan Kareena. Menurut Kareena, Arman itu pemuda yang baik hingga detik ini karena ia tidak pernah berusaha untuk mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Biasanya seorang cowok kalau mengajak cewek nonton bioskop mereka hanya bermaksud untuk mencium ceweknya bukan menonton film. Itu kata Lucy pada Kareena dalam kesempatan di sekolah mereka sekitar seminggu lalu. Tapi untungnya Arman bukan cowok seperti itu. Pikir Kareena. “Karin…..?” Arman bicara lagi. “Bagaimana?”
       “Apa? Masih mengenai film?” ujar Kareena. Lalu ia melanjutkan. “Kalau menurut aku pribadi, itu hanya kelemahan seseorang yang tidak bisa menerima takdir atau kenyataan hidup karena tidak rela ditinggalkan orang yang teramat ia cintai hingga berusaha untuk menghidupkan
pasangannya lagi. Mengharukan sekaligus tidak bisa diterima nalar.” Kata Kareena panjang lebar. “Semua itu diakibatkan cinta yang berlebihan, kata orang tuaku, segala yang berlebihan itu tidak baik akibatnya.” Tambah Kareena seakan belum puas dengan penjelasannya.
       Arman hanya tertawa kecil, ia tak menyangka kalau penjelasan Kareena begitu mendetail. Mereka menuju tempat parkir dan di sana tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara yang tidak sopan sekaligus mengancam.
       “Hai?!” sapa seorang wanita dan detik berikutnya menyusul tiga orang pria dari belakangnya. Wanita itu menatap tajam ke wajah Arman. “Sepertinya kamu sudah coba menyingkirkan aku!” ketusnya agak geram.
***
Siapa wanita itu.....???
Bersambung>>>

Rabu, 12 September 2012

Si Monette



                                                        MINTONETTE
                                               ( Sebuah Novel fiksi tentang Pemain Voli )
                                                                     BAB 1
                                                       ‘PROLIGA TAHUN 2012’

Si Monette
       “Yah, dari tim Rajawali sedang siap-siap untuk melakukan servis ke area tim Elang dengan tehnik float-nya, dan bola mengarah pas ke Libero tim Elang, sang Libero mengoper bola lambung ke Tosser disambut dengan back set lalu mengumpan ke belakang di mana ada si Monette yang berdiri di posisi  lima yang tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sedikit pun, langsung melakukan gerakan apprvoach-nya…..” sang komentator jeda beberapa detik lalu.. ”Yaaa…. Si Monette berhasil melakukan bounce-nya tanpa bisa di-block oleh tim Rajawali!”
       Tim Elang bergembira dan mereka berpelukan sejenak lalu kembali siap-siap pada posisi masing-masing.
       Sang komentator kembali berkicau, karena tidak ada time out yang diminta dari pihak mana pun hingga permainan bisa dilanjutkan.
       “Macth point untuk tim Elang di set kelima ini, di mana tim Elang sudah memenangkan dua set sebelumnya dengan perolehan 25-23, 25-27, 25-22, 23-25 dan sekarang 14 dan 13….., apakah akan kembali terjadi pindah bola…? Si Monette telah berada di posisi empat dan kita akan menunggu apa yang akan terjadi…., apakah ia akan menggunakan quick hit-nya? Atau dengan cross-shot-nya yang mematikan itu…? Kini si Maya sedang siap-siap untuk melakukan servis ke tim Rajawali di mana ke eman pemain sudah siap dengan posisi masing-masing, Maya akan melakukan jump serve…”
       Semua penonton yang berada di stadion Glora Bung Karno diam seolah menahan napas,
supporter dari tim Rajawali deg-degan tak terkecuali juga supporter dari tim Elang. Dan yang lebih deg-degan adalah seorang pria yang sedang menonton siarang langsung di televisi dari rumah, ia adalah kekasihnya Monette, yang tak pernah diperbolehkan ikut menonton langsung di lapangan lantaran kelemahan Monette adalah tidak bisa fokus bermain kalau ada kekasihnya dekat lapangan alias deg-degan.
       “…Yap, Maya telah berhasil melakukan jump serve-nya ke area tim Rajawali disambut dengan tenang oleh tim Rajawali, apakah tim Elang akan memenangkan final Proliga tahun ini? Atau tetap berada di runner-up seperti tahun kemarin….? Bola telah kembali ke tim Elang setelah Monette berhasil mem-block serangan dari tim Rajawali, sang Tosser memberikan operan Overhand pass kepada Monette dan……..”
       ???

                                                                     *******


7 Februari 2000
Sore itu, seorang gadis kecil terlihat sedang asyik duduk bersandar pada kaki ayahnya yang lagi fokus menonton pertandingan babak penyisihan turnamen bola voli antar kampung yang diadakan tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya.
       Ada beberapa anak kecil yang juga ikut menonton bersama orang tua mereka, tapi kebanyakan anak-anak hanya menghabiskan waktunya untuk jajan di tempat itu yang kebetulan banyak pedagang dadakan selalu hadir setiap ada momen menghadirkan keramaian. Tapi gadis yang berusia sekitar tujuh tahun itu malah asyik sekali melihat para pemain voli yang sedang berlaga itu tanpa merasa terusik dengan berisiknya suara komentator dari pengeras suara yang disediakan oleh panitia pelaksana turnamen.
      Mereka duduk tidak terlalu dekat lapangan karena ayahnya mungkin takut anaknya kena smash oleh ketiga pemain nasional yang kebetulan masuk pada salah satu tim yang sedang berlaga di lapangan itu.
       Pria-pria jangkung yang sedang membela tim mereka terlihat gesit sekali melakukan
passing dan  tossing bola pada temannya lalu sang spiker menuntaskan operan itu dengan strong spike-nya. Semua momen, dan gerakan dari para pemain itu tak pernah lepas dari mata si gadis kecil, dan detik berikutnya ia berdiri dan melompat kegirangan saat salah satu pemain berhasil mem-block.
       “Min, hati-hati, Nak” ujar ayahnya takut anak itu jatuh karena melompat seolah ingin meniru sang blocker tadi.
       “Dia hebat Ayah!” teriaknya dengan suara bercampur dengan suara-suara riuh dan tepuk tangan para penonton.  
                                                                           ***


Gadis itu segera turun dari motor butut ayahnya lalu berlari ke dalam rumah untuk mencari ibundanya.
       “Ibu, Monette baru saja menonton bola sama Ayah.”
       “Ya, Ibu tahu.” Sahut ibunya yang kebetulan sedang menonton televisi karena tadi suaminya sudah pamit. Gadis kecil itu ikut duduk di depan tivi sedang adik laki-lakinya berlari menemui ayahnya untuk diajak keliling kampung naik motor.
       “Bu, Monette mau ikut main seperti kakak-kakak di lapangan itu.”
       “Apa?” wanita tiga puluhan itu kaget mendengar permintaan anak gadisnya. “Main bola?
Tidak! Anak perempuan tidak boleh main bola kaki, main bola itu pekerjaannya anak laki,
kamu sekolah saja nanti jadi dokter atau jadi pramugari.” Tukasnya mengira gadis kecilnya
ingin bermain bola kaki.      
       “Tidak, jadi pramugari nanti pesawatnya jatuh, Monette ikut jatuh.” Kata gadis kecil itu
dengan polosnya.
       Ia dinamai ayahnya Mintonette. Ayahnya suka memanggil ‘Min’ sedang ibunya
memanggil ‘Mon’. si Monette kecil terlihat manyun karena ibunya melarang main bola tapi ia tidak akan putus asa, sebab ia belum menyampaikan keinginannya itu kepada ayahnya yang sering mengajaknya menonton turnamen sejak ia usia lima tahun.
       Ia kembali ke kamarnya di mana tempat ia dan adiknya tidur, Monette mengambil buku yang pernah dikasih ayahnya saat tiga bulan sebelum ia masuk SD. Sebuah buku dengan ketebalan tak lebih dari seratus halaman, buku tentang sejarah asal usul permainan bola voli dan ternyata dari buku itulah Monette tahu arti namanya. Ia mengulang lagi membaca buku itu….,
       Pada awal penemuannya, olahraga permainan bola voli ini diberi nama Mintonette. Olahraga Mintonette ini pertama kali ditemukan oleh seorang Instruktur pendidikan jasmani (Director of Phsycal Education) yang bernama William G. Morgan di YMCA pada tanggal 9 Februari 1895, di Holyoke, Massachusetts (Amerika Serikat).
William G. Morgan dilahirkan di Lockport, New York pada tahun 1870, dan meninggal pada tahun 1942. YMCA (Young Men’s Christian Association) merupakan sebuah organisasi yang didedikasikan untuk mengajarkan ajaran-ajaran pokok umat Kristen kepada para pemuda, seperti yang telah diajarkan oleh Yesus. Organisasi ini didirikan pada tanggal 6 Juni 1884 di London, Inggris oleh George William.
Setelah bertemu dengan James Naismith (seorang pencipta olahraga bola basket yang lahir pada tanggal 6 November 1861, dan meninggal pada tanggal 28 November 1939), Morgan menciptakan sebuah olahraga baru yang bernama Mintonette. Sama halnya dengan James Naismith, William G. Morgan juga mendedikasikan hidupnya sebagai seorang instruktur pendidikan jasmani. William G. Morgan yang juga merupakan lulusan Springfield College of YMCA , menciptakan permainan Mintonette ini empat tahun setelah diciptakannya olahraga permainan basketball oleh James Naismith. Olahraga permainan Mintonette sebenarnya merupakan sebuah permainan yang diciptakan dengan mengkombinasikan beberapa jenis permainan. Tepatnya, permainan Mintonette diciptakan dengan mengadopsi empat macam karakter olahraga permainan menjadi satu, yaitu bola basket, baseball, tenis, dan yang terakhir adalah bola tangan (handball). Pada awalnya, permainan ini diciptakan khusus bagi anggota YMCA yang sudah tidak berusia muda lagi, sehingga permainan ini pun dibuat tidak seaktif permainan bola basket.
Perubahan nama Mintonette menjadi volleyball (bola voli) terjadi pada pada tahun 1896, pada demonstrasi pertandingan pertamanya di International YMCA Training School. Pada awal tahun 1896 tersebut, Dr. Luther Halsey Gulick (Director of the Professional Physical Education Training School sekaligus sebagai Executive Director of Department of Physical Education of the International Committee of YMCA) mengundang dan meminta Morgan untuk mendemonstrasikan permainan baru yang telah ia ciptakan di stadion kampus yang baru. Pada sebuah konferensi yang bertempat di kampus YMCA, Springfield tersebut juga dihadiri oleh seluruh instruktur pendidikan jasmani. Dalam kesempatan tersebut, Morgan membawa dua tim yang pada masing-masing tim beranggotakan lima orang.
Dalam kesempatan itu, Morgan juga menjelaskan bahwa permainan tersebut adalah permainan yang dapat dimainkan di dalam maupun di luar ruangan dengan sangat leluasa. Dan menurut penjelasannya pada saat itu, permainan ini dapat juga dimainkan oleh banyak pemain. Tidak ada batasan jumlah pemain yang menjadi standar dalam permainan tersebut. Sedangkan sasaran dari permainan ini adalah mempertahankan bola agar tetap bergerak
melewati net yang tinggi, dari satu wilayah ke wilayah lain (wilayah lawan).”(1)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                                                                                           (1)By : duniabaca.com Sumber: id.wikipedia.org                                                                                             
                                                                       ***
       Tidak tahu mengapa Monette senang sekali membaca buku pemberian ayahnya itu meski
ia belum begitu paham apa maksud dari isi buku itu.
       Monette kecil kembali membalikan lembar demi lembar halaman buku dengan posisi badannya sudah rebahan di atas tempat tidur usang, ia membaca hingga lelah sampai tidak mendengar ibunya memanggil agar ia segera mandi.
                                                                       *******

Vito, Januari 2012
Pria usia sepuluh tahun yang baru saja keluar dari sekolahnya duduk di bangku yang ada di depan halaman gedung sekolah SD Negeri 07 Ciputat. Ia sedang menunggu jemputan, entah mengapa Pak Damar yang biasa menjemputnya agak terlambat hari itu. Jika saja ia membawa ponsel sudah ia telepon sopir keluarganya itu, sayangnya pihak sekolah tidak mengizinkan anak-anak membawa telepon genggam ke sekolah.
       Baru saja ia duduk dua menit di sana, teman-temannya yang kebetulan rumahnya dekat dari sekolah mengganggu Vito.
       “Kenapa lo, ga berani pulang sendiri? Makanya jangan keseringan dijemput deh, kayak anak Mami saja.” Goda teman sekelasnya yang dikenal suka iseng.
       “Kenapa emangnya? Abis ini aku mau latihan voli di GOR, kalau sekedar pulang sih, bisa aja tinggal nyetop angkot bayar seribu juga nyampe rumahku.” Balas Vito yang tahu pasti kalau jarak sekolah dari rumahnya hanya tiga kilo meter, sedang jarak GOR ke rumahnya tujuh kilo meter.
       “Hah? Main Voli? Olahraga apaan tuh?” tambah anak iseng itu sambil tertawa dan dua temannya yang lain ikut tertawa sedang si Vito tak beranjak dari tempat duduknya. Ketiga teman sekelasnya itu masih ingin menggoda Vito. “Voli? gak zaman main voli sekarang yang ada bola kaki men, hihihihi…. Mana ada pemain voli dikenal di dunia ini, apalagi di negara kita…” ia melirik kedua temannya seakan minta dukungannya seperti biasa. “Lo, lo pernah dengar nama pemain bola voli? Pastinya nggak, kan? Yang ada juga.. Cristiano Ronaldo, Messi dan si Andik..!, atau Bambang Pamungkas.” kembali ia menatap Vito. “Siapa nama pemain voli yang lo tahu, sebut satu nama saja, gue mau dengar.” Katanya dengan nada meledek Vito. Baru saja Vito ingin menyebutkan nama-nama pemain voli yang sangat ia
kagumi tapi keburu ditegur.
       “Hei, hei…. Pada ngapain?” satpam sekolah menegur anak-anak itu. “Kalian harus segera pulang, nanti orang tua kalian cemas di rumah.”
       “Ya, Pak.” Kata ketiga anak itu berbarengan sambil ngeloyor pergi sedang Vito masih duduk di tempatnya. Pak satpam itu ikut duduk di sebelah Vito.
       “Kamu sedang menunggu jemputan, ya?” tegur pak satpam itu, seperti biasa ia sangat peduli dengan anak-anak yang di sekolah itu, kepeduliannya bahkan lebih besar dari kecemasannya pada setiap anak-anak yang mau menyebrang jalan. Tak jarang ia sendiri keserempet motor untuk menyelamatkan anak-anak agar sampai di tepi jalan. Meski ada anak yang sudah besar dan berani nyebrang sendiri, ia tetap merasa wajib menyeberangkannya.
       “Ya, Pak.” Jawab Vito jujur. “Nggak tahu nih, gak biasanya pak Damar telat.” Ujar Vito dengan nada cemas sebab ia takut nanti terlambat sampai di tempat latihan.
       Pak satpam mengeluarkan ponselnya. “Ini, kamu telepon saja, siapa tahu mobilnya mogok.” Ia memberikan telepon genggamnya pada Vito untuk digunakan. Anak itu ragu-ragu tapi pak satpam itu harus beranjak untuk menyebrangkan anak-anak yang ingin pulang yang berlawanan arah dari sekolah mereka. “Cepat ambil, Bapak mau bantuin temanmu yang mau ke seberang.” Katanya lagi agar Vito segera mengambil ponsel dari tangannya.     
       Akhirnya Vito meraih ponsel dari tangan pak satpam. Pria itu sudah berjalan untuk membimbing anak-anak sedang Vito menatap ponsel pak satpamnya yang baik hati itu lalu coba menekan nomor pak Damar. Dua detik saja sudah tersambung.
       “Ya, halo…?” 
       “Pak, ini Vito. Bapak lagi ada di mana?” nada suara Vito terdengar biasa walau sebenarnya ia cukup cemas.
       “Aduh, den Vito…. Ini Bapak masih di rumah ada sedikit masalah dengan mobilnya, tunggu ya, sebentar lagi kelar.” Kata pak Damar dengan suara sangat menyesal, sedang ia masih membetulkan mobil yang mana tadi pagi masih baik-baik saja.
       “O, gini aja Pak, Vito naik angkot aja pulangnya, nanti ke GOR baru di antar ya? Udah dulu, ini Vito pake telepon pak satpam nggak enak lama-lama telepon.” Beritahunya.
       “O, ya sudah.”
       “Bagaimana?” pak satpam sudah berdiri di samping Vito.
       Anak sepuluh tahun itu mengembalikan telepon pak satpam. “Ini Pak, terima kasih. Bapak benar, ada masalah dengan mobilnya. Saya naik angkot saja soalnya takut lama, nanti jam tiga ada latihan biar nggak telat.” Jelas Vito.
       “O, latihan? Latihan apa?”
       “M… main voli.” Beritahu Vito tanpa ragu. Ia tak akan malu seandainya pak satpam itu juga akan mengejeknya jika ketahuan latihan voli.
       “Voli? Bagus itu, di mana?” pria itu sepertinya ingin tahu. Ia tidak menyangka kalau anak  baru yang ia kenal pendiam dari kalangan atas itu mengikuti permainan voli.
       “Di GOR, setiap selasa dan minggu.”
       Pria itu duduk lagi di dekat Vito. “Sudah lama?”
       “Belum, Pak. Baru beberapa bulan saja. tepatnya sebulan setelah saya pindah ke sini.”
       “Mm… kamu suka permainan itu?” pak satpam merasa tertarik dengan cerita Vito.
       “Ya, tadinya Ibu saya menginginkan saya masuk klub badminton dan Ayah nyuruh masuk  SSB, tapi….”
       “Tapi kamu lebih menyukai voli?” potong pak satpam. Vito mengangguk. “Tidak apa-apa, jarang anak seusia kamu menyukai permainan voli, kalau kamu suka maka tekunilah dan giat berlatih.” Tutur pak satpam dan Vito suka karena lelaki itu mendukungnya. “Tapi Bapak jarang melihat kamu latihan voli di sini, di sekolah kita.”
       “O, di sekolah bolanya keras sekali Pak dan terasa sangat sakit di tangan, kalau pun jam
olahraga jarang dimainkan…atau mungkin juga karena teman-teman tidak ada yang suka main voli.” Tutur Vito tidak begitu mengerti sebab apa sehingga teman-temanya kurang menyenangi permaian itu, apalagi ingat ejekan ketiga temannya tadi.
       “Kamu ada benar juga.” Ia melirik anak itu sejenak lalu berdiri karena melihat ada
angkot yang mendekat, ia menyetop angkot itu mendahului Vito yang sudah berdiri. “Itu angkotnya, jangan sampai kamu terlambat latihan. Hati-hati.”
       Vito mengangguk. “Terima kasih, Pak.” Anak itu naik ke dalam angkot dan pria empat puluhan yang sudah tujuh belas tahun menjadi satpam di sekolah itu tersenyum padanya.
                                                                            *
GOR, Pukul 15.00.
Vito telah tiba di tempat latihannya, pria sepuluh tahun dengan tubuh agak tambun itu sudah mengenakan sepatu dari rumah dengan seragam latihannya yang disediakan dari pihak klub setelah ia membayar uang pendaftaran.
       Ada beberapa anak pria dan wanita yang seusia dengannya juga ada anak tingkat SMP
sekitar lima belas orang dan kesemua anak-anak yang ikut latihan tidak lebih dari dua puluh tujuh orang..
       “Hai, Vit….” Sapa salah satu teman Vito. Vito menyambutnya dengan senyuman dan sebuah jabat tangan seperti biasa, lalu ia dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita manis, yang sudah sangat amat dikenal oleh semua anak pencinta bola voli di tanah air.
       Wanita itu masuk bersama seorang wanita dan pria pelatih klub tempat Vito latihan, sejenak Vito merasa tidak percaya dengan pemandangan itu. Bagaimana mungkin seorang pemain muda yang sudah bermain di TIMNAS datang ke tempat itu.., tak beda jauh dari yang lain yang sempat terpaku melihat kedatangan salah satu pemain andalan dari klub Elang itu.
       Separuh ada yang berteriak senang sedang yang lain masih terpaku dan takjub, ternyata sosok yang sering mereka lihat di televisi itu dengan kenyataannya lebih tinggi aslinya. Berbondong-bondonglah mereka berjabat tangan dan tak ketinggalan menggunakan kesempatan  untuk foto bersama. Saat Vito berjabat tangan wanita itu memegang kepala Vito.
       “Kamu yang bernama Vito?” ia ingat saat ayahnya menyebutkan ciri-ciri Vito.
       “Ya, Kak.” Kata Vito setengah tidak percaya kalau wanita itu tahu namanya.
       “Ada salam dari Ayah saya, latihan yang lebih keras ya.” Gumanya agak berbisik pada Vito.   
       ‘Ayah?!’  batin Vito tak mengerti apa maksudnya. ‘Ah, biarlah itu menjadi pertanyaan di
dalam hatiku dan aku akan menemukan jawabannya nanti.’
       Pelatih memperkenalkan gadis itu secara resmi pada anak didiknya, sekaligus sang pemain menyumbangkan bola baru untuk klub yang baru merintis itu.
       Sang atlet pun menyampaikan sepatah dua patah kata untuk memotivasi mereka yang baru mengenal permainan bola voli.
       “Adik-adik yang ada di sini yang mungkin karena keingian sendiri atau karena kemauan dari orang tua kalian, tidak masalah. Kalian datang ke sini karena hobi atau karena memang orang tua kalian ingin mengenalkan bola voli pada kalian, yang kata orang tak kenal maka tak sayang, perlu kalian ketahui satu hal, cobalah segala sesuatunya dengan serius, berjuanglah… karena tidak ada perjuangan yang sia-sia. Tapi jika kalian memang tidak berminat setelah menjalani beberapa minggu latihan dan menyukai olahraga yang lain, maka bicarakanlah pada orang tua kalian dengan baik-baik, karena kakak rasa zaman sekarang tidak semua orang tua yang memaksakan kehendaknya.”
       Beberapa orang tua yang kebetulan mengantar anaknya ikut mendengar kata-kata pemain muda itu jadi terpukau. Dan mungkin di atara mereka ada yang kebetulan memasukan anaknya ke tempat itu padahal anaknya sendiri ingin masuk ke cabang olahraga lain.
       “Semua bisa dimusyarawahkan, sebelum kalian terlambat karena setelah pergi dari sini kalian bisa masuk ke olahraga lain yang kalian sukai dan bisa berprestasi, karena bagaimana pun juga semua terserah kalian dan prestasi di bidang olahraga apa pun semuanya kembali demi bangsa kita tercinta ini. Tapi jika kalian berada di sini karena menyukainya dan ingin berprestasi…..maka tidak ada yang tidak mungkin, tetap semangat, ya.” Gadis itu mengakhiri
ucapannya disambut tepuk tangan oleh anak-anak.
       Sedang Vito masih memikirkan gadis itu dan sebelum pamit gadis ia mengedipkan sebelah matanya pada Vito membuat Vito tambah penasaran.
       Gadis itu telah keluar dari dalam GOR, di luar ia sedang ditunggu oleh teman prianya yang tadi sengaja mengantar gadis itu mampir, karena sebenarnya ia akan melangsungkan pertandingan turnamen terbuka yang diadakan salah satu perusahan swasta. Pria dengan rambut cepak itu sudah duduk di belakang stir dan tersenyum pada kekasihnya.
       “Bagaimana?”
       “Bagaimana apanya? Kamu sih, kenapa tadi tidak ikut masuk.”
       “Nggak enak kesannya kalau aku masuk, ayok…nanti terlambat, sebentar lagi kamu main, kan?” pria itu menyalakan mesin mobilnya.
       “Main kedua, biasanya sekitar setengah lima, kamu nanti tetap di mobil ya.” Pintanya seperti biasa. Pria itu melirik kekasihnya lalu tersenyum sebab sudah mengerti maksud dari permintaan itu. Ia tidak boleh menonton langsung di lapangan. Meski terkadang ingin sekali.
                                                                            *

       Masih di dalam GOR, pelatih sedang menjelaskan secara detil tentang gadis tadi yang juga sempat menyumbangkan dua buah bola dengan mutu terbaik.
       “Kalian tahu berapa usia wanita tadi? Ia baru Sembilan belas tahun dan sudah sering memperkuat tim Indonesia bermain di Asia, waktu usia 15 tahun ia sudah memperkuat timnas junior, dan ikut andil dalam meraih kejuaraan Asia tahun kemarin.” Jelas sang pelatih dengan semangat, karena ia juga terkejut saat pemain muda itu meneleponnya dan mengatakan akan berkunjung ke tempat latihan. Sebagai pribadi ia menyukai anak muda yang selalu rendah diri itu. Memiliki segudang prestasi namun tidak pernah melupakan asal usulnya.
       Anak-anak menjadi lebih semangat berlatih apalagi setelah melihat langsung pemain
nasional dari dekat dan menyempatkan diri mampir di tempat mereka berlatih, itu merupakan semacam gairah sendiri bagi anak-anak itu. Tapi Vito, ada atau tidaknya kunjungan gadis itu tak akan pernah menyurutkan niatnya untuk tetap giat berlatih. Tak peduli semua teman di kelas limanya mengejek atau tergila-gila dengan permainan bola kaki atau olahraga yang lainnya.
       Di mobil, di parkiran GOR, pak Damar sedang dihubungi oleh ibunya Vito. Wanita karir itu selalu memantau setiap kegiatan anaknya.
       “Ya, Bu…?”
       “Pak Damar, Vito latihan, kan?” itu pertanyaan seperti biasa dan pak Damar tidak pernah
bosan memberi kabar apa pun tentang Vito kepada majikannya itu.
       “Ya, Bu. Barusan ada anak pelatnas yang berkunjung ke tempat latihan Vito.” Beritahu-
nya, mungkin bagi majikannya itu bukan hal penting tapi ia tidak peduli karena ia memang merasa harus memberitahukannya.
       “Oh, ya? Vito pasti senang.” Sahutnya dengan nada ikut senang. “Nanti malam saya tanya lagi sama Vito, ia pasti ingin bercerita, sudah ya Pak Damar, hati-hati kalau sudah pulang.” Tambahnya lagi mengakhiri pembicaraan.
       “Ya, Bu.”
                                                                         *
       Wanita yang kini menginjak usia tiga puluh tujuh tahun itu adalah sebagai manager di sebuah perusahaan besar. Ia menikah saat usia dua puluh enam tahun, tujuh belas tahun sudah lulus dari sekolah menengah atas dan menyelesaikan S2-nya saat usia dua puluh dua tahun. Ia memang wanita jenius tapi menikah dengan pria biasa, dan juga memiliki pekerjaan biasa pula, gajinya tiga kali lipat diatas penghasilan suaminya, meski begitu ia sangat menghargai suaminya itu. Dan mereka berdua telah membiarkan anaknya Vito memilih olahraga yang ia sukai. Meski tadinya ia pribadi menginginkan Vito masuk badminton.
       Pukul tujuh malam ia sudah tiba di rumah, di sambut Vito dengan mencium punggung tangan ibunya. Vito tidak akan menanyakan kenapa ibunya pulang agak cepat, paling-paling juga jalan sore itu tidak terlalu macet. Pikirnya.
       Seperti biasa, sebelum melakukan sesuatu atau bertanya banyak hal pada Vito atau pada mengurus rumah, terlebih dahulu ia akan mandi dulu. Sedang suaminya dinas sore dan akan pulang sekitar pukul dua belas malam.
       Di meja makan, makan malam sudah disediakan oleh pengurus rumahnya. Meski tak begitu bernafsu makan, ia akan tetap menikmatinya dan malam itu ia makan bersama Vito.
       “Bagaimana sekolahmu hari ini?” tanyanya seperti malam-malam sebelumnya.
       “Baik, Bu.” Vito menatap ibunya sejenak.
       “Latihanmu?” katanya lagi sembari menyendok makanannya.
       “Juga baik, mm… tadi ada pemain nasional datang ke tempat latihan, mungkin orang tuanya teman dari pelatih Vito dan ia menyumbangkan dua buah bola voli.” Jelas Vito tak bermasud untuk berlebihan.
       “Oh, begitu. Minggu depan Ibu usahain untuk datang ke tempat latihanmu, tidak apa-apa, kan?” wanita itu minta pertimbangan anaknya.
       “Ya, nggak apa-apa Bu, Vito malah senang.” Kata anak gempal itu namun hidungnya masih terlihat mancung.
       “Les-mu setiap jum’at sore berjalan dengan baik juga, kan?” sepertinya wanita itu
mengingingkan anaknya tetap mengutamakan pendidikan formal lebih serius dari yang
lainnya.
       “Ya.” Sahut Vito tanpa beban.
                                                                *******


Kampung Bulak.
Di ruangan kelas satu SDN kampung Bulak, anak-anak mendengar Bu guru sedang berbicara di depan kelas. Ada yang serius mendengarkan tak sedikit juga yang asyik ngobrol sendiri dengan teman-teman sebangkunya, tapi si Monette yang hari itu ke sekolah dengan rambut kuncirnya terlihat asyik sekali menyimak setiap kata yang diucapkan gurunya.
       “Anak-anak….. siapa yang hafal lagu Indonesia Raya?” tanya bu guru dengan suara khasnya. Seorang gadis yang duduk pas di depan Monette mengangkat telunjuknya.
       “Saya, Bu.”
       “Ya, sini maju. Nyanyikan di depan teman-teman kamu..” pinta bu guru. Anak yang Monette kenal suka menyanyikan lagu apa saja itu telah maju ke depan kelas. Dengan keyakinan penuh ia telah berdiri di sebelah bu gurunya dan dalam hitungan detik ia telah mengumandangkan lagu karya WR. Supratman itu dengan lantang sekali. Monette dan teman-temannya yang lain hanya menyimak saja dari tempat duduk masing-masing.
       Beberapa menit kemudian, bu guru tepuk tangan karena anak itu menyanyikannya dengan sempurna diikuti teman sekelasnya. Anak itu tersenyum dengan bangga, seakan ia telah menyanyi di depan panggung gembira dan mendapatkan sambutan dari semua orang.
       “Kamu sudah menyanyikannya dengan sangat baik, sekarang duduklah.” Perintahnya. Anak itu pun kembali ke tempat duduknya. “Anak-anak…. Lihatlah, salah satu teman kalian sudah hafal lagu Indonesia Raya sampai selesai. Kalian juga harus hafal lagu itu, karena lagu itu adalah lagu kebangsaan kita, yang dinyanyikan setiap hari senin waktu upacara di sekolah-sekolah dan akan dikumandangkan setiap anak-anak Indonesia mendapat juara olahraga di luar negeri.” Jelas bu guru.
       Si Monette pernah melihat di televisi lagu itu pernah dinyanyikan waktu tim badminton,
memenangkan kejuaraan Uber cup di luar negeri dan ia tidak ingat di negara mana itu. Apakah pemain bola voli, jika menang di luar negeri akan menyanyikan lagu itu juga? Pikirnya. Mata Monette melirik ke samping kelasnya, di mana terlihat pohon pisang tumbuh tidak beraturan di antara rumput liar. Sedang gurunya telah menulis tentang pelajaran hari itu, Monette masih memikirkan tentang bola voli.
       Jam belajar kelas satu di tempat Monette berakhir setelah pukul sepuluh, karena pukul sepuluh kelasnya akan ditempati oleh kelas empat. Sebelum pulang Monette melihat kakak kelasnya yaitu kelas lima sedang bermain di lapangan. Ada yang memegang bola basket, bola voli dan ada juga yang memegang raket dan memukul bola itu ke arah temannya yang juga memegang raket, namun yang menarik perhatian Monette hanya bola voli, ia hafal sekali dengan bentuk bola itu, sebab sudah sering menonton turnamen di kampung tetangganya bersama sang ayah.
       Beberapa anak berlari menemui ibu mereka yang kebetulan mengantar dan menunggu di luar halaman sekolah hingga pelajaran selesai. Sedang Monette tidak di antar apalagi di jemput oleh ibunya, sebab sekolahny tidak begitu jauh dari rumahnya dan Monette memang tidak minta di jemput, apalagi ia tahu adik laki-lakinya suka minta jajan terus kalau ibunya menunggu di sekolah, sedang ia tahu ibunya terkadang tidak punya uang.
       Monette masih berdiri menatap kakak-kakak kelasnya yang sedang diajarkan cara memukul bola voli oleh guru olahraga di sekolah mereka. Monette sendiri belum tahu siapa nama guru olahraga itu, terbesit di benaknya untuk segera mengetahui nama guru itu dan bertanya, apakah ia boleh ikut bermain seperti kelas lima itu?
       Monette kecil belum berani menemui guru itu untuk bertanya, sebab ia masih duduk di kelas satu beberapa bulan saja, tapi di daftar pelajarannya ia tidak menemukan adanya pelajaran olahraga. Monette makin penasaran saja.
                                                                         *

       Tiba di rumah, Monette bertanya pada ibunya mengenai hal yang tadi sempat mengganjal hatinya di sekolah.
       “Bu….?” Ia baru saja membuka sepatunya.
       “Ya.” Sahut sang ibu dan Monette langsung mencium punggung tangan ibunya.
      “Monette di sekolah tidak dapat pelajaran olahraga ya? Tadi anak-anak kelas lima bermain bola di halaman sekolah.” Ia melapor dan setengah protes.
       “Sudah, kamu makan dulu sana. Tadi ibu masak telor dadar kesukaanmu.” Wanita itu bukannya menjawab pertanyaan Monette malah menyuruhnya makan. Gadis kecil itu menatap ibunya seakan tidak mau makan kalau ibunya belum menjelaskan apa yang ia tanyakan tadi. “Mon…. sayang, kamu itu baru kelas satu SD, pelajaran olahraga itu baru akan diberikan jika kamu sudah naik kelas dua nanti.” Jelasnya dengan pelan.
       “Oh, gitu ya, Bu.” Hela Monette, meski demikian ia tetap merasa tidak puas kenapa baru kelas dua diajarkan olahraga padahal ia sudah tidak sabar untuk memegang bola voli itu.
       Monette yang sudah bisa mengambil makanan sendiri di atas meja makan sudah asyik menikmati masakan ibunya yang nikmat tidak ada duanya itu.

                                                                              *
Sore itu, Monette jalan ke kampung sebelah di mana biasanya anak-anak suka bermain bola kaki di lapangan yang tak layak di sebut lapangan itu, tapi selalu ramai setiap sorenya. Anak-anak seusia Monette khususnya laki-laki berebut menendang bola plastik tanpa ada yang mengkomandoi mereka. Lalu salah satu dari anak-anak itu memanggil Monette agar ikut bergabung dengan mereka seperti biasanya tapi kali ini gadis kecil itu tidak berminat untuk ikut main, apalagi di ujung lapangan itu ada yang sedang bermain voli tapi semuanya orang dewasa bahkan sudah pada tua.
       “Monette, sini…!” panggil anak itu lagi. teman-temannya yang sekitar tujuh orang itu
masih asyik tanpa mempedulikan ada yang memanggil Monette.
       “Nggak ah, aku nonton saja.” Balas Monette lalu melirik kiri dan kanan di mana satu dua orang tua sedang asyik duduk berbincang atau sekadar menemani anak-anak mereka yang sedang bermain lari-larian lantaran baru bisa berjalan. Monette duduk tak jauh dari anak-anak yang sedang bermain futsal dengan teman seadanya itu tapi matanya lebih sering ke arah para lelaki yang bermain bola voli di seberang anak-anak yang menendang bola plastik.
        Tempat yang didatangi Monette itu memang luas dan ia sering datang ke sana dengan mengendarai sepeda kecilnya, bahkan terkadang jalan kaki karena jarak kampung itu dari rumahnya sekitar dua ratus meter. Ia sudah banyak mengenali anak-anak seusianya di sana tapi kebanyakan anak laki-laki.
       Seorang ibu muda menghampiri Monette dan duduk di dekatnya membuat Monette menoleh sekilas.
       “Hei, gadis kecil. Ibu kamu mana?” sapanya dan ia jarang melihat anak itu dan ia kenal semua anak-anak seusia Monette di wilayahnya.
       “Saya… saya ke sini sendirian.” Sahut Monette tanpa ragu. “Dan saya sering ke sini di sore hari setelah selesai belajar mengaji.” Tambah Monette lagi.
       “Sendiri? Memangnya rumah kamu di mana?”
       “Di kampung Bulak.”
       “Kampung Bulak? Kamu ke sini sendirian, jalan kaki dan dari Kampung Bulak?” wajah wanita itu seperti tidak percaya.
       “Ya, memang kenapa, Bu?” tanya Monette tidak mengerti kenapa wanita itu bertanya dengan tekanan nada yang sangat ingin tahu.
       “Kamu jauh amat mainnya?” ia jarang melihat anak perempuan main sampai jauh
apalagi masih seusia Monette.
       “Saya naik sepeda, Bu.” Monette melirik sepeda kecilnya yang sudah berumur dua tahun
Itu tapi masih terlihat sangat bagus karena Monette sangat menjaganya.
       Wanita itu mengikuti arah mata Monette. “Kamu masih anak-anak, tidak baik bermain jauh-jauh sendirian. Kamu senang menonton bola ya?”
       “Kenapa, Bu? Takutnya ada culik ya? Ibu saya juga suka bilang seperti itu.” Ia melirik ke wajah wanita itu lalu seorang anak perempuan sekitar tiga tahun menghampirinya, sepertinya wanita itu adalah ibunya tapi sebelum benar-benar dekat ia berbelok ke arah sepeda Monette yang tergolek tak jauh dari tempat duduk mereka. Sepertinya ia tertarik dengan sepeda itu dan coba memegangnya.
       “Hati-hati, Nak.” Wanita itu memperingati anaknya sedang ia masih duduk santai di sebelah Monette. Monette pun menyimak anak seusia adik lelakinya itu yang berusaha untuk mendirikan sepeda Monette yang kebetulan di taruh begitu saja oleh Monette. Sama sekali ia tidak keberatan anak kecil itu mengutak-atik sepedanya. “Sebaiknya sebentar lagi kamu pulang, takutnya orang tuamu mencarimu.” Beritahu wanita itu lagi pada Monette. “Kamu ke sini pasti tidak pamit.” Tebaknya. Membuat Monette terperanjat karena wanita itu tahu kalau ia pergi lupa pamit sama ibunya, tapi kalau saja ia pamit ibunya pasti melarang keras apalagi ibunya sudah berulang kali melarang ia bermain bola.
       Tiba-tiba bola plastik melayang dan mengenai kening Monette, beruntung ia tidak jatuh dari tempat duduknya. Anak-anak yang sedang bermain bola bukannya cemas melihat Monette malah menertawainya membuat Monette kesal.
       “Hei, kalian….! Hati-hati.” Wanita di samping Monette menegur anak-anak itu.
       “Tidak apa-apa, Bu. Bolanya enteng kok. Lagian Monette sudah biasa kena bola.”
Celetuk salah satu dari mereka yang kebetulan tadi menendang bola mengenal kening Monette tanpa ia sengaja.
        Wanita itu melirik gadis kecil yang bernama Monette tersebut. “Kamu tidak apa-apa, Monette?” ia bertanya dengan menyebut nama gadis kecil itu.
       “Tidak apa-apa.” Ia pun beranjak. “Saya pulang…” ujarnya lalu menghampiri sepedanya yang kebetulan sudah tidak dipegang lagi sama balita tadi. Sebelum menaiki sepedanya ia melirik pria kecil yang tadi menendang bola ke arahnya, pria itu menyimak Monette yang sedang mengusap keningnya sekilas.
       “Maafin ya…” jerit anak itu. “Lagian diajak main dari tadi maunya duduk-duduk saja.” Meski ia berkata seperti itu, tapi ia sebenarnya tidak sengaja mengarahkan bola plastik itu mengenai kepala Monette. Monette akan meninggalkan lapangan itu sebelumnya sekilas melirik ke arah pria-pria yang masih terlihat asyik bermain voli yang suara tepisan dan pukulan bolanya terkadang terdengar hingga ke telinga Monette.
       Monette telah mengayuh sepedanya dengan perasaan campur aduk, kena bola memang tidak terlalu sakit tapi ia malu sekali saat kena bola sialan itu apalagi bocah-bocah kecil itu menertawainya, ia bukan saja malu pada mereka tapi pada wanita itu juga yang tadi sempat mengatakan tidak baik main jauh, ditambah lagi menyinggung masalah pamit sama ibunya. Monette tidak tahu kenapa semua orang tua selalu saja berkata seperti itu, apakah orang-orang jauh itu tidak baik? Jahat pada orang yang tidak mereka kenal? Dan penculik, mengapa ada penculik anak-anak di dunia ini? Mengapa mereka senang sekali dengan anak-anak atau untuk apa mereka menculik anak-anak?
       “Penculik suka mengambil anak-anak yang sering berkeliaran jauh dari rumah mereka. Setelah mereka dapat akan dibawa ke suatu tempat lalu dijadikan pengamen atau pengemis jalanan dan hasil uang dari minta-minta itu mereka yang akan mengambilnya…atau ada juga  sebagian anak-anak yang mereka culik dijual keluar kota.” Monette tiba-tiba ingat dengan kata-kata ibunya sesaat sebelum ia tidur suatu malam.
       Kini tiba-tiba ia merinding mengingat semua itu, benarkah penculik seperti itu? Pikirnya.
                                                                         *

       Pria itu pulang setelah pukul tujuh malam, disambut istrinya seperti biasa serta secangkir kopi hangat kegemaran suaminya.
       “Anak-anak di mana, Bu?” itu adalah pertanyaan pertama yang ia lontarkan kalau masuk rumah jika tidak melihat kedua anaknya.
      “Lagi di kamar.” Sahutnya datar. Kedua anak itu biasanya menonton televisi ditemani ibu mereka tapi hanya sampai setengah delapan atau paling pukul delapan malam saja, itu pun setelah Monette belajar. “Ibu tidak mendengar suara motormu?” wanita itu tidak mendengar suara motor suaminya berhenti di depan rumah.
       “Tadi pecah ban di depan, aku titip saja di bengkel samping, besok baru diambil.” Jelasnya sambil meletakkan tasnya di atas meja.
       “Oh.” Sahutnya mengerti dan bersamaan dengan itu anak laki-lakinya keluar dari kamar lantaran mendengar suara ayah mereka.
       “Ayah…!” teriak si kecil sambil menyambut ayahnya.
       “Hei, Arby…. Kamu belum tidur sayang…?”
       “Belum, Ayah bawa apa?” tanya si kecil yang selalu senang kalau ayahnya pulang.
       “Ini…” pria itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas untuk pria kecilnya yaitu sebuah mainan robot dan sebuah buku cerita bergambar yang ia beli di kaki lima sedang untuk Monette ia membawakan skipping ukuran anak-anak. “Kakakmu mana?” ia bertanya pada Arby yang sudah tidak sabar menerima mainan barunya.
       “Di kamar, Yah. Tadi lagi baca-baca buku.” Sahutnya sembari menerima mainan dan
buku pemberian ayahnya.
       “Yah, sebaiknya mandi dulu nanti keburu kemaleman.” Ujar sang isteri mengingatkan suaminya.
       “Ya, Bu. Sebentar lagi.” ia mengeluarkan tali skipping. “Ini, kasih kak Min, sana.” Ujarnya pada Arby. Anak lelaki itu gembira sekali menerima mainan dari ayahnya.
       “Oke…” jawab pria mungil itu dengan senang hati dan berlari ke kamar menemui kakaknya. “Kak, kak Monette….. ini dari Ayah.” Panggilnya dengan kedua tangan yang penuh dengan oleh-oleh ayahnya, di kiri ada buku dan robotnya sedang yang kanan memegang skipping untuk kakaknya.
       “Ayah sudah pulang ya?” ia seakan tidak mendengar kalau ayahnya sudah kembali dari tempat kerja, padahal ia tadi hanya membaca buku sejarah yang dibawa ayahnya beberapa bulan lalu.
       “Ini.” Pria kecil itu menyerahkan skipping yang masih terbungkus plastik.
       “Apa itu?” tanya Monette pada adik kecilnya yang tentu saja tidak tahu menahu karena ia hanya diperintahkan sama ayahnya untuk memberikan itu kepada Monette. Monette telah menerima benda yang menurutnya agak aneh. Sejenak ia mengamati benda itu dan tetap saja tidak mengerti mainan apa itu? Hatinya bertanya-tanya.
       Akhirnya ia keluar dari kamar untuk menemui orang tuanya dan menanyakan bagaimana
menggunakan benda itu. Ia bertemu ibunya karena ayahnya sedang mandi, ia pun bertanya pada ibundanya.
       “Bu, ini apa? Dan untuk apa? Apakah Monette boleh membukanya?”
       “Sini, coba ibu lihat.” Kata wanita itu ingin tahu dan Monette pun menyerahkan benda itu pada ibunya. Sekilas wanita itu mengamati bungkusnya yang mana tertera tulisan skipping. “Oh, ini skipping, Nak. Buka saja.” Ia kembalikan benda itu kepada anaknya. Monette kembali menerimanya dan kali ini ia tak ragu untuk membukanya.
       “Wah, ini kan tali, Bu.” Ujarnya setelah benda itu keluar dari bungkusnya. Benda itu memang seperti tali dan di kedua ujungnya ada gagang untuk pegangan, panjangnya tidak lebih dari satu meter setengah.
       “Ya, itu memang tali dan cara memainkannya sama dengan lompat tali, hanya saja kamu sendiri yang memegang dan memutarnya dari depan ke belakang.” Jelas sang ibu sambil duduk di kursi dan mengamati Monette yang menyimak tali skipping itu. Sejenak saja gadis kecil itu mulai mempraktekkan benda itu. Ia memegang ujung-ujungnya dengan kedua tangan sedang tali bagian tengahnya mengenai lantai. “Pindahkan bagian tali ke belakang, putar ke atas melewati kepala dan sebelum sampai menyentuh lantai angkat kedua kakimu hingga bisa melewati tali dengan sedikit melompat.” Wanita itu mengajarkan cara menggunakan skipping kepada Monette.
       “Itu sama saja dengan main lompat tali ya, Bu.” Ujar Monette mengulang kata ibunya tadi sembari fakus dengan tali di tangannya. Ia melangkahi tali itu hingga berada di belakang kakinya dan seperti yang ibunya ajarkan ia pun memutar tali itu melewati kepalanya lalu melompat, tapi lompatan pertama ia belum berhasil melewati tali hingga tali masih berada di bagian depan tubuhnya. Ia mengulang lagi, lagi hingga berhasil.
       Saat sang ayah keluar dari kamar mandi ia terpaku sejenak setelah melihat anaknya sedang mempraktekkan permainan skipping yang ia bawa. Itu skipping murahan tapi ia tidak peduli karena yang penting anaknya tahu dulu apa guna benda itu dan bisa memainkannya, jika ia sudah punya uang lagi akan ia beli lebih bagus dari itu. Itu janjinya pada diri sendiri.
                                                                       *

LATIHAN SKIPPING
Sekedar mengingatkan, main karet pernah populer dikalangan anak angkatan 70-an hingga 80-an. Permainan skipping ini menjadi favorit saat "keluar main" di sekolah dan setelah mandi sore di rumah. Sekarang, "main karet" mulai dilirik kembali antara lain karena ada sekolah dasar menugaskan murid-muridnya membuat roncean tali dari karet gelang untuk dijadikan sarana bermain dan berolahraga. Cara bermainnya masih tetap sama, bisa dilakukan perorangan ataupun berkelompok. Jika hanya bermain seorang diri biasanya anak akan mengikatkan tali pada tiang, batang pohon atau pada apa pun yang memungkinkan, lalu melompatinya, Permainan secara soliter bisa juga dengan cara skipping, yaitu memegang kedua ujung tali kemudian mengayunkannya melewati kepala dan kaki sambiI melompatinya.
Jika bermain secara berkelompok biasanya melibatkan minimal 3 anak. Dua anak akan memegang ujung tali; satu di bagian kiri, satu anak lagi di bagian kanan untuk meregangkan atau mengayunkan tali. Lalu anak lainnya akan melompati tali tersebut. Aturan permainannya simpel; bagi anak yang sedang mendapat giliran melompat, lalu gagal melompati tali, maka anak tersebut akan berganti dari posisi pelompat menjadi pemegang tali. Alat yang dibutuhkan cukup sederhana. Bisa berupa tali yang terbuat dari untaian karet gelang atau tali yang banyak dijual di pasaran yang dikenal dengan tali skipping.

1. Skipping santai dan sport
Sebenarnya, menurut DR. Anggani Sudono, MA, skipping sudah bisa dimainkan semenjak anak usia TK. Jadi sekitar 4-5 tahun karena motorik kasar mereka telah siap. Apalagi bernain lompat tali dapat menutupi keingintahuan mereka akan bagaimana rasanya melompat. Tapi umumnya permainan ini memang baru populer di usia sekolah atau sekitar usia 6 tahunan. Entah kenapa Grafik kegemaran mereka akan skipping ini akan menurun seiring bertambahnya usia “Biasanya anak kelas 5-6 sudah malu untuk main skipping karena orang dewasa disekitarnya sering mencemooh, kok sudah besar masih bermain skipping, padahal justru dengan semakin sering anak-anak bermain skipping mereka akan semakin sigap dan terampil,” ujar Anggani.
Terlepas dari itu, menurut dosen Universitas Negeri Jakarta ini, jenis permainan skipping dapat dibagi menjadi dua ; skipping yang bersifat santai dan skipping yang berbau sport. Skipping yang santai banyak dimainkan anak perempuan. Sedang untuk olahraga, umumnya digemari anak laki-laki. Mesti demikian, menurut Anggani, segala permainan skipping sebetulnya biasa dimainkan anak laki-laki maupun perempuan tanpa memandang jender.

2. Manfaat Skipping
Suatu hal yang disarankan anggota Badan Pengembangan Akademik Perguruan Islam Al Izhar Pondok Labu Jakarta ini, yaitu menyuburkan kembali kegiatan skipping terutama di sekolah-sekolah. Bukan apa-apa, selain menyenangkan, permainan ini tak banyak memakan waktu, murah, dan menyehatkan. Jadi cocok untuk mengisi waktu senggang para murid ketimbang mereka main lari-larian tanpa tujuan. Salah satu cara yang diimbau Anggani dengan memberi kesempatan anak untuk melakukan skipping diwaktu istirahat. Atau saat ada pertemuan siswa, lakukan perlombaan skipping sehingga para murid makin bergairah memainkannya.
Anggani menjabarkan beberapa perkembangan anak yang dapat distimulasi dengan permainan skipping ini :
a. Motorik Kasar
Main skipping merupakan suatu kegiatan yang baik bagi tubuh. Secara fisik anak jadi lebih terampil, karena biasa belajar cara dan teknik melompat yang dalam permainan ini memang memerlukan keterampilan tersendiri. Lama kelamaan, bila sering dilakukan, anak dapat tumbuh menjadi cekatan, tangkas dan dinamis. Otot-ototnya pun padat dan berisi, kuat serta terlatih. Skipping juga dapat membantu mengurangi kejadian obesitas pada anak.
b. Emosi
Untuk melakukan suatu lompatan dengan tinggi tertentu dibutuhkan keberanian dari si anak. Berarti, secara emosi ia dituntut untuk membuat suatu keputusan besar; mau melakukan tindakan melompat atau tidak.
c. Ketelitian dan akurasi
Anak juga belajar mellihat suatu ketepatan dan ketelitian. Misalnya, bagaimana ketika tali
diayunkan, ia dapat melompat sedemikian rupa sehingga tak sampai terjerat tali dengan berusaha mengikuti ritme ayunan. Semakin cepat gerak ayunan tali, semakin cepat ia melompat.
d. Sosialisasi
Untuk bermain tali secara berkelompok, anak membutuhkan teman yang berarti memberi kesempatannya untuk bersosialisasi. Ia dapat belajar beremapati, bergiliran, menaati aturan, dan lainnya.
e. Intelektual Saat melakukan lompatan, terkadang anak perlu berhitung secara matematis agar lompatannya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan dalam aturan permainan. Umpamanya, anak harus melakukan tujuh kali lompatan saat tali diayunkan. Bila lebih atau kurang, ia harus menjadi pemegang tali.

3. Faktor yang Perlu Diperhatikan Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam bermain skipping antara lain :
a. Ruangan Idealnya skipping dilakukan di ruang terbuka. Namun kalau tidak memungkinkan, di ruangan tertutup pun bisa. Tentu saja ruangan tersebut harus cukup lega dan lapang serta aman dari benda-benda yang dapat membahayakan seperti barang pecah belah.
b. Ukuran tali Tali yang digunakan harus sesuai ukuran; tidak terlalu panjang dan tidak
terlalu pendek. Jadi hendaknya ukuran tali dibuat pas dan tak banyak bersisa sehingga anak akan lebih mudah dan nyaman melompat.
c. Variasi mainan Semakin bervariasi permainan lompat tali ini, makin anak: mahir dan terampiI dalam melakukan gerakan-gerakannya. Arti bervariasi di sini adalah anak tak hanya main tali yang dipegang lurus kedua ujungnya dan kemudian anak melompatinya, bisa juga dengan memutar-mutar tali dan anak melompat bersamaan dengan temannya Atau anak
dapat rneningkatkan keahlian gerakannya dengan melakukan gerakan.
d. Waktu Terutama saat di sekolah, waktu permainan skipping biasanya sangat terbatas. Lantaran itu, Anggani mengimbau agar dalam setiap pernainan masing-masing anak mendapatkan gilirannya, terlebih untuk skipping secara perorangan. Pastikan para murid mendapat giliran yang telah disepakati bersama sebelumnya.(2)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

                                                                                                                            (2) By : BANUNG INDRAWATI PENJASKES

                                                                                        ***




Pagi-pagi sekali saat isterinya sedang sibuk di dapur, pria itu membangunkan kedua anaknya yang masih terlelap tidur.
       “Min, Arby…. Bangun, kita jalan-jalan keliling kampung, mau tidak?” kata pria itu agak pelan dan setengah berbisik di telinga anaknya, kedua anak itu belum bergeming sama sekali,
hingga membuat pria itu berbisik lagi. “Min… bangun, Nak.” Kali ini gadis kecil itu menggeliat seakan mendengar suara ayahnya. “Bangun…” ulang pria itu sekali lagi dan berhasil membuat mata Monette terbuka meski masih setengah dipicingkan.
       “Ada apa, Ayah?”
       Beberapa menit berikutnya, pria itu telah jogging bersama anaknya, Monette. Sedang si
Arby yang masih terlalu kecil masih susah dibangunkan. Kini kedua anak dan ayah itu telah sampai di dekat lapangan tetangga kampung mereka.
       “Ayah, kenapa kita harus lari pagi-pagi seperti ini?” tanya Monette masih penasaran dengan ulah ayahnya yang membangunkannya padahal hari belum juga bisa disebut terang.
       Pria itu menoleh pada Monette yang berlari kecil di sebelahnya mengikuti langkah kakinya. “Ini di sebut jogging bukan sekedar lari biasa, tidak perlu terlalu cepat asalkan teratur, gunanya bagus untuk kesehatan kita. Kebetulan hari ini Ayah libur dan juga tepat di hari minggu makanya Ayah ajak kamu jogging.” Jelasnya kepada Monette yang mulai kelelahan dan berkeringat.
       “Tapi kan capek Ayah.” Ia mulai menghentikan larinya dengan hanya berjalan biasa diikuti ayahnya.
       “Kita bisa santai tapi nanti kalau tenagamu sudah pulih kita bisa jogging lagi, karena segala yang pertama itu memang terasa berat. bagaimana dengan skipping yang Ayah beli, kamu suka?”  
       “Oh, mainan lompat tali itu?” sahut Monette. “Suka, Monette suka.”
       Pria itu mulai melangkah agak cepat diikuti oleh Monette yang tidak ingin ketinggalan dari langkah kaki ayahnya, melihat Monette mulai mengikutinya pria itu mengimbangi larinya agar bisa disejajarkan oleh Monette. Di lapangan mereka hanya keliling-keliling saja dan satu dua orang melakukan hal yang sama, dari anak muda hingga yang sudah tua. Monette juga baru tahu kalau pagi-pagi banyak juga orang yang berlari mengelilingi lapangan
itu atau sekedar jogging di pinggir jalan. Setelah dua kali mengelilingi lapangan mereka berhenti namun tidak benar-benar berhenti hanya saja masih berjalan.
       “Kamu haus?” tanya pria itu pada anaknya karena ada penjual minuman dan makanan kecil di pinggir lapangan, juga penjual bubur ayam.
       Monette melirik sepatu sekolahnya yang ia pakai untuk mengikuti ayahnnya jogging.
kini ia merasa kakinya sedikit sakit, entah karena jarang lari atau memang sepatunya yang agak keras.
       “Ada apa, Min?”
       “Mm… tidak apa-apa Ayah. Ya… aku mau minum.” Sahutnya menoleh pada ayahnya.
       “Ayo kita ke sana, ada tukang minuman. Setelah ini kita pulang.” Kata sang ayah seolah memahami kelelahan anaknya.
                                                                     *

Setelah ajak siang, pria itu mengambil bambu yang tumbuh tak jauh dari rumahnya. Akhir-akhir ini Monette melihat ayahnya tak bisa diam, ada saja yang ia kerjakan kalau sedang ada di rumah.
       Ia sedang memikul tiga batang bambu dengan ukuran tak lebih besar dari lengan Monette. Saat Monette bertanya.
       “Ayah, bambunya untuk apa? Ayah mau membuat pagar?” tanya Monette karena halaman rumah mereka tidak ada pagarnya, yang ada hanya pohon rambutan yang sudah rindang membuat teduh halaman rumah mereka.
       “Tidak, kita tidak perlu pagar.” Ia meletakkan tiga batang bambu itu di depan rumah mereka. Arby ikut keluar menemui kakak dan ayahnya dan kini bermaksud mengganggu pekerjaan ayahnya. “Arby, bambunya jangan dipegang ya, Nak. Nanti tanganmu gatal.” Ujar sang ayah dengan lembut dan kini mulai mengerjakan pekerjaan pokoknya.
       Rumah Monette memang berada di perkampungan yang juga dikelilingi oleh beberapa komplek yang penghuninya datang dari berbagai kota tapi kebanyakan kerja di Jakarta. Rumah Monette juga masih di kelilingi berbagai macam pohon buah, dan halaman rumahnya yang luas itu tidak dipagari hanya ditumbuhi rumput gajah. Rumah yang kecil dengan lantai keramik paling murah harganya dan sejajar dengan tanah. Tapi rumah Monette sangat teduh sehingga mereka tidak memerlukan kipas angin di siang atau malam hari jika mau tidur. Satu dua tetangga berdekatan rumahnya dengan Monette, hubungan mereka sangat akrab satu sama yang lain.
       Sedang Monette bermain dengan adiknya, ayahnya sudah memasang dua batang bambu
berdiri sejajar dengan ketinggian tidak lebih dari satu setengah meter. Saat ayahnya memasang bambu bagian atas yang tertumpu pada dua batang bambu yang ditanam di tanah. Monette berkomentar.
       “Ayah, kita sudah punya tempat menjemur pakaian, kenapa Ayah membuatnya lagi?” tanya Monette dengan polosnya. Pria itu belum menjawab pertanyaan anaknya karena masih asyik mengikat bambu itu dengan kuat supaya tidak akan bisa lepas. Setelah merasa kuat dan terpasang dengan baik, ia coba menggoyangkan bambu itu dengan tangannya dan kelihatannya sudah benar-benar kuat. Ia mundur beberapa langkah untuk mengamati hasil pekerjaannya sedang Monette masih diliputi pertanyaan untuk apa ayahnya membuat dua batang bambu dengan palang di atasnya.
       Arby mengeluarkan bola plastiknya dan mulai asyik main sendiri.
       Pria itu menoleh kepada putri kecilnya. “Apakah tanganmu bisa menggapai palang bambu itu?” katanya ingin tahu. Monette mendekat ke bambu yang sudah ayahnya dirikan, lalu coba meluruskan tangan kanannya ke atas sampai habis tapi ia tidak bisa menyentuh palang bambu. Ia coba mengangkat tumitnya tapi tetap tidak sampai, tangannya akan mengenai bambu itu kalau saja tingginya bertambah sepuluh senti.
       “Tidak bisa, Ayah.” Keluhnya.
       “Tidak apa-apa. Coba kamu mundur sedikit, setelah itu kamu lari dan melompat, siapa tahu sampai.” Usul ayahnya. Monette melakukan apa yang diinginkan ayahnya. Ia mundur kira-kira tiga langkah lalu maju dengan sedikit berlari lalu melompat untuk menggapai palang
bambu namun tetap tidak bisa mengenai ujung jemarinya.
       “Ayah membuatnya ketinggian… Monette jadi susah memegangnya.” Protes Monette membuat ayahnya tersenyum.
      “Hari ini kamu mungkin belum bisa mengenainya, besok atau minggu depan kamu pasti bisa menyentuhnya.” Kata pria itu dengan penuh keyakinan sedang Monette tidak mengerti untuk apa ayahnya membuat lelucon seperti itu. Tapi sungguh mati, ia penasaran ingin menggapai palang bambu itu, apakah ia harus menggunakan kursi dan naik ke kursi untuk menyentuhnya? Pikirnya mulai aneh.
       Ibu Monette heran kenapa ada palang bambu di halaman rumah mereka, membuat ia bertanya pada suaminya.
       “Untuk apa itu?” ia sudah duduk di bale-bale berikutnya suaminya ikut ke sana untuk istirahat sembari menikmati kopi buatan isterinya.
       “Untuk tempat bermain anak-anak.” Ujarnya dengan santai tapi wanita itu tidak bodoh dan ia paham betul apa yang diinginkan suaminya.
       “Apakah Monette menyukai tempat chin up itu?” lirihnya ingin tahu juga sedang tangannya mendekatkan cangkir kopi ke hadapan suaminya.
       “Kita akan melihatnya untuk beberapa hari ke depan.” Pria itu menoleh sekilas ke bambu yang telah ia buat dengan menghabiskan waktu lebih dari sejam.
       “Kamu tidak menginginkan Monette masuk sekolah sepak bola, kan?” tanya isterinya lagi sedang kedua anak mereka terlihat masih bermain di halaman dan sekali-kali Monette kembali coba menggapai palang bambu dengan tehnik yang diajarkan ayahnya juga diikuti adik laki-lakinya.
       Mendengar pertanyaan isterinya, pria itu hanya tersenyum kalem.
                                                                       ***


Khailla
Wanita itu datang ke tempat latihan anaknya, Vito.
Itu kunjungan pertamanya ke tempat itu karena waktu Vito daftar semua diurus sama pak Damar, supirnya.
       Minggu pagi biasanya ia istirahat di rumah atau pergi bersama teman-temannya, jika ada hal penting sedang suaminya bekerja serabutan dan tidak pernah betah kerja di satu tempat dengan alasan yang tidak jelas. Meski sering berada di rumah, suaminya tak begitu peduli dengan anaknya, seperti sekarang ini waktu ia mengajak pria itu untuk ikut mengunjungi tempat latihan Vito ia lebih memilih berada di rumah saja.
       Hari minggu, Vito memang latihan pukul tujuh pagi dan hari itu ia terlihat sangat senang karena ibunya bisa menemaninya, ia pun mengenalkan ibunya kepada pelatihnya. Sedang teman-temannya hanya bisa menebak kalau wanita itu adalah ibunya Vito lantaran wajah mereka juga mirip.
       Sebelum latihan dimulai anak-anak melakukan passing sama teman-teman mereka yang sudah hadir karena masih ada sepuluh menit lagi sebelum pukul tujuh pas.
       “Anda melatih sendiri?” tanya Khailla yang sudah duduk bersama pelatih muda, seorang pria yang usianya sekitar tiga puluh limaan.
       “Hm, ada satu lagi pelatih wanita… oh itu dia.” Tunjuknya ke arah pintu saat melihat wanita  dengan sosok jangkung masuk dengan pakaian olah raga komplit. Dan bisa Khailla pastikan kalau wanita itu usianya tidak beda jauh darinya. Saat wanita itu mendekat, Khailla berdiri dan mereka berjabat tangan. “Arum, ini Ibunya Vito.” Pria itu mengenalkan Khailla kepada rekannya. Kedua wanita itu sama-sama tersenyum sambil berjabat tangan dengan erat. Sesaat saja ramah-tamah itu berlangsung dengan cepat dan akrab.
       Pelatih yang pria meninggalkan mereka berdua untuk menghabiskan waktu lima menit tersisa sebelum latihan dimulai. Arum, pelatih bola voli yang nota benenya mantan pemain,
meski tidak bisa dibilang terkenal namun ia masuk sekolah pelatihan karena kecintaannya pada permainan bola voli itu sendiri. Pertama melihat Khailla ia tidak lantas bisa menebak apakah seorang wanita karir atau isteri dari seorang pengusaha, yang bisa ia lihat adalah wanita itu punya pergaulan luas dan itu sudah cukup untuknya mengingat Vito punya keinginan keras dalam berlatih voli, dan bisa ia pastikan untuk tiga bulan ke depan vito bisa mengurangi berat badannya dan tulangnya akan lebih berkembang lagi untuk memanjang.
       Sudah saatnya melatih dan Arum pun pamit pada Khailla yang duduk di pinggir lapangan bersama para orang tua yang lain, paling kecil di lapangan itu adalah anak kelas tiga SD dan ibunya selalu mengantar tiap selasa dan minggu.
       Khailla melihat ke arah Vito sekilas, mereka sudah berdiri melingkari sang pelatih dan berdoa sejenak. Selanjutnya ia mengamati ruangan GOR itu di mana ada dua lapangan voli yang siap pakai. Dari struktur bangunan serta cat juga bentuk ubin yang sudah usang bisa ia pastikan kalau bangunan itu lebih tua dari usianya. Khailla menghela napas sejenak, dan merasa mulai gerah berada di dalam itu. Ia memutuskan untuk keluar sekedar melihat-lihat, ia pun berjalan melewati satu dua orang tua yang duduk di sepanjang tepi lapangan, tidak ada yang menegurnya sedang ia hanya menciptakan senyuman saja. Ada yang membalasnya dengan anggukan ada juga dengan senyuman.
       Mungkin ada yang mengira kalau ia adalah seorang donatur atau tamu dari jauh, serta tidak sedikit yang menebak kalau ia adalah ibunya Vito tapi apa pun pandangan orang-orang Khailla tidak akan peduli, kedatangannya adalah untuk mengetahui di mana anaknya belajar dan bagaimana bentuk tempatnya, ia juga tidak peduli apakah tempat itu mewah atau tidak, yang menjadi masalah… apakah anaknya betah atau tidak? Karena menurutnya, orang berprestasi itu tidak melulu datang dari tempat elit.
       Khailla remaja juga berasal dari kalangan orang yang tidak mampu dan ia bekerja keras untuk berada di posisinya sekarang ini.
       Khailla sudah duduk di kantin, tempatnya di sebelah lapangan bola kaki pas di samping..
GOR. Di sana ia memesan kopi instan kegemarannya. Di lapangan bola kaki anak-anak terlihat ramai berbeda sekali yang ada di dalam ruangan untuk berlatih bola voli.
       “Mengantar anaknya, Bu?” tanya ibu kantin sekitar usia lima puluhan itu.
       “Ya.” Sahut Khailla singkat.
       “Yang mana anaknya? Baru masuk ya?” ia bertanya lagi karena baru melihat Khailla.
       “Sudah hampir tiga bulan, anak saya di dalam.”
       “Oh…., anaknya di voli ya.” Wanita itu sudah hafal siapa yang sedang berlatih di dalam dan juga sebaliknya.
       “Ya.” Sahut Khailla lagi.
       “Siapa nama anaknya? Jangan-jangan si Vito?” wanita itu melirik Khailla sejenak dan ia sudah bisa melihat kemiripan wajah itu dengan Vito.
       “Betul.” Jawab Khailla pendek.
       “Anaknya baik, agak pendiam, sedikit gemuk tapi jarang jajan juga..” nadanya tak mempermasalahkan kalau Vito jarang jajan di tempatnya, ia hanya ingin memberitahukan pada wanita itu bahwa ia kenal dengan anak yang bernama Vito.
       Khailla hanya tersenyum tipis, mengenai jajan memang ia jarang membiarkan anaknya untuk jajan di luar, ia lebih memilih pembantunya membuat bekal dari rumah dari pada membeli makanan jadi dari luar.
      Di dalam GOR, pelatih sedang memberikan warning-up atau pemanasan tidak lebih  dari sepuluh menit saja untuk anak-anak didiknya lalu mulai latihan fisik, pertama squat jump. Pelatih pria mengintruksikan beberapa langkah melakukan squat jump.
       “Untuk melakukan squat jump, yang pertama letakan kedua tangan di pundak lalu
jongkok kemudian melompat di tempat, melompatnya hanya setengah ketinggian saja lalu kedua kaki bergerak bergantian ke depan dan ke belakang.” Ia pun mempraktekkannya
Sejenak lalu memerintahkan anak-anak menirunya. “Lakukan sebanyak dua puluh kali.” Perintahnya dan anak-anak pun mengikuti dengan sangat teratur.
                                                                            *

 LATIHAN SQUAT JUMP
Latihan kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting dalam program latihan atlet, terutama atlet pertandingan. Istilah latihan kondisi fisik mengacu kepada suatu program latihan yang dilakukan secara sistematis, berencana dan progresif, yang tujuannya ialah untuk meningkatkan kemampuan fungsional dari seluruh system tubuh agar dengan demikian prestasi atlet semakin meningkat.
Salah satu factor yang mendukung kondisi fisik adalah kekuatan yaitu kemampuan untuk melakukan kontraksi guna melakukan tegangan terhadap suatu tahanan. Sesuai dengan batasan kekuatan (yaitu kemampuan otot untuk membangkitkan tegangan terhadap suatu tahanan), maka latihan-latihan yang cocok untuk perkernbangan kekuatan adalah latihan-latihan tahanan, di mana kita harus mengangkat, mendorong atau menarik suatu beban.
Permasalahan penelitian yang timbul memerlukan komponen kondisi fisik salah satunya kekuatan dan dalam pelaksanaan latihannya dengan latihan Squat Jump.

 LATIHAN POWER
Power termasuk pada komponen kondisi fisik, menurut Harsono (1988 : 20) "Power adalah kemampuan otot untuk mengerahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang sangat cepat". Dari pengertian tersebut tersirat bahwa kekuatan dan kecepatan merupakan unsur penting dalam power. Hal ini sejalan dengan pendapat Harsono (1988 : 200) "Unsur penting dalam power yaitu :
a). Kekuatan otot, dan
b). Kecepatan otot dalam mengerahkan tenaga maksimal untuk mengatasi tahanan".
Power berperan penting untuk cabang-cabang olahraga yang mengerahkan tenaga dengan
kuat, dengan cepat seperti untuk nomor-nomor lompat dalam atletik, rnenendang, melempar, dan sebagainya. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat PBVSI (1995 : 59) bahwa “Penggunaan power adalah :
1) untuk mencapai prestasi maksimal,
2) dapat mengembangkan taktik bertanding dengan tempo cepat dan gerak mendadak,
3) memantapkan mental bertanding atlet,
4) simpanan tenaga anaerobic cukup besar.”
Baik tidaknya power seseorang ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut menurut PBVSI (1995: 59) adalah :
1. Banyak sedikitnya macam fibril otot putih (Phasic) dan atlet,
2. Ketentuan dan kecepatan otot atlet rumus P = F x V, P = Power, F= Force dan V = Vecolity
3. Waktu rangsangan maksimal 34 detik, misalnya waktu rangsangan hanya 15 detik power akan lebih baik dibandingkan dengan waktu rangsangan selama 34 detik.
4. Koordinasi gerakan yang harmonis antara kekuatan dan kecepatan tergantung banyak sedikitnya zat kimia dalam otot (ATP) dan penguasaan teknik gerak yang benar
Latihan power yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai ciri latihan explosive power. Ciri latihan explosive rnenurut PBVSI (1995 : 59) adalah sebagai berikut :
1. Melawan beban relative ringan, berat badan sendiri, dapat pula tambahan beban luar yang ringan.
2. Gerakan latihan aktif, dinamis, dan cepat.
3. Gerakan-gerakan merupakan satu gerak yang singkat, serasi dan utuh.
4. Bentuk gerak bias cyclic maupun acyclic.
5. Intensitas kerja sub maksimal atau maksimal.(3)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                                                                                                                                                      (3) By : Banung Indrawati Penjaskes
                                                                         *
       Rata-rata anak-anak merasakan beratnya latihan itu tapi mereka terlihat masih semangat, untuk selanjutnya mereka diperintahkan melakukan lari sekencang-kencangnya dari ujung lapangan sampai di ujung yang satu berhenti sejenak untuk melakukan push up sebanyak sepuluh kali lalu bangun lagi dan lari ke ujung lapangan yang kedua setelah itu berhenti lagi untuk squat jump sebanyak sepuluh kali juga setelah itu kembali berlari pada ujung lapangan ketiga yaitu yang terakhir melakukan lompatan setinggi mungkin juga sebanyak sepuluh kali. Mereka melakukannya bergantian dan terus begitu hingga masing-masing anak melakukan sebanyak tiga kali putaran.. dan itu sepertinya cukup menguras tenaga mereka, satu dua anak terlihat kelelahan dan salah satu dari mereka yang fisiknya kurang kuat nyaris saja pingsan.
       Saat itu Khailla sedang menyaksikan latihan yang menurutnya lumayan berat, dari putaran pertama ia melihat setiap gerakan Vito, tadinya ia tidak yakin kalau anaknya bisa melakukan hal itu, dalam hati kecilnya ia bangga juga pada Vito. Saat melihat Vito kelelahan sebagai naluri seorang ibu tergerak hatinya untuk mendekati Vito dan memberikannya minuman tapi itu tidak mungkin karena tidak ada seorang pun yang boleh minum jika saat istirahat belum tiba. Khailla hanya bisa menonton saja, tidak ada permainan bola voli yang ada hanya latihan fisik dan teknik dalam permainan bola voli.
       Dan jam kedua melakukan teknik  Receiv atas dan Receiv bawah serta diajarkan juga  tentang teknik servis yang benar.
                                                                        *

                                                                                 
       Setelah selesai latihan, anak-anak sudah siap pulang dan satu persatu mereka pamit pada pelatih dengan berjabat tangan serta mencium punggung tangan kedua pelatih mereka. Sebelumnya Khailla sudah bicara hal penting kepada pelatih wanita saat anak-anak melakukan pendinginan.
       Sorenya, Khailla mengajak Vito jalan-jalan ke mall untuk mengunjungi toko alat-alat olahraga dan ia pun sudah berjanji kepada Arum untuk bertemu di tempat itu. Sebelum Arum datang ia mengajak Vito untuk menunggu di tempat makan dan baru saja ia bersama Vito duduk panggilan dari Arum masuk.
       “Hai, sudah sampai? Aku sudah ada di toko sport ini.” Itu suara Arum.
       Khailla jadi ragu untuk menjawab, kalau ia pergi dari tempat makan itu tidak enak juga sama pelayan makanan dan jika ia mengajak Arum ke tempatnya kesannya ia lebih mementingkan makan dari pada mencari apa yang mereka inginkan, sedang dari lima menit yang lalu ia sudah mengirim pesan sama Arum kalau ia sudah sampai di mall.
       “Mm…, Arum…. Aku sama Vito lagi pesan makanan di lantai dua, bagaimana kalau kamu ke sini dulu, setelah itu kita baru leluasa melihat-lihat.” Usul Khailla yang memang belum sempat makan siang di rumah.
       “Oh.” Nada suara Arum agak berat terdengar di telinga Khailla, Khailla coba memahami situasi itu. Sejenak Arum menyimak toko sport yang di belakangnya.
       “Arum…?” panggil Khailla berusaha membuat wanita itu tidak sungkan karena ia
memang tidak punya maksud apa-apa. Ia merasa berterima kasih sekali karena Arum sudah
menyempatkan diri untuk menemaninya mengenali alat-alat permainan voli.
       “Ya, aku ke sana. Sebentar ya.” Sahut Arum akhirnya karena merasa tidak punya pilihan.
       “Oke, aku tunggu.” Khailla mengukir senyum. Setelah pembicaraan di telepon berakhir ia menatap Vito. “Kamu mau makan apa?”
       “Mm, nanti saja kalau bu Arum sudah datang.” Jawab Vito. “Ibu mau beli apa sampai mengajak bu Arum, Vito kan malu, Bu.” Tutur Vito terus terang dengan ibunya.
       Khailla tahu kalau anaknya memang pemalu. “Ibu hanya ingin membeli peralatan latihan kamu tapi Ibu tidak begitu paham tentang semua hal dengan voli jadi tidak apa-apa kan kalau kita minta tolong sama bu Arum? Oh, itu dia.” Khailla melihat Arum keluar dari lift, tempat makan itu memang pas di samping pintu lift adanya di lantai dua. Khailla melambaikan tangannya ke arah Arum yang belum menemukan posisi mereka dan wanita itu pun melihat Khailla yang berdiri untuk memperjelas penglihatan Arum.
       Arum berjalan ke arah kursi Khailla, disambut ibu dan anak itu dengan senang hati. Vito seperti biasa, sungkem. Lalu Khailla dan Arum berjabat tangan dengan erat.
       “Silahkan duduk.” Kata Khailla yang sempat menyimak penampilan Arum yang modis dengan celana jins coklat dipadu baju kasual yang senada dengan celananya.
       Arum menarik kursi. “Terima kasih.”
       “Maaf, tadi belum sempat makan di rumah jadinya…”
       “Tidak apa-apa.” Kata Arum berusaha santai.
       “Kita belum pesan makanan, kamu pesan apa?” tanya Khailla pada Arum.
       “Waduh, tadi sudah makan… jadi masih kenyang.” Tolak Arum tidak ingin merepotkan
wanita itu dan ia benar-benar merasa tidak enak.
       “Jangan seperti itu, masa hanya saya dan Vito yang makan?”
       “Ya, Bu Arum….pesanlah, kita makan sama-sama.” Ujar Vito ikut bicara membuat wanita itu tidak enak juga kalau tidak ikut makan, ia tidak mau terlihat malu-maluin.
       “Ya, sudah. Aku pesan kopi saja ya.”
       “Tolong, jangan hanya minuman.” Pinta Khailla dengan memohon karena ia tidak akan berselera makan jika wanita itu hanya memandangnya makan lantaran hanya menikmati segelas kopinya.
       “Baiklah.” Arum melirik sejenak ke arah nama jenis makanan yang tertera di depan mereka yang kebetulan ada di dinding menyala. “Aku pesan satu sandwich saja.” Ia pesan makanan yang sesuai dengan kopi yang ia pinta.
       Khailla pun memilih makanan persis yang di pesan Arum sedang Vito memesan
makanan kegemarannya ditambah minuman soft drink.
       Di meja, dan dalam pertemuan kedua itu Khailla dan Arum terlihat sudah sangat akrab.
       Beberapa menit setelah mereka menikmati makanan Khailla menyinggung masalah gedung olahraga yang terlihat sudah tua.
       “Mm… Arum sudah lama menjadi pelatih di sana?” Khailla mencoba lebih akrab lagi dengan wanita itu. “Kalau tidak salah klub tempat Vito itu kan masih baru…, benar?”
       “Benar sekali, klub itu baru berjalan kurang lebih satu tahun belakangan ini. Sedang klub yang sudah lama berlatih di sana namanya berbeda alias sama dengan nama klub SSB-nya. Mereka sudah jalan lebih dari puluhan tahun. Kita hanya menyewa tempat saja.”
       “Oh, saya tidak begitu mengerti.. dan…” ia berhenti sejenak lalu tersenyum tipis seolah malu pada diri sendiri. “….waktu mendaftarkan Vito pak Damar yang mengurus.”
       “Ya, saya tahu.” Arum tahu kalau pak Damar yang dimaksud itu adalah pria yang setia mengantar Vito latihan dan ia tidak akan bertanya di mana Khailla bekerja dan apa pekerjaannya. Biarlah itu menjadi rahasianya.
       “Saya juga baru pindah ke sini sekitar empat bulan yang lalu…”
       “Tadinya…?” tanya Arum merasa tertarik dengan kisah Khailla.
       “Di Jakarta, tapi tempat saya sering banjir jadinya ke sini.”
       “Jakarta, ah… entah kapan banjir bisa menghilang dari Jakarta? Istana Negara pun seakan sudah diincar sama banjir.” Kata Arum dengan santai.
       “Banjir itu terjadi karena orang-orang suka membuang sampah sembarangan dan
banyaknya penebangan pohon liar, terus kurangnya saluran air…. Sedang gedung-gedung setiap tahunnya terus bertambah, sehingga jikalau hujan tidak adanya penyerapan air ke dalam tanah dan kalau musim kemarau sudah tiba kita akan kekeringan karena tidak adanya cadangan air di dalam tanah dan itu makin hari makin parah.” Tutur Vito yang pernah membaca dan mendengar penjelasan dari gurunya di sekolah.
       “Seratus untuk kamu Vito.” Kata Arum merasa kagum dengan anak itu. Sekilas ia mengusap kepala Vito karena salut sedang Khailla hanya tersenyum.
       Setelah menyelesaikan makan mereka baru turun ke lantai satu di mana terdapat toko sport yang lengkap. Khailla minta tolong kepada Arum memilihkan apa saja keperluan untuk latihan voli.
      Yang Arum pilih pertama adalah tali skipping, deker dan sebuah sepatu yang pas untuk Vito latihan bola voli.
       “Hanya itu, Arum?” Khailla minta penjelasan.
       “Untuk saat ini hanya itu saja dulu dan belikan juga sebuah buku panduan mengenai pengetahuan pervolian untuk Vito baca.”
       “Oh, pasti aku beli. Mmm…. Apakah aku boleh membelikan juga skipping untuk anak-anak yang lain di klub Vito?” Khailla memohon pertimbangan wanita itu. Arum menatap pada Khailla sejenak. “Mm.. maksudku, biar sebelum mulai latihan mereka bisa sama-sama menggunakannya di GOR.”
       “Aku tahu maksud kamu baik, tapi anak-anak di GOR itu tidak kurang dari dua puluh tujuh orang dan kalau salah satu dari mereka tidak….”
       “Aku tahu Arum…. Kita akan membelikannya untuk mereka.”
       “Mm.. Khailla, bukannya aku bermaksud melarangmu tapi… mungkin di antara anak-anak yang lain ada juga orang tuanya mampu membeli, nanti kita bahas lagi deh. Kalau pun kamu berminat untuk tetap membeli, biar aku bicarakan dulu sama pelatih yang lain dan bisa kita anggap sebagai sumbangan nantinya. Tidak apa-apa, kan?” usul Arum.
       “Oh, terserah bagaimana baiknya.. tapi kamu tahu kan aku tidak bermaksud apa-apa hanya ingin ikut berpartisipasi saja.” Kata Khailla dan Arum mengangguk tidak ingin meren-
dahkan niat baik wanita itu, apalagi ia melihat tidak ada unsur ingin pamer pada diri Khailla.
       Dan keesokkannya Khailla pun membelikan buku tentang pengetahuan voli untuk Vito.
                                                                     ***

MENGHINDARI CIDERA
Pencegahan melalui Alat Bantu atau Pertolongan Seorang atlet yang pernah mengalami cedera atau dalammasa penyembuhan perlu menggunakan alat bantu pengaman (deker, tensocrab, pembalut, dll) agar tidak terjadi cedera yang lebihparah lagi. Selain itu, pada saat latihan atau bertanding perlu adanya seorang pemijat (maseur) atau dokter yang apabila terjadi sesuatuyang tidak diharapkan dapat segera melakukan pertolongan (PPPK)

       Cedera dalam dunia olahraga yaitu rusaknya jaringan (lunak atau keras) baik otot, tulang atau persendian yang disebabkan oleh kesalahan teknis, benturan, atau aktivitas yang melebihi batas beban latihan (overtraining) yang dapat menimbulkan rasa sakit atau nyeri dan atau akibat dari kelebihan latihan dalam memberikan pembebanan yang terlalu berat (overload) sehingga otot, tulang atau persendian tidak lagi dalam keadaan atau posisi anatomis (dislokasi). Pencegahan cedera pada saat berlatih maupun pada saat bertanding dalam olahraga permainan sepak bola dapat dilakukan oleh seorang pemain atau atlet sepak bola dengan berbagai cara. Cara-cara pencegahan cedera dalam olahraga permainan sepak bola, antara lain: dengan penguasaan pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik. Pengetahuan, sikap, perilaku untuk dapat mencegah terjadinya cedera tersebut dapat diwujudkan dengan cara pencegahan melalui:
(1)   lingkungan,
(2)   perlengkapan yang dipakai (equipment),
(3)   latihan, pemanasan, penguluran, dan pendinginan yang baik,
(4)   keterampilan,
(5)   pemilihan dan pola makan yang baik,
(6)   patuh pada peraturan yang berlaku (bermain dengan sportif dan fairplay),
(7)   pelatih atau maseur,
(8)   alat bantu atau pertolongan, dan
(9)   perawatan dokter atau tim medis.
       Permainan bola voli yang kita kenal sekarang ini ada dua sistim yakni sistim internasional dan sistim timur jauh. Perbedaan kedua sistim ini terletak pada jumlah pemain dan ukuran lapangan yang digunakan. Permainan bola voli yang kita kenal sekarang ini terutama oleh anak-anak sekolah dan masyarakat adalah sistim internasional. Sistem internasional dibentuk pada tahun 1895 di Holyoke, Amerika bagian Timur dan sebagai pelopornya William Morgan dari YMCA. Semula permianan bola voli ini diberi nama ” Mintonette”. Permainan bola voli mirip dengan permainan badminton kemudian namanya voley ball yang artinya memvoli bola bergantian melalui net.Bangsa Indonesia mengenal permainan bola voli pertama kali dari orang-orang Belanda pada waktu zaman penjajahan. Perkembangan bola voli di Indonesia berkembang dengan cepat, sehingga pada tanggal 22 Januari 1955 terbentuklah Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI) di Jakarta atas prakarsa Wim. Latumeten.Sedangkan Federasi bola voli seluruh dunia atau International Voley Ball Federation (IVBF) didirikan pada tahun 1948 di kota Paris Perancis.Sebelum bermain bola voli terlebih dahulu terdapat beberapa aspek yang harus dipelajari agar dapat bermain dengan baik dan benar. Aspek atau teknik dasar tersebut antara lain :
 1. Servis (pukulan awal)
2. Passing (menahan bola)
3. Smash (pukulan keras dan tajam)
4. Block (membendung serangan)
Lapangan
1. Panjang Lapangan : 18 m
2. Lebar Lapangan : 9 m
3. Lebar Garis : 5 cm

Net/Jaring
1. Panjang Net : 9,5 m
2. Lebar Net : 1 m
3. Mata Jaring : 10 cm
4. Tinggi tiang Putera : 2,43 m
5. Tinggi tiang Puteri : 2,24 m
6. Antene rood line : 10 cm
7. Tinggi/panjang antene : 1,80 m
8. Garis tengah diameter : 1 cm

Bola
1. Keliling : 65-67 cm
2. Berat bola : 250-280 gram
3. Tekanan udara : 0,48-0,52 kg/cm
4. Jalur bola : 12-18 jalur

Pemain
1. Jumlah Pemain inti : 6 orang
2. Jumlah Cadangan : 6 orang
Lama Permainan
1. Permainan ditentukan dengan set, dalam satu set permainan dianggap telah selesai apabila regu atau tim mencapai nilai 25 point. Apabila terjadi nilai 24-24 maka di cari selisih 2 angka/point sampai tak terhingga.
2. Permainan menggunakan sistim two winning set (dua kemenangan) atau
3. Permainan menggunakan sistim tre winning set ( tiga kemenangan)

Wasit/Refree
1. Pertandingan dipimpin oleh 2 orang wasit ( wasit 1 dan wasit 2)
2. Wasit dibantu oleh 4 orang penjaga garis (lines man) dan
dibantu oleh 1 orang pencatat score.

Bola voli = Pola penyerangan+Pertahanan Perwasitan
  • 1. BOLA VOLI Pola Penyerangan Dalam permainan bola voli berhasil atau tidaknya suatu penyerangan sebagian besar bergantung dari pemberian bola pada pemain penyerang yang bersangkutan. Seorang penyerang dapat dikatakan mahir dalam melakukan serangan apabila ia memiliki kualitas berikut ini. a. Dalam melakukan penyerangan cukup luwes dan tidak kukuh dengan satu tipe penyerangan saja (menonton) b. Pandai meloncat c. Dapat memukul bola dengan keras d. Dapat menjangkau bola jauh-jauh e. Mempunyai daya observasi yang tinggi terhadap kemampuan lawan.
  • 2. Penyerangan Bervariasi Jenis Serangan yang paling sederhana namun paling aman adalah umpan dari posisi 3 ke arah posisi 2 dan 4. Gambar 9.8 serangan dengan umpan dari posisi 3 ke arah posisi 2 dan 4 Keterangan : : Bola pertama (I) : Bola Kedua (II) atau umpan : Bola Kretiga (III) atau hasil smash 3 6 5 1 4 2
  • 3. Berikut ini posisi-posisi terbaik untuk membentuk serangan. 1.) Umpan dari posisi 2 ke posisi 3 dan 4 2.) Passing pertama ditunjukkan pada posisi 2 3 4 2 5 6 1 Gambar 9.9 serangan dengan umpan dari posisi 2 ke arah 3 dan 4 5 4 3 2 6 1 Gambar 9.10 serangan dengan passing pertama ditunjukkan pada posisi 2.
  • 4. 3.) Tukar Tempat (switching) Arah gerakan posisi pemain 3 dan 4 bersilangan sesuai dengan pemberian umpan dari posisi 2. 3 4 2 5 6 1 4 2 5 6 1 3 Gambar 9.11 serangan dengan tukar tempat.
  • 5. b. Melindungi Penyerang Melindungi penyerang (meng-cover) adalah persiapan regu penyerang untuk menerima kembali bola mental akibat smash yang dilancarkan dapat di-blok dengan baik oleh lawan. Untuk meng-cover smasher, regu penyerang adalah menjaga seluruh lapangan terhadap kemungkinan bola mental dari smash yang diblokir lawan. 4 2 5 6 1 3 4 2 5 1 3 Gambar 9.12 Melindungi Penyerang
  • 6. Serangan selain dilakukan dengan smash, bisa juga dikerjakan dengan service, passing, voli, dink dll. Pola, variasi, dan tempo serta taktik penyerangan memegang peranan penting dalam tim. Pola serangan tinggi, pendek, cepat, lambat, variasi-variasi gerakan di dekat net, dinamika dari pemain, dan arah serangan bola semuanya itu termasuk dalam taktik tim yang harus dimiliki suatu regu bola voli yang baik. Pola penyerangan diartikan memaksa regu lawan untuk bermain mengikuti keinginan regu yang melakukan penyerangan. Prinsip penyerangan adalah usaha untuk mematikan bola dilapangan lawan dengan jalan apapun yang tidak melanggar peraturan permainan bola voli.
  • 7. c. Taktik Tim dalam penyerangan Formasi bermain suatu regu harus merata pembagian kekuatannya dalam posisi apapun untuk melakukan serangan. Oleh karena itu, penempatam smasher, set-upper, dan pemain universaler harus diperhitungkan dengan matang agar dicapai pemerataan kekuatan dalam penyerangan. Jenis-jenis pemain sesuai dengan tugas dan fungsinya dapat dibagi menjadi berikut ini. 1) Smasher (Sm) bertugas sebagai penyerang utama 2) Set-Upper (Su) bertugas sebagai pengumpan ke smasher 3) Universaler (U) bertugas dan berfungsi serbaguna 4) Libero (L) bertugas sebagai pemain bertahan yang posisinya selalu di daerah belakang 5) Libero tidak boleh melakukan service, membendung maupun menyerang
  • 8. d. Sistem Penyerangan Berikut ini macam-macam sistem penyerangan. 1) Sistem 4 Sm – 2 Su (4 smasher – 2 set-upper) a) Su 1 – Su 2 = set-upper ke-1 dan ke-2. b) Sm 1 – Sm 4 = Smasher 1,2,3,4 c) Sm 1 – Sm 2 tempatnya harus berlawanan karena kekuatan dan kemampuannya hampir seimbang dalam produkivitas serangan terhadap lawan. d) Sm 3 lebih baik daripada Sm 4 sehingga ditugaskan membantu Sm 2 yang kemampuannya untuk menyerang kurang dibanding Sm 2 . Sm 1 Su 1 Sm 3 Su 2 Sm 4 Sm 2 net garis serang Gambar 9.13 Sistem 4 smasher – 2 set-upper
  • 9. 2) Sistem 4 Sm – 1 Su – 1 U ( 4 smasher – 1 set-upper – 1 universaler) a) Sm 4 = smasher terbaik b) U dan SU selalu berlawanan posisi dalam pergeseran posisi c) U dapat memberi umpan, tetapi kurang baik bila dibandingkan Su, tetapi memiliki kemampuan smash lebih baik daripada Su. d) Sm 1 dan Sm 3 memiliki kemampuan smash lebih baik dibanding Sm 2 dan Sm 4. Su Sm 4 Sm 2 net garis serang Gambar 9.14 Sistem 4 smasher – 1 set upper – 1 universaler Sm 1 Sm 3 U
  • 10. 3) Sistem penyerangan 5 Sm – 1 Su (5 smasher dan 1 set-upper) Berikut ini komposisi pemainnya. a) Su harus bersilangan dengan Sm 5 . b) Selama Su dalam posisi di depan (tiga, empat), Sm 1 dan Sm 2 harus ada posisi di depan salah satu, untuk dpat diandalkan produktivitasnya dalam penyerangan c) Bila Su tidak dapat mengumpan Sm terdekat dengan bola bertugas sebagai pengumpan. d) Dalam sistem ini tugas Su sangat berat Su 5 Sm 4 Sm 2 net garis serang Gambar 9.15 Sistem 5 smasher – 1 set-upper Su Sm 1 Sm 3
  • 11. 2. Pola Pertahanan Pola pertahanan mempunyai arti bahwa pemain bertahan dalam keadaan pasif menerima serangan, dengan harapan regu lawan membuat kesalahan dari penyerangnya. Taktik bertahan harus mempunyai prinsip agar dengan pertahanan itu regunya dapat menyerang kembali regu lawan. Dalam permainan bola pertahanan dan pola penyerangan harus dikembangkan secara selaras dan bersamaan.
  • 12. Pertahanan mencakup dua aspek, yaitu menerima smash lawan dan melindungi atau mempertahankan dengan block. Jenis-jenis pertahanan yang paling penting adalah menerima bola dengan kedua belah lengan posisi berdiri.
  • 13. Berikut ini bendungan (block) yang sering digunakan dalam permainan bola voli. Bendungan (Block) satu pemain Block jenis ini dimainkan apabila pihak penyerang memainkan penyerangan yang sangat cermat dan kuat, sehingga pemain bertahan lainnya tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membantu block temannya. Pada block ini pemain yang menduduki posisi 6 harus meng-cover sisi paling lemah yang terdapat pada bagian depan lapangan. Pemain depan harus menjauhi net sehingga dapat meng-cover seluruh lapangan bagian depan.
  • 14. B. Bendungan (Block) Dua pemain Block jenis ini dibentuk pada posisi 4 dan 2 pada permainan normal. Situasi blocking seperti ini memberi kemungkinan lebih banyak untuk meng-cover pertahanan, jika dibandingkan dengan blocking satu orang. Blocking dua orang dibentuk pada posisi 3. Block ini mempunyai kemungkinan yang lebih baik dibandingkan dengan block satu orang. Block dua orang ini dapat mempertahankan dengan hasil yang jauh lebih memuaskan, karena memiliki bayangan block yang lebih luas.
  • 15. Pada posisi yang terbaik untuk membentuk block dua orang adalah posisi 2 dan posisi 4. Namun demikian, block ini masih dapat diubah selama pertandingan berlangsung, yaitu perpindahan sampai sejauh posisi 3. kalau block itu dibentuk pada posisi 3, pemain yang menempati posisi 6 keluar dari bayangan block dan mengambil tugas meng-cover lapangan bersama-sama pemain yang berdiri dekat net. Kalau block-nya dibentuk pada posisi 4 dan 2, pemain yang menempati posisi 6 tetap mempertahankan posisinya di belakang bayangan block sebagai seorang pemain yang meng-cover dari dekat.
16. c. Bendungan (Block) Tiga pemain Block seperti ini dibentuk hanya pada situasi tertentu, biasanya ditempatkan pada posisi 3. Block seperti ini hanya digunakan pada waktu menghadapi penyerang lawan yang sangat tangguh. Pada block jenis ini , pemain yang menempati posisi 6 bermain dibawah situasi yang lebih sulit lagi dibandingkan dengan block lainnya, arah pandangannya terhalang oleh block regunya sendiri. Akibatnya ia kurang dapat mengantisipasi gerak-gerik lawan, maka mau tidak mau ia harus memilih antara dua pilihan berikut ini. Ia harus langsung menuju posisi di belakang block Ia harus menempati posisi diagonal di belakang block
  • 17. Semua ini harus dilakukan tanpa terlihat oleh pihak penyerang. Pemain posisi 6 ini masih tetap bertanggung jawab, yaitu yang bertugas meng-cover area yang tidak terjaga akibat gerakannya sendiri. Dengan sistem pertahanan dimana pemain pada posisi 6 maju ke depan, tempat yang paling lemah dan tidak terjaga adalah bagian tengah dan bagian belakang di dalam block yang bersangkutan
  • 18. 3. Perwasitan dalam permainan Bola Voli a. Syarat – syarat menjadi Wasit Bola Voli 1) Berbadan sehat dan mempunyai fisik yang normal 2) Mempunyai bakat untuk menjadi seorang wasit 3) Senang terhadap permainan bola voli 4) Berpendidikan serendah –rendahnya lulusan SMA 5) Berumur abtara 20-40 Tahun 6) Mempunyai dedikasi yang baik 7) Haruslah menjadi anggota salah satu perkumpulan bola voli
  • 19. b. Perlengkapan Wasit Perlengkapan wasit antara lain mengenakan celana putih, baju kaos putih polos berkerah, sepatu karet putih, dan memakai badge wasit yang sesuai dengan klasifikasinya. c. Tugas, Kewajiban, dan Wewenang Wasit 1) Tugas-Tugas wasit a) Memimpin pertandingan agar berjalan lancar b) Meningkatkan keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan tentang perwasitan bola voli. c) Menyebarluaskan peraturan permainan di masyarakat d) Meningkatkan mutu perwasitan di masyarakat pada khususnya dan di indonesia pada umumnya, 2) Kewajiban dan wewenang wasit a) Berkewajiban memimpin pertandingan bola voli baik di tingkat cabang, daerah, nasional, maupun internasional b) Tidak berhak memimpin pertandingan di atas klasifikasi sertifikat yang dimilikinya.
  • 20. d. Prosedur Mewasiti Hanya wasit I dan Wasit II yang diperbolehkan meniup peluit selama pertandingan 1) Wasit I memberikan tanda untuk service yang memulai suatu pertandingan 2) Wasit I dan wasit II memberikan tanda pada akhir suatu permainan (bola mati, setelah mereka merasa yakin bahwa terjadi suatu kesalahan serta mereka telah memahami sifat pelanggarannya) 3) Peniupan peluit pada waktu bola mati bertujuan untuk menunjukkan bahwa mereka menyetujui atau menolak suatu permohonan regu 4) Wasit I dapat meniup peluit untuk memberikan peringatan atau menjatuhkan hukuman salah sikap seorang anggota pemain atau regu itu sendiri
  • 21. 5) Pda waktu wasit meniup peluit untuk memberikan tanda penghentian permainan mereka harus sudah bisa menunjukkan sifat kesalahan dan isyarat tangan yang resmi, pemain yang bersalah, serta regu giliran yang melakukan service, sekaligus memberikan tanda apakah ada regu yang mendapatkan angka dari kesalahan tersebut 6) Wasit dan hakim harus dapat menunjukkan sifat kesalahan dengan isyarat tangan yang resmi atau suatu pengajuan penghentian serperti berikut ini : a) Isyarat hanya dilakukan untuk seketika, isyarat itu dilakukan dengan satu tangan untuk menunjukkan regu yang bersalah atau yang menunjukkan permohonan
  • 22. b) Setelah itu wasit menunjukkan pemain yang bersalah jika penghentian itu karena kesalahan c) Wasit I mengakhiri dengan menunjukkan regu yang mendapat giliran service e. Posisi Wasit 1) Wasit I melakukan tugasnya sambil duduk atau berdiri di atas kursi wasit yang ditempatkan di salah satu ujung net. Pandangannya kira-kira 50 cm, diatas garis horizontal pinggir atas net. 2) Wasit II menjalankan tugas sambil berdiri di sisi lain bersebrangan serta menghadap wasit I ketika suatu regu melakukan service, dia harus berdiri di sepanjang daerah depan regu penerima service. Setelah itu dia boleh pindah ke depan meja pencatat.
  • 23. f. Kekuasaan Wasit I 1) Memimpin pertandingan dari awal hinga berakhirnya permainan. Dia mempunyai kekuasaan terhadap seluruh pembantunya, serta terhadap kedua regu yang sedang bertanding 2) Memiliki kekuasaan dalam upaya kelancaran permainan, termasuk upaya untuk tidak tercantum dalam peraturan. 3) Selama pertandingan semua keputusan berdasarkan pada peraturan adalah mutlak dan dia mempunyai wewenang untuk membatalkan keputusan petugas lain, jika menurut pendapatnya mereka itu kurang tepat pertimbangannya. Wasit dapat mengganti salah seorang petugas seandainya tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
  • 24. 4) Satu-satunya yang mempunyai wewenang untuk menentukan baik buruknya suatu lapangan permainan, sebelum pertandingan atau sewaktu permainan itu brlangsung. 5) Sebelum atau sewaktu permainan berlangsung wasit I dan Wasit II harus mengawasi bola, apakah bola tersebut benar-benar telah memenuhi persyaratan, Sebuah bola yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan atau bola tadi menjadi basah atau licin harus segera diganti
  • 25. g. Tanggung jawab wasit 1) Sebelum pertandingan a) Memeriksa keadaan lapangan permainan dan perlengkapan pertandingan. b) Melakukan undian untuk menentukan hak service pertama dan penempatan lapangan c) Mengawasi pemanasan kedua regu 2) Selama pertandingan berlangsung a) Mempunyai kekuasaan untuk memberikan wewenang dalam menentukan kesalahan pukulan service, posisi regu yang melakukan giliran service, pentabiran, sentuhan pada jalan bola service, kesalahan menyentuh bola. Kesalahan di atas net beserta pita horizontalnya dan kesalahan simultan/ bersamaan
  • 26. b) Wasit I tidak boleh membiarkan suatu perdebatan atas pengajuan kapten, dia harus dapat menjelaskan penafsiran serta penerapan peraturan. c) Jika kapten tidak sepaham dalam penafsirannya itu, dia memintakan agar hal tersebut dicatat pada lembar skor, wasit I harus memberi izin untuk pencatatan prose tersebut di akhir pertandingan. 3) Sesudah pertandingan Wasit mengesahkan skor dengan menadatangani daftar skor dan cepat menuju ke ruang wasit
  • 27. h. Tugas Wasit II Wasit II merupakan pembantu bagi wasit I dan dapat menggantikan, mewakili, dan menjalankan tugas wasit I pada keadaan memaksa. Berikut ini tugas khusus wasit II 1) Mengawasi posisi pemain selama pemain berlangsung, begitu pula pada waktu perpindahan tempat set penentuan 2) Mengawasi tindak tanduk anggota masing- masing regu yang duduk di bangku cadangan dan bila ternyata ada salah sikap dia harus melaporkannya kepada wasit I 3) Selama pertandingan berlangsung dia harus mencegah kemungkinan adanya pemain cadangan yang melakukan pemanasan diluar area pertandingan
  • 28. 4) Mengawasi jumlah time out dan pergantian yang telah dilakukan oleh masing – masing regu dan melaporkan data tersebut kepada wasit I dan pelatih yang bersangkutan pada saat terjadinya penghentian 5) Menolak pengajuan penghentian yang tidak layak, mengabulkan permohonan yang sah, dan mengawasi jangka waktu pelaksanaannya. 6) Dapat menunjukkan kesalahan lain tanpa meniup peluit walau bukan daerah tanggungannya, tetapi dia tidak boleh menekan wasit I 7) Menetapkan perlu atau tidaknya mengeringkan permukaan lantai permainan yang dianggap basah atau licin.
  • 29. Tanggung Jawab Wasit II 1) Sebelum pertandingan pada setiap set, wasit II harus mencek posisi yang benar sesuai dengan daftar posisi yang diserahkan oleh masing-masing regu 2)Selama pertanginag berlangsung dia harus memberikan isyarat dan membuyikan peluit bila terjadi hal-hal berikut ini : a) Kesalahan posisi regu penerima service. b) Bola yang melintasi net diluar bidang lintasan atau menyentuh benda di sisi lapangan c) Sentuhan pemain pada bagian net di bawah pinggiran atas net
  • 30. d) Serangan atau bendungan yang tidak sah yang dilakukan oleh pemain belakang e) Penembusan ke lapangan lawan f) Bola menyentuh benda yang ada di luar lapangan g) Terjadi kecelakaan pada pemain, dalam hal demikian dia harus memberikan penghentian atau batasan penyembuhan dengan time-out
31. j. Hakim Garis (Linesmen) Hakim garis bertanggung jawab memberika isyarat mengenai kesalahan yang menjadi wewenangnya. Berikut ini posisi hakim garis. 1) Jika menggunakan empat orang hakim garis, mereka berdiri di daerah bebas pada jarak kira-kira 1-3 m dari tiap sudut lapangan, menghadap perpanjangan garis imajiner yang harus diawasinya. 2) Jika menggunakan dua hakim garis, mereka harus berdiri di sudut yang bersebrangan atau diagonal pada sudut bebas agar dapat mengawasi garis belakang dan garis samping yang terdekat padanya.(4)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------              (4) : Dari berbagai sumber,
                                                                    ***

                                                                  BAB 2
                                                         MINTONETTE
Juli 2000
Gadis kecil itu, Monette. Ia sudah duduk di kelas 2 SD sejak dua minggu lalu. Betapa bahagia hatinya karena mendapatkan pelajaran olahraga di daftar pelajarannya. Mintonette, Mintonette…. Hanya itu yang ada di pikirannya…..!
                                                                          *
     Alat permainan
                                                    
                                                        Bentuk lapangan bola voli
Lapangan permainan
Ukuran lapangan bola voli yang umum adalah 9 meter x 18 meter. Garis batas serang untuk pemain belakang berjarak 3 meter dari garis tengah (sejajar dengan jaring). Garis tepi lapangan adalah 5 cm.
                                              http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d0/Volley_ball_angelo_gelmi_01.svg/220px-Volley_ball_angelo_gelmi_01.svg.png
                                                                      Bola
Bola tersebut memiliki keliling lingkaran 65 hingga 67 cm, dengan berat 260 hingga 280 gram. Tekanan dalam dari bola tersebut hendaknya sekitar 0.30 hingga 0.325 kg/cm2 (4.26-4.61 psi, 294.3-318.82 mbar atau hPa).
Net
Ukuran tinggi net putra 2,44 meter dan untuk net putri 2,24 meter.
Sarana Permainan Bola Voli
a.Panjang garis samping : 18 Meter.
b.Lebar lapangan  : 9 Meter.
c.Lebar garis serang  : 3 Meter.
Cara permainan
                                                  http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/20/Volleyball_CL-2005_Poland_vs_Argentina_in_Bydgoszcz.jpg/220px-Volleyball_CL-2005_Poland_vs_Argentina_in_Bydgoszcz.jpg

                                                      Suasana permainan bola voli
Permainan ini dimainkan oleh 2 tim yang masing-masing terdiri dari 6 orang pemain dan berlomba-lomba mencapai angka 25 terlebih dahulu.
Dalam sebuah tim, terdapat 4 peran penting, yaitu tosser (atau setter), spiker (smash), libero, dan defender (pemain bertahan). Tosser atau pengumpan adalah orang yang bertugas untuk mengumpankan bola kepada rekan-rekannya dan mengatur jalannya permainan. Spiker bertugas untuk memukul bola agar jatuh di daerah pertahanan lawan. Libero adalah pemain bertahan yang bisa bebas keluar dan masuk tetapi tidak boleh men-smash bola ke seberang net. Defender adalah pemain yang bertahan untuk menerima serangan dari lawan.
Permainan voli menuntut kemampuan otak yang prima, terutama tosser. Tosser harus dapat mengatur jalannya permainan. Tosser harus memutuskan apa yang harus dia perbuat dengan bola yang dia dapat, dan semuanya itu dilakukan dalam sepersekian detik sebelum bola jatuh ke lapangan sepanjang permainan. Permainan ini dimainkan oleh 2 tim yang masing-masing terdiri dari 6 orang pemain dan mengusahakan untuk mencapai angka 25 terlebih dahulu untuk memenangkan suatu babak.
                                                http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/59/VolleyballRotation.svg/220px-VolleyballRotation.svg.png

                                                     Rotasi pemain bola voli
Urutan serve
Penghitungan angka
Aturan permainan dari bola voli adalah:
  1. Jika pihak musuh bisa memasukkan bola ke dalam daerah kita maka kita kehilangan bola dan musuh mendapatkan nilai
  2. Serve yang kita lakukan harus bisa melewati net dan masuk ke daerah musuh. Jika tidak, maka musuh akan mendapat nilai
Sistem Pertandingan
  • Sistem pertandingan menggunakan sistem setengah kompetisi yang terdiri dari 8 tim dan akan
disitribusikan ke dalam 2 (dua) group, masing-masing group terdiri dari 4 (empat) tim.
  • Setiap tim terdiri dari 10 pemain meliputi 6 pemain inti yang bermain di lapangan dan 4 pemain cadangan.
  • Pergantian pemain inti dan cadangan pada saat pertandingan berlangsung tidak dibatasi.
  • Pertandingan tidak akan ditunda apabila salah satu atau lebih dari satu anggota tim sedang bermain untuk cabang olahraga yang
lain.
  • Jumlah pemain minimum yang boleh bermain di lapangan adalah 4 orang.
  • Apabila di lapangan terdapat kurang dari 4 orang, maka tim yang bersangkutan akan dianggap kalah.
  • Setiap pertandingan berlangsung 3 babak (best of three), kecuali pada 2 babak sudah di pastikan pemenangnya maka babak ke tiga tidak perlu dilaksanakan.
  • Sistem hitungan yang digunakan adalah 25 rally point. Bila poin peserta seri (24-24) maka pertandingan akan ditambah 2 poin. Peserta yg pertama kali unggul dengan selisih 2 poin akan memenangi pertandingan.
  • Kemenangan dalam pertandingan penyisihan mendapat nilai 1. Apabila ada dua tim atau lebih mendapat nilai sama, maka penentuan juara group dan runner-up akan dilihat dari kualitas angka pada tiap-tiap set yang dimainkan.
  • Kesalahan meliputi:
    • Pemain menyentuh net atau melewati garis batas tengah lapangan lawan.
    • Tidak boleh melempar ataupun menangkap bola. Bola voli harus di pantulkan tanpa mengenai dasar lapangan.
    • Bola yang dipantulkan keluar dari lapangan belum dihitung sebagai out sebelum menyentuh permukaan lapangan.
    • Pada saat servis bola yang melewati lapangan dihitung sebagai poin bagi lawan, begitu juga sebaliknya penerima servis lawan yang membuat bola keluar dihitung sebagai poin bagi lawan.
    • Seluruh pemain harus berada di dalam lapangan pada saat serve dilakukan.
    • Pemain melakukan spike di atas lapangan lawan.
    • Seluruh bagian tubuh legal untuk memantulkan bola kecuali dengan cara menendang.
    • Para pemain dan lawan mengenai net 2 kali pada saat memainkan bola dihitung sebagai double faults.
  • Setiap team diwajibkan bertukar sisi lapangan pada saat setiap babak berakhir. Dan apabila dilakukan babak penetuan (set ke 3) maka tim yang memiliki nilai terendah boleh meminta bertukar lapangan sesaat setelah tim lawan mencapai angka 13.
  • Time out dilakukan hanya 1 kali dalam setiap babak dan berlangsung hanya 1 menit.
  • Diluar dari aturan yang tertera disini, peraturan permainan mengikuti peraturan internasional.
Teknik Bola Voli
Servis
Servis pada zaman sekarang bukan lagi sebagai awal dari suatu permainan atau sekedar menyajikan bola, tetapi sebagai suatu serangan pertama bagi regu yang melakukan servis. Servis terdiri dari servis tangan bawah dan servis tangan atas.Servis tangan atas dibedakan lagi atas tennis servis,floating dan cekis.
  1. servis tangan bawah
    1. mula-mula pemain berdiri dipetak servis dengan kaki kiri lebih kedepan dari kaki kanan.
    2. bola dipegang dengan tangan kiri
    3. bola dilambungkan tidak terlalu tinggi,tangan kanan ditarik ke bawah belakang
    4. setelah bola kira-kira setinggi pinggang,lengan kanan diayunkan lurus kedepan untuk memukul bola
    5. telapak tangan menghadap bola dan tangan ditegangkan untuk mendapat pantulan yang sempurna,tangan dapat pula menggenggam.
  2. teknis servis
    1. sikap persiapan dimulai dengan mengambil posisi kaki kiri lebih kedepan, kedua lutut agak rendah
    2. tangan kiri dan kanan bersama-sama memegang bola,tangan kirimenyangga bola,tangan kanan di atas bola.
    3. bola dilambungkan dengan tangan kiri kira-kira 1/2 meter di atas kepala
    4. tangan kanan ditarik kebelakang atas kepala,menghadap depan
    5. lakukan gerakan seperti mensmesh bola,perhatian terpusat pada bola
    6. lecutan tangan diperlukan pada saat perkenaan bola.
  3. floating servis
    1. posisi kaki sama seperti tennis servis
    2. tangan kiri memegang bola dan tangan kanan disamping setinggi pelipis
    3. dengan tangan kiri bola dilambungkan ssedikit kesamping kanan tidak terlalu tinggi
    4. setelah bola melambung keatas setinggi kepala, tangan kanan dipukulkan pada bagian tengah bola.
    5. pukulan float dapat dilakukan dengan beberapa cara:
      1. dengan tumit tangan
      2. dengan tangan, dimana ibu jari dilipat kedalam dan menempel pada telapak tangan
      3. memukul dengan tangan tergenggam.
  4. cekis
    1. sikap permulaan dengan mengambil sikap berdiri menyamping dengan tubuh bagian kiri lebih dekat kejaring.
    2. bola dipegang tangan kiri dan kanan.
    3. saat bola dilambungkan, badan diliukkan sedikit kebelakang dan lutut ditekuk
    4. kedua tangan dijulurkan kearah samping bawah kanan dalam keadaan memegang bola.
    5. bola dilambung keatas kepala dengan kedua belah tangan.
    6. setelah bola lepas, tangan kanan ditarik kesamping kanan bawah, liukkan badan kekanan.
    7. berat badan ada dikaki kanan,telapak tangan menghadap keatas
    8. setelah bola ada pada jangkauan tangan,secepatnya bersama sama lengan,liukkan badan kesamping kiri
    9. perkenaan bola bagian bawah belakang bola,pukulan bola dibantu liukkan badan dan lecutan tangan.
Service ada beberapa macam:
  • Service atas adalah service dengan awalan melemparkan bola ke atas seperlunya. Kemudian Server melompat untuk memukul bola dengan ayunan tangan dari atas.
  • Service bawah adalah service dengan awalan bola berada di tangan yang tidak memukul bola. Tangan yang memukul bola bersiap dari belakang badan untuk memukul bola dengan ayunan tangan dari bawah.
  • Service mengapung adalah service atas dengan awalan dan cara memukul yang hampir sama. Awalan service mengapung adalah melemparkan bola ke atas namun tidak terlalu tinggi (tidak terlalu tinggi dari kepala). Tangan yang akan memukul bola bersiap di dekat bola dengan ayunan yang sangat pendek.
Yang perlu diperhatikan dalam service antara lain :
·         Sikap badan dan pandangan.
·         Lambung keatas harus sesuai dengan kebutuhan.
·         Saat kapan harus memukul bola.
Passing
  • Passing Bawah (Pukulan/pengambilan tangan kebawah)
    • Sikap badan jongkok, lutut agak ditekuk.
    • tangan dirapatkan, satu dengan yang lain dirapatkan.
    • Gerakan tangan disesuaikan dengan keras/lemahnya kecepatan bola.
  • Passing Keatas (Pukulan/pengambilan tangan keatas)
    • Sikap badan jongkok, lutut agak ditekuk.
    • Badan sedikit condong kemuka, siku ditekuk jari-jari terbuka membentuk lengkungan setengah bola.
    • Ibu jari dan jari saling berdekatan membentuk segitiga.
    • Penyentuhan pada semua jari-jari dan gerakannya meluruskan kedua tangan
    • Menggunakan gerakan kaki untuk menambah power.
    •  
Smash (spike)
Dengan membentuk serangan pukulan yang keras waktu bola berada di atas jaring, untuk dimasukkan ke daerah lawan. Untuk melakukan dengan baik perlu memperhatikan faktor-faktor berikut: awalan, tolakan, pukulan, dan pendaratan. Teknik smash Menurut Muhajir Teknik dalam permainan bola voli dapat diartikan sebagai cara memainkan bola dengan efisien dan efektif sesuai dengan peraturan permainan yang berlaku untuk mencapai suatu hasil yang optimal (2006,23). Menurut pendapat M. Mariyanto mengemukakan bahwa : “ Smash adalah suatu pukulan yang kuat dimana tangan kontak dengan bola secara penuh pada bagian atas , sehingga jalannya bola terjal dengan kecepatan yang tinggi, apabila pukulan bola lebih tinggi berada di atas net , maka bola dapat dipukul tajam ke bawah .” (2006 : 128 ) Menurut Iwan Kristianto mengemukakan bahwa , Smash adalah pukulan keras yang biasanya mematikan karena bola sulit diterima atau dikembalikan . “ (2003 : 143 ) . Spike adalah merupakan bentuk serangan yang paling banyak digunakan untuk menyerang dalam upaya memperoleh nilai suatu tim dalam permainan voli . Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Teknik Smash atau spike adalah cara memainkan bola dengan efisien dan efektif sesuai dengan peraturan permainan untuk mencapai pukulan keras yang biasanya mematikan ke daerah lawan. Tes smash Menurut Sandika mengemukakan bahwa tes smash adalah tolok ukur untuk mengukur kemampuan smash.
Membendung (blocking)
                                         http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/14/Volleyball_block.jpg/220px-Volleyball_block.jpg

                                          Bola yang melewati tangan bloker
Dengan daya upaya di dekat jaring untuk mencoba menahan/menghalangi bola yang datang dari daerah lawan. Sikap memblok yang benar adalah:
  • Jongkok, bersiap untuk melompat.
  • Lompat dengan kedua tangan rapat dan lurus ke atas.
  • Saat mendarat hendaknya langsung menyingkir dan memberi kesempatan pada kawan satu regu untuk bergantian melakukan block.
Block ada dua macam. 1. block tunggal 2. block ganda Block tunggal adalah membendung bola yang dilakukan oleh satu orang pemain Block ganda adalah membendung bola yang dilakukan oleh dua orang pemain atau lebih.Hal yang harus diperhatikan dalam melakukan block ganda antara lain adalah memadukan langkah kaki dan kerjasama antar blocker dalam menentukan waktu lompatan dan arah pergerakan bola.
Kedudukan pemain (posisi pemain)
Pada waktu service kedua regu harus berada dalam lapangan / didaerahnya masing-masing dalam 2 deret kesamping. Tiga deret ada di depan dan tiga deret ada di belakang. Pemain nomor satu dinamakan server pemain kedua dinamakan spiker pemain ketiga dinamakan set-upper atau tosser pemain nomor empat dinamakan bloker, pemain nomor lima dan enam dinamakan libero.(5)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                                                                                                                                                                      (5) By : Wikipedia
                                                                                               *
       Monette malam itu membaca lagi buku pemberian ayahnya, pas di bagian tengah halaman, ia mengamati beberapa gambar yang tertera, dari gambar bola sampai bentuk lapangan serta ukurannya. Tapi ia masih sulit memahami beberapa hal, meski kadang ia membaca ditemani dan dijelaskan oleh ibundanya.
       “Bu, apakah bola voli itu tidak berat?” tanya Monette ingin tahu karena ia membayangkan bola sebesar itu akan mengenai tangan mungilnya. “Apakah tidak ada bola voli untuk anak-anak seumuran Monette?” ia mengamati wajah ibunya yang saat itu sedang menjelaskan isi buku yang Monette baca.
       “Tidak sayang….., bola voli itu hanya ada satu ukuran tapi dalam berbagai tipe, maksud ibu… jika bolanya bagus maka akan terasa lembut di tangan tapi akan terasa lebih enteng jika kita sering menggunakannnya atau karena sering latihan.” Jelas sang ibunda Monette.
       “O, begitu ya, Bu? Monette mau latihan voli.”
       “Apa kamu mau masuk sekolah voli? Maksud ibu sekolah khusus voli di tempat tertentu tapi tetap sekolah di SD paginya. Kamu tidak mau main bola kaki, kan?”
       Monette memperbaiki posisi duduknya hingga menghadap ke wajah ibunya. “Memang ada sekolah voli, Bu? Di mana itu?” gadis kecil itu sepertinya baru mendengar kalau ada sekolah voli. “Ibu dulu pernah bermain bola voli?”
       Wanita itu menutup buku Monette. “Waktu SD Ibu pernah diajarkan main voli, SMP juga bahkan waktu SMA masih ada pelajaran bola voli. Bukan itu saja, Ibu juga waktu SMA ikut bermain bala basket tapi Ibu tidak pernah belajar secara khusus, maksudnya hanya pada jam olahraga saja.”
       “Maksudnya apa itu, Bu?” Monette masih bingung dengan cerita ibunya.
       “Maksudnya, karena belajarnya hanya pada jam olahraga saja di sekolah makanya Ibu tidak ahli dalam permainan voli bahkan basket tapi Ibu suka kedua permainan itu.” Wanita itu ingat bahwa pada zamannya di tempatnya jauh dari segala macam sekolah seperti itu. “Nanti kita usahakan untuk membeli bola voli yang tidak akan membuat tanganmu sakit jika memainkannya.” Wanita itu menyakinkan anaknya sebab ia sudah menyimpan sisa uang belanjaannya sebanyak dua ribu rupiah setiap harinya sejak tiga bulan yang lalu lantaran ia tahu harga bola voli yang bagus itu cukup mahal tapi demi Monette ia akan mengusahakannya.
                                                                    **
Monette sudah benar-benar bisa menggapai palang bambu yang dibuat ayahnya bahkan sudah sering bergelantungan di tempat itu, sedang adik laki-lakinya suka ikut-ikutan melompat disela-sela menendang bola plastiknya.
       Sang ayah mulai mengajarkan pada Monette bagaimana cara melakukan chin up yang benar dan memainkan skipping dengan enteng.
       Sore itu, sehabis Monette memainkan skipping-nya di depan rumah sedang dari tadi sang ayah memperhatikannya. Kini ia sudah duduk di teras rumah mereka yang nyaris sejajar dengan tanah hanya di pasang keramik ukuran kecil.
       “Ayah, Monette ingin sekolah voli yang pernah Ibu bicarakan kemarin.” Ia duduk di sebelah ayahnya.
       “Sekolah voli?” tanya pria itu dengan tenang. “Memangnya mau?”
       “Ya, apa Ayah tidak menginginkan Monette sekolah voli?” kata Monette polos.
       “Sekolah voli itu akan menyita waktu kamu, pagi dari senin hingga sabtu kamu sekolah di SD, siangnya belajar ngaji dan voli itu waktu belajarnya sore hari minimal dua kali seminggu. Benar mau? Kalau kamu mau dan merasa tidak berat, akan Ayah pertimbangkan dan besok kamu bisa memberikan jawaban pada Ayah.”
       Gadis kecil itu menautkan kedua alisnya seakan belum mengerti maksud dari ayahnya. Masa mau sekolah voli saja pakai mikir dan harus memberikan jawabannya besok? Pikirnya. “Ayah, Monette bisa sekolah, mengaji dan juga sekolah voli apalagi sekolah voli cuma dua kali seminggu.” Tuturnya menyakinkan sedang pria itu hanya tersenyum mendengar kata-kata anaknya.
       Malamnya setelah Monette dan Arby tidur, pria itu membicarakan keinginan anaknya untuk latihan voli kepada isterinya.
       “Bagaimana menurutmu?” kata pria itu setelah ia bicara panjang lebar. Sedang si isteri telah memikirkan jauh ke depan, bagaimana pun juga ia tahu gaji suaminya yang terkadang tidak cukup untuk keperluan makan mereka sehari-hari, sedang harus menyekolahkan Monette di tempat pelatihan voli yang jaraknya sekitar tujuh kilo dari rumah, jika naik angkot akan kena ongkos delapan ribu sekali latihan dan kalau ia mengantar akan menjadi dua kali lipat, belum juga jajannya, dan nanti pasti ada seragam voli yang harus dibeli. Tapi itulah hidup, kalau dihitung-hitung tidak akan pernah ada cukupnya tapi kalau sudah dijalani  ada
saja rejekinya dan selalu ada jalan keluar setiap masalah, yang penting usaha, niat baik dan berdoa. Pikir wanita itu mengingat apa yang telah ia pelajari selama hidupnya akhir-akhir ini. Dan sebagai orang tua jika anaknya punya niat positif maka ia tidak boleh mengeluh dan harus mendukung semaksimal mungkin.
       “Ya, Ayah tahu kan kalau aku sudah mengumpulkan uang untuk membeli bola buat Monette tapi aku rasa uangnnya belum cukup.” Ia menatap pria itu dengan lembut sedang pria itu akhirnya mengangguk.
       “Ya, nanti kita usahakan agar Monette bisa mendapatkan bola yang terbaik, malam ini sebelum tidur anak itu pasti sudah menyiapkan jawaban yang aku minta darinya tadi.”
       “Memangnya Ayah tanya apa ke Monette?” wanita itu ingin tahu rahasia diantara dua orang yang ia sayangi itu.
       “Aku hanya bilang sama dia, kalau benar-benar serius ingin sekolah voli harus menjadi orang kuat, sebab selain sekolah ada belajar mengaji ditambah latihan voli sore harinya.”
       “Terus Monette bilang apa?” isterinya tambah penasaran.
       “Yah, namanya juga anak-anak. Ia langsung bilang, ‘Yah… Monette pasti bisa melakukan semuanya’ tapi aku kasih tahu agar memikirkannya dulu baik-baik dan besok baru kasih jawaban.” Tutur pria itu membuat isterinya tersenyum. “Mm… kalau kamu sudah setuju besok sore langsung saja daftarkan Monette ke tempat latihannya, lebih cepat akan lebih bagus, kan?”
       Wanita tiga puluhan itu mengangguk dengan pasti.
                                                                        ***
Hari pertama latihan
Wanita itu sedang menunggu angkot, ia bersama dengan kedua anaknya…
Bersambung...:-)))