Rabu, 07 Maret 2012

Apabila, Cinta itu Tulus



SINOPSIS :
       Novel ini mengisahkan kisah seorang penyanyi kelas atas di negeri ini, namanya Rhaissa, ia sukses bukan saja di tanah air bahkan hingga ke mancanegara. Meski demikian ia tetap memegang teguh budaya bangsanya sendiri, menjaga norma-norma agama dan adat istiadat. Seorang pria mengaguminya bahkan bisa di sebut sebagai pengagum rahasia, dan membuat wanita yang bernama Rhaissa itu penasaraan.
       Saat pria lain ingin menjadi kekasihnya, ia bingung karena penggemar gelap itu seakan makin dekat dengannya, yang selalu mengirimkannya puisi-puisi indah. Juga seorang pengeran dari negeri seberang pun meminangnya. Apakah cinta mereka kepada Rhaissa itu tulus…???
       Rhaissa memang menikah dengan satu pria di antara mereka, tetapi ia tidak di karuniai keturunan hingga usia pernikahan mereka sebelas tahun, apakah pernikahan itu akan langgeng? Apalagi mantan kekasih dari suaminya muncul lagi di antara mereka.
       Rhaissa tahu pasti apa yang harus ia lakukan, meminta suaminya menikah lagi atau minta pisah? Pabila cinta itu tulus, maka apa pun bisa terjadi.
 

YANG TAK TERSENTUH….!
     
      Jutaan wanita tersenyum bangga melihat penampilanmu.
      Karena kau memegang teguh citra kaummu.
      Jutaan pria ingin menjamahmu, mereka menatap penuh kekaguman.
      Dirimu terus terbalut busana indah bak dewi kayangan.
             
              Anak kecil hingga orang tua menyukai suaramu.
              Mengenali suaramu dan wajahmu.. hingga ke mancanegara.
              Kau selalu tersenyum di setiap langkahmu,
              Dan, senyum itu sangat menawan,
     
      Meresahkan jiwaku, membangunkan setiap tidur malamku.
      Kau begitu tinggi untuk di gapai, begitu dalam untuk di selam.
      Dan begitu jauh untuk di raih…
             
              Pabila, kamu bukan milik jutaan orang…
              Mungkin sekarang kamu sudah menjadi milikku satu-satunya.
              Pabila, kamu bukan orang terkenal maka kamu akan kurengkuh ke dalam hatiku.
     
      Pabila, kamu hanya perempuan biasa, maka aku tak akan pernah merasa semiskin ini.
      Pabila, kamu telah menyanyi, maka telinga ini tak kan bisa mendengar yang lainnya.
      Pabila, kamu menebarkan senyum, maka seisi alam ini akan merasa cemburu.
                                                               *******

 
DAFTAR ISI :
NO                                                                                                                                    HALAMAN
1.  Pengirim puisi tanpa nama…………………………………….                                     3
2. Agoy dan Puisi…………………………………………………                                  24
3. Pernikahan Rhaissa…………………………………………….                                   46
4. Chaty…………………………………………………………..                                  83
5. Pilihan hidup…………………………………………………..                                  103
6. Aryan dan Rhara……………………………………………….                                 111
7. Penutup…………………………………………………………                               122

 

BAB 1
PENGIRIM PUISI TANPA NAMA.
        Rhaissa meletakkan lembaran puisi itu di atas mejanya. Itu lembaran yang ke 77 ia terima. Yang dikirim oleh seseorang dengan tulisan tangan, tanpa nama dan isinya tetap sama. Bukan di copy bukan pula di cetak. Rhaissa tidak pernah bosan untuk membacanya. Lembaran pertama ia terima adalah tepat setahun yang lalu.
        Puisi-puisi itu terkadang menghiburnya, tak jarang juga membuatnya menangis. Jika ia telah selesai membacanya, ia merasa seakan berada di antara mimpi dan kenyataan, sehingga tanpa sadar suara hatinya menjawab…..

        Pabila, aku tidak seperti sekarang ini,
        maka tentunya saat ini kita sedang duduk berdua di pan-
        tai, memandang laut luas yang tak terbatas dan tak berujung…
        Pabila......

        Rhaissa coba merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur mahal di kamarnya, kenyataan saat ini sepertinya sangat berbeda apabila ia telah berada di atas panggung, dielu-elukan oleh ribuan penggemarnya. Saat ini ia merasakan sepi yang amat sangat, seolah tidak seorang pun yang bisa memahaminya. Dan puisi-puisi itu sering kali mengganggu pikirannya. Ia menatap langit-langit kamarnya dan perasannya tambah berkecamuk. Ia menghela napas dengan berat.
                                                       *******

        Rhaissa adalah anak ke lima dari sembilan bersaudara. Ayahnya seorang guru SD dan Ibunya adalah seorang Ibu rumah tangga biasa, yang siap melayani keluarganya dalam 24 jam.    
        Rhaissa kecil, saat menginjak usia 2 tahun, sudah berani menyanyi di depan umum, baik di acara kawinan ataupun acara 17-san. Ia senang sekali kalau di minta untuk menyanyi. Keempat saudaranya sangat menyayanginya. Ia memiliki dua kakak laki-laki dan dua perempuan. Ibunya perlahan mulai menyadari kalau anak bungsunya itu memiliki bakat menyanyi, seperti halnya ia pun senang menyanyi, juga neneknya.
        Rhaissa kecil sebenarnya ingin menjadi seorang guru, seperti Ayahnya. Meski ia sadar profesi seorang guru itu memiliki gaji yang sangat kecil. Itu dulu. Sebagai seorang guru, Ayahnya mengalami banyak sekali kesulitan dalam membiayai anak-anaknya. Seperti lagunya bang Iwan Fals ‘Umar Bakri’
        Rhaissa ingat betul saat SMP ia terpaksa gantian ke sekolah dengan abangnya, sehari masuk sehari tidak lantaran kekurangan uang transport. Saat ia usia 3 tahun, ia memiliki seorang adik perempuan. Namun Rhaissa tetap senang menyanyi. Dan suatu hari seorang guru SD-nya melihat ada kilauan mutiara pada diri Rhaissa, maka guru keseniannya itu pun rela mengajar jam tambahan untuk Rhaissa di luar jam sekolah. Ia pun menjelaskan pada Ibu Rhaissa kalau anaknya yang satu itu memiliki suara emas.
        Dan dari tahun ke tahun Rhaissa tetap sekolah dan terus menyanyi, hingga suatu hari seorang pencari bakat menemukannya. Saat itu Rhaissa duduk di kelas 2 SMP.
        Seorang pria 35-an menemui orangtua Rhaissa bersama guru keseniaannya. Karena ia tahu Rhaissa memiliki suara emas dan itu saja tidak cukup. Ia memiliki sebuah lagu dan ia merasakan kalau Rhaissa cocok untuk menyanyikannya. Maka atas kesepakatan mereka, selepas pulang dari sekolah Rhaissa di minta untuk datang ke studionya. Bukan untuk rekamam tapi untuk belajar, itu berlangsung hampir setiap hari dan nyaris dua jam sehari. Lama-lama Rhaissa merasa bosan dan jenuh. Karena setiap hari belajar, ya menari, belajar vocal dan esoknya lagi ia belajar tentang kepribadian. Di tambah lagi dengan ilmu psikologi, Rhaissa merasa belum memerlukan semua itu. Kalau saja ia tidak merasa senang menyanyi, maka sudah pasti ia tinggalkan semua itu, karena sangat melelahkan. Tetapi Rhaissa di didik oleh Ibunya untuk menjadi seorang yang sabar. Dengan mengatakan bahwa Rhaissa sangat beruntung karena bisa sekolah musik tanpa harus mengeluarkan uang. Rhaissa yang nyaris putus asa bangkit kembali, karena seringnya mendengarkan petuah sang Bunda tersayang.
        Bulan ketiga, pria itu membawa Rhaissa ke dapur rekamam. Itulah saat-saat yang di tunggu oleh Rhaissa, ia akan menjadi seorang penyanyi. Dan akan di kenal oleh banyak orang. Pastinya akan menyenangkan, masuk dapur rekaman saat usia 14 tahun.
        Itu peristiwa 9 tahun yang lalu….,
       
        Saat ini, Rhaissa sudah mempunyai 4 orang adik. Satu perempuan dan tiga laki-laki. Dan 3 keponakan yang lucu-lucu. Ayahnya sudah pensiun, dan Ibunya sudah memiliki perpustakaan sendiri di dalam rumah, karena keluarga mereka senang membaca. Rhaissa juga sudah memiliki beberapa rumah dan deposito yang banyak. Rhaissa bukan dilahirkan di kota Metropolitan tapi di Bengkulu. Sebuah kota kecil yang indah. Namun kini mereka sudah menetap di Ibukota dan tetap sering pulang ke Bengkulu, kota kelahiran mereka.
        Rhaissa tidak pernah kekurangan kasih sayang. Karena mereka sering berkumpul dan di rumah yang mereka tempati sekarang di huni oleh lebih kurang sepuluh orang. Rumah yang selalu ramai dan setiap bepergian Rhaissa ditemani oleh seorang pengawal, dan kakak perempuannya yang merangkap sebagai manager, dan di tambah seorang asisten pribadi Rhaissa. Rhaissa sebenarnya tidak membutuhkan pengawal, karena menurutnya secara tidak langsung itu akan menjadi jarak antara dia dengan para penggemarnya. Namun sang kakak yang sebagai manager berkehendak lain, menurutnya pengawal adalah simbol ketenangan. Seorang penggemar bila sudah histeris maka akal sehat pun terlupakan. Rhaissa telah menjadi seorang penyanyi nomor satu di negri ini, dengan ciri khasnya sendiri. Dia seorang bintang yang tidak gila dengan dunia glamour, yang penuh dengan serba kepalsuan. Namun dia adalah seorang bintang yang sesungguhnya, yang berkarakter dan berwibawa. Sejak masuk dapur rekaman hingga detik ini tidak ada yang berubah pada dirinya, alisnya tidak di cukur apalagi di sulam, kuku jarinya tak ada satu pun yang panjang, semua terlihat normal. Hanya sekali-kali mamakai wig, tidak suka memakai kutek dan Make Up seperlunya. Setiap busana yang ia kenakan asli berkarakter Asia Timur, Melayu. Negara yang ia cintai.
        Dia wanita Asia yang dikagumi jutaan orang, dengan modal suara yang dahsyat, kepribadian yang anggun, sopan, sangat bertata krama dan feminin. Selalu tersenyum kepada semua orang dan cantik.  Cantik alami yang bisa di hitung dengan jari, hanya ada berapa artis di negeri ini yang cantik natural saperti Rhaissa. Apabila ia menyanyi di panggung ia tak ubahnya seperti sang putri. Sapaan pertamanya adalah senyuman. Pembawaannya sangat lembut. Bisa dipastikan seorang pangeran dari negeri seberang pun akan rela meninggalkan tahtanya hanya demi seorang Rhaissa.
        Rhaissa memang sangat terkenal, milik publik dan milik para penggemarnya. Dia seorang kakak, seorang adik dan seorang anak. Namun dia tetaplah seorang gadis remaja, dengan usiannya yang kini menginjak 23 tahun. Di setiap event, lagu-lagu Rhaissa bisa dipastikan mendapat Award, baik di negeri sendiri maupun di negeri tetangga. Keluarga dan orang-orang yang berada di belakangnya sangat bangga dengannya. Tak terkecuali Rhaissa-nya sendiri. Namun di balik semua itu ada yang tidak bisa ia gapai, yaitu cinta seorang kekasih seusianya. Atau maksimal lima tahun di atas usianya. Bukan pria yang kebapak-bapaan, karena ia sudah punya seorang Ayah. Tapi seorang laki-laki yang mencintainya sebagai seorang kekasih. Tetapi apakah ada seorang laki-laki yang seusia Rhaissa yang mempunyai penghasilan melebihi Rhaissa?
        Tentu saja ada!
        Tapi di mana pria itu???
        Setiap pria yang coba mendekatinya selalu berpendapat tidak bisa hidup dengan harta yang di miliki Rhaissa. Mereka selalu mundur. Dan pabila Rhaissa coba untuk serius, dengan berkomitmen untuk berhenti menyanyi, dan ia pun menemukan ketidakseriusan dari pihak sang pria. Ternyata ada juga pria matre di dunia ini. Ia belum menemukan cinta yang benar-benar tulus.
                                                                    *******
        Rhaissa coba menuliskan lirik-lirik lagu, itu terdorong dari puisi-puisi itu, semacam sebuah jawaban dari puisi fansnya yang sering membuatnya penasaran itu. Rhaissa tidak berani membayangkan seperti apa pria itu. Yang pasti dia adalah pengagum sejati. Yang selalu mengikuti perjalanan karirnya.

        Suatu malam, Rhaissa menerima telepon dari seseorang masuk ke ponsel pribadinya. Tanpa nama dan itu tidak biasa.
        “Hallo… selamat malam Angel.” Itu suara seorang pria.
        “Yaa… selamat malam, ini siapa?”
        “Sebelumnya saya mau minta maaf, karena sayalah yang mengirim puisi-puisi itu.” Suaranya sangat sopan dan berwibawa. Rhaissa yang tadinya hendak tidur, kini terpaksa duduk dan bersandar di ranjangnya.
        “Mmm.. apa maksud dari semua ini?” nada suara Rhaissa tenang namun agak bergetar.
        “Tolong jangan menganggap saya meneror Anda, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin menyampaikan perasaan saya yang tulus kepada Anda, sangat tulus Angel…. Malam ini saya menelepon karena saya tidak tahan melihat kamu menangis di video klip terakhir kamu. Kamu tahu? saya sangat terpukul melihat air mata kamu itu. Itu sangat menyakitkan saya, apalagi di video itu model prianya terlihat sangat cuek sekali. Angel, kalau kamu membuat klip lagi, jangan sampai menangis ya, karena saya benar-benar tidak tahan melihatnya. Tapi saya tidak mungkin akan berhenti untuk menonton klip-klip kamu, karena hanya itu yang  membuat saya bisa  tenang. Mm.. mimpi indah buat kamu..” katanya. akhirnya si pria menutup telepon tanpa memberi kesempatan Rhaissa bicara. Rhaissa menghela napas panjang.
        Ya Tuhan, dari mana dia mendapatkan nomor ponselku? Pasti dia bukan pria sembarangan. Rhaissa turun dari tempat tidurnya, untuk menyetel kembali DVD terbarunya dengan model terbaik saat ini. Isi cerita dalam lirik lagu itu menceritakan seorang wanita yang kehilangan kekasihnya. Rhaissa memang selalu menghayati setiap lagu-lagunya. Dan bukan saja tuntutan isi lagu, karena kenyataannya lirik di lagu itu benar-benar sedih. Rhaissa terus menatap klip itu hingga tanpa ia sadari air matanya ikut menetes lagi. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa pria yang meneleponnya tadi ikut menonton bersamanya. Selanjutnya ia tidak bisa memejamkan mata nyaris semalaman. Setiap kata yang diucapkan pria itu terus terngiang di telinganya. Tanpa bisa ia kontrol, pikirannya terus ke pria itu. Suaranya benar-benar enak di dengar, dan ia mengambil lagi salah satu puisi yang menumpuk di atas meja kecilnya dan membacanya berulang-ulang.
       
       Paginya ia memceritakan kejadian itu kepada kakaknya, Dina yang menjadi managernya.
Sang kakak yang sudah bertunangan itu sangat memahami dan mengerti adiknya.
        “Itu hanya cinta buta seorang penggemar sayang, kak Dina harap kamu jangan sampai terbawa arus ya.”
        “Kak Dina, tapi ini lain.” Protes Rhaissa manja namun serius. ”Mana ada sih seorang penggemar yang mengamati aku menangis di dalam video klip? Dan puisi-puisi itu tidak pernah berubah, kak.”
        “Sayang, asal kamu tahu ya, dia itu bukan laki-laki gentleman. Sebaiknya kamu mempersiapkan diri kamu untuk acara live di televisi nanti malam.
        Rhaissa menghela napas pendek. ”Baiklah, hh… bagaimana kalau kita ke mol dulu?”
        Kak Dina tersenyum, ia menatap adiknya dan berkata sebagai manager. “Hari ini tidak ada jadwal belanja karena kamu harus istirahat yang cukup.”
        “Tapi aku masih bisa istirahat setelah pulang dari mol kan, kak?” pinta Rhaissa seakan sangat mamahami kondisinya. Wajah itu sangat memohon membuat kak Dina tidak tega. Akhirnya ia mengangguk setelah menarik napas panjang.
        “Oke, dengan catatan harus ingat tanggungjawab.”
        Rhaissa langsung memeluk kak Dina. ”Terima kasih kak.” Rhaissa langsung bergegas menggantikan bajunya dengan sangat bergairah.
        Wanita berambut bob itu kini sedang mengamati adiknya yang sudah mengenakan celana jins, kaus lengan panjang berwarna krem dan memakai topi dengan tetap membiarkan rambutnya tergerai indah.
        “Jangan lupa kaca mata kamu.” Ingat kak Dina.
        Rhaissa memang hobi mengoleksi kaca mata tapi bukan berwarna hitam. Paling gelap berwarna coklat tua. Ia tidak pernah terpengaruh dengan dunia Barat yang terus melaju pesat, yang nota bene disukai oleh banyak kalangan remaja Timur. Setiap tahun dunia mode memang terus berkembang, namun bukan berarti ia harus mengikutinya. Karena belum tentu cocok untuk karakter dirinya sendiri. Sebab ia yakin, yang ada di Timur juga akan terus berkembang. Jika kita berlomba-lomba untuk mengikuti trend Barat, maka siapa yang akan menciptakan trend di tempat kita sendiri. Dan budaya Timur adalah menempatkan seorang wanita sebagai sosok yang agung bak hiasan dunia.
        Mungkin banyak orang berpendapat, bahwa Rhaissa bukanlah seorang Artis modern. Namun ia adalah seorang penyanyi bukan super model. Bagaimana pun ia punya prinsip yang kuat berkat didikan orang tuanya. Dengan selalu tampil anggun ia pun bisa memikat jutaan orang. Orang menyukainya dan memujinya. Itu terbukti dengan hasil penjualan CD dan DVD-nya yang selalu menempati hasil teratas. Ia mendapat double platinum dan hasil dari RBT-nya mencapai milyaran rupiah. Undangan untuk tampil di luar negeri pun tak pernah sepi. Rhaissa adalah Rhaissa yang hidup di dunia artisnya sendiri. Tidak perlu mengikuti bintang top sebelumnya atau mengekor karakter orang.

        Hari ini Rhaissa pergi hanya ditemani kakaknya dan seorang pengawal. Tadinya ia ingin pergi bersama kakaknya dan menyetir sendiri, pasti menyenangkan. Karena ia sudah lama tidak menyetir sendiri. Namun kak Dina tidak mengizinkannya. Rhaissa memasuki lift mall. Setiap orang yang kenal dan berani, pasti mendekatinya dan minta foto bareng serta tanda tangan. Dan yang tidak berani hanya kagum memandang dari kejauhan. Tapi tidak sedikit hanya sekedar menegurnya dan menyapa manis. Namun ada pula yang tidak yakin kalau itu adalah Rhaissa seorang artis berkelas yang jalan-jalan di tempat keramaian. Rhaissa mempunyai tahi lalat kecil di atas bibir sebelah kanannya. Itu melengkapi kesempurnaan senyum tulusnya untuk semua orang di tambah lagi dengan gigi yang tersusun indah dan rapih. Tegur sapanya yang lembut membuat orang ingin terus mendengar suaranya. Ia simbol wanita sejati. Mungkin seumur hidupnya ia tidak pernah marah.
        Saat Rhaissa, kak Dina dan pengawalnya ingin masuk ke sebuah kafe untuk makan siang. Seorang pemuda nyaris bertabrakan dengan Rhaissa. Sosok pria berdasi yang terlihat seperti orang sibuk. Lengan pria itu mengenai bahu Rhaissa. Dan pria itu menoleh.
        “Oo… maaf.” Katanya pendek. Detik berikutnya, keduanya bertatapan begitu dekat. Pria itu terus menatap mata Rhaissa yang ada di balik kaca mata coklatnya. Ia pasti tidak kenal dengan Rhaissa. Pria maskulin itu tersenyum tipis dan senyum itu sempat membuat jantung Rhaissa lumer. Waktu seakan terhenti untuk melihat senyum itu. Rhaissa membuka kaca matanya dan laki-laki tolol itu masih tidak mengenalinya. Ia tersenyum lagi dan mengucapkan kata-kata maaf untuk kedua kalinya. ”Maafkan saya.”
        “Sama-sama.” Balas Rhaissa. Mendengar suara Rhaissa memaksa pria itu menarik napas dalam-dalam.
        “Ais.. kamu nggak apa-apa?” Dina sudah memegang tangan adiknya. Itu panggilan sayang.
        “Nggak, nggak papa kok, Kak.” Rhaissa kembali memasang kaca matanya. Pria itu telah berlalu dan duduk bersama seorang temannya yang berdasi juga, saat Rhaissa menoleh ia sudah terlihat asyik dengan rekannya itu. Dina mengambil tempat duduk tiga meja dari pria itu, agak jauh namun Rhaissa masih bisa melirik ke sana. Tanpa di ketahui oleh Rhaissa, pria itu sekali-kali mencuri pandang ke Rhaissa, dan menatapnya. Meski terlihat cuek namun penuh rasa keingintahuan. Ada kilauan dan rasa penasaran di mata itu.
        “Ais.., apa kamu mengenali pria tadi?” Tanya kak Dina tiba-tiba di saat mereka menikmati
makan siang.
        “Entahlah…” kata Rhaissa datar. Dina menatap adiknya yang menjawab pertanyaan tidak seperti biasanya. Dan terdengar aneh di telinganya. Dina tertawa kecil.
        “Yang pasti dia bukan seorang pengagum, dia sama sekali tidak mengenali kamu.”
        “Mungkin. Ia pasti mengagumi seorang Madonna.” Kata Rhaissa sembari tertawa halus. ”Tapi… aku merasa pernah mendengar suaranya. Mungkin aku pernah mendengar suara itu sebelumnya, namun entah di mana dan kapan?” kening Rhaissa bertaut seakan coba mengingatnya.
        “Sudahlah, habiskan sisa makananmu dan kita akan segera kembali. Setidaknya kamu harus istirahat dua jam penuh, oke.” Kata kak Dina semacam printah. Rhaissa tersenyum dan saat ia menoleh ke arah pria tadi, kursi itu telah di isi oleh orang lain. Wow… cepat sekali mereka menghilang. Membuat Rhaissa tambah penasaran.
        Rhaissa hanya membawa pulang sepasang sepatu buatan Indonesia. Ia tidak pernah gengsi untuk memakai produk dalam negeri.
                                                                 *******

        Rhaissa mengisi acara siaran langsung di televisi swasta, selain menyanyi ia juga akan menerima tanya jawab langsung dari penonton yang ada di rumah. Itu acara interaktif yang sering di adakan televisi tersebut, dan malam itu akan terasa istimewa karena bintang tamunya adalah Rhaissa.
        Rhaissa membawakan lagu-lagu anyarnya dan akan diiringi oleh tiga penari latar. Lagu kedua tanpa penari dan itu membuat para penonton bisa fokus melihat penampilannya di atas panggung. Di saat anak muda tergila-gila dengan Justin Biber, Ayu Ting Ting dan anak band SMASH juga boy dan girls band Korea maka Rhaisaa punya penggemar dari berbagai kalangan… Dan setelah jeda iklan,
        Baru diberi kesempatan telepon masuk dengan di pandu oleh seorang host. Rhaissa duduk ditemani host pria yang sudah sangat dikenali di dunia pertelevisian. Telepon pertama pun masuk.
        “Halo…?” host itu yang memjawab.
        “Halo, selamat malam.” Peneleponnya seorang wanita.
        “Dengan siapa dan di mana?” masih host.
        “Dengan Cut Lara dari Aceh.”
        “O, jauh sekali. Apa yang mau di tanyakan silahkan langsung kepada Rhaissa-nya.” Dan detik itu wajah Rhaissa langsung di zoom.
        “Ya, terima kasih. Selamat malam Rhaissa.”
        “Ya, selamat malam juga Lara.” Senyum Rhaissa sudah mengembang. Ia menunggu.
        “Saya hanya ingin menanyakan, apakah sebelum menjadi seorang Rhaissa seperti sekarang ini, pernahkah merasakan perjuangan hidup yang begitu pahit? Itu saja, terima kasih.”
        “Bagaimana?” presenter muda itu menoleh pada Rhaissa. Rhaissa tersenyum dan menghela napas. Seandainya Cut Lara mengikuti perjalanan karirnya tentu ia tidak perlu bertanya seperti itu. Seharusnya ia bertanya, ’Siapa pacar Rhaissa dan kapan akan menikah?’ namun bagaimana pun juga Rhaissa harus menjawab pertanyaan itu.
        “Terima kasih Lara, ini mungkin bukan sebuah jawaban tapi sebuah kisah yang sangat luar biasa, mungkin kamu belum tahu kalau saya mempunyai sembilan orang saudara. Saya anak kelima dari anak seorang guru Sekolah Dasar, dan seorang Ibu yang sabar, penyayang dan pintar, seorang Ibu rumah tangga biasa, tapi saat itu saya merasa bukan kehidupan yang pahit, namun kehidupan yang penuh cinta dan kasih sayang. Kami bisa melewatinya dan kami tidak akan pernah melupakan saat-saat seperti itu.” Ujar Rhaissa dengan penuh kewibawaan dan seolah ia baru saja mengalami masa kecilnya.
        “Oke… mudah-mudahan Cut Lara puas dengan penuturan Rhaissa barusan, sseperti yang kita tahu bahwa Rhaissa sangat mengagumi keluarganya. Kita menerima penelepon kedua, sebelum break,  silahkan….”
        “Halo….” Penelepon langsung masuk. Kali ini seorang pria.
        “Ya, silahkan.” Kata hostnya.
        “Saya Agoy di Jakarta, sebenarnya saya tidak punya satu pertanyaan pun untuk Rhaissa. Saya hanya ingin memberi sedikit kekaguman atas… mm… Tuhan maha besar dan perancang busananya yang brillian, dan malam ini Rhaissa terlihat sangat cantik sekali….” Kata-kata itu semacam pujian seorang juri di ajang lomba. Rhaissa hanya tersenyum dewasa.
        “Terima kasih.” Balasnya singkat. Ia tidak biasa menerima pujian dengan besar kepala. Itu ajaran di dalam keluarganya.
        “Wow….” Host itu melirik Rhaissa. ”Anda memang benar Agoy.” Ujarnya seakan setuju.
        Semua orang juga sudah tahu kalau malam itu penampilan Rhaissa seperti putri dari negeri dongeng. Ia mengenakan busana dari perancang ternama dengan gaun berwarna hijau muda. Seorang perancang akan senang jika karyanya di kenakan oleh Rhaissa. Karena itu merupakan kepuasan tersendiri bagi mereka begitu pun Rhaissa. Ada juga yang beranggapa kalau Rhaissa tak ubahnya seperti maneken di sebuah mega mall. Apabila ia mengenakan sesuatu maka konsumen langsung tertarik untuk membelinya. Bukankah itu secara tidak langsung menunjukkan kalau Rhaissa juga bisa di bilang sebagai super model? Sepertinya tidak ada yang bisa membantah itu.
        Dari semua telepon yang masuk malam itu, hanya pernyataan Agoy yang berkesan untuk Rhaissa. Bukan lantaran pujiannya, namun ketulusan di dalam kata-kata itu. Menjelang tidur, hampir pukul dua dini hari. Rhaissa yang lelah ingin istirahat dan seharusnya ia tidak mengaktifkan ponselnya. Karena segala sesuatu bisa melalui kak Dina dan asistennya. Sehingga ia tidak harus mengangkat telepon seperti saat ini. Dengan tenaga tersisa ia menempelkan ponsel ke telinganya.
        “Hallooo…”
        “Hai, maaf ya, saya mengganggu sebentar, sebentaaaar saja.” Dan suara itu sudah sangat di kenali oleh Rhaissa. Namun kali ini ia tidak mengangat kepalanya yang sudah terasa berat. ”Saya Agoy yang tadi siang bertemu kamu di kafe, dan setelah kejadian itu saya melihat kamu di televisi. Semoga saya tidak salah, bahwa yang saya jumpai siang itu adalah kamu yang semalam. Oke, itu saja, terima kasih, mimpi indah.” Belum sempat di jawab, suara di seberang sudah menghilang. Rhaissa melihat nomor Agoy di layar ponselnya, terbersit di benaknya untuk menelepon balik namun urung. Kini ia hanya bisa mengingat pertemuan siang itu. Lagi-lagi ada orang asing yang tahu nomor pribadinya. Ia pun memutuskan untuk mematikan ponselnya.
         Dan sejak saat itu kak Dina tidak mengizinkannya memegang HP. Semua telepon yang masuk harus melalui dia dan twitter pun kak Dina yang membalasnya. Dan itu membuat Agoy kesulitan untuk menghubunginya Rhaissa dan setiap ia coba menghubungi manager Rhaissa selalu menanyakan ada perlu apa dan siapa, apa sudah punya janji, dan kalau belum harus bikin janji dulu. Dan saat Agoy menyebut nama panjangnya barulah si manager mengetahui siapa Agoy itu sesungguhnya.  Kak Dina tahu betul siapa Agoy, dia seorang pemuda kelahiran Jakarta, besar dan sekolah di negeri paman Sam. Orangtuanya punya bisnis perhotelan di negeri itu. Agoy kembali ke tanah air untuk membuka bisnis yang sama. Dia anak muda yang mewarisi jiwa bisnis dari Ayahnya. Maka selesai kuliah empat tahun, di tambah dengan dua tahun pengalaman kerja, dia pun memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri. Dan di saat usianya mendekati 25 tahun ia sudah bisa menempati apartemen mewah, dan memiliki segala yang diinginkan anak muda zaman sekarang. Tinggal sendiri di apartemennya sebab kedua orangtuanya masih menetap di Amerika.
                                                                   *******
       
        Setelah menyelesaikan syuting klip kedua untuk lagu yang sama di kawasan Puncak. Dan di perjalanan pulang ke Jakarta, Ririn si manager baru, bertanya pada Rhaissa.
        “Rhaissa, mau dan bisa gak ketemu seseorang?”
        Rhaissa menoleh ke arah managernya yang duduk tepat di sebelahnya. Wanita muda itu tersenyum.
        “Kamu ini aneh, kan kamu yang mengatur semua jadwalku. Jadi kenapa bertanya seperti itu?” jawab Rhaissa pelan.
        “Tapi bertemu dengan orang yang satu ini tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pekerjaan. Bukan juga untuk acara jumpa fans, tapi dia mengajak kamu nge-date.”
        “Whats..??” Rhaissa tertawa. Kak Dina pun yang duduk di sebelahnya ikut tertawa. Ia kini bukan sebagai manager Rhaissa tapi sebagai orang yang siap menemi kemanapun Rhaissa pergi.
        “Aku serius Rhaissa, nama pria itu Agoy.” Ririn menatap Rhaissa. Rhaissa pun menatap Ririn tak percaya.
        “Agoy…?” ulangnya pelan. ”Agoy?” nama itu terucap lagi.
        “Hei hei…. Ada apa dengan kamu, Rhaissa?” Dina melirik adiknya yang terlihat seperti orang linglung. ”Agoy itu yang ikut berpartisipasi dalam acara di televisi malam itu kan, Ais?”
        “Mungkin, tapi tidak ada yang bisa menebak kan, berapa pria yang bernama Agoy di negeri ini?”
        “Tapi dia bilang kamu kenal dia. Katanya ia pernah bertemu dengan kamu di mega mall waktu makan siang bersama kak Dina.” Tambah Ririn.
        “Ya Tuhan, pria itu?”
        “Dia bukan tipe pria pecundang, kan?” kak Dina seperti bertanya pada Rhaissa.
        “Semoga.” Jawab Rhaissa seakan berharap.
        Dina menatap adiknya. ”Apa kamu sedang jatuh cinta?”
        Rhaissa seakan tersadar dengan jawabannya barusan, ia tersenyum.
        “Jatuh cinta? O o… bagaimana mungkin? Kalian kan lebih mengenali aku melebihi aku sendiri.”       
       “Oke, sekarang gimana? Apa mau terima gak telepon dari dia?” tegas Ririn.
        “Menurut kalian, apa harus?”
        “Keputusannya ada di tangan kamu, Ais.” Kata Dina yang sudah tahu siapa si Agoy itu.
        “Baiklah, suruh dia telepon aku nanti malam.” Kata Rhaissa dengan pasti. Kak Dina mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya kemudian menyerahkan pada Rhaissa. Rhaissa menatap kakaknya sembari tersenyum. ”Nanti malam kok, kak.”
        “Tidak ada salahnya kan, kakak memberikan ponsel ini sekarang?” kak Dina melirik nakal ke Rhaissa. Ririn tertawa dan akhirnya ketiganya ikut tertawa. Beberapa menit setelah menerima ponsel, Rhaissa pun tertidur di mobil. Sembari mendengarkan lagu  Celine Dion. Ia mennyukai diva asal Canada itu.
        “Dia kecapean sekali.” Ujar Ririn sembari menatap Rhaissa sejenak. Dina pun mengiyakannya. Mereka pun akhirnya ikut menyandar di jok mobil yang empuk itu. Setengah jam lagi mereka akan tiba di rumah. Minggu depan mereka akan ke Singapura. Rhaissa di undang untuk menghadiri acara Award di negeri tetangga itu. Kebetulan lagu Rhaissa masuk nominasi sebagai favorit famele Artist. Dan perancang busana handal negeri ini telah menyiapkan gaun untuk Rhaissa, yang menyukai warna hijau muda.

        Malamnya Rhaissa meneruskan menulis lirik-lirik lagu, dia jarang menulis, ide menulis itu pun ia dapat berkat sering membaca puisi-puisi yang dikirim secara misterius itu. Dan pengirimnya menyebut dia dengan panggilan ‘Angel’. Pria itu tidak pernah meneleponnya lagi.   Tapi minggu depan, apakah puisinya akan muncul lagi? Ataukah Rhaissa tidak pernah berharap lagi. Pria aneh, yang tidak pernah mencantumkan alamatnya. Itu bisa di sebut semacam surat kaleng. Di stempel kantor pos tercantum nama kantor pos penerima dan Rhaissa pun meminta asistennya menanyakan. Dari kantor pos mana surat itu berasal. Rhaissa yakin, pegawai pos sana pasti mengenali pengirim yang nyaris 80 kali menemui kantor pos itu untuk mengirim puisi-puisi itu kepadanya. Dan kabar pun di dapat. Pegawai pos mengatakan kalau yang mengirim surat tanpa nama itu hanya seorang wanita biasa. Yang usianya sekitar 30-an. Rhaissa menjadi tambah penasaran dan saat menelepon dia menggunakan private number. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa dia tidak mengirim puisi-puisi itu lewat ponsel saja….???

        Rhaissa sudah menggatikan baju tidur, siap untuk tidur dan ia senang tidur sendiri tanpa ditemani siapapun. Itu membuatnya sangat nyaman. Karena nyaris 24 jam ia selalu berkumpul bersama keluarga dan bertemu dengan orang-orang. Maka di saat-saat seperti ini ia merasa bernapas untuk dirinya sendiri, hidup bersama khayalannya dan terkadang menikmati asa itu mengasyikkan bagi Rhaissa. Asa itu mengikuti irama hati, namun jika asa menguasai hati sebaiknya berhati-hati. Rhaissa menyetel lagu lembut menjelang tidurnya, kebiasaan itu tidak pernah hilang. Selain senang menonton akting Richard Gere dan Rano Karno ia juga menyukai aksi Lara Croff serta aksi kocak Olga Saputra. Ponselnya berdering di saat ia sudah lupa. Agoy benar-benar menghubunginya.
        “Halo… belum tidur, kan?” suara lembut itu menyusup ke dalam telinga Rhaissa. Dan Rhaissa langsung bisa mengingat bagaimana pria itu menatapnya di depan lift kafe mega Mal itu. Pria plamboyan yang cool, tapi siapa Agoy sebenarnya? Pria itu tidak mengenalinya sama sekali.
        “Mana ada orang tidur sambil memegang ponsel dan dengan begitu jelas bisa mendengar suara anda.” Nadanya berkata pelan teratur dan tidak bermaksud menyinggung. Terdengar tawa kecil dari seberang. Lalu diam, sepertinya Agoy bingung mau ngomong apa. Rhaissa menunggunya kemudian terdengar helaan napas.
        “Mm.. apa aku besok boleh datang ke rumah kamu?”
       Rhaissa diam sejenak. Agoy menunggunya dengan cemas jangan sampai gadis itu menjawab tidak bisa. Habis sudah harapannya.
        “Boleh tahu, buat apa?” Tanya Rhaissa.
        “Ya bertemu dengan kamu, memangnya untuk apalagi.”
        “O, terus kalau sudah ketemu?”
        “Ya, apa ya…? Maunya sih ngajak kamu pergi. Tapi kayaknya gak sopan ya?”
        “Memang iya.” Kata Rhaissa singkat dengan nada setengah bercanda.
        “Tu, benar kan? O iya, terima kasih banyak ya karena sudah mengizinkan aku menelpon kamu. Kamu tahu gak? betapa susahnya aku mencari nomor kamu ini? Aku menghubungi internet dan menelepon beberapa kantor tabloid dan majalah, hanya karena ingin menemukan nomor kamu. Mereka bersikeras tidak ingin memberi tahu dengan alasan melanggar etika.”
        “Dan akhirnya mereka melanggar etika itu, kan?”
        “Karena mereka tidak mau ada seorang pria mengakhiri hidupnya di kantor mereka.”
        “Jangan berlebihan, jadi kamu mendatangi kantor mereka?”
        “Tentu saja, di sini akulah yang melanggar etika itu, aku minta maaf sama kamu. Setelah menghubungi kamu sekali seterusnya aku tidak bisa menghubungi kamu lagi, karena ponsel kamu selalu berada di tangan manager kamu. Dan dia selalu meng-introgasi aku.” Kata Agoy dengan jujur. Rhaissa tertawa pelan. ”Bagaimana, boleh ya aku ke rumah kamu?”
        “Hei, rumah saya itu terbuka untuk siapa saja.”
        “Ya, itu pasti tapi aku tidak ingin sekedar datang ke rumah kamu, aku ingin bertemu dengan kamu.”
        “O, kalau itu aku tidak bisa janji, apa aku ada di rumah atau tidak.”
        “Iyeess!!!” Agoy berteriak kegirangan. Membuat Rhaissa menjauhi ponselnya dari telinga. Aneh. Pikirnya.

        Agoy memang pria beruntung karena Rhaissa memberi kesempatan padanya untuk kenal lebih dekat. Itu kesempatan emas apalagi sampai bisa jalan berdua. Rhaissa bisa pergi juga karena kak Dina yang memang tahu siapa aslinya Agoy.
        Sejak saat itu, pria puitis itu tidak pernah lagi mengirimkan puisinya untuk Rhaissa. Biasanya dia bisa mengirim dua sampai tiga lembar dalam dua minggu. Rhaissa merasa kehilangan, merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti ada kurang pada dirinya. Karena dalam setahun ini ia selalu mendapatkan lembaran puisi itu dalam setiap minggunya. Dan yang lebih terasa karena ada perhatian dalam puisi itu dan kini perhatian itu tidak muncul lagi. Angel itu kini merasa kesepiaan.
                                                                    *******
        Angin laut berhembus lembut, membelai wajah Rhaissa dan mengibaskan rambutnya. Ombak laut berlomba menghempaskan diri ke pantai, hingga pecah dan memancarkan keindahan di atas karang yang menjulang tinggi. Rhaissa menghela napas pelan dan sekali-kali menghirup minumannya. Agoy yang duduk bersandar di sebelahnya merasa gugup, tak biasanya ia seperti itu jika berdekatan dengan seorang wanita. Seorang pria akan merasa sangat bodoh jika tiba-tiba gugup berhadapan dengan seorang wanita apalagi itu wanita idamannya.
        Rhaissa mengenakan baju santai dengan lengan sebatas siku, dengan kerah pendek. Ia pun mengenakan kaca mata coklat terang dan celana jins lembut. Di sampingnya Agoy sedang berjuang keras untuk berani mengatakan sesuatu yang teramat penting. Ia tidak peduli apakah Rhaissa mencintainya atau tidak, dan ia merasa kalau Rhaissa telah memberinya lampu hijau. Itu baginya sudah merupakan jalan terang bahkan teramat terang.
        “Rhaissa…” menyebut nama itu saja rasanya susah sekali. Rhaissa menoleh dan membuka kaca matanya. Ia tersenyum tipis dan masih bersandar. Cahaya matahari yang mulai keemasan membias di wajahnya. Dan sebelum wajah itu kembali menghadap ke laut, Agoy meneruskan ucapannya. ”Aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu, aku menyukai kamu. Aku jatuh cinta sama kamu dan aku merasa telah mencintai kamu.” Kata Agoy. Ia tak lagi bersandar. Kini ia menatap serius ke wajah Rhaissa. Rhaissa terdiam. Ia meletakkan kaca matanya di atas meja marmer itu. Sementara Agoy menanti reaksi Rhaissa selanjutnya. Namun reaksi yang muncul hanya sekilas senyum yang tidak bisa di mengerti maknanya, bahkan tatapannya untuk Agoy sulit di tebak. ”Aku.. terlalu to the point ya? Maaf, jika kamu tidak menyukai keterus-teranganku. Kamu mungkin beranggapan, siapa Agoy? Seorang pria yang baru ketemu dua kali, pertama tanpa sengaja dan ini kedua, dan berani mengatakan kata-kata yang tidak bisa di anggap enteng itu. Mungkin tidak pantas untuk kamu, tapi aku tidak mau menebak perasaan kamu.” Kata-kata itu mulai terdengar lancar dan sangat teratur meski agak memohon. Tapi pria itu sudah mulai terlihat aslinya yang dewasa dan tidak kenak-kanakan lagi seperti tadi yang takut di tolak oleh gadis impiannya.
        “Agoy.. apakah kamu termasuk salah satu orang yang memahami apa itu arti dari cinta?” tutur Rhaissa seolah minta dipahami. Ia menatap Agoy. ”Karena terus terang aku sendiri tidak memahami makna cinta itu yang sebenarnya. Yang aku tahu, seseorang di beri sebuah hati untuk merasakan berbagai rasa. Di beri satu pikiran untuk menampung berbagai masalah yang masuk ke otak kita, terkadang kita merasa tidak begitu mampu untuk memikirkan semuanya. Tapi sebagai manusia kita pasti memiliki perasaan pada seseorang. Tidak peduli dia siapa, berasal dari mana, dan apakah cinta itu tulus atau tidak, semuanya tergantung dari pribadi orangnya. Kamu tahu? orang bilang cinta itu sangat aneh. Tapi bagaimana menurut kamu sendiri?” penuturan panjang dari Rhaissa memaksa Agoy berpikir lalu tersenyum lembut dan coba mencerna maksud dari uraian itu.
        “Terus terang aku tidak begitu mengerti maksud dari kata-kata kamu. Dan satu hal yang aku sangat yakin, bahwa aku sangat menyukai kamu.” Katanya dengan nada begitu pasti. Ia merasa ingin sekali menggenggam jemari Rhaissa dan itu tidak gampang! Rhaissa bukan gadis biasa, kecerobohannya akan menimbulkan petaka dan ia tidak ingin itu terjadi. Rhaisa masih berpegang teguh pada caranya sendiri dan norma-norma serta adat-istiadatnya, ia bukan gadis yang terlalu gampang di sentuh, meski itu untuk orang yang ia sukai sekali pun. Remaja sekarang mungkin akan menganggapnya kuno, tapi tidak apalah, itu hak mereka.
        “Mmm.. bagaimana kalau kita pulang?”
        “Baiklah, tapi sebelum kita pulang. Boleh aku tahu bagaimana perasaan kamu sama aku?” kata Agoy tidak ingin penasaran.
        “Semoga seperti apa yang kamu inginkan. Tapi jangan pernah berharap dengan sesuatu yang mungkin tidak aku bisa beri.”
        “Lagi-lagi aku tidak bisa memahami kata-kata kamu….” Namun ia tetap tersenyum.
       
        Rhaissa tidak mau memancing pikiran yang coba meresahkan kalbunya. Ia ingin semua berjalan seperti biasanya. Karena ia yakin jika cinta sudah datang maka ia akan merasakannya sendiri.          
        Setelah duduk berdua bersama Agoy, keluarlah foto-foto mereka di berbagai jejaring sosial dan dunia maya, dan semuanya mempertanyaan hubungan mereka, juga siapa Agoy itu?

        Sehari sebelum berangkat ke Singapura untuk menghadiri acara MTV Award, ia menerima lagi surat ke 78 setelah satu bulan ini menghilang. Dan Rhaissa merasa deg-degan seperti orang yang menerima surat cinta untuk pertama kalinya. Padahal itu isinya pastilah sama, yaitu puisi-puisi yang sebenarnya sudah bisa ia hafal di luar kepala. Mungkin karena sudah sebulan menghilang membuat Rhaissa merasa canggung, dan jujur saja selama sebulan ini ia merasa takut kalau pria itu sudah melupakannya. Atau mungkin pria itu merasa bahwa puisi itu tidak penting. Ia hanya iseng mengirimkannya lalu melupakannya. Sementara Rhaissa sendiri sudah berulang-ulang membacanya, memahaminya dan menikmati kata demi kata dalam setiap baitnya bahkan sering melamunkan sang pengirimnya. Dan kali ini Rhaissa tidak mengenali huruf dalam tulisan itu. Karena sepertinya bukan sebuah puisi. Penasaran, ia pun membacanya….

        ‘Angel....
        Ada puluhan kata di hati ini tersirat untuk kamu, namun tidak satu pun bisa terungkap. Kadang hayalan terbang ke puncak gunung, dan dirimu ibarat awan yang menerpa wajahku. Ingin sekali aku merengkuhmu, memiliki cintamu, walau hanya setetes embun pagi. Semakin hari hati ini semakin gelisah. Karena wajahmu seperti terus menari di mataku. Engkau tidak bisa di
umpamakan dengan apapun di dunia ini.
         Ada sejuta rasa sayang tersimpan di matamu, ada kerinduaan tersimpan di sana. Andai kau  mengerti, maka aku tidak akan pernah segelisah ini. Bila aku memiliki cinta, nyawa dan hati,
        Maka semua itu adalah kepunyaanmu. Pabila kamu mengerti betapa aku tidak mengingingkan rasa gundah ini, namun rasa itu terus saja menguasai diri ini. Seakan mengajak cinta menyapa, mengetuk pintu hatimu dan ingin membawamu ke alam nyata..
                                                                                                                Angel mimpi indah ya.’

Rhaissa menarik napas berat.
        ‘Ya Tuhan, isi surat ini menggambarkan kalau aku semakin jauh darinya.’ Kini Rhaissa menghela napas panjang. ‘Rhaissa!! Hentikan untuk membaca semua kegilaan ini. Lupakan semua kertas-kertas itu. Karena dia akan menyeret kamu ke dalam kata-kata yang ia sendiri tidak mengerti artinya.’ Sudut lain di hatinya mulai meronta. Ia meletakkan surat itu di atas meja di saat terdengar suara ketukan pintu. Dina muncul untuk sekedar menanyakan kesiapannya berangkat besok. Rhaissa tersenyum pada kakaknya.
        “Bagaimana, tidak ada yang diperlukan lagi, kan?” lalu matanya melihat selembar kertas di atas meja hias Rhaissa. Ia meraihnya. ”Apa ini? Surat fans, apa dia minta di balas?” ia menatap adiknya. Rhaissa menggeleng dan lagi-lagi ia menghela napas.
        “Tujuh puluh delapan.” Ia duduk di pinggir ranjangnya. Dina menghampirinya dengan kertas masih di tangan. Di zaman serba canggih ini masih saja ada orang menulis surat.
        “Apa ini mengganggu kamu?”
        “Mungkin, sedikit.” Suaranya mulai serak.
        “Mm.. gimana kalau ini kamu anggap saja seperti surat-surat para pnggemar kamu yang lain? Dan kalau dia serius, ia pasti muncul di twitter kamu.” Kata Dina pelan dan Rhaissa coba memahami kata-kata kakaknya. ”Oke, jika kamu mau kita akan mencari wanita yang selalu mengeposkan surat-surat pria ini untuk kamu. Gimana?”
        Rhaissa jadi tertawa mendengar keseriusan kakaknya. ”Nggak perlu kak, mungkin akunya aja yang agak berlebihan.” Ia bangkit. ”Oke, aku gak apa-apa, percaya, kan?”
        “Ya, sedikit.” Canda Dina. Sebenarnya ia tahu kalau adiknya itu agak sedikit terganggu dengan setiap kemunculan surat itu. Ia akan memeriksa lagi setiap surat yang akan sampai ke tangan Rhaissa. Tapi ia juga tidak ingin menyembunyikan apa pun dari adiknya itu. Akhirnya mereka berdua tertawa. “Mau kakak temenin?”
        Rhaissa tersenyum. ”Makasih kak, tapi aku butuh HP.”
        “Tentu, kakak akan ambilkan, dan mulai malam ini ia menjadi milik kamu.” Ia menciptakan senyum tulusnya. Rhaissa menyimak kakaknya. Wanita itu begitu menyayanginya.
        “Kak…?” ia kembali duduk di sebelah kakaknya. ”Selama ini, kakak selalu mengerti setiap keluhan dan kebutuhanku, apa kakak tidak pernah merasa kalau aku ini terlalu berlebihan?”
        “Berlebihan dalam hal apa?” ia mengurungkan niatnya untuk keluar.
        “Entahlah, terkadang aku merasa sering tidak sopan dengan kakak, kakak tahu kan, kalau aku sangat menghargai kakak? Sering aku berpikir, apa yang bisa aku lakukan seandainya kakak tidak ada di sampingku. Aku pasti seperti anak kecil yang tidak tahu harus melangkah ke mana.” Matanya terlihat sendu. Dina memegang bahunya.
        “Buat kakak, kamu itu tetap anak kecil yang masih berumur empat tahun.” Ia memahami ke mana arah kata-kata adiknya. ”Kakak masih ingat dengan jelas saat kamu kakak mandikan setiap sore dan mengeringkan badan kamu dengan handuk, dan kamu terus berlari dan melompat-lompat di tempat tidur, membasahi tempat tidur kita. Hmmm… sebenarnya apa yang sedang berkecamuk di pikiran kamu? Apa karena dua bulan lagi kakak mau menikah dan kamu pikir kakak tidak peduli lagi sama kamu? Atau jangan-jangan kamu berpikir kalau selama ini yang kakak lakukan semuanya karena terpaksa? Ais… kamu sendiri tahu kan, kalau kakak itu sangat menyayangi kamu? Terkadang kakak berpikir, apakah tidak terlalu cepat untuk menikah? Kedua kakak kita sudah menikah dan mungkin dengan pernikahan kakak ini, tahun depan Arie bisa menyusul. Kamu tahu kan, kalau kakak kamu yang satu itu sering menggoda kakak. ’Kak Dina kapan dong? Ntar kalau Arie duluan gimana?’ tapi sebenarnya itu bukan alasan kakak, pertunangan kakak juga sudah hampir setahun, tidak enak juga kalau kelamaan. Kamu jangan pernah punya perasaan tidak enak sama kakak, kami selama ini sangat bangga sama kamu. Dan keluarga kita sangat menyayangi kamu, mungkin cara penyampaiannya berbeda tapi pada dasarnya cinta kita untuk kamu sama. Mengerti, kan?” ia mengamati adiknya dan Rhaissa memeluk kak Dina untuk beberapa saat. ”Istirahatlah, kakak ambilkan ponselmu.” Katanya setelah mengusap punggung Rhaissa. Dina keluar dari kamar Rhaissa menuju kamarnya sendiri. Karena setiap orang di rumah itu mempunyai kamar masing-masing dan jika ada yang ingin tidur di kamar yang lain, maka itu atas kehendak pribadi atau permintaan adik atau sang kakak.  
       Sepuluh orang dengan kamar masing-masing dan tiga kamar berbentuk pavillium untuk pengurus rumah dan satu kamar tamu. Kamar Rhaissa ada di atas bersama tiga kamar yang lain. Semua pengurus rumah sudah di anggap bagian dari keluarga.
        Di tengah malam seperti ini semua penghuni rumah sudah terlelap. Dan akhir-akhir ini Rhaissa mengalami kesulitan untuk memejamkan matanya. Biasanya kalau capek dia gampang sekali tidur, tak peduli ada suara-suara berisik di sekelilingnya. Itulah dia. Karena ia merasa selalu nyaman bila sudah ada di rumah apalagi kalau ada kak Dina di sampingnya.
       
        Jika tidak sedang show atau jumpa penggemar, Rhaissa cukup pergi bersama kak Dina dan satu pengawal pribadinya. Seperti saat ini, mereka sedang ke Singapura. Dalam perjalanan satu setengah jam itu Rhaissa hanya menjawab twitter di BB termahalnya. Dari teman-teman SMA dan dari penggemarnya. Biasanya di bantu sama kak Dina. Tapi kini ia sepertinya mencoba belajar tanpa kak Dina. Rhaissa hanya tamatan SMA dan duduk di bangku kuliah hanya bertahan dua tahun. Namun suatu saat ia akan melanjutkan kuliahnya dan menggemgam gelar sarjana seperti kakak-kakaknya. Meskipun itu sangat sulit.

        Menjelang malam, Rhaissa dan kakaknya siap-siap menuju acara puncak, namun sebelumnya ia akan latihan sebentar bersama seorang penyanyi dari luar. Karena ia akan diduetkan dengan penyanyi tersebut. Acara MTV Award di adakan setiap tahun di Singapura khusus untuk Asia. Malam itu Rhaissa tetap tampil seperti biasa. Sepertinya dialah satu-satunya penyanyi Asia yang berpenampilan jauh dari gaya anak gaul zaman sekarang. Namun yang pasti dia punya banyak pengagum dari berbagai kalangan, bahkan jauh lebih banyak dari yang diperkirakan orang. Dari pejabat, dan kalangan elit tidak akan malu mengundangnya untuk bernyanyi di istana.
        Sebelum penyerahan favorit famele artist, Rhaissa di daulat untuk menyanyi bersama peraih favorit male artist. Mereka berdua baru bertemu tadi siang dan sempat latihan sebentar. Mereka membawakan lagu Barat yang sangat terkenal saat ini. Sebenarnya itu semua sudah di atur  oleh panitia pelaksana. Dan Rhaissa memang peraih gelar itu. 

BERSAMBUNGGGGGG...........>>>>>