Jumat, 14 Desember 2012

RejanggirL





BAB 1
REJANG LEBONG

Nane, Dio dan Nif
      Di sebuah kampung yang begitu indah, nyaman, sejuk serta hijau dan bisa dipastikan jauh dari polusi udara apalagi pemanasan global. Kendaraan yang hilir mudik sepertinya tidak kenal dengan yang namanya macet. Kendaraan memang tidak bisa dibilang sepi, apalagi kendaraan roda dua, sepertinya sudah menjamur, ditambah lagi jalanannya yang mulus serta terawat dengan rapih.
      Sebuah gunung besar terlihat berdiri kokoh di belakang perkampungan, seperti layaknya tembok hijau raksasa yang memagari bagian belakang kampung hingga terlihat seperti pemandangan indah yang menakjubkan, dan didampingi dengan bukit kembar, namanya Tebo/gunung Pabes dan Tebo Tepuk. Nama yang unik namun indah, seindah gunungnya. Dulu gunung itu sangat hijau tapi sekarang mulai memudar, karena pohon-pohon besarnya sudah berkurang.
      Kampung Nane terletak di perlintasan Curup-Muara Aman, empat kilo dari Muara Aman dan sekitar 71 kilo dari kota Curup, sudah menjadi kelurahan yang terdiri dari tiga kecamatan. Juga sudah jadi sebuah Kabupaten, terdiri dari beberapa kelurahan.
      Penghasilan para penduduk berasal dari hasil pertanian dan perkebunan. Ada beberapa orang yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil.
      Di kabupaten Lebong sudah banyak sekali sekolah SMA Negeri, salah satunya yang tertua yaitu sekolah tempat Nane di Muara Aman. Yang berada di lingkungan pasar Muara Aman.


                                                                             ***
      Siang itu, Nane sedang duduk di teras rumahnya yang sederhana bahkan sangat sederhana. Rumah itu tepat di pinggir jalan yang tidak begitu jauh dari persimpangan jalan. Ia menanti kedatangan Dio sejak lima belas menit yang lalu. Kata orang pekerjaan menunggu itu adalah paling membosankan, tapi tidak berlaku buat Nane. Dio sudah meneleponnya dan mengatakan akan muncul sepuluh menit lagi, meski sudah lewat, ia tidak akan menelepon balik untuk memastikannnya. Nane asyik menikmati lagu di ponselnya yang murahan dan tidak dilengkapi dengan memory external yang hanya bisa menyimpan dua atau tiga lagu saja.
      Sebuah lagu Astrid dengan judul ‘Tentang Rasa’ lalu menyusul lagu Ungu yang bertajuk ‘Percaya padaku’ Nane sangat menikmati lagu-lagu dari negeri sendiri khususnya ‘Kotak’, meski hampir semua remaja Indonesia sedang menggilai anak-anak boyband atau girlband juga demam bola TIMNAS, namun bagi Nane, yang berada jauh dari Glora Bung  Karno hanya cukup mendoakan saja semoga Indonesia berjaya di mata dunia dan bisa menjadi kebanggaan semua rakyatnya. Meski kenyataannya TIMNAS kalah juga melawan Malaysia.
      Kapan ya, TIMNAS tidak lagi kalah…? Apakah karena pengaruh keegoisan orang-orang yang di atas yang tidak mau bersatu…>>???
                                                                                  *
      Beberapa menit berikutnya sebuah mini bus berhenti di depan rumah Nane, tepatnya satu rumah di sebelah rumah yang posisinya pas di depan rumahnya. Rumah itu kosong karena baru ditinggal penghuninya kira-kira sebulan yang lalu. Dengan berhentinya mini bus itu tidak membuat Nane sedikit pun beranjak dari tempat duduknya, ia masih bersandar di kursi kayu yang di terasnya dengan headset masih menempel di telinganya. Satu dua orang lewat, dan mobil angkutan umum yang memang terlihat lewat sekitar lima menit sekali.
      Seorang wanita empat puluhan terlihat keluar dari mini bus, diikuti seorang gadis sepantaran Nane kemudian menyusul dua buah koper yang lumayan besar dikeluarkan oleh sang kondektur. Dua wanita itu seperti Ibu dan anak. Berikutnya mini bus itu berlalu dan meninggalkan dua wanita yang sangat asing di mata Nane. Kedua wanita itu sedang terlibat perbincangan serius lalu mengangkat koper mereka ke atas rumah kosong itu. bisa Nane pastikan kalau kedua wanita itu tidak sedang menunggu mobil, sebab tidak mungkin orang menunggu mobil tapi meletakkan kopernya di teras rumah orang, meski pun kosong.
      Rumah Nane ada di sebelah timur, dan pasar Muara Aman terletak di barat yang kira-kira berjarak 4 kilo meter dari rumah Nane. Satu lagi, ada dusun yang paling ujung namanya Semelako juga berjarak 4 kilo meter dari rumah Nane, posisinya ada di utara rumah Nane.
      Nane masih mengamati kedua wanita itu, si Ibu terlihat melirik ke kiri dan ke kanan dan si gadis yang berambut panjang itu tanpa sengaja beratatapan dengan Nane, tanpa sadar Nane menciptakan sebuah senyuman dan itu spontan. Dibalas gadis itu dengan disertai anggukan kecil, tampangnya ‘Laura Basuki’ sekali. Si Ibu lalu meninggalkan anaknya bersama kedua koper mereka. Gadis itu melirik dua buah kursi yang ada di teras itu lalu menarik satunya untuk ia duduk. Ia melirik ke Nane lagi saat Nane sedang menatap jam tangannya.
      Dua puluh menit sudah berlalu dan belum pernah Dio terlambat separah itu, ‘Ke mana tu anak?’ pikir Nane. Tanpa diliputi rasa kesal, Nane beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumahnya, beberapa saat kemudian ia keluar lagi dan gadis yang di depan itu masih duduk menemani kopernya sambil memainkan ponsel di tangannya. Dia terlihat lelah tapi tidak ingin menampakannya.
      Nane memutuskan untuk menyapa gadis itu dengan menghampirinya. Ia menyeberang jalan. Melihat gelagat Nane, gadis itu berdiri seakan menghargai niat baik Nane.
      “Hai…?” katanya menyapa duluan. Gadis itu terlihat feminin sekali.
      “Hai….” Balas Nane. ”Mm…..?”
      “Saya… Anifatul Hasannah.” Ia menatap gadis yang mirip Lucy Lawless waktu masih muda itu.

      O ooo… sepertinya dia bukan orang satu kampung dengan Nane dan itu jelas sekali, karena tidak ada gadis seusianya tidak dikenal oleh Nane di kampungnya. Nane harus menggunakan bahasa nasional dengan gadis itu. ”O, saya Nane, Nane Doyosi.” Mereka saling mengulurkan tangan dan berjabat erat. ”Aku belum pernah melihat kamu sebelumnya dan wanita yang tadi……?”
      “Wanita yang tadi itu Ibu saya, dia sedang ke Puskesmas untuk bertemu dengan kepala Puskesmas. Kami akan menempati rumah ini.”
      “Ibu kamu perawat ya?” kata Nane sekaligus menebak dengan pasti.
      “Kok tahu?”
      “Nebak saja, ini rumahkan pernah ditempati oleh seorang perawat.” Jelas Nane. Anifatul tersenyum dan mempersilahkan Nane duduk di kursi yang satunya. Nane menurut, ia duduk dan menatap Anifatul. Gadis itu juga melakukan hal yang sama. ”Kamu masih sekolah?”
      “Ya, kelas tiga. Aku harap juga kamu masih sekolah seperti aku, agar kita bisa satu sekolah.”
      “Maksud kamu, kamu pindah sekolah?”
      “Aku hanya memiliki Ibu, dia pindah tugas dan otomatis aku harus menemaninya.”
      “O.” Nane manggut-manggut kecil.
      “Pindahan dari Jakarta, lumayan jauh. Satu jam perjalanan udara dan hampir tiga jam perjalanan darat.” Tutur Anifatul seakan ingin menceritakan perjalanan panjangnya nyaris seharian ini. Dan Nane sangat paham sekali, untung sekarang jalanan sudah sangat bagus. Biasanya perjalanan dari Bandara Fatmawati Soekarno menuju kampungnya membutuhkan waktu empat jam. Dan Nane tidak tahu berapa jam perjalanan dari rumah Anifatul menuju Bandara SOETTA.

      Sebuah motor besar berhenti di depan rumah Nane. Nane melirik arlojinya, ‘Dua puluh lima menit’ gumannya. Anifatul melirik Nane. Lalu menoleh pada sosok yang sedang membuka helm itu. ternyata seorang pria jangkung, menawan dan mirip Vino G. Bastian. Kulitnya coklat dan rambutnya lurus, hidung mancung dan berbodi atletis.
      “Kamu kayaknya kedatangan tamu, tuh.” Ujar Anifatul. Mereka melihat pria itu turun dari motornya. Sebelum ia naik ke rumah Nane, Nane memanggilnya dengan tepukan tangannya. Pria itu menoleh. Wajah plamboyannya langsung tertangkap oleh Anifatul, sesaat pria itu dan Anifatul saling tatap. Nane melambaikan tangannya agar pria itu datang ke tempat mereka.
      Dengan langkah mantap ia menuju ke tempat Nane dan wanita asing itu sedang duduk. Anifatul mengamati pria itu dari sepatu hingga ujung rambutnya. Mendekati sempurna. Pria itu tersenyum dengan raut wajah penuh penyesalan kepada Nane.
      “Maaf Nan, uku telaaat nyen…” (Sori ya Nan… aku sangat terlambat.) Katanya dalam bahasa Rejang asli. Anifatul tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan.
      “Duai puluak tujuak menit pat puluak tujuak detik.” (Dua puluh tujuh menit empat puluh tujuh detik) Kata Nane setelah melirik jam tangannya. ”Sudo ba…” (Sudahlah…) ia pun membalas dengan bahas Ibu pertiwinya lalu menatap pria itu, dan pria itu sudah melirik Anifatul yang mengangguk ramah. ”Kamu pasti punya alasan yang sangat kuat, kan? Kita pakai bahasa Indonesia, sebab yang ada di depan kamu sekarang ini adalah Anifatul Hasannah, pindahan dari Jakarta. Dan kita akan pergi setelah ibunya kembali.” Lanjut Nane. Ia tidak ingin gadis itu tersinggung dengan bahasa mereka. Nane menoleh pada Anifatul. Anifatul melirik Nane kemudian pada pria itu. ”Anif… ini Dio, kenalkan…” lanjut Nane.
      Pria yang bernama Dio itu mengulurkan tangannya disambut erat oleh Anifatul sambil berdiri.
      “Anifatul Hasannah, boleh dipanggil dengan Nif.”
      “O, baru pindah ya?” kata Dio tak kalah ramah.
      “Ya, begitulah…” ujarnya mencoba bersikap wajar. Di hati kecilnya mengatakan kalau pria yang ada dihadapannya itu benar-benar menawan, beralis tebal dan berwajah oval.
      “Ibunya sedang menemui kepala Puskesmas untuk mengambil kunci rumah.” Jelas Nane
kemudian.
      “Jika kalian ingin pergi, tidak usah menunggu ibuku. aku tidak apa-apa kok sendiri di sini.” Ia tidak enak hati pada dua pasangan sejoli itu. apalagi ia tahu kalau Nane sudah lama menunggu pacarnya itu.
      “Nggak apa-apa kok, kita tungguin.” Kilah Dio sambil duduk di kayu teras. ”Di Jakarta dimananya?” Dio mulai bertanya.
      “Jakarta Selatan.” Jawab Nif dengan tenang.
      “O,…” nada suara Dio mengandung arti lain. Bisa ia bayangkan jika remaja kota akan tinggal di kampung seperti Anifatul itu. dia tersenyum.
      “Kamu kenapa senyum-senyum seperti itu?”  Nane merasa aneh dengan senyum Dio itu, dan ia hafal betul dengan bahasa tubuh Dio. Bagaimana ia mengagumi sesuatu dan menyepelekannya. Dan Nif juga merasakan kalau Dio sedang menertawakannya.
      “Ya, sedang ngebayangin kehidupan remaja-remaja Metropolitan aja…” ujar Dio santai.
      “Begitu ya?” Nif merasa sedikit tersinggung. Ia tidak menyangka kalau pria kampung seperti Dio bisa menertawakannya, jarang orang melakukan itu. kebanyakan pria mengaguminya dan bahkan berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayangnya. Bagaimana pun juga Nif adalah sosok seorang gadis yang banyak diidamkan pria. Dia memiliki semua yang pria harapkan, kulit putih, langsing, rambut panjang, hidung mancung juga ramah. Tapi dia tidak tahu kalau Dio mendambakan seorang wanita yang berotak cemerlang, baik dan pemberani, satu lagi… yaitu tulus.
      “Jangan salah paham gitu dong Nif…, yang ada di otakku adalah gadis-gadis manja yang sering berkeliaran di mall-mall untuk menghabiskan uang orangtuanya. Syukur-syukur orangtuanya tidak memakai uang rakyat…” kata Dio dengan enteng.
      “Kebanyakan nonton televisi sih…” celetuk Nane, agar Nif tidak terlalu tersinggung.
      “Hei..! mana ada laki-laki seperti aku, betah duduk di depan TV?” ia menatap Nane sejenak.
      “Itu ibuku sudah kembali.” Tukas Nif setelah melihat ibunya berjalan ke arah mereka. Mereka menunggu wanita itu naik ke teras. Lalu beramah-tamah sejenak, kenalan dan Dio membantu Nif dan ibunya membawa koper ke dalam. Rumah itu ternyata sudah dibersihkan oleh petugas Puskesmas dua hari sebelum Nif dan ibunya datang.
      Sebelum pergi, Dio berpesan kepada kedua wanita itu, tidak boleh sungkan-sungkan minta bantuan jika mengalami kesulitan apa pun. Nif merasa sangat senang mendengar kata-kata Dio itu, sebagai gadis yang baru menjejaki kakinya di daerah asing, dia sangat membutuhkan kata-kata seperti itu, apalagi Dio mengatakannya langsung. Bagi Nif rasanya pasti berbeda.
                                                                      ***

      Di atas motor, Dio bertanya kepada Nane. ”Kamu tidak mau tahu kenapa aku terlambat?”   
      (Bahasa Indonesia saja)
      “Memangnya mau kasih tahu? Kalau merasa perlu kenapa tunggu aku bertanya?” sahut Nane.
      “Ya ya… aku libur kuliah selama dua bulan…”
      “Oh, ya…?” kata Nane tidak terlalu kaget.
      “Kok, cuma oh ya…? Ini kabar baik, kita bisa menginap di kebun dan menunggu durian runtuh seperti tahun-tahun sebelumnya…” sahut Dio rada kesal karena Nane tidak menyambut gembira ceritanya.
      “Terus… apa hubungannya dengan datang terlambat?” kata Nane tanpa bermaksud untuk protes. Ia hanya ingin tahu kenapa Dio bisa ngaret separah itu.
      “Sebelum datang ke rumah kamu, aku menunggu kedatangan pak Ramli untuk membawakan barang-barang yang kita perlukan di pondok nanti.” Motor Dio berbelok ke arah pasar untuk mengantar Nane membeli buku. Beberapa saat saja, motor besar itu sudah berhenti di depan toko buku. Keduanya masuk ke dalam toko. Nane mengambil apa yang ia butuhkan. Buku IPA, Dio menggodanya.
      “Buat apa sih beli buku gituan? Nilai bagus juga percuma kan kalau tidak mau meneruskan kuliah?” cerocosnya dengan cerewet.
      Nane menatap Dio sejenak. ”Kamu tahu kan? Dan aku tidak perlu mengulanginya setiap hari? Dan tidak ada yang percuma di dalam hidup ini. Lagian aneh saja seandainya nanti adikku bertanya pada orang lain mengenai pelajaran yang tidak bisa ia jawab di PR-nya.” Jawab Nane tidak mau kalah.
      “Ya ya.. tapi kan aku masih punya banyak buku dan aku rasa kurikulum dua tahun yang lalu tidak akan jauh berbeda dengan yang sekarang… dan kita bisa memesan buku lewat internet yang lebih komplit dan bermutu hmm…?” sahut Dio sambil bermaksud membayar buku Nane dan langsung ditepis oleh Nane. Dio mengalah asalkan Nane mau diajak makan.
      Nane menurut dan ia hanya memilih memesan es campur.
      Di warung sederhana Dio yang juga ikut pesan es, terlihat sangat menikmati es campurnya, buah yang segar di campur dengan susu. Lalu menatap Nane, gadis itu memang memilih tidak akan melanjutkan sekolah dengan alasan orangtuanya tidak mampu membiayai kuliahnya dan ia memilih adiknya yang akan sekolah tinggi. Dio  memang tidak bisa memaksa kehendak Nane itu… meski ia sangat menyayangkannya. Karena baginya pribadi, pendidikan di zaman sekarang tidak pandang pria atau wanita, semuanya berhak menimba ilmu.
      “Nan…, besok setelah kamu pulang dari sekolah kita langsung ke kebun ya? Aku sudah tidak sabar mendengar suara buah durian jatuh dari pohonnya yang menimbulkan suara ‘bug’ di tanah.”
      “Mana bisa seperti itu, setelah pulang aku kan harus membereskan rumah dulu.. lalu masak untuk makan sore bagi keluargaku. Kalau tidak masak, nanti pulang dari sawah orangtuaku makan apa? Dan adikku pasti akan berteriak kelaparan…” ia menatap Dio sekilas.
      “Alasan kamu selalu saja seperti itu. eh… ngomong-ngomong si Nif itu cakep juga ya? Dan namanya unik.” Kata Dio tiba-tiba.
      Nane tersenyum mendengar pujian tulus dari Dio untuk Nif. Memang tidak bisa dipungkiri,
Nif memang berbeda. Tidak sedikit gadis cantik di kampung mereka tapi Nif adalah produk luar kota yang sedikit banyaknya akan membawa keistimewaan sendiri. Dan Nane sendiri tidak bisa disamakan dengan Nif. Nane gadis manis yang sering membiarkan kulitnya bersahabat dengan matahari. Nane memiliki gigi yang bagus, tubuh langsing yang agak sedikit berotot, tinggi semampai rada pendiam dan mempunyai senyum yang sangat menawan.
      “Kamu suka ya, sama dia…?” hela Nane kemudian dengan nada agak pelan.
      “Sepertinya dia adalah perempuan yang aku impikan selama ini.” Ia tersenyum serius pada gadis itu. ”Kira-kira dia mau tidak ya, kalau aku tembak untuk menjadi pacarku? Semoga saja dia tidak punya pacar di Jakarta atau setidaknya sudah putus.” Harapnya agak berlebihan.
      Lagi-lagi Nane tersenyum. Tidak ada gadis yang menolak Dio untuk menjadi pacarnya. Dio itu memiliki postur tubuh yang tidak kalah kerennya dengan pria-pria kota, bahkan seorang model sekali pun. Dio malahan terlihat lebih macho, kuat dan hanyak kelebihan positif yang ia miliki.
      ‘Hei Nane…. kamu ini kenapa? Kenapa baru sekarang kelebihan-kelebihan pada diri Dio menyeruak di kepala kamu?’ Nane berguman sendiri. ’Sial!!’ ia memaki dirinya.
      “Apa si Nif itu tipe cewek terakhir kamu…??” tambahnya lagi.
      “Maksud kamu?” Dio mengeryitkan keningnya seakan melupakan sesuatu.
      “Aku sudah mendengar puluhan cewek yang kamu sukai dan selalu berakhir dengan kata-kata ‘Dia ternyata bukan tipeku..’ apakah itu juga akan terjadi dengan Nif?”
      “Jangan ngomong gitu dong Nan, setidaknya aku kan sudah bicara jujur sama kamu…, kamu sendiri tidak pernah bicara tentang perasaan kamu dengan aku. Aku tidak pernah tahu siapa pria yang kamu sukai, apakah cowok itu ada di sekolah kamu? Atau jangan-jangan kamu jatuh cinta dengan salah satu guru di sekolahmu…!? Kamu pikir aku tidak tahu kalau ada guru keren di sana? Aku juga pernah sekolah di tempat kamu, ingat itu.” Kata Dio seolah memarahi gadis itu.
      “Andai itu terjadi,…” Nane tertawa dan kali ini Dio tidak bisa mengartikan arti dari tawa itu. ”..dan aku tidak akan memberitahukannya ke kamu.” Tambah Nane dengan pasti membuat Dio rada keki juga karena dia tidak ingin ada yang Nane sembunyikan darinya, sebagaimana kejujurannya pada gadis itu selama ini.
      “Jadi itu arti persahabatan kita selama ini?” Dio mulai terlihat serius. ”Sampai detik ini aku tidak pernah tahu tentang perasaan kamu yang sebenarnya. Siapa yang kamu sukai dan siapa yang kamu benci? Dan pada siapa kamu pernah jatuh cinta? Usia kamu itu sudah tujuh belas tahun, mustahil kamu tidak pernah merasa menyukai pria di kampung ini. Apa iya kamu belum pernah jatuh cinta?” cerocos Dio.
      Nane menghirup es campurnya lalu menatap Dio. ”Apa iya seorang gadis yang menginjak usia tujuh belas tahun, bahwa hal terpenting dalam hidupnya adalah cinta!?? Apa ada peraturan seperti itu? aku rasa tidak!” Nane membela diri.
      Dio tertawa. ”Nane—Nane… andai saja kamu pacarku sudah aku cium kamu.” Kata Dio tidak main-main. Nane ikut tersenyum mendengar kata-kata konyol Dio.
      Tiba-tiba mata Nane tertuju pada tumpukan kayu besar yang masih basah, yang disusun rapih di seberang jalan. Sepertinya siap akan dijual.
      “Di…, liat deh di seberang jalan itu!” ujar Nane. Mata Dio menoleh ke sana. Di sana terlihat batang-batang pohon yang dipotong kira-kira berukuran satu meter dengan masih berbentuk bulat sebesar paha orang dewasa. Disusun sekitar satu kubik. ”Kebayang tidak sih, jika setiap hari ada sebanyak itu pohon ditebang, gimana jadinya kampung kita ini? Lama-lama gunung kesayangan kita akan botak.” Hela Nane.
      “Kamu benar Nan… tapi apa yang harus kita lakukan?” Dio merespon dengan cepat.
      “Kita lihat saja nanti. Kita pulang yok.” Ajak Nane. Dio pun mengiyakan.
                                                                     ooooooo
     
      Pagi-pagi sekali, Nif sudah tiba di SMA  Negeri 1 Muara Aman. Dia pikir seperti di Jakarta akan kena macet, dan tidak menyesuaikan selisih waktu yang ada di Jakarta dan Bengkulu, apalagi di Rejang Lebong tempat Nane, selisih waktunya lebih lambat hampir setengah jam dari Jakarta.
      Untung saja sudah ada orang yang datang, ia datang ke ruang guru untuk melapor kepindahannya. Tapi yang ada hanya tukang sapu ruangan. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari kantin, meski pun ia sudah sarapan namun ia ingin melihat suasan kantin di sekolah itu. Ibu kantin mengamatinya sejenak.
      “Ibu baru lihat kamu, apa kamu anak pindahan…?” katanya dengan bahasa daerah Rejang. Biasanya ia menggunakan Bahasa Bengkulu yang hampir mirip dengan Bahasa Padang. Di Muara Aman bahasanya sudah campur aduk, karena sudah banyak para pendatang. Dari Padang, Cina bahkan dari pulau Jawa.
      “Maaf Bu…?” tanya Nif tidak mengerti. Ia mengamati wanita bersih dan putih itu, penampilannya tidak kalah dengan Ibu kantin yang ada di sekolah Internasional, pantas saja kantinnya terlihat bersih dan rapih.
      Yakin sudah dia, kalau gadis semampai itu anak baru, bukan anak kelas satu yang baru masuk, apalagi ini sudah pertengahan semester. ”O… pantesan datangnya pagi sekali.” Ia mulai menggunakan bahasa Nasional. ”Pindahan dari mana? Mm… silahkan duduk.” Katanya ramah.
      “Terima kasih, Bu.” Nif masih mengamati wanita yang kira-kira tidak jauh lebih tua dari ibunya. Ia duduk di bangku panjang dan Ibu kantin langsung menyuguhkannya segelas teh manis yang hangat.
      “Gratis untuk hari pertama kamu.” Ujarnya kembali ramah.
      “Tidak usah Bu, saya sudah sarapan kok.” Nif merasa tidak enak.
      “Tidak apa-apa, minum saja.” katanya tulus membuat Nif tidak tega untuk menolak. Si Ibu sudah kembali merapikan dagangannya. Penampilan wanita itu memang sederhana namun keramahannya terlihat tidak dibuat-buat.
      “Terima kasih ya, Bu.” Kata Nif kemudian. Ia menyimak apa saja yang tersedia di kantin itu. ada bakso, nasi goreng, beberapa gorengan dan berbagai minuman ringan. Ruang kantin yang tidak jauh dari ruang guru itu sangat luas. ”Ibu sendirian…?” tanya Nif mencoba berbincang.
      “Tidak, sebentar lagi ada yang datang membantu Ibu, kalau sendiri bisa kualahan, apalagi kalau anak-anak sudah jamnya keluar istirahat.
      “Mm…” Nif paham sekali. ”Ini SMA negeri 1, apa Ibu kenal dengan perempuan yang namanya Nane?” ia berharap sekali kalau Nane sekolah di tempat barunya itu.
      “Nane, si jangkung itu? waktu kelas dua, dia ketua OSIS di sekolah ini, anaknya jarang ngomong tapi baik dan pintar. Dan satu lagi…” wanita itu berhenti sebentar merapikan perabotan kantinnya untuk menatap Nif. ”Anak sulung Ibu, tergila-gila sama dia.” Ibu kantin tertawa seakan menertawai anaknya sendiri, tapi tidak terlihat sedikit pun ia membenci Nane, yang ada hanya rasa kagumnya pada gadis itu. ”Meski pun sudah kuliah dan tinggal di tempat kost, anak Ibu masih sering menanyakan Nane. Tapi dengar-dengar, guru olah raga di sekolah ini mau menjadi pacaranya Nane, entah itu benar atau tidak Ibu juga tidak tahu pasti. Tapi kata anak-anak, Nanenya tidak mau.” Katanya sedikit senang. ”Mm.. ngomong-ngomong nama kamu siapa dan pindahan dari mana?”
      “Nama saya Anifatul Hasannah dan pindahan dari Jakarta…” ia ragu-ragu mengatakan kata Jakarta itu. malu kalau-kalau wanita itu akan menertawainya. Tapi wanita itu tidak menertawainya sama sekali, ia bahkan tidak peduli seperti apa Jakarta itu, yang ia tahu apa pun keputusan para petinggi Jakarta sering menyusahkan kehidupannya di kampung. Nif merasa bersyukur dan ia berpikir, tentu saja Nane menolak pria mana pun karena Dio adalah pria yang paling keren yang pernah ia lihat. Nif membatin. Hingga detik ini ia masih ingat dengan sangat jelas bentuk garis-garis wajah Dio. Dio pemuda lain dari pada yang lain. Kulitnya memang terlihat coklat, tapi dari penampilannya ia sama sekali tidak terlihat dari kalangan orang susah. Ia punya wibawa, berkelas dan tidak gampang mengagumi sesuatu. Entah kenapa Nif merasa tertantang. ”Bu… sepertinya sudah ada guru yang datang, saya harus pergi untuk bertemu dengan salah satu guru, terima kasih atas suguhan teh hangatnya.” Kata Nif tak kalah tulus.
      “O, ya. Sama-sama.”

      Sepuluh menit berikutnya. Nif masuk ke dalam kelas, bersama seorang guru yang akan memberi pelajaran di kelas itu. Nane yang duduk di bangku tengah mengangkat kepalanya.
      ‘Ternyata dia anak IPA juga.’ Gumannya dalam hati.
      “Selamat pagi, Paaaak….” sapa anak-anak pada guru mereka.
      “Pagi……” balas guru perlente itu. Dia asli dari Jawa Timur mengajar bidang study fisika.
      Acara perkenalan singkat pun berlangsung, tidak ada yang istimewa. Hanya ada satu dua murid cowok yang terlihat norak, biasalah seperti cowok-cowok mana pun yang ada di muka bumi ini kalau melihat cewek langsung merespon. Nif disuruh duduk di bangku kosong.. sekilas ia dan Nane saling pandang. Nif tersenyum dan berusaha dibalas oleh Nane sewajarnya.

      Pelajaran pertama dilewati Nif dengan agak berat, dalam arti masih kaku. Tidak ada suara-suara berisik yang terdengar, siswa terlihat tekun dan sepertinya sangat memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Nif jarang belajar dalam kondisi hening dan serius seperti itu, tapi ada juga hal yang bisa diselingi dengan candaan, dan guru masih terlihat ingin menjalin kedekatan dengan murid-muridnya.
      Adegan tanya jawab pelajaran pun berlangsung sangat teratur, Nane terlihat agak mendominasi pelajaran. Dan Nif sepertinya mulai menemukan kenyamanan di dalam kelas itu. apalagi jendela bagian atas terbuka semua dan angin alam masuk dengan sangat bebas.
      Pada saat jam istirahat tiba, sama saja dengan sekolah pada umumnya. Ada yang berusaha kenal lebih dekat dengan Nif, ada yang ke kantin dan tidak sedikit juga yang ke perpustakaan. Tidak ada yang bersikap berlebihan.
      Nane menghampiri Nif. “Selamat bergabung di sekolah ini… sudah selesai acara kenalannya?  Ikut ke kantin nggak?” ajak Nane dengan nada biasa, layaknya pada teman biasa pula.
      “Ya, tentu saja..” Nif tersenyum senang. ”Mm… Nan… bangku di sebelah kamu kan kosong, boleh nggak kalau nanti aku duduk di sana?” kata Nif. Ia tahu ada tiga bangku kosong di kelas mereka sementara yang terisi sekitar tiga puluhan.
      “Akan aku pertimbangkan…” ujar Nane dengan tersenyum sembari melirik sekilas ke arah Nif. ”Bercanda…. tentu saja boleh. Bangku itu milik semua murid yang ada di sekolah ini, dan siapa pun boleh menempatinya.” Mereka tersenyum lalu menuju kantin. Tempat yang sebenarnya tidak begitu disukai oleh Nane. Kalau tidak begitu lapar ia lebih senang menghabiskan waktunya di perpustakaan. ”Istirahat hanya lima belas menit, pukul satu lima belas sekolah bubar. Waktu berangkat sekolah aku tidak melihat kamu, memangnya tadi berangkat jam berapa?”
     “Jam enam..” jawab Nif dengan cepat.
      “Jam enam waktu Jakarta atau waktu kabupaten Rejang Lebong?” tanya Nane datar.
      “Beda, ya?” tanya Nif dengan polos, senyum tipisnya mengembang seakan baru sadar.
      “Ya, banget…” kata Nane. Mereka sudah ada di kantin. Nif melirik arlojinya, jarum kecil itu menunjukan pukul sebelas. Lalu ia memutarnya agar sesuai dengan waktu setempat.
      “Waktu istirahat tepat pukul setengah sebelas..” kata Nane agar Nif memutar sesuai dengan waktu yang ada di sekolah mereka.
      Nif memesan bakso, diikuti Nane. Nif ingin sekali mencoba bakso, sebab makanan yang nyaris ada di seluruh pelosok Nusantara itu, rasanya rata-rata sama. Enak.

      Tapi tolong, jangan membuat bakso dengan daging ayam busuk atau dari daging tikus ya. Karena itu makanan kesukaan kami.     

      Di pelajaran berikutnya Nif sudah duduk bersama Nane, itu membuat Nif merasa lebih nyaman. Dan bagaimana pun juga duduk berdua di kelas akan terasa lebih rileks. Nane melirik Nif.
      “Kamu jangan senang dulu, aku biasanya suka berpindah-pindah tempat duduk dan di kelas ini kita memang sering bergantian teman duduk.” Kata Nane seakan menjelaskan agar suatu hari Nif tidak kaget melihat sikapnya.
      “Ya, aku tahu tapi terima kasih untuk hari ini. Mm…, ngomong-ngomong kamu tadi berangkat di antar sama Dio, ya?” tanya Nif agak ragu-ragu.
      “Nggak..” ujar Nane jujur. dan ia tahu kalau Nif sedang menyelidikinya.
      “O…” nada suara Nif menyebutkan ‘O’ terdengar agak aneh di telinga Nane. Nane melirik gadis yang disukai oleh Dio itu dengan seksama. Nif memiliki wajah yang sangat indah. Hidungnya kecil dan mancung, rambutnya panjang tanpa poni dan bibirnya tipis. Nane juga berambut panjang dan lebih hitam juga lebih lebat dari rambut Nif. Nane sudah mengalihkan pandangannnya, sebab pria yang ada di pojok kiri belakang sedang menatap Nif.
      “Ada yang terpesona tuh sama kamu….” Ujar Nane pada Nif dengan nada agak menggoda.
      “Siapa…?” Nif menatap Nane penasaran.
      “Tuh, di pojok kiri belakang…” sahut Nane tanpa menoleh ke belakang.
      Nif menoleh, dan belum sempat ia membalas senyum pria itu, guru mereka sudah masuk. Nif menatap ke depan sambil bicara agak berbisik pada Nane.
      “Sudah berapa lama kamu pacaran dengan Dio?” itu pertanyaan penyelidikan.
      Mendengar itu Nane hanya tersenyum. Pertanyaan seperti itu baru pertama kali ia dengar dan tidak perlu ia jawab, apalagi pada gadis seperti Nif yang nota bene disukai sama Dio.
                                                                            ***
Bersambunnng..>>