Rabu, 07 September 2011

Pabila Cinta itu Tulus


                                                     PABILA, CINTA ITU TULUS

YANG TAK TERSENTUH….,
     
      Jutaan wanita tersenyum bangga melihat penampilan mu.
      Karena kau memegang teguh citra kaum mu.
      Jutaan pria ingin menjamah mu, mereka menatap penuh kekaguman.
      Diri mu terus terbalut busana indah bak demi kayangan.
             
              Anak kecil hingga orang tua menyukai suara mu.
              Mengenali suara mu dan wajah mu.. hingga ke mancanegara.
              Kau selalu tersenyum di setiap langkah mu,
              Dan, senyum itu sangat menawan,
     
      Meresahkan jiwa ku, membangunkan setiap tidur malam ku.
      Kau begitu tinggi untuk di gapai, begitu dalam untuk di selam.
      Dan begitu jauh untuk di raih…
             
              Pabila, kamu bukan milik jutaan orang…
              Mungkin sekarang kamu sudah menjadi milik ku satu-satunya.
              Pabila, kamu bukan orang terkenal maka kamu akan ku rengkuh ke dalam hati ku.
     
      Pabila, kamu hanya perempuan biasa, maka aku tak akan pernah merasa semiskin ini.
      Pabila, kamu telah menyanyi, maka telinga ini tak kan bisa mendengar yang lainnya.
      Pabila, kamu menebarkan senyum, maka seisi alam ini akan merasa cemburu.



        Rhaissa meletakkan lembaran puisi itu di atas mejanya. Itu lembaran yang ke 77 ia terima. Yang di kirim oleh seseorang dengan tulisan tangan, tanpa nama dan isinya tetap sama. Bukan di copy bukan pula di cetak. Rhaissa tidak pernah bosan untuk membacanya. Lembaran pertama ia terima adalah tepat setahun yang lalu.
        Puisi-puisi itu terkadang menghiburnya, tak jarang juga membuatnya menangis. Jika ia telah selesai membacanya, ia merasa seakan berada di antara mimpi dan kenyataan, sehingga tanpa sadar suara hatinya menjawab…..

        Pabila, aku tidak seperti sekarang ini,
        maka tentunya saat ini kita sedang duduk berdua di pan-
        tai, memandang laut luas yang tak terbatas dan tak berujung…
        Pabila......

        Rhaissa coba merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang mahal, kenyataan saat ini sepertinya sangat berbeda apabila ia telah berada di atas panggung, di elu-elukan oleh jutaan penggemarnya. Saat ini ia merasakan sepi yang amat sangat. Ia merasa seolah tidak seorang pun yang bisa memahaminya. Dan puisi-puisi itu sering kali mengganggu pikirannya. Ia menatap langit-langit kamarnya dan perasannya tambah berkecamuk. Ia menghela napas dengan berat.

        Rhaissa adalah anak ke lima dari sembilan bersaudara. Ayahnya seorang guru SD dan Ibunya
seorang adalah seorang Ibu rumah tangga biasa. Yang siap melayani keluarganya dalam 24 jam.   
        Rhaissa kecil saat menginjak usia 2 tahun, sudah berani menyanyi di depan umum, baik di acara kawinan ataupun acara 17-san. Ia senang sekali kalau di minta untuk menyanyi. Keempat saudaranya sangat menyayanginya. Ia memiliki dua kakak laki-laki dan dua perempuan. Ibunya perlahan mulai menyadari kalau anak bungsunya itu memiliki bakat menyanyi, seperti halnya ia pun senang menyanyi juga Neneknya.
    
      Rhaissa kecil sebenarnya ingin menjadi seorang guru, seperti Ayahnya. Meski ia sadar profesi seorang guru itu memiliki gaji yang sangat kecil. Itu dulu. Sebagai seorang guru, Ayahnya mengalami banyak sekali kesulitan dalam membiayai anak-anaknya. Rhaissa ingat betul saat SMP ia terpaksa gantian ke sekolah dengan abangnya, sehari masuk sehari tidak lantaran kekurangan uang transport. Saat ia usia 3 tahun, ia memiliki seorang adik perempuan. Namun Rhaissa tetap senang menyanyi. Dan suatu hari seorang guru SD-nya melihat ada kilauan mutiara pada diri Rhaissa, maka guru keseniannya itu pun rela mengajar jam tambahan untuk Rhaissa di luar jam sekolah. Ia pun menjelaskan pada Ibu Rhaissa kalau anaknya yang satu itu memiliki suara emas. Dan dari tahun ke tahun Rhaissa tetap sekolah dan terus menyanyi, hingga suatu hari seorang pencari bakat menemukan nya. Saat itu Rhaissa duduk di kelas 2 SMP.
        Seorang pria 35-an menemui orang tua Rhaissa dan guru keseniaannya. Karena ia tahu Rhaissa memiliki suara emas dan itu saja tidak cukup. Ia memiliki sebuah lagu dan ia merasakan kalau Rhaissa cocok untuk menyanyikannya. Maka atas kesepakatan mereka, selepas pulang dari sekolah Rhaissa di minta untuk datang ke studionya. Bukan untuk rekamam tapi untuk belajar, itu berlangsung hampir setiap hari dan nyaris dua jam sehari. Lama-lama Rhaissa merasa bosan dan jenuh. Karena setiap hari belajar, ya menari, belajar vocal dan esoknya lagi ia belajar tentang kepribadian. Di tambah lagi dengan ilmu psikologi, Rhaissa merasa belum memerlukan semua itu. Kalau saja ia tidak merasa senang menyanyi, maka sudah pasti ia tinggalkan semua itu, karena sangat melelahkan. Tetapi Rhaissa di didik oleh Ibunya untuk menjadi seorang yang sabar. Dengan mengatakan bahwa Rhaissa sangat beruntung karena bisa sekolah musik tanpa harus mengeluarkan uang. Rhaissa yang nyaris putus asa bangkit kembali, karena seringnya mendengarkan petuah sang Bunda tersayang.
        Bulan ketiga, pria itu membawa Rhaissa ke dapur rekamam. Itulah saat-saat yang di tunggu oleh Rhaissa, ia akan menjadi seorang penyanyi. Dan akan di kenal oleh banyak orang. Pastinya akan menyenangkan, masuk dapur rekaman saat usia 14 tahun.
        Itu peristiwa 9 tahun yang lalu.
       
        Saat ini, Rhaissa sudah mempunyai 4 orang adik. Satu perempuan dan tiga laki-laki. Dan 3 keponakan yang lucu-lucu. Ayahnya sudah pensiun, dan Ibunya sudah memiliki perpustakaan sendiri di dalam rumah, karena keluarga mereka senang membaca. Rhaissa juga sudah memiliki beberapa rumah dan deposito yang banyak. Rhaissa bukan di lahirkan di kota Metropolitan tapi di Bengkulu. Sebuah kota kecil yang indah. Namun kini mereka sudah menetap di Ibu kota dan tetap sering pulang ke Bengkulu, kota kelahiran mereka.
        Rhaissa tidak pernah kekurangan kasih sayang. Karena mereka sering berkumpul dan di rumah yang mereka tempati sekarang di huni oleh lebih kurang sepuluh orang. Rumah yang selalu ramai dan setiap bepergian Rhaissa di temani oleh seorang penangawal, dan kakak perempuannya yang merangkap sebagai manager, dan di tambah seorang asisten pribadi Rhaissa. Rhaissa sebenarnya tidak membutuhkan pengawal, karena menurutnya secara tidak langsung itu akan menjadi jarak antara dia dengan para penggemarnya. Namun sang kakak yang sebagai manager berkehendak lain, menurutnya pengawal adalah symbol ketenangan. Seorang penggemar bila sudah histeris maka akal sehat pun ter-
lupakan. Rhaissa telah menjadi seorang penyanyi nomor satu di negri ini, dengan ciri khasnya sendiri. Dia seorang bintang yang tidak gila dengan dunia glamour, yang penuh dengan serba kepalsuan. Namun dia adalah seorang bintang yang sesungguhnya, yang berkarakter dan berwibawa. Sejak masuk dapur rekaman hingga detik ini tidak ada yang berubah pada dirinya, alisnya tidak di cukur, kuku jarinya tak ada satu pun yang panjang, semua terlihat normal. Hanya sekali-kali mamakai wig, tidak suka memakai kutek dan Make Up seperlunya. Setiap busana yang ia kenakan asli berkarakter Asia Timur, Melayu. Negara yang ia cintai.
        Dia wanita Asia yang di kagumi jutaan orang, dengan modal suara yang dahsyat, kepribadian yang anggun, sopan, sangat bertata krama dan feminin. Selalu tersenyum kepada semua orang dan cantik.  Cantik alami yang bisa di hitung dengan jari ada berapa artis di negeri ini yang cantik natural saperti Rhaissa. Apabila ia menyanyi di panggung ia tak ubahnya seperti sang putri. Sapaan pertamanya adalah senyuman. Pembawaannya sangat lembut. Bisa di pastikan seorang pangeran dari negeri seberang pun akan rela meninggalkan tahtanya hanya demi seorang Rhaissa.
        Rhaissa memang sangat terkenal, milik publik dan milik para penggemarnya. Dia seorang kakak, seorang adik dan seorang anak. Namun dia tetaplah seorang gadis remaja, dengan usiannya yang kini menginjak 23 tahun. Di setiap event, lagu-lagu Rhaissa bisa di pastikan mendapat Award, baik di negeri sendiri maupun di negeri tetangga. Keluarga dan orang-orang yang berada di belakangnya sangat bangga dengannya. Tak terkecuali Rhaissanya sendiri. Namun di balik semua itu ada yang tidak bisa ia gapai, yaitu cinta seorang kekasih seusianya. Atau maksimal lima tahun di atas usianya. Bukan pria yang kebapak-bapaan, karena ia sudah punya seorang Ayah. Tapi seorang laki-laki yang mencintainya sebagai seorang kekasih. Tetapi apakah ada seorang laki-laki yang seusia Rhaissa yang mempunyai penghasilan melebihi Rhaissa?
        Tentu saja ada!
Tapi di mana pria itu???
        Setiap pria yang coba mendekatinya selalu berpendapat tidak bisa hidup dengan harta yang di miliki Rhaissa. Mereka selalu mundur. Dan pabila Rhaissa coba untuk serius, dengan berkomitmen untuk berhenti menyanyi, dan ia pun menemukan ketidakseriusan dari pihak sang pria. Ternyata ada juga pria matre di dunia ini. Ia belum menemukan cinta yang benar-benar tulus.
        Rhaissa coba menuliskan lirik-lirik lagu, itu terdorong dari puisi-puisi itu, semacam sebuah jawaban dari puisi fansnya yang sering membuatnya penasaran itu. Rhaissa tidak berani membayangkan seperti apa pria itu. Yang pasti dia adalah pengagum sejati. Yang selalu mengikuti perjalanan karir Rhaissa.

        Suatu malam, Rhaissa menerima telepon dari seseorang masuk ke ponsel pribadinya. Tanpa nama dan itu tidak biasa.
        “Hallo… selamat malam Angel.” Itu suara seorang pria.
        “Yaa… selamat malam, ini siapa?”
        “Sebelumnya saya mau minta maaf, karena sayalah yang mengirim puisi-puisi itu.” Suaranya sangat sopan dan berwibawa. Rhaissa yang tadinya hendak tidur, kini terpaksa duduk dan bersandar di ranjangnya.
        “Mmm.. apa maksud dari semua ini?” nada suara Rhaissa tenang namun agak bergetar.
        “Tolong jangan menganggap saya meneror anda, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin menyampaikan perasaan saya yang tulus kepada anda, sangat tulus Angel…. Malam ini saya menelepon karena saya tidak tahan melihat kamu menangis di video klip terakhir kamu. Kamu tahu, saya sangat terpukul melihat air mata kamu itu. Itu sangat menyakitkan saya, apalagi di video itu model prianya terlihat sangat cuek sekali. Angel, kalau kamu membuat klip lagi, jangan sampai menangis ya, karena saya benar-benar tidak tahan melihatnya. Tapi saya tidak mungkin akan berhenti
untuk menonton klip-klip kamu, karena hanya itu yang  bisa membuat saya tenang. Mm.. mimpi indah buat kamu..” katanya akhirnya lalu menutup telepon tanpa memberi kesempatan Rhaissa bicara. Rhaissa menghela napas panjang.
        Ya Tuhan, dari mana dia mendapatkan nomor ponsel ku? Pasti dia bukan pria sembarangan. Rhaissa turun dari tempat tidurnya, untuk menyetel kembali DVD terbarunya dengan model terbaik saat ini. Isi cerita dalam lirik lagu itu menceritakan seorang wanita yang kehilangan kekasihnya. Rhaissa memang selalu menghayati setiap lagu-lagunya. Dan bukan saja tuntutan isi lagu, karena kenyataannya lirik di lagu itu benar-benar sedih. Rhaissa terus menatap klip itu hingga tanpa ia sadari air matanya ikut menetes lagi. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa pria yang meneleponnya tadi ikut menonton bersamanya. Selanjutnya ia tidak bisa memejamkan mata nyaris semalaman. Setiap kata yang di ucapkan pria itu terus terngiang di telinganya. Tanpa bisa ia kontrol, pikirannya terus ke pria itu. Suaranya benar-benar enak di dengar, dan ia mengambil lagi salah satu puisi yang menumpuk di atas meja kecilnya dan membacanya berulang-ulang.
        Paginya ia memceritakan kejadian itu kepada kakaknya, Dina yang menjadi managernya. Sang kakak yang sudah bertunangan itu sangat memahami dan mengerti adiknya.
        “Itu hanya cinta buta seorang penggemar sayang, kak Dina harap kamu jangan sampai terbawa arus ya.”
        “Kak Dina, tapi ini lain.” Protes Rhaissa manja namun serius. ”Mana ada sih seorang penggemar yang mengamati aku menangis di dalam video klip? Dan puisi-puisi itu tidak pernah berubah, kak.”
        “Sayang, asal kamu tahu ya, dia itu bukan laki-laki gentleman. Sebaiknya kamu mempersiapkan diri kamu untuk acara live di televisi nanti malam.
        Rhaissa menghela napas pendek. ”Baiklah, hh… bagaimana kalau kita ke Mal dulu?”
Kak Dina tersenyum, ia menatap adiknya dan berkata sebagai manager.
        “Hari ini tidak ada jadwal belanja karena kamu harus istirahat yang cukup.”
        “Tapi aku masih bisa istirahat setelah pulang dari Mal kan, kak?” pinta Rhaissa seakan sangat mamahami kondisinya. Wajah itu sangat memohon membuat kak Dina tidak tega. Akhirnya ia mengangguk setelah menarik napas panjang.
        “Oke, dengan catatan harus ingat tanggungjawab.”
        Rhaissa langsung memeluk kak Dina. ”Terima kasih kak.” Rhaissa langsung bergegas menggantikan bajunya dengan sangat bergairah. Wanita berambut bob itu mengamati adiknya. Yang sudah mengenakan celana jin, kaus lengan panjang berwarna krem dan memakai topi dengan tetap membiarkan rambutnya tergerai indah.
        “Jangan lupa kaca mata kamu.” Ingat kak Dina.
        Rhaissa memang hobi mengoleksi kaca mata tapi bukan berwarna hitam. Paling gelap berwarna coklat tua. Ia tidak pernah terpengaruh dengan dunia Barat yang terus melaju pesat, yang nota benenya di sukai oleh banyak kalangan remaja Timur. Setiap tahun dunia mode memang terus berkembang, namun bukan berarti ia harus mengikutinya. Karena belum tentu cocok untuk karakter dirinya sendiri. Sebab ia yakin, yang ada di Timur juga akan terus berkembang. Jika kita berlomba-lomba untuk mengikuti trend Barat, maka siapa yang akan menciptakan trend di tempat kita sendiri. Dan budaya Timur adalah menempatkan seorang wanita sebagai sosok yang agung bak hiasan dunia.
        Mungkin banyak orang berpendapat, bahwa Rhaissa bukanlah seorang artis modern. Namun ia adalah seorang penyanyi bukan super model. Bagaimana pun ia punya prinsip yang kuat berkat didikan orang tuanya. Dengan selalu tampil anggun ia pun bisa memikat jutaan orang. Orang menyukainya dan memujinya. Itu terbukti dengan hasil penjualan CD dan DVD-nya yang selalu menempati hasil teratas. Ia mendapat double platinum dan hasil dari RBT-nya mencapai milyaran rupiah. Undangan untuk tampil di luar negri pun tak pernah sepi. Rhaissa adalah Rhaissa yang hidup di dunia artisnya sendiri. Tidak perlu mengikuti bintang top sebelumnya atau mengekor karakter ---
orang.
        Hari ini Rhaissa pergi hanya di temani kakaknya dan seorang pengawal. Tadinya ia ingin pergi bersama kakaknya dan menyetir sendiri, pasti menyenangkan. Karena ia sudah lama tidak menyetir sendiri. Namun kak Dina tidak mengizinkannya. Rhaissa memasuki lift Mal. Setiap orang yang kenal dan berani, pasti mendekatinya dan minta foto bareng serta tanda tangan. Dan yang tidak berani hanya kagum memandang dari kejauhan. Tapi tidak sedikit hanya sekedar menegurnya dan menyapa manis. Namun ada pula yang tidak yakin kalau itu adalah Rhaissa seorang artis berkelas yang jalan-jalan di tempat keramaian. Rhaissa mempunyai tahi lalat kecil di atas bibir sebelah kanannya. Itu melengkapi kesempurnaan senyum tulusnya untuk semua orang di tambah lagi dengan gigi yang tersusun indah dan rapih. Tegur sapanya yang lembut membuat orang ingin terus mendengar suaranya. Ia simbol wanita sejati. Mungkin seumur hidupnya ia tidak pernah marah.
        Saat Rhaissa, kak Dina dan pengawalnya ingin masuk ke sebuah kafe untuk makan siang. Seorang pemuda nyaris bertabrakan dengan Rhaissa. Sosok pria berdasi yang terlihat seperti orang sibuk. Lengan pria itu mengenai bahu Rhaissa. Dan pria itu menoleh.
        “Oo… maaf.” Katanya pendek. Detik berikutnya, keduanya bertatapan begitu dekat. Pria itu terus menatap mata Rhaissa yang ada di balik kaca mata coklatnya. Ia pasti tidak kenal dengan Rhaissa. Pria maskulin itu tersenyum tipis dan senyum itu sempat membuat jantung Rhaissa lemas. Waktu seakan terhenti untuk melihat senyum itu. Rhaissa membuka kaca matanya dan laki-laki tolol itu masih tidak mengenalinya. Ia tersenyum lagi dan mengucapkan kata-kata maaf untuk kedua kalinya.”Maafkan saya.”
        “Sama-sama.” Balas Rhaissa. Mendengar suara Rhaissa memaksa pria itu menarik napas dalam.
        “Ais.. kamu nggak apa-apa?” Dina memegang tangan adiknya. Itu panggilan sayang.
        “Nggak, nggak papa kok, kak.” Rhaissa kembali memasang kaca matanya. Pria itu telah berlalu dan duduk bersama seorang temannya yang berdasi juga, saat Rhaissa menoleh ia sudah terlihat asyik dengan rekannya itu. Dina mengambil tempat duduk tiga meja dari pria itu, agak jauh namun Rhaissa masih bisa melirik kesana. Tanpa di ketahui oleh Rhaissa, pria itu sekali-kali mencuri pandang ke Rhaissa, dan menatapnya. Meski terlihat cuek namun penuh rasa keingintahuan. Ada kilauan dan rasa penasaran di mata itu.
        “Ais.., apa kamu mengenali pria tadi?” Tanya kak Dina tiba-tiba di saat mereka menikmati makan siangnya.
        “Entahlah…” kata Rhaissa datar. Dina menatap adiknya yang menjawab pertanyaan tidak seperti biasanya. Dan terdengar aneh di telinganya. Dina tertawa kecil.
        “Yang pasti dia bukan seorang pengagum, dia sama sekali tidak mengenali kamu.”
        “Mungkin. Ia pasti mengagumi seorang Madonna.” Kata Rhaissa sembari tertawa halus. ”Tapi… aku merasa pernah mendengar suaranya. Mungkin aku pernah mendengar suara itu sebelumnya, namun entah di mana dan kapan?” kening Rhaissa bertaut seakan coba mengingatnya.
        “Sudahlah, habiskan sisa makanan mu dan kita akan segera kembali. Setidaknya kamu harus istirahat dua jam penuh, oke.” Kata Dina semacam printah. Rhaissa tersenyum dan saat ia menoleh ke arah pria tadi, kursi itu telah di isi oleh orang lain. Wow… cepat sekali mereka menghilang. Membuat Rhaissa tambah penasaran.
        Rhaissa hanya membawa pulang sepasang sepatu buatan Indonesia. Ia tidak pernah gengsi untuk memakai produk dalam negri.

        Rhaissa mengisi acara siaran langsung di televisi swasta, selain menyanyi ia juga akan menerima tanya jawab langsung dari penonton yang ada di rumah. Itu acara interaktif yang sering di adakan televisi tersebut, dan malam itu akan terasa istimewa karena bintang tamunya adalah Rhaissa. Rhaissa membawakan lagu-lagu anyarnya dan di iringi oleh tiga penari latar. Lagu kedua tanpa penari dan itu
membuat para penonton bisa fokus melihat penampilannya di atas panggung. Di saat anak muda tergila-gila dengan Justin Biber dan anak band Smash maka Rhaisaa punya penggemar dari berbagai kalangan…, Dan setelah jeda iklan,
        Baru di beri kesempatan telepon masuk dengan di pandu oleh seorang host. Rhaissa duduk di temani host pria yang sudah sangat di kenali di dunia pertelevisian. Telepon pertama masuk.
        “Halo…?” host itu yang mengangkat.
        “Halo, selamat malam.” Peneleponnya seorang wanita.
        “Dengan siapa dan di mana?” masih host.
        “Dengan Cut Lara dari Aceh.”
        “O, jauh sekali. Apa yang mau di tanyakan silahkan langsung kepada Rhaissa-nya.” Dan detik itu wajah Rhaissa langsung di zoom.
        “Ya, terima kasih. Selamat malam Rhaissa.”
        “Ya, selamat malam juga Lara.” Senyum Rhaissa sudah mengembang. Ia menunggu.
        “Saya hanya ingin menanyakan, apakah sebelum menjadi seorang Rhaissa seperti sekarang ini, pernahkah merasakan perjuangan hidup yang begitu pahit? Itu saja, terima kasih.”
        “Bagaimana?” presenter muda itu menoleh pada Rhaissa. Rhaissa tersenyum dan menghela napas. Seandainya Cut Lara mengikuti perjalanan karirnya tentu ia tidak perlu bertanya seperti itu. Seharusnya ia bertanya,’Siapa pacar Rhaissa dan kapan akan menikah?’ namun bagaimana pun juga Rhaissa harus menjawab pertanyaan itu.
        “Terima kasih Lara, ini mungkin bukan sebuah jawaban tapi sebuah kisah yang sangat luar biasa, mungkin kamu belum tahu kalau saya mempunyai sembilan orang saudara. Saya anak kelima dari anak seorang guru sekolah dasar, dan seorang Ibu yang sabar, penyayang dan pintar, seorang Ibu rumah tangga biasa, tapi saat itu saya merasa bukan kehidupan yang pahit, namun kehidupan yang penuh cinta dan kasih sayang. Kami bisa melewatinya dan kami tidak akan pernah melupakan saat-saat seperti itu.” Ujar Rhaissa dengan penuh kewibawaan dan sepertinya ia baru saja mengalami masa kecilnya.
        “Oke… mudah-mudahan Cut Lara puas dengan penuturan Rhaissa barusan, sseperti yang kita tahu bahwa Rhaissa sangat mengagumi keluarganya. Kita menerima penelpon ke dua, sebelum break,  silahkan….”
        “Halo….” Penelepon langsung masuk. Kali ini seorang pria.
        “Ya silahkan.” Kata hostnya.
        “Saya Agoy di Jakarta, sebenarnya saya tidak punya satu pertanyaan pun untuk Rhaissa. Saya hanya ingin memberi sedikit kekaguman atas… mm… Tuhan maha besar dan perancang busananya yang brillian, dan malam ini Rhaissa terlihat sangat cantik sekali….” Kata-kata itu semacam pujian seorang juri di ajang lomba. Rhaissa hanya tersenyum dewasa.
        “Terima kasih.” Balasnya singkat. Ia tidak biasa menerima pujian dengan besar kepala. Itu ajaran di dalam keluarganya.
        “Wow….” Host itu melirik Rhaissa. ”Anda memang benar Agoy.”
Semua orang juga sudah tahu kalau malam itu penampilan Rhaissa seperti putri dari negri dongeng. Ia mengenakan busana dari perancang ternama dengan gaun berwarna hijau muda. Seorang perancang akan senang jika karyanya di kenakan oleh Rhaissa. Karena itu merupakan kepuasan tersendiri bagi mereka begitu pun Rhaissa. Ada juga yang beranggapa kalau Rhaissa tak ubahnya seperti maneken di sebuah mega Mal. Apabila ia mengenakan sesuatu maka konsumen langsung tertarik untuk membelinya. Bukankah itu secara tidak langsung menunjukkan kalau Rhaissa bisa juga di bilang sebagai super model? Sepertinya tidak ada yang bisa membantah itu.
        Dari semua telepon yang masuk malam itu, hanya pernyataan Agoy yang berkesan untuk Rhaissa. Bukan lantaran pujiannya, namun ketulusan di dalam kata-kata itu. Menjelang tidur, hampir pukul dua dini hari. Rhaissa yang lelah ingin istirahat dan seharusnya ia tidak mengaktifkan ponselnya. Karena segala sesuatu bisa melalui kak Dina dan asistennya. Sehingga ia tidak harus mengangkat telepon seperti saat ini. Dengan tenaga tersisa ia menempelkan ponsel ke telinganya.
        “Hallooo…”
        “Hai, maaf ya, saya mengganggu sebentar, sebentaaaar saja.” Dan suara itu sudah sangat di kenali oleh Rhaissa. Namun kali ini ia tidak mengangak kepalanya yang sudah terasa berat. ”Saya Agoy yang tadi siang bertemu kamu di kafe, dan setelah kejadian itu saya melihat kamu di televisi. Semoga saya tidak salah, bahwa yang saya jumpai siang itu adalah kamu yang semalam. Oke, itu saja, terima kasih, mimpi indah.” Belum sempat di jawab, suara di seberang sudah menghilang. Rhaissa melihat nomor Agoy di layar ponselnya, terbersit di benaknya untuk menelepon balik namun urung. Kini ia hanya bisa mengingat pertemuan siang itu. Lagi-lagi ada orang asing yang tahu nomor pribadinya. Ia pun memutuskan untuk mematikan ponselnya. Dan sejak saat itu kak Dina tidak mengizinkannya memegang HP. Semua telepon yang masuk harus melalui dia dan twitter pun kak Dina yang membalasnya. Dan itu membuat Agoy kesulitan untuk menghubunginya Rhaissa dan setiap ia coba menghubungi manager Rhaissa selalu menanyakan ada perlu apa dan siapa, apa sudah punya janji, dan kalau belum harus bikin janji dulu. Dan saat Agoy menyebut nama panjangnya barulah si manager mengetahui siapa Agoy itu sesungguhnya. Kak Dina tahu betul siapa Agoy, dia seorang pemuda kelahiran Jakarta, besar dan sekolah di negri paman Sam. Orang tuanya punya bisnis perhotelan di negeri itu. Agoy kembali ke tanah air untuk membuka bisnis yang sama. Dia anak muda yang mewarisi jiwa bisnis dari Ayahnya. Maka selesai kuliah empat tahun, di tambah dengan dua tahun pengalaman kerja, dia pun memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri. Dan di saat usianya mendekati 25 tahun ia sudah bisa menempati apartemen mewah, dan memiliki segala yang di inginkan anak muda zaman sekarang. Tinggal sendirian di apartemennya sebab kedua orang tuanya masih menetap di Amerika.
       
        Setelah menyelesaikan syuting klip ke dua untuk lagu yang sama di kawasan Puncak. Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Ririn si manager baru bertanya pada Rhaissa.
        “Rhaissa, mau dan bisa gak ketemu seseorang?”
Rhaissa menoleh ke arah managernya yang duduk tepat di sebelahnya. Wanita muda itu tersenyum.
        “Kamu ini aneh, kan kamu yang mengatur semua jadwal ku. Jadi kenapa bertanya seperti itu?”
        “Tapi bertemu dengan orang yang satu ini tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pekerjaan. Bukan juga untuk acara jumpa fans, tapi dia mengajak kamu nge-date.”
        “Whats..??” Rhaissa tertawa. Kak Dina pun yang duduk di sebelahnya ikut tertawa. Ia kini bukan sebagai manager Rhaissa tapi sebagai orang yang siap menemi kemanapun Rhaissa pergi.
        “Aku serius Rhaissa, nama pria itu Agoy.” Ririn menatap Rhaissa. Rhaissa pun menatap Ririn tak percaya.
        “Agoy…?” ulangnya pelan. ”Agoy?” nama itu terucap lagi.
        “Hei hei…. Ada apa dengan kamu, Rhaissa?” Dina melirik adiknya yang terlihat seperti orang linglung. ”Agoy itu yang ikut berpartisifasi dalam acara di televisi malam itu kan, Ais?”
        “Mungkin, tapi tidak ada yang bisa menebak kan, berapa pria yang bernama Agoy di negri ini?”
        “Tapi dia bilang kamu kenal dia. Katanya ia pernah bertemu dengan kamu di mega Mal waktu makan siang bersama kak Dina.” Tambah Ririn.
        “Ya Tuhan, pria itu?”
        “Dia bukan tipe pria pecundang, kan?” kak Dina seperti bertanya pada Rhaissa.
        “Semoga.” Jawab Rhaissa seakan berharap.
        Dina menatap adiknya. ”Apa kamu sedang jatuh cinta?”
Rhaissa seakan tersadar dengan jawabannya barusan, ia tersenyum.
        “Jatuh cinta? O o… bagaimana mungkin? Kalian kan lebih mengenali aku melebihi aku sendiri.”       
“Oke, sekarang gimana? Apa mau terima gak telepon dari dia?” tegas Ririn.
        “Menurut kalian, apa harus?”
        “Keputusannya ada di tangan kamu, Ais.” Kata Dina yang sudah tahu siapa si Agoy itu.
        “Baiklah, suruh dia telepon aku nanti malam.” Kata Rhaissa dengan pasti. Kak Dina mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya kemudian menyerahkan pada Rhaissa. Rhaissa menatap kakaknya sembari tersenyum. ”Nanti malam kok, kak.”
        “Tidak ada salahnya kan, kakak memberikan ponsel ini sekarang?” kak Dina melirik nakal ke Rhaissa. Ririn tertawa dan akhirnya ketiganya ikut tertawa. Beberapa menit setelah menerima ponsel, Rhaissa pun tertidur di mobil. Sembari mendengarkan lagu  Celine Dion. Ia mennyukai diva asal Canada itu.
        “Dia kecapean sekali.” Ujar Ririn sembari menatap Rhaissa sejenak. Dina pun mengiyakannya. Mereka pun akhirnya ikut menyandar di jok mobil yang empuk itu. Setengah jam lagi mereka akan tiba di rumah. Minggu depan mereka akan ke Singapura. Rhaissa di undang untuk menghadiri acara Award di negri tetangga itu. Kebetulan lagu Rhaissa masuk nominasi sebagai favorit famele Artist. Dan perancang busana handal negeri ini telah menyiapakan gaun untuk Rhaissa, yang menyukai warna hijau muda.
        Malamnya Rhaissa meneruskan menulis lirik-lirik lagu, dia jarang menulis, ide menulis itu pun ia dapat berkat sering membaca puisi-puisi yang di kirim secara misterius itu. Dan pengirimnya menyebut dia dengan panggilan ‘Angel’. Pria itu tidak pernah menelponnya lagi. Tapi minggu depan, apakah puisinya akan muncul lagi? Ataukah Rhaissa tidak pernah berharap lagi. Pria aneh, yang tidak pernah mencantumkan alamatnya. Itu bisa di sebut semacam surat kaleng. Di stempel kantor pos tercantum nama kantor pos penerima dan Rhaissa pun meminta asistennya menanyakan. Dari kantor pos mana surat itu berasal. Rhaissa yakin, pegawai pos sana pasti mengenali pengirim yang nyaris 80 kali menemui kantor pos itu untuk mengirim puisi-puisi itu kepadanya. Dan kabar pun di dapat. Pegawai pos mengatakan kalau yang mengirim surat tanpa nama itu hanya seorang wanita biasa. Yang usianya sekitar 30-an. Rhaissa menjadi tambah penasaran dan saat menelpon dia menggunakan private number. Siapa dia sebenarnya?
        Rhaissa sudah menggatikan baju tidur, siap untuk tidur dan ia senang tidur sendiri tanpa di temani siapapun. Itu membuatnya sangat nyaman. Karena nyaris 24 jam ia selalu ngumpul bersama keluarga dan bertemu dengan orang-orang. Maka di saat-saat seperti ini ia merasa bernapas untuk dirinya sendiri, hidup bersama khayalannya dan terkadang menikmati asa itu mengasyikkan bagi Rhaissa. Asa itu mengikuti irama hati, namun jika asa menguasai hati sebaiknya berhati-hati. Rhaissa menyetel lagu lembut menjelang tidurnya, kebiasaan itu tidak pernah hilang. Selain senang menonton acting Richard Gere dan Rano Karno ia juga menyukai aksi Lara Croff serta aksi kocak Olga Saputra. Ponselnya berdering di saat ia sudah lupa. Agoy benar-benar menghubunginya.
        “Halo… belum tidur, kan?” suara lembut itu menyusup ke dalam telinga Rhaissa. Dan Rhaissa langsung bisa mengingat bagaimana pria itu menatapnya di depan lift kafe mega Mal itu. Pria plamboyan yang cool, tapi siapa Agoy sebenarnya? Pria itu tidak mengenalinya sama sekali.
        “Mana ada orang tidur sambil memegang ponsel dan dengan begitu jelas bisa mendengar suara anda.” Nadanya berkata pelan teratur dan tidak bermaksud menyinggung. Terdengar tawa kecil dari sebrang. Lalu diam, sepertinya Agoy bingung mau ngomong apa. Rhaissa menunggunya kemudian terdengar helaan napas.
        “Mm.. apa aku besok boleh datang ke rumah kamu?”
Rhaissa diam sejenak. Agoy menunggunya dengan cemas jangan sampai gadis itu menjawab tidak bisa. Habis sudah harapannya.
        “Boleh tahu, buat apa?” Tanya Rhaissa.
        “Ya bertemu dengan kamu, memangnya untuk apalagi.”
        “O, terus kalau sudah ketemu?”
        “Ya, apa ya…? Maunya sih ngajak kamu ngajak kamu pergi. Tapi kayaknya gak sopan ya?”
        “Memang iya.” Kata Rhaissa singkat dengan nada setengah bercanda.
        “Tu, benar kan? O iya, terima kasih banyak yak arena sudah mengizinkan aku menelpon kamu.
Kamu tahu gak, betapa susahnya aku mencari nomor kamu ini? Aku menghubungi internet dan menelpon beberapa kantor tabloid dan majalah, hanya karena ingin menemukan nomor kamu. Mereka bersikeras tidak ingin memberi tahu dengan alasan melanggar etika.”
        “Dan akhirnya mereka melanggar etika itu, kan?”
        “Karena mereka tidak mau ada seorang pria mengakhiri hidupnya di kantor mereka.”
        “Jangan berlebihan, jadi kamu mendatangi kantor mereka?”
        “Tentu saja, di sini akulah yang melanggar etika itu, aku minta maaf sama kamu. Setelah menghubungi kamu sekali seterusnya aku tidak bisa menghubungi kamu lagi, karena ponsel kamu selalu berada di tangan manager kamu. Dan dia selalu meng-introgasi aku.” Kata Agoy dengan jujur. Rhaissa tertawa pelan. ”Bagaimana, boleh ya aku ke rumah kamu?”
        “Hei, rumah saya itu terbuka untuk siapa saja.”
        “Ya, itu pasti tapi aku tidak ingin sekedar datang ke rumah kamu, aku ingin bertemu dengan kamu.”
        “O, kalau itu aku tidak bisa janji, apa aku ada di rumah atau tidak.”
        “Iyeess!!!” Agoy berteriak kegirangan. Membuat Rhaissa menjauhi ponselnya dari telinga. Aneh. Pikirnya.

        Agoy memang pria beruntung karena Rhaissa memberi kesempatan padanya untuk kenal lebih dekat. Itu kesempatan emas apalagi sampai bisa jalan berdua. Sejak itu pria puitis itu tidak pernah lagi mengirimkan puisinya untuk Rhaissa. Biasanya dia bisa mengirim dua sampai tiga lembar dalam dua minggu. Rhaissa merasa kehilangan, merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti ada kurang pada dirinya. Karena dalam setahun ini ia selalu mendapatkan lembaran puisi itu dalam setiap minggunya. Dan yang lebih terasa ada perhatian dalam puisi itu dan kini perhatian itu tidak muncul lagi. Angel itu kini merasa kesepiaan.
        Angin laut berhembus lembut, membelai wajah Rhaissa dan mengibaskan rambutnya. Ombak laut berlomba menghempaskan diri ke pantai, hingga pecah dan memancarkan keindahan di atas karang yang menjulang tinggi. Rhaissa menghela napas pelan dan sekali-kali menghirup minumannya. Agoy yang duduk bersandar di sebelahnya merasa gugup, tak biasanya ia seperti itu jika berdekatan dengan seorang wanita. Seorang pria akan merasa sangat bodoh jika tiba-tiba gugup berhadapan dengan seorang wanita apalagi itu wanita idamannya.
        Rhaissa mengenakan baju santai dengan lengan sebatas siku, dengan kerah pendek. Ia pun mengenakan kaca mata coklat terang dan celana jin lembut. Di sampingnya Agoy sedang berjuang keras untuk berani mengatakan sesuatu yang teramat penting. Ia tidak peduli apakah Rhaissa mencintainya atau tidak, dan ia merasa kalau Rhaissa telah memberinya lampu hijau. Itu baginya sudah merupakan jalan terang bahkan teramat terang.
        “Rhaissa…” menyebut nama itu saja rasa susah sekali. Rhaissa menoleh dan membuka kaca matanya. Ia tersenyum tipis dan masih bersandar. Cahaya matahari yang mulai keemasan membias di wajahnya. Dan sebelum wajah itu kembali menghadap ke laut, Agoy meneruskan ucapannya. ”Aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu, aku menyukai kamu. Aku jatuh cinta sama kamu dan aku merasa telah mencintai kamu.” Kata Agoy. Ia tak lagi bersandar. Kini ia menatap serius ke wajah Rhaissa. Rhaissa terdiam. Ia meletakkan kaca matanya di atas meja marmer itu. Sementara Agoy menanti reaksi Rhaissa selanjutnya. Namun reaksi yang muncul hanya sekilas senyum yang tidak bisa di mengerti maknanya, bahkan tatapannya untuk Agoy sulit di tebak. ”Aku.. terlalu to the point ya? Maaf, jika kamu tidak menyukai keterus-terangan ku. Kamu mungkin beranggapan, siapa Agoy? Seorang pria yang baru ketemu dua kali, pertama tanpa sengaja dan ini kedua, dan berani mengatakan kata-kata yang tidak bisa di anggap enteng itu. Mungkin tidak pantas untuk kamu, tapi aku tidak mau menebak perasaan kamu.” Kata-kata itu mulai terdengar lancar dan sangat teratur serta memohon.
        “Agoy.. apakah kamu termasuk salah satu orang yang memahami apa itu arti dari cinta?” tutur Rhaissa seolah minta di pahami. Ia menatap Agoy. ”Karena terus terang aku sendiri tidak memahami makna cinta itu yang sebenarnya. Yang aku tahu, seseorang di beri sebuah hati untuk merasakan berbagai rasa. Di beri satu pikiran untuk menampung berbagai masalah yang masuk ke otak kita, terkadang kita merasa tidak begitu mampu untuk memikirkan semuanya. Tapi sebagai manusia kita pasti memiliki perasaan pada seseorang. Tidak peduli dia siapa, berasal dari mana, dan apakah cinta itu tulus atau tidak, semuanya tergantung dari pribadi orangnya. Kamu tahu, orang bilang cinta itu sangat aneh. Tapi bagaimana menurut kamu sendiri?” penuturan panjang dari Rhaissa memaksa Agoy berpikir lalu tersenyum lembut dan coba mencerna maksud dari uraian itu.
        “Terus terang aku tidak begitu mengerti maksud dari kata-kata kamu. Dan satu hal yang aku sangat yakin, bahwa aku sangat menyukai kamu.” Katanya dengan nada begitu pasti. Ia merasa ingin sekali menggenggam jemari Rhaissa dan itu tidak gampang! Rhaissa bukan gadis biasa, kecerobohannya akan menimbulkan petaka dan ia tidak ingin itu terjadi. Rhaisa masih berpegang teguh pada caranya sendiri dan norma-norma serta adat-istiadatnya, ia bukan gadis yang terlalu gampang di sentuh, meski itu untuk orang yang ia sukai sekali pun. Remaja sekarang mungkin akan menganggapnya kuno, tapi tidak apalah, itu hak mereka.
        “Mmm.. bagaimana kalau kita pulang?”
        “Baiklah, tapi sebelum kita pulang. Boleh aku tahu bagaimana perasaan kamu sama aku?” kata Agoy tidak ingin penasaran.
        “Semoga seperti apa yang kamu inginkan. Tapi jangan pernah berharap dengan sesuatu yang tidak mungkin aku bisa beri.”
        “Lagi-lagi aku tidak bisa memahami kata-kata kamu….” Namun ia tetap tersenyum.
       
        Rhaissa tidak mau memancing pikiran yang coba meresahkan kalbunya. Ia ingin semua berjalan seperti biasanya. Karena ia yakin jika cinta sudah datang maka ia akan merasakan sendiri. Sehari sebelum berangkat ke Singapura untuk menghadiri acara MTV Award, ia menerima lagi surat ke 78 setelah satu bulan ini menghilang. Dan Rhaissa merasa deg-degan seperti orang yang menerima surat cinta untuk pertama kalinya. Padahal itu isinya pastilah sama, yaitu puisi-puisi yang sebenarnya sudah bisa ia hafal di luar kepalanya. Mungkin karena sudah sebulan menghilang membuat Rhaissa merasa canggung, dan jujur saja selama sebulan ini ia merasa takut kalau pria itu sudah melupakannya. Atau mungkin pria itu merasa bahwa puisi itu tidak penting. Ia hanya iseng mengirimkannya lalu melupakannya. Sementara Rhaissa sendiri sudah berulang-ulang membacanya, memahaminya dan menikmati kata demi kata dalam setiap baitnya bahkan sering melamunkan sang pengirimnya. Dan kali ini Rhaissa tidak mengenali huruf dalam tulisan itu. Karena sepertinya bukan sebuah puisi. Penasan ia pun membacanya….

        ‘Angel....
        Ada puluhan kata di hati ini tersirat untuk kamu, namun tidak satu pun bisa terungkap. Kadang 
        Hayalan terbang ke puncak gunung, dan diri mu ibarat awan yang menerpa wajah ku. Ingin se-
        kali aku merengkuh mu, memiliki cinta mu,walau hanya setetes embun pagi. Semakin hari hati
        Ini semakin gelisah. Karena wajah mu seperti terus menari di mata ku. Engkau tidak bisa di um-
        Pamakan dengan apapun di dunia ini.
             Ada sejuta rasa sayang tersimpan di mata mu, ada kerinduaan tersimpan di sana. Andai kau
        mengerti, maka aku tidak akan pernah segelisah ini. Bila aku memiliki cinta, nyawa dan hati,
        Maka semua itu adalah kepunyaan mu. Pabila kamu mengerti betapa aku tidak mengingingkan
        Rasa gundah ini, namun rasa itu terus saja menguasai diri ini. Seakan mengajak cinta menyapa,
        Mengetuk pintu hati mu dan ingin membawa mu ke alam nyata..  Angel mimpi indah ya.’

Rhaissa menarik napas berat.
        ‘Ya Tuhan, isi surat ini menggambarkan kalau aku semakin jauh darinya.’ Kini Rhaissa menghela napas panjang. ‘Rhaissa!! Hentikan untuk membaca semua kegilaan ini. Lupakan semua kertas-kertas itu. Karena dia akan menyeret kamu ke dalam kata-kata yang ia sendiri tidak mengerti artinya.’ Sudut lain di hatinya mulai meronta. Ia meletakkan surat itu di atas meja di saat terdengar suara ketukan pintu. Dina muncul untuk sekedar menanyakan kesiapannya berangkat besok. Rhaissa tersenyum pada kakaknya.
        “Bagaimana, tidak ada yang di perlukan lagi, kan?” lalu matanya melihat selembar kertas di atas meja hias Rhaissa. Ia meraihnya. ”Apa ini? Surat fans, apa dia minta di balas?” ia menatap adiknya. Rhaissa menggeleng dan lagi-lagi ia menghela napas.
        “Tujuh puluh delapan.” Ia duduk di pinggir ranjangnya. Dina menghampirinya dengan kertas masih di tangan. Di zaman serba canggih ini masih saja ada orang menulis surat.
        “Apa ini mengganggu kamu?”
        “Mungkin, sedikit.” Suaranya mulai serak.
        “Mm.. gimana kalau ini kamu anggap saja seperti surat-surat para pnggemar kamu yang lain? Dan kalau dia serius, ia pasti muncul di twitter kamu.” Kata Dina pelan dan Rhaissa coba memahami kata-kata kakaknya. ”Oke, jika kamu mau kita akan mencari wanita yang selalu mengeposkan surat-surat pria ini untuk kamu. Gimana?”
        Rhaissa jadi tertawa mendengar keseriusan kakaknya. ”Nggak perlu kak, mungkin akunya aja yang agak berlebihan.” Ia bangkit. ”Oke, aku gak apa-apa, percaya, kan?”
        “Ya, sedikit.” Canda Dina. Sebenarnya ia tahu kalau adiknya itu agak sedikit terganggu dengan setiap kemunculan surat itu. Ia akan memeriksa lagi setiap surat yang akan sampai ke tangan Rhaissa. Tapi ia juga tidak ingin menyembunyikan apa pun dari adiknya itu. Akhirnya mereka berdua tertawa.
“Mau kakak temenin?”
        Rhaissa tersenyum. ”Makasih kak, tapi aku butuh HP.”
        “Tentu, kakak akan ambilkan, dan mulai malam ini ia menjadi milik kamu.” Ia menciptakan senyum tulusnya. Rhaissa menyimak kakaknya. Wanita itu begitu menyayanginya.
        “Kak…?” ia kembali duduk di sebelah kakaknya. ”Selama ini, kakak selalu mengerti setiap keluhan dan kebutuhan ku, apa kakak tidak pernah merasa kalau aku ini terlalu berlebihan?”
        “Berlebihan dalam hal apa?” ia mengurungkan niatnya untuk keluar.
        “Entahlah, terkadang aku merasa sering tidak sopan dengan kakak, kakak tahu kan, kalau aku sangat menghargai kakak? Sering aku berpikir, apa yang bisa aku lakukan seandainya kakak tidak ada di sampingku. Aku pasti seperti anak kecil yang tidak tahu harus melangkah ke mana.” Matanya terlihat sendu. Dina memegang bahunya.
        “Buat kakak, kamu itu tetap anak kecil yang masih berumur empat tahun.” Ia memahami ke mana arah kata-kata adiknya. ”Kakak masih ingat dengan jelas saat kamu kakak mandikan setiap sore dan mengeringkan badan kamu dengan handuk, dan kamu terus berlari dan melompat-lompat di tempat tidur, membasahi tempat tidur kita. Hmmm… sebenarnya apa yang sedang berkecamuk di pikiran kamu? Apa karena dua bulan lagi kakak mau menikah dan kamu pikir kakak tidak peduli lagi sama kamu? Atau jangan-jangan kamu berpikir kalau selama ini yang kakak lakukan semuanya karena terpaksa? Ais… kamu sendiri tahu kan, kalau kakak itu sangat menyayangi kamu? Terkadang kakak berpikir, apakah tidak terlalu cepat untuk menikah? Kedua kakak kita sudah menikah dan mungkin dengan pernikahan kakak ini, tahun depan Arie bisa menyusul. Kamu tahu kan, kalau kakak kamu yang satu itu sering menggoda kakak. ’Kak Dina kapan dong? Ntar kalau Arie duluan gimana?’ tapi sebenarnya itu bukan alasan kakak, pertunangan kakak juga sudah hampir setahun, tidak enak juga kalau kelamaan. Kamu jangan pernah punya perasaan tidak enak sama kakak, kami selama ini sangat bangga sama kamu. Dan keluarga kita sangat menyayangi kamu, mungkin cara penyampaiannya berbeda tapi pada dasarnya cinta kita sama untuk kamu. Mengerti, kan?” ia mengamati adiknya dan Rhaissa memeluk kak Dina untuk beberapa saat. ”Istirahatlah, kakak ambilkan ponsel mu.” Katanya setelah mengusap punggung Rhaissa. Dina keluar dari kamar Rhaissa menuju kamarnya sendiri. Karena setiap orang di rumah ini mempunyai kamar masing-masing dan jika ada yang ingin tidur di kamar yang lain, maka itu atas kehendak pribadi atau permintaan adik atau sang kakak.  Sepuluh orang dengan kamar masing-masing dan tiga kamar berbentuk pavillium untuk pengurus rumah dan satu kamar tamu. Kamar Rhaissa ada di atas bersama tiga kamar yang lain. Semua pengurus rumah sudah di anggap bagian dari keluarga. Di tengah malam seperti ini semua penghuni rumah sudah terlelap. Dan akhir-akhir ini Rhaissa mengalami kesulitan untuk memejamkan matanya. Biasanya kalau capek dia gampang sekali tidur, tak peduli ada suara-suara berisik di sekelilingnya. Itulah dia. Karena ia merasa selalu nyaman apalagi kalau ada kak Dina di sampingnya.
       
        Jika tidak sedang show atau jumpa penggemar, Rhaissa cukup pergi bersama kak Dina dan satu pengawal pribadinya. Seperti saat ini, mereka sedang ke Singapura. Dalam perjalanan satu setengah jam itu Rhaissa hanya menjawab twitter di ponsel termahalnya. Dari teman-teman SMA dan dari penggemarnya. Biasanya di bantu sama kak Dina. Tapi kini ia sepertinya mencoba belajar tanpa kak Dina. Rhaissa hanya tamatan SMA dan duduk di bangku kuliah hanya bertahan dua tahun. Namun suatu saat ia akan melanjutkan kuliahnya dan menggemgam gelar sarjana seperti kakak-kakaknya. Meskipun itu sangat sulit.
        Menjelang malam, Rhaissa dan kakaknya siap-siap menuju acara puncak, namun sebelumnya ia akan latihan sebentar bersama seorang penyanyi dari luar. Karena ia akan di duetkan dengan penyanyi tersebut. Acara MTV Award di adakan setiap tahun di Singapura khusus untuk Asia. Malam itu Rhaissa tetap tampil seperti biasa. Sepertinya dialah satu-satunya penyanyi Asia yang berpenampilan jauh dari gaya anak gaul zaman sekarang. Namun yang pasti dia punya banyak pengagum di kalangan tertentu bahkan jauh lebih banyak dari yang di perkirakan orang. Dari pejabat, dan kalangan elit tidak akan malu mengundangnya untuk bernyanyi di istana.
        Sebelum penyerahan favorit famele artist, Rhaissa di daulat untuk menyanyi bersama peraih favorit male artist. Mereka berdua baru bertemu tadi siang dan sempat latihan sebentar. Mereka membawakan lagu Barat yang sangat terkenal saat ini. Sebenarnya itu semua sudah di atur  oleh panitia pelaksana. Dan Rhaissa memang peraih gelar itu. Ia pulang dengan menyandang sebagai artis wanita favorit. Keberuntungan memang sedang berpihak dengannya. Itu semua karena suaranya yang memang indah, dan ia juga memiliki senyuman yang semua orang ingin melihatnya. Penampilannya selalu terjaga dan jurnalis Singapura serta Malaysia sering mewawancarainya dan majalah di sana pun sudah pernah membuatnya sebagai sampul majalah. Tetapi apakah Rhaissa sendiri mempunyai idola? Tidak! Dia mengagumi Ibu dan keluarganya. Kalau senang dengan akting dari beberapa artis mungkin ada. Dan itu tidak bisa ia jadikan sebagai idola yang terlalu fanatik.
        Sekembalinya dari Singapura… Rhaisaa jatuh sakit dan suhu badannya sangat panas. Setelah di bawa ke dokter, ternyata ia kena tifus. Dia harus di rawat untuk beberapa hari. Rhaissa merasakan matanya agak panas dan perih. Saat keningnya di kompres ia seakan menginginkan matanya yang di kompres. Seingat keluarganya, Rhaissa kecil jarang sekali sakit. Tak ada satu pun wartawan di izinkan meliput Rhaissa di rumah sakit. Karena keluarga menginginkan ia cepat sembuh.
        Hari ini, Rhaissa di besuk oleh Agoy. Pria itu sangat terpukul melihat kondisinya. Tadinya keluarga Rhaissa kebertatan meninggalkan Rhaissa berduaan saja dengan Agoy. Tapi setelah melihat ketulusan di mata pria itu, dan ketulusan seorang kekasih, hingga mereka pun luluh.
        Agoy menatap Rhaissa yang terbaring lemas. Wajahnya sedikit pucat dan tetesan infuse dari botol terus menetes ke dalam tubuhnya. Agoy hanya duduk, ia tidak bisa berbuat apa-apa melihat Rhaissa lemah dan sakit. Namun mata Rhaissa memancarkan ketegaran seakan menunjukkan kalau dia bukanlah gadis cengeng dan manja. Walaupun demikian ia tetap saja tidak bisa menyembunyikan,
Bahwa wajah itu tetapalah wajah kekana-kanakan. Agoy tidak bisa membohongi dirinya kalau dia sangat menyukai wajah itu. Kesederhanannya dan ketulusannya untuk semua orang membuat Agoy jatuh cinta. Dorongan kuat untuk memiliki gadis itu semakin kuat menggodanya. Tapi sebelum ia menikahi gadis itu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Rhaissa yang begitu suci hingga untuk sekedar memegang tangannya saja Agoy merasa tidak punya keberanian. Menggenggam tangannya sekedar menunjukkan kalau dia begitu peduli dengan gadis itu, tapi itu hanya ada dalam pikirannya. Ia menghela napas dengan berat. Rhaissa yang menatapnya jadi tersenyum.
        “Terima kasih ya, karena telah datang. Sebenarnya aku ingin sekali duduk, tapi setiap kali aku ingin mencoba, kepala ini rasanya seperti mau melayang.”
        Agoy tersenyum manis namun hatinya terasa perih mendengar pengakuan Rhaissa yang tidak di buat-buat itu.
        “Jangan memaksakan diri, kamu tetap terlihat tegar meski berbaring begitu. Oya, selamat ya. Karena kamu telah terpilih sebagai artis favorit di Singapura. Kamu memang luar biasa.”
        “Terima kasih. Ouh.. ya Tuhan, sebenarnya aku sama sekali tidak betah kalau harus tiduran seperti ini.” Ia seperti mengeluh karena tidak biasa berleha-leha.
        “Hei, tidak ada salahnya kan sekali-kali memanjakan diri? Kamu harus istirahat, karena menurut dokter minimal satu minggu. Tanpa aktifitas dan tanpa memikirkan hal yang lainnya. Cuma istirahat, nothing else.” Suaranya sudah persis seperti dokter yang mewanti-wanti seorang pasien. Membuat Rhaissa tersenyum lagi. Dan saat itu seorang suster membawakan setangkai bunga mawar untuknya. Ia menyerahkan mawar itu untuk Rhaissa dan Agoy mengamatinya.
        “Ini untuk Nona, tadi ada seseorang yang mengantarkannya.” Katanya tanpa menatap ke Agoy.
        “O, ya. Terima kasih ya Sus.” Ia menerimanya dengan senang hati namun tiba-tiba wajahnya berubah setelah melihat kartu yang menempel di mawar itu.
       
        ‘Angel… semoga kamu cepat sembuh.
        Itu doa ku setiap detik.’

Rhaissa meletakkan mawar itu di meja kecil yang ada di samping tempat tidurnya. Agoy tidak pernah lepas mengamatinya. Dan setiap perubahan di wajah itu ia amati setiap detiknya. Meski Rhaissa telah berusaha tidak memperlihatkannya dan bersikap biasa namun tak berhasil mengelabui Agoy. Pabila tidak ada Agoy di sana maka mawar itu telah di lemparnya, tapi ia ingin menghormati tamunya.
        “Dari fans ya?” kata Agoy tanpa bermaksud untuk ikut campur.
        “Mungkin, tapi bisa iya, bisa juga nggak.” Ia mengukir senyum namun tak semanis tadi. Ia menagamati Agoy, pria itu juga membawakan bunga sebelum masuk sama persis dengan bunga yang di bawa Suster itu. ”Terima kasih ya, mawar kamu sama dengan yang itu, hanya plastiknya saja yang berbeda yang ini coklat muda dan punya kamu hijau muda.”
        “Barangkali pengirimnya tahu kalau kamu suka dengan mawar.”
        ‘Tentu saja.’ Jawab Rhaissa dalam hati. Jangankan tentang bunga kegemarannya, segala tentang Rhaissa pun ia tahu. Rhaissa tersenyum. Ia tidak ingin menyepelekan kehadiran Agoy di sisinya, walau harus ia akui kalau sang puitis misterius itu sering mengganggu pikirannya. Dan ia tidak pernah terpikir kalau pria itu sudah berani mengirim bunga untuknya. Selama ini hanya puisi lalu berlanjut ke surat dan kini setangkai bunga. Rhaissa merasa kalau pria itu semakin dekat saja dengannya dan seolah bisa melihat dirinya kapan saja, membuatnya merasa agak sedikit kurang nyaman. Agoy menarik napas panjang dan berusaha menghelanya seringan mungkin.
        “Rhaissa…” ia coba memegang rambut Rhaissa dan menatap gadis itu dengan perasaan yang berkecamuk. Namun tetap saja ia tak sanggup meski sekedar untuk membelai rambut gadis itu. Karena sepertinya Rhaissa belum mengizinkannya. ”Mm.. aku sayang sama kamu, cepat sembuh ya.” Ucapnya lembut. Rhaissa hanya bisa mengangguk pelan dan tersenyum lembut. Dan Agoy telah berjanji pada dirinya untuk segera melamar gadis itu. Agar ia bisa melindungi dan memberikan kasih sayang yang sepenuhnya. Ia akan membelai rambut indahnya dan mengusap jemari-jemarinya yang halus, dan akan menggandengnya serta merangkul pundaknya jika sedang berjalan berdua.
        Sore itu, Agoy meninggalkan rumah sakit. Perasaannya pada gadis itu terus saja membara dan bergejolak. Walau Rhaissa telah resmi menerimanya sebagai kekasih namun tetap saja membuat perasaannya tidak menentu. Dan setiap saat dan setiap waktu luang ia menyempatkan untuk meneleponnya dan menemaninya di rumah sakit hingga Rhaissa di izinkan pulang.

        Dua bulan mendatang Rhaissa akan mengadakan konser tunggalknya. Waktunya akan tersita di tempat latihan sampai tiga jam bahkan empat jam setiap harinya. Konser itu akan melibatkan banyak orang dan Rhaiss ingin semuanya terlihat maksimal. Harus ia akui kalau kehadiran Agoy membuat hatinya berbunga dan menambah semangat hidupnya semakin terpacu. Dan bila surat misterius itu datang lagi ia langsung gelisah. Ia tidak ingin mengatakan kalau itu adalah surat kaleng, walau kenyataannya itu adalah sejenis surat kaleng. Karena tanpa nama dan alamat sang pengirim. Seperti sekarang ini….
       
        ‘Angel, aku adalah manusia yang paling merasa bahagia setelah mengetahui kamu sembuh.
        Mungkin bunga ku saat itu sampai ke tangan kamu. Itu adalah bunga pertama ku untuk seo-
        rang gadis, semoga kamu menyukainya.
             Angel, pernahkah kamu berpikir sedikit saja tentang aku? Seandainya pernah maka alangkah
        beruntungnya aku.
        Pabila tidak pernah maka jangan pernah aku mengetahuinya. Sebab kamu sudah ada di dalam
        napas ku.
             Pabila aku pejamkan mata, maka wajah mu lah terakhir yang aku lihat.
        Pabila aku bangun maka wajah mu pula pertama kali yang muncul. My Angel.. apa yang harus
        aku lakukan? Bagaimana aku harus menghentikan semua ini?
             Terkadang hati ini berkata, alangkah kerdilnya diri ini, mencintai kamu, mengagumi kamu,
        Memuja mu dan terus memikirkan kamu. Tapi aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghenti-
        kannya, walau aku sangat ingin. Keyakinan itu terus tumbuh dan tak terbilang sebesar apa seka-
        rang. Pabila hujan turun maka sebanyak tetesan itulah rasanya. Pabila ada bintang di langit,
        dan terlihat semua maka seanyak itulah rasanya di hati ku. Dan apabila aku bernapas maka se-
        perti udara itulah aku membutuhkan kamu. Mata ini hanya ingin melihat kamu dan bibir ini ha-
        nya ingin menyebut nama kamu, kamu dan terus nama kamu…’

        Rhaissa dan Agoy sedang sedang ngobrol di ruang tamu apartemen Agoy, pembantu Agoy sedang bersih-bersih di dalam. Ia sudah menghilang setelah menyediakan minuman untuk tamu majikannnya tadi. Sebelumnya ia kaget setelah melihat kalau tamu majikannya adalah seorang artis yang sangat terkenal di negeri ini. Ia pun berpikir, dia itu siapanya majikannya, Pacar atau sekedar teman bisnis? Tapi ia tidak berani berpikir terlalu jauh.
        Agoy tidak merasa malu sedikit pun mengajak Rhaissa bertandang ke apartemennya, bukan karena apartemen itu mewah atau sejenisnya. Kemewahan apartemen itu sedikit memperlihatkan keanehan, tidak ada satu pun kursi yang terlihat. Rhaissa sempat bingung di mana harus duduk. Karena di mana-mana hanya terlihat karpet dan bantai duduk yang besar. Yang biasanya di pakai untuk santai di ruang istirahat atau ruang keluarga, teman untuk menonton televisi atau sejenisnya. Dan saat Agoy mengajaknya untuk duduk di bawah, ia tidak punya pilihan lain. Dan ternyata enak sekali, terkesan nyaman dan santai. Setelah beberapa menit ia menyadari kenapa Agoy mendekor apartemennya separti itu.
        Agoy menatap Rhaissa yang bersandar di bantai besar itu. Ia merasa inilah saatnya untuk mengatakan sesuatu yang ia simpan selama ini. Gadis itu harus tahu kalau dia sangat serius dengan hubungan ini.
        “Rhaissa, aku masih perlu bertanya sekali lagi sama kamu. Bagaimana perasaan kamu sama aku?” katanya sembari menatap lembut ke wajah gadis itu dan serius.
        “Apa yang harus aku katakana? Bagaimana aku mengatakannya sama kamu? Jika kamu tanya apa aku peduli sama kamu? Aku peduli. Aku sering memikirkan kamu, terkadang berharap dapat duduk seperti ini berjam-jam, tetapi kamu juga harus tahu, bahwa ada orang lain yang juga sering terpikir oleh ku.” Tutur Rhaissa untuk jujur. Agoy memejamkan matanya. Ia sadar kalau Rhaissa tak bisa ia miliki seutuhnya. Rhaissa meneruskan. ”Dia seseorang yang juga sering meresahkan aku, aku juga tidak tahu perasaan apa yang mulai tumbuh di hati ku untuknya. Mungkin aku hanya bisa bilang kalau perasaan itu sama persis dengan perasaan aku ke kamu. Aku… aku hanya ingi kamu mengerti saja tentang kondisi ini.” Rhaissa terhenti sejenak. Ia tidak tahu bagaimana perasaan Agoy setelah mendengar pengakuannya. Namun sepertinya Agoy tidak bereaksi apa-apa. Rhaissa mendesah. Ia berbicara lagi.”Dua bulan lagi aku akan mengadakan konser tunggal dan sebelum itu kakak ku akan menikah. Aku bahagia dengan pernikahannya meski itu adalah kenyataan yang harus aku hadapi kalau dia tidak akan bisa lagi bersama ku sepanjang hari.” Ia bicara seakan mengeluarkan perasaannya sendiri. Agoy mulai tersenyum. Ia kenal baik dengan kak Dina yang sangat menyayangi Rhaissa. Ia bisa memahami perasaan gadis itu dengan baik.
        “Dia sangat menyayangi kamu, tetapi aku sangat yakin kalau perasaan sayang ku terhadap kamu melebihi rasa sayangnya. Aku yakin itu, dengan tidak bermaksud menyepelekan kasih sayangnya.” Rhaissa Cuma tertsenyum, ia tahu tanpa di bilang pun ia tahu kalau kata-kata itu tidak mengada-ada. Ia tahu Agoy tulus mengatakan itu. Ia membenarkan kalau ada orang bilang bahwa cinta itu tidak mesti di ungkapkan dengan kata-kata, karena cinta itu bisa di rasakan, bisa di lihat dan ada getaran bersama kehadirannya serta ada debaran. Dan Rhaissa yakin kalau ia memiliki getaran itu bersama Agoy. Dan pria misterius itu? Getaran aneh itu selalu muncul jika suratnya datang dan puisi-puisinya itu membuatnya merasa ada yang lain di hatinya yang paling dalam jika sudah membacanya. Ya namanya juga orang misterius maka cara jatuh cintanya pun ikut misterius. Ia yakin suatu hari akan bertemu dengan pria itu.
        Agoy memperlihatkan foto-foto kedua orang tuanya kepada Rhaissa. Ia terlihat sangat membanggakan mereka. Rhaissa tahu betapa berartinya mereka untuk Agoy.
        “Mama kamu cantik sekali.” Komentar Rhaissa spontan.
        Agoy tersenyum. ”Papa ku juga cakep, kan?” pria yang terlihat di foto itu memang benar seperti yang di bilang Agoy. Rhaissa mengangguk. Tanpa ragu-ragu Agoy pun menceritakan semuanya tentang dia dan keluarganya. Tentang masa kecilnya dan tentang teman-temannya. ”Sendainya orang tua ku tahu kalau aku memiliki pacar seperti kamu, mereka pasti sangat bahagia. Bagaimana menurut kamu?”
        “Kamu sudah bercerita begitu banyak, sementara aku?”
        “Aku sudah tahu semua tentang keluarga kamu.” Ia sudah mengikuti begitu banyak tentang karir
Rhiassa dan keluarga yang begitu mendukungnya. ”Semua menyayangi kamu, keluarga yang harmonis, dan sangat berbeda dengan aku yang di lahirkan sendiri di dalam keluarga. Aku tidak punya adik dan kakak namun aku punya orang tua yang sangat hebat di dunia ini.” Ia kembali memuji kedua orang tuanya. Rhaissa jadi penasaran dengan orang tua yang hebat itu. Tapi ia suka cara Agoy menyayangi kedua orang tuanya. Agoy sangat terbuka, jujur dan bicara apa adanya. Ia juga baik dan penyayang.
        “Agoy… kamu begitu jujur. Terima kasih karena sudah mempercayai aku. Kini aku tahu kalau Agoy adalah hanya panggilan di keluarga kamu. Arron Gautama ternyata nama panjang kamu. Dua-duanya aku suka.’Gautama’ itu nama salah satu pemilik hotel berbintang lima itu, kan? Apa kau menyukai perkerjaan mu?” kata Rhaissa tak bermaksud terlalu mendikte.
        “Sangat.” Jawab Agoy cepat.
        “Memang seharusnya begitu, pabila seseorang mencintai pekerjaannya maka dia akan sukses.” Rhaissa menggerakkan posisi duduknya. ”Aku boleh ke kamar kcil?”
        “O, ya. Di sana. Di sebelah kiri dapur.”
        “Terima kasih.” Rhaissa beranjak dan melangkah ke belakang menuju dapur. Sebelum menemukan kamar mandi Rhaissa bertemu dengan pembantu rumah. Sepertinya ia bersiap-siap untuk pulang. ”Maaf, saya hendak ke kamar kecil.”
        “O.. ya terus aja, pintu ke dua dari sini.” Wanita itu menunjuk dan amplop ada di tangan kirinya. Rhaissa tidak tahu kenapa ia ingin sekali mengetahui amplop di tangan wanita itu.
        “Maaf, mbak. Boleh saya tahu apa yang mba pegang itu?”
        “O.” wanita itu melirik amplop di tangannya. ”Ini surat,  majikan saya meminta saya mengeposkannya. Ini, liat aja.” Ia memberi kan amplop itu. Rhaissa mengambilnya. Dan saat melihat nama Angel di amplop itu, badannya langsung terasa gemetar, dan bumi seperti gelap. Debaran tak menentu menghantam dadanya. Ada rasa senang, sedih dan kecewa bercampur aduk di dadanya. Alamat di amplop itu akan menuju rumahnya.
        “Maksud mbak, surat ini untuk seseorang?”
        “Iya, nama cewek itu Angel dan saya yang selalu mengirimkan surat itu.”
        “Selalu?”
        “Ya.”
        “Mbak tahu, Angel itu siapa?”
        ‘Waduh, jangan-jangan wanita ini sedang cemburu berat dengan Angel itu?’ batinnya.
        “Mm.. tidak. Tapi saya yakin dia bukan siapa-siapanya majikan saya.” Ia berusaha membela Agoy. Meski ia sendiri tidak tahu itu surat yang ke berapa kalinya yang akan ia pos-kan.
        “Mm, bagaimana kalau surat yang satu ini, biar saya yang posin? Saya jamin pasti sampai ke tangan Angel. Aku mohon…”
        “Gimana ya?” tapi sepertinya ia sangat percaya dengan artis muda itu dan tidak mungkin akan membohonginya. ”Selama ini tidak ada yang tahu kalau saya yang mengirim surat ini, apalagi sampai memperlihatkannya pada seseorang. Mungkin saya akan di pecat. Sebab kata majikan saya itu sangat rahasia. Tapi sekarang amplop itu sudah ada di tangan anda.”
        “Tadi kan saya sudah bilang. Saya jamin.” Rhaissa coba membuka keberanian wanita itu. Dan wanita itu tidak berani berpikir lagi. Ia memberikan pada Rhaissa untuk membawanya ke kantor pos. apalagi Rhaissa bilang kalau dia pulang akan melewati kantor pos. akhirnya wanita itu pulang karena pekerjaannya sudah selesai sebelum tengah hari. Tinggal Rhaissa yang menghela napas panjang. Hingga tanpa ia sadari tangannya telah membuka pintu yang ada di sampingnya. Pintu itu terbuka sedikit dan tentu saja itu bukan pintu kamar mandi dan ternyata itu adalah kamar rahasia Agoy. Di mana selama ini pembantunya pun tidak di izinkan untuk masuk. Rhaissa terkesimak saat melihat seisi ruangan yang cukup luas itu. Semua terisi foto-foto dan poster Rhaissa. Sedikit demi sedikit kakinya melangkah masuk. Di dinding ada tulisan yang cukup besar, ’My Angel’ dengan warna hijau muda dan coklat. Ruangan itu di alasi dengan karpet coklat muda dan ada banyak alat elektronik di dalamnya. Seperangkat home teather terpasang dan kumpulan CD dan DVD tersusun rapih. Semuanya tentang Rhaissa dan berbagai majalah yang memuat profile Rhaissa pun ada banyak di atas meja. Gadis itu menghela napas lagi. Surat tadi sudah ia kantongi. Ia akan ke kamar mandi sebentar seperti keinginan pertamanya. Setelah itu ia akan bilang sama Agoy kalau ia ingin segera pulang. Pria itu pasti tidak keberatan. Kalau pun dia melihat ada perubahan di wajah Rhaissa, ia tidak akan peduli. Karena ia sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang.
        Pria pengirim puisi itu memang telah membuatnya jatuh cinta, dan setelah tahu siapa sebenarnya pria itu ia malah tidak tahu bagaimana perasaannya. Apakah perasaan itu masih sama? Seperti perasannya sama Agoy, yang kini menjadi agak berbeda. Waktu Agoy mengantarnya pulang, di mobil ia berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Tapi sebenarnya ia merasa sangat gugup. Penasaran ia dengan perasaan pria yang di sampingnya itu. Pria yang tak pernah ia bayangkan ternyata orang yang sama, mengirim surat, puisi dan setangkai mawar di rumah sakit. Tadinya ia membayangkan kalau pengirim puisi itu adalah pria yang romantis, penuh cinta dan mengagumkan melebihi siapapun. Ternyata dia adalah Agoy, cowok pendiam, cool dan matanya memang penuh dengan kemilau cinta yang menyilaukan mata Rhaissa. Rhaissa mendesah bimbang. Memaksa Agoy menoleh.
        “Ada apa? Sepertinya kamu terlihat gelisah dan itu meresahkan aku.”
        “Meresahkan kamu? Kata-kata yang indah laksana puisi. Oh ya, Goy…. Apa kamu menyukai puisi?” kata Rhaissa pelan namun bisa membuat Agoy seperti tercekat. Ia menatap Rhaissa sejenak lalu ke depan lagi. Rhaissa sebenarnya berharap Agoy lebih jujur. Tadinya ia pikir Agoy adalah pria yang sudah begitu jujur untuk dirinya. ”Goy, kamu selama ini sudah jujur sama aku, rasanya tidak adil jika kamu saja yang jujur. Aku juga ingin lebih jujur lagi tentang perasaan ku yang sebenarnya. Aku sebenarnya menyukai seseorang, aku tidak tahu di mana dia dan bahkan tidak kenal dengannya. Sama sekali aku tidak tahu tentang dia. Dia selalu mengirimi aku puisi…” Rhaissa diam seperti menuggu reaksi Agoy. Tapi sepertinya Agoy masih menunggu kelanjutan kata-kata Rhaissa. Dan benar, Rhaissa melanjukan lagi ucapannya. ”Pertama aku menganggap puisi itu hanya kekaguman biasa seorang fans. Tapi lama-lama terus mengalir dan sepertinya aku merasa sedikit terganggu. Karena si pengirim tidak mencantumkan nama dan alamatnya. Lambat laun aku coba tidak peduli dengan pengirimnya dan anehnya aku menjadi selalu berharap puisi-puisinya datang. Aku terus membaca puisinya, dan lama-lama aku menjadi sering kangen dengannya. Jika ia tidak mengirimkan puisinya aku sering di hinggapi rasa takut, takut ia melupakan aku. Aku cemas dan selalu berharap. Kalau rasa seperti itu bisa di namakan cinta, maka aku rasa aku telah jatuh cinta dengannya. Dan yang ingin aku katakan pada kamu adalah, perasaan itu sama yang aku rasakan sama kamu. Apa kamu kecewa? Karena seorang wanita yang kamu cintai jatuh cinta dengan dua orang sekaligus?” Rhaissa berharap Agoy memperlihatkan wajah ceria karena Rhaissa mencintai keduanya, juga menyukai puisinya. Dan kedua orang itu adalah dirinya. namun pria itu tetap diam, dan yang Rhaissa dapat adalah wajah itu terlihat bingung, merasa berdosa dan menyesal.
        “Rhaissa, aku tidak tahu bagaimana perasaan ku setelah mendengar cerita kamu. Mungkin juga tidak semua orang bisa jujur meskipun ia sangat ingin. Mungkin ia malu, takut atau apapun namanya, setiap orang pasti punya alasannya sendiri, kan?”
        “Kenapa kamu berkata seperti itu?”
        “Ya, barangkali pengagum kamu itu, termasuk yang seperti itu.”
        “Mungkin juga, tapi yang pasti aku ingin sekali segera tahu alasannya. Karean selama ini ia membuat aku nyaris gila.” Kata Rhaissa dengan nada gemas. Agoy tertawa. ”Kenapa? kamu cemburu ya? Coba saja seandainya kamu suka puisi.”
        “Puisi? Tentu saja aku suka puisi.”
        “Kau mau buatkan satu untuk ku?”
        “Tentu.” Katanya pendek. Rhaissa menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. ”Hei.. apa kau meragukan ku?”
        “Nggak, hanya saja kok kamu jadi serius begitu. Aku kan hanya bercanda.”
        “Aku juga bercanda.” Ujar Agoy akhirnya. Rhaissa tahu kalau pria itu serius. Dan ia pun serius.
        “Agoy… seandainya aku tahu pria itu, bagaimana perasaan kamu? Dan apakah setelah bertemu dengan aku, pria itu tidak berubah dan masih seperti puisi-puisinya? Aku tidak sabar. Kalau mau, dia pasti bisa langsung menemui aku, kan? Dulu kak Dina bilang kalau pria itu tidak gentleman. Tapi aku tidak berpendapat seperti itu. Karena setiap puisinya datang, aku selalu lemah, detik itu pula aku berharap ia muncul di hadapan ku dan dengar bibirnya mengungkapkan perasaannya pada ku. Telinga ku ini ingin mendengar langsung darinya. Dan aku yakin itu pasti akan lebih indah dari tulisan puisi-puisi itu.”
        Mendengar itu membuat Agoy mengerem mendadak. Orang di belakangnya mengumpat karena hampir saja menabrak mobil Agoy.
        “Kenapa Goy?” Rhaissa panik. ”Apa kata-kata ku telah menyinggung perasaan kamu”
        “Tidak. Tadi tiba-tiba saja aku melihat ada orang menyeberang di depan.” Ia menarik napas sejenak lalu baru menoleh ke arah Rhaissa. Dan Agoy telah berdusta.
        “Aku kira kamu marah.” Dia tahu kalau tidak ada siapa-siapa yang menyeberang tadi. ”Tapi kalau kamu tidak suka aku membicarakan tentang pria itu maka aku tidak akan membicarakannya lagi. Aku janji.”
        “Nggak, aku nggak apa-apa kok.” Agoy mulai tenang lagi.
        “Aku harap juga begitu.” Ia pun mulai tenang, namun tak bisa ia pungkiri kalau perasaannya masih berkecamuk. Agoy menyetir lagi, mengantar Rhaissa sampai ke rumahnya. Agoy merasakan ada yang tidak beres, ia merasa Rhaissa seakan ingin mengetesnya atau menjebaknya. Mungkin ia masih ragu dengan perasaannya sendiri. Dia mulai di hinggapi rasa takut akan kehilangan gadis itu.
        Tiba di rumah, Rhaissa langsung mengeluarkan amplop dari kantong celananya. Surat dari Agoy untuk Angel yang ia terima dari pembantu Agoy.

        ‘Angel…, ini mungkin surat dan puisi terakhir dari aku,
        Pertama hanya kata maaf yang hanya ingin aku katakan sama kamu. Aku tahu, kalau selama ini
        aku adalah cowok pecundang, yang tidak bisa berbuat apa-apa, Cuma bersembunyi di balik pu-
        isi-puisi konyol itu yang tidak bermanfaat buat kamu. Namun aku hanya ingin kamu tahu, bahwa
        sebelum menulis puisi itu aku tidak pernah mengada-ngada. Semuanya keluar begitu saja dari
        dalam hati ku yang paling dalam.
             Angel…aku tidak ingin kamu menganggap aku munafik, maka di surat terakhir ini aku ingin
        mengatakan ribaun maaf… karena aku adalah Agoy. Pria yang beberapa bulan ini kamu kenal.
        Maafkan aku ya, aku mohon…
        pabila perlu, aku bisa bersyujud di hadapan kamu.
        Pabila kamu tidak bisa memaafkan aku, maka apa yang bisa aku lakukan?
        Pabila kamu berpaling, maka terhempaslah diriku.
        Pabila kamu membenci ku, maka terhenti sudah harap ku.
        Pabila kamu memaafkan aku, maka tenanglah dunia ku.
        Pabila kamu memberi ku harapan maka terbitlah matahari ku.
             Segala cinta untuk kamu, debaran di dada karena kamu. Setiap langkah ingin menuju kamu.
        Segala mimpi tentang kamu, kestiaan pun hanya untuk kamu.’
        
        Rhaissa melipat surat itu. Ia menghempaskan diri di atas tempat tidur, ia kecewa. Ingatannya kembali ke kamar rahasia Agoy. Di sana semua tentang dirinya ada. Memang ada sedikit kebanggaan dari relung hatinya. Karena Agoy menyimpan semua tentang dirinya. Selama ini Agoy menyembunyikan identitas pria misterius itu. Dan waktu di rumah sakit, ia bisa bersikap biasa-biasa saja. Dan puisi-puisi Agoy mengatakan kalau dirinya adalah wanita yang tak tersentuh. Agoy memang memujanya. Agoy mampu membuatnya merasa melayang. Memujanya begitu tinggi. Rhaissa pun merasa malu dan takut Agoy menganggapnya begitu sempurna. Rhaissa pun berguman di dalam hatinya..
       
        ‘Ada cinta di sini, pernah hadir untuk kamu. Namun saat ini ada kegundahan terasa, karena kau membuat aku bimbang. TULUSKAH, CINTA MU? Aku tidak ingin kekaguman kamu sebatas aku seba
gai seorang penyanyi, aku ingin kamu tahu, bahwa aku masih banyak memiliki kekurangan. Aku ingin kamu menyukai aku sebagai Rhaissa, bukan yang lain. Bisakah??’

        Rhaissa harus konsentrasi dengan persiapan konsernya. Sementara kak Dina sibuk dengan selingan persiapan pernikahannya. Semua sibuk dan Rhaissa benar-benar tidak bisa di ganggu. Segala urusan di serahkan pada Ririn dan sekretarisnya. Sebuah infotainment meliput persiapan itu. Dan Agoy sempat melihat hasil liputan itu di layar kaca. Akhir-akhir ini ia sulit menemui gadis itu, setiap dia datang ke rumah Rhaissa tidak pernah ada. Dan di luar pun ia selalu bekerja, Agoy tidak tahu apakah gadis itu mencoba menghindarinya atau memang benar-benar sibuk dan tidak mau di temani. Seandainya Rhaissa ternyata coba menjauhinya mungkin itu pantas ia terima karena dia sendiri sudah berlaku tidak jujur.
        Di layar televisi, Rhaissa tersenyum saat wantawan menanyakan tentang kedekatannya pada seseorang akhir-akhir ini.
        “Saya tidak bisa bicara apa pun untuk saat ini, karena cinta dan seseorang akan tiba bila saatnya telah datang.”
        “Dengar-dengar, dia seorang pengusaha perhotelan…?”
        “Oya, anda menebak atau bertanya? Nanti orangnya marah lagi.” Kata Rhaissa di tengah senyumnya. ”Yang pasti orangnya seorang yang sangat puitis.”
        “Apa dia pernah menulis sebuah puisi untuk anda?”
        “Itu rahasia, saya tidak ingin membahasnya di sini. Saat ini saya hanya fokus pada konser ini. Saya tidak bisa membagikan pikiran saya untuk hal yang lain dulu, terima kasih ya.” Rhaissa mengakhiri pembicarannya dengan wartawan itu.
        Agoy menghela napas dalam-dalam. Mencintai seorang penyanyi terkenal seperti Rhaissa, membutuhkan pengertian seratus persen, berjiwa besar dan benar-benar harus tulus. Karena ketulusan akan membuat semuanya menjadi mudah, tetapi apakah sesimpel itu? Jika rindu mengganggunya maka Agoy hanya bisa berdiam diri di dalam kamarnya. Di temani oleh semua tentang Rhaissa, menonton klip-klip lagunya dan terus menuliskan puisi, namun tidak untuk di kirim lagi. Semua itu ia baca sendiri. Sebab ia telah mengirimkan puisi terakhir bersama pengakuannya. Ia tidak tahu, apakah gadis itu memaafkannya. Dua hari yang lalu seseorang mengantarkan undangan pernikahan kak Dina untuk Agoy, Arron Gautama. Mungkin manager Rhaissa yang ingat makanya undangan itu bisa sampai.
        Namun bila Rhaissa yang kangen sama Agoy, tak ada yang bisa ia lakukan. Terkadang ia ingin menghubungi Agoy. Namun perasaannya mengatakan kalau dia sedang menghubungi seorang penggemar, bukan pacar. Itu kenyataan yang sangat pahit. Jika ada yang mencintainya sebagai Rhaissa maka itulah kebahagiaan tersendiri. Bukan kecintaan seorang penggemar kepada sang idola. Sebenarnya tidak ada bedanya, yang menjadi pertanyaan, tuluskah cinta itu?
        Di saat acara resepsi pernikahan Dina. Rhaissa terlihat akrab berbincang dengan pria bule, sebelumnya ia tidak pernah terlihat akrab dengan pria mana pun. Bukannya ia anti dengan pria, namun ia takut jika sampai menyakiti perasaan seorang pria. Ia pun tidak pernah menyebut siapa pria yang sedang dekat dengannya dan tidak ingin mengekposnya andai pun ada. Karena sang belahan jiwa adanya di hati. Mereka akan istimewa di dalam sana. Beberapa wartawan mengabadikan gambar Rhaissa dengan bule itu. Apakah ada yang istimewa? Pria bule itu memang mengaguminya. Terlihat caranya menatap Rhaissa. Mereka duduk berseberangan di meja yang tidak begitu jauh dari pengantin. Rhaissa terlihat bahagia, karena acara pernikahan kakaknya berjalan dengan lancar. Semua keluarganya pun terlihat berbahagia. Seperti reuni keluarga besar, sanak saudaranya pun berkumpul. Tapi kalau ia mau jujur, Rhaissa merasa ada yang hilang di hatinya. Selama ini kak Dina begitu dekat dengannya, menyayanginya dan kini ada orang lain bersamanya dan akan membawanya pergi jauh.
        ‘Aku bisa menyayangi kamu melebihi kak Dina.’ Kata-kata itu tiba-tiba terngiang di telinganya. Agoy, pria itu belum datang. ’Apakah dia tidak akan datang?’ Rhaissa bertanya dalam hati. Beberapa menit kemudian Rhaissa melihat mobil Agoy berhenti di parkiran samping. Ia bangkit dari kursi bermaksud menyambut pria itu namun urung karena detik itu pula seorang wanita keluar dari mobil itu dan menggandeng Agoy. Jantung Rhaissa terasa terhempas. Ia terluka, tega sekali pria itu membawa wanita lain di tengah-tengah keluarganya. Rhaissa merasa bahwa dirinya begitu bodoh, terlena dengan cinta dan harapan membuat dirinya buta.
        Agoy dan wanita itu terlihat serasi, wartawan pun mengambil gambar kedua pasangan itu. mereka menghampiri pengantin dan memberi ucapan selamat. Rhaissa memandang pasangan itu cukup lama. Belum pernah ia merasakan rasa sakit yang seperti ini. Seperti ada tombak yang menghujam jantungnya. Ia membayangkan puisi apa yang di tulis Agoy untuk gadis itu. Persetan!!! Ia memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu sebelum Agoy sempat melihatnya. Ia pamit dengan bule itu. Dia tidak ingin menangis, dia harus membujuk hatinya dan harus bisa mengendalikan perasaannya. Bodoh kalau sampai menangis. Batinnya.
        Setelah acara selesai, kak Dina mencari adiknya itu. Ke mana adik kesayangannya itu. Ia tahu adiknya sedang gelisah dan ia pun tahu tempatnya kalau ia sedang gundah. Ia ke kamar Rhaissa.
        “Hai honey… apa kamu tidak melihat Agoy?” katanya setelah menemukan Rhaissa. ”Kamu cemburu ya? Tadi dia mencari-cari kamu lho.” Ia menggoda adiknya. Ia semakin mendekati Rhaissa yang sedang duduk di sofanya. ”Tuh, coba lihat wajah kamu di dalam cermin itu.”
        “Ah kakak, ngapaiin sih bicara seperti itu? Sebentar lagi kakak akan meninggalkan rumah ini, hanya itu yang aku pikirkan.”
Kak Dina duduk di sebelah adiknya. Kata-kata itu memang ada benarnya. Ia mendesah panjang.
        “Kamu benar Ais… tapi kita tidak akan terpisah, dengan peristiwa ini kakak benar-benar yakin kalau kakak benar-benar menyayangi kamu. Dan kamu juga harus yakin kalau ada seorang pria yang begitu menyayangi kamu melebihi apa pun dari dunia ini. Dia akan menjadi milik kamu, percaya sama kakak. Kamu jangan cemburu begitu dong sayang… wanita yang bersamanya tadi adalah adik sepupunya. Kamu harus janji tidak boleh banyak pikiran, beberapa minggu lagi konser kamu akan di gelar lho.” Ia membujuk adiknya. ”Kakak tidak ingin melihat kamu seperti ini lagi, kamu tahu kan kakak tidak suka melihat kamu bersedih?” katanya lagi. Rhaissa tersenyum. Ia tahu kalau kak Dina mengetahui apa pun yang belum ia ketahui.

        Hari ini, Rhaissa pulang latihan hampir jam enam sore dan jam tujuh malamnya Agoy menemuinya di rumah. Mereka tidak pergi ke mana-mana, hanya ngobrol di rumah. Di ruang tamu itu mereka bisa berbicara dengan leluasa. Keluarga Rhaissa mempercayai Agoy. Ayah dan Ibu Rhaissa juga sudah sangat mengenali Agoy. Namun begitu Agoy masih saja terlihat gugup.
        “Kamu kok gugup begitu sih?” Rhaissa penasaran. Karena Agoy berkali-kali terlihat gelisah.
        “Mungkin karena aku merasa sangat bersalah pada mu selama ini, maafkan aku ya, Rhaissa”
        “Angel… bukankah itu nama yang kamu suka?” Rhaissa tersenyum, membuat Agoy ikut tersenyum. Ia terlihat mengembangkan senyumnya sangat indah.
        “Itu bukan nama kamu, tapi itu milik ku. Untuk itu juga aku minta maaf.” Agoy turun dari kursinya dan jongkok di hadapan Rhaissa.
        “Hei, apa-apaan kamu?” ia melirik ke ruang belakang, kawatir kalau-kalau ada yang melihat sikap Agoy. Mulut Agoy terbuka tanpa suara. ’Maafkan aku…’ desihnya. ”Cepat pindah ke kursi, aku tidak suka kamu seperti ini.” Rhaissa memaksanya. Agoy pindah. ”Kenapa kamu merasa begitu bersaalah? Aku akan menganggap itu suatu kesalahan jika kamu sengaja melakukannya dan mengulangnya lagi.”
        “Aku akan melakukan apa saja yang kamu inginkan, Angel.” Katanya dengan nada senang. Ia tahu kalau Rhaissa sudah memaafkannya. Dia tidak ingin mengemis jika Rhaissa tidak ingin memaafkannya, karena sikap seperti itu akan merendahkan arti cinta itu sendiri. Beberapa saat keduanya terdiam, tak ada yang bicara karena hati keduanya sedang bergejolak indah. Agoy menatap mata Rhaissa beberapa detik, mata itu begitu indah.
        “Hei, jangan pandangi aku seperti itu. Di minum tehnya.” Rhaissa melirik teh yang di atas meja. Ia sendiri tidak sanggup di lihat terus oleh Agoy. Agoy tidak tahu kalau hati Rhaissa seperti mau melompat-lompat kegirangan. Sang Mister misterius itu sudah tidak ada lagi, kini di hatinya hanya ada Agoy, Agoy yang ia cintai.
        “Hmmhh… aku tidak tahu kenapa aku seperti ini setiap kali bersama kamu. Kamu membuat aku merinding, bahkan jantung ku berdebar-debar tidak menentu. Aku…  Angel, menikahlah dengan ku.”
        “Apa???” ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
        “O, maafkan aku. Aku ini sudah gila, tapi aku serius, sangat serius….”
Rhaissa mengamati pria itu, ia tahu ucapan itu serius dan ia tidak perlu lagi mencari kebenaran di mata Agoy. Namun yang ia temukan adalah dirinya yang tenggelam di dalam sana. Ia tidak bisa lari dari kedalaman cinta Agoy. Pria itu menginginkannya sama seperti ia menginginkan Agoy. Tapi ia malah menggeleng-geleng pelan.
        “Kamu membuat aku tidak mengenali diri ku sendiri, tapi ketahuilah, bahwa kamu tidak mengenali diri ku sebaik aku. Yang kamu lihat selama ini adalah sosok Rhaissa yang ada di atas panggung. Bukan keseharian ku, bukan juga kekurangan ku. Aku tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari.”
        “Apa menurut kamu manusia di dunia ini dilahirkan sempurna? Aku mencintai kamu, ingin memiliki kamu dan ingin hidup bersama kamu sampai aku mati.”
        “Jangan bicara seperti itu, aku mungkin memiliki perasaan yang sama seperti kamu… namun bedanya… dunia kita sangat berbeda jauh.”
        “Aku tahu.” Agoy buru-buru memotong. ”Aku bisa menerimanya.”
        “Kamu belum mengerti, ini sangat berbeda. Bisa di hitung berapa hari aku berada di rumah. Hari-hari ku nyaris delapan puluh persen ada di luar. Kamu tidak akan tahan hidup dengan wanita seperti aku. Mengertilah.”
        “Harus bagaimana? Apa aku terus mengirimi kamu puisi-puisi dan tetap hidup seperti ini? Hidup di dalam dunia khayal ku? Aku mengerti ketakutan mu itu, kita akan menghadapinya bersama, oke.”
        “Aku tidak tahu dan aku tidak menduga kalau malam ini kamu akan membahas masalah ini. Aku sebenarnya tidak mau hubungan kita terlalu biru-buru. Kita akan menjajaki dulu, itu lebih baik, kan?”
Agoy mengangguk. Itu tidak masalah baginya, ia tahu Rhaissa masih meragukan keseriusannya. Itu wajar, dan Agoy tidak mau adanya pertunangan. Dia tidak mau ada beban di dalam hubungan mereka. Siapa tahu Rhaissa bisa tertarik dengan pria lain dan tak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi pula pada dirinya. Karena apa pun bisa saja terjadi di kemudian hari.

        Sehari sebelum Rhaissa mengadakan konsernya, Agoy menemui kedua orang tua Rhaissa tanpa sepengatahuan anaknya. Agoy melamar Rhaissa kepada kedua orang tua itu. Dia ingin membuktikan ketulusan dan keseriusannya dengan Rhaissa.
        “Semua keputusan mutlak ada di tangan Rhaissa.” Kata Ayah Rhaissa tanpa bermaksud mengambil alih dan ia berkata sepenuhnya sebagai Ayah yang tidak bisa mengambil keputusan sepihak. Karena kebahagian anaknya ada di tangan anaknya sendiri dan ia tidak pernah membeda-bedakan anaknya.
        “Apa kamu pernah membicarakan hal ini kepada Ais?” Ibu Rhaissa bertanya.
        “Ais..??” Agoy tidak mengerti.
        “Maksud Ibu, Rhaissa. Maaf, kami sering memanggilnya seperti itu.”
        “Oo…” Agoy tersenyum. Itu pasti panggilan sayang Rhaissa di dalam keluarganya. “Ya, tapi dia
Masih menragukan saya. Meragukan kalau dunia kami tidak bisa menyatu. Itu pemikiran yang sangat wajar, ia khawatir kalau setelah menikah ia akan sering meninggalkan saya. Baik keluar kota atau pun ke luar negri. Tapi saya rasa itu bukan intinya.”
        “Ais benar, ia sadar betul dengan dunia yang ia geluti. Apa nanti kamu menginginkan ia berhenti berkarir?”
        “O tidak Bu, sama sekali tidak.”
        “Dia anak yang penurut.” Tambah si Ayah.” Apa pun keputusan kamu nanti jika itu bisa membuat Ais bahagia tidak masalah bagi kami. Karena kebahagiaanya adalah hal terpenting, dia sudah begitu banyak berkorban untuk keluarga ini. Dia mutiara kami dan anak yang sangat berbakti.” Dari kata-kata itu Agoy sadar kalau keluarga itu tidak akan menyerahkan anaknya pada orang yang benar-benar belum memahami anaknya. Ia tahu selama ini Rhaissa bukan semata-mata milik mereka tapi juga milik publik. Dan dia tidak akan mudah begitu saja melenyapkan imej itu. Dan jika Agoy mengetahui kekurangan Rhaissa maka mereka ingin Agoy tetaplah Agoy seperti saat ini, Agoy yang mencintai Rhaissa apa adanya dia. Dan menjaga Rhaissa sepenuh jiwanya. Sepertinya itu keinginan semua orang tua di dunia ini.
     
          Dan sebelum konser selesai, kedua orang tua Rhaissa tidak ingin menyampaikan dulu berita itu. Mereka akan menunggu besok, ia tidak ingin konsentrasi Rhaissa terbagi. Persiapan dua bulan penuh tidak akan bisa di gagalkan dengan berita yang masih bisa di bicarakan esok.
        Konser di adakan di tempat paling bonafide. Tiket terjual habis, acara di buka dari pukul 20.00-23.00. di iringi oleh musisi terkenal. Penata Make Up dan busana semua jaminan. Penata panggung serta dekorasi tak bisa di ragukan lagi. Mereka sering menggelar acara penyanyi-penyanyi yang di datangkan dari luar negri.
        Penampilan Rhaissa benar-benar memukau, acara itu pun di siar langsung oleh televisi luar. Meski ada banyak penonton dari luar yang datang langsung untuk menyaksikannya dari dekat. Sementara kak Dina menunda acara honeymoonnya hanya ingin menyaksikan hal bersejarah dalam perjalanan karir adiknya. Agoy duduk paling depan, tadinya ia ingin berada di belakang panggung atau di kursi paling belakang, tapi ia berubah pikiran. Dia tidak akan melewatkan sedetik pun penampilan Angelnya, ia akan memberi dukungan penuh. Dan siapa menyangka kalau di panggung Rhaissa ternyata jago menari. O iya, ia kan belajar menari sejak belajar vocal. Makanya ia terlihat lebih lihai menari dari klip-klipnya selama ini. Ia sangat luwes dan mengagumkan meski di irirngi oleh para penari latar. Dan tidak ada satu pun yang tidak puas dengan konser tersebut. Impian Rhaissa mungkin terwujud, selain ingin membuat orang lain senang ia pun merasa puas dengan dirinya dan orang-orang yang mendukungnya malam itu. Semua pendukung sudah bekerja keras dan hasilnya memang memuaskan. Rhaissa telah menuntaskan sebanyak dua belas lagu dari semua hits-nya selama
ini. Kini ia bisa menarik napas lega, kerja kerasnya menuai hasil.
        Tidak ada kerja keras yang sia-sia, jika kita tidak mendapatkan apapun minimal kita akan mendapatkan pengalaman dari kerja keras itu. Sebab pengalaman juga tidak bisa di beli dengan apapun.
        Rhaissa memang sibuk. Minggu depan ia akan berduet dengan artis Malayasia dan membuat dua video klip. Satu di Indonesia dan di Malaysia. Dan akan di wawancarai oleh Majalah hiburan terkenal di negeri itu. Agoy seakan terlupakan dan sepertinya ia akan mengambil sikap, jika ia tidak menikahi Rhaissa di usia 23 tahun maka ia akan menikahinya saat usia 30 tahun. Dan lagi-lagi keberuntungan berada di pihak Agoy. Dan Rhaissa akan menikah dengan Agoy setelah pernikahan Arie, dan saat itu usianya 25 tahun, bukan 23 tahun.
        Rhaissa memang mencintai Agoy, dan berhasrat pada pria itu namun ia ingin semuanya berjalan normal. Tidak ada yang berlebihan, bukan ia takut gossip tapi kehidupan yang normal seperti sebelum
Kenal dengan Agoy. Jika ia tidak ada jodoh dengan Agoy maka tidak ada yang perlu di besar-besarkan di kemudian hari.
        Secara diam-diam Agoy pun mengabarkan tentang Rhaissa pada kedua orang tuanya yang menetap di negeri Paman Sam itu. Atas ide Agoy, mereka pun menyetujui saat Agoy bermaksud membeli rumah di kawasan taman wisata. Orang tuanya senang jika anaknya sudah menemukan pilihan tidak peduli berasal dari negeri mana. Karena bagi orang tua, kebahagian seorang anak adalah di atas segala-galanya. Agoy menjalani kehidupannya seperti sebelumnya, ngantor dan berbisnis, ia tak pernah mempermasalahkan apakah harus bertemu atau tidak dengan Rhaissa. Teman-teman sekantor sering menggodanya. Mereka heran, bagaimana Agoy berpacaran dengan putri yang tak tersentuh itu. Apakah dia tidak pernah kangen? Dan bagaimana kalau mereka bertemu? Apakah hanya pandangan-pandangan saja? Huhh… orang-orang pengen tahu saja urusan orang. Tapi Agoy tidak pernah mau peduli apalagi ambil pusing dengan pendapat orang. Yang ada dia semakin bersemangat untuk bekerja, seolah tidak mengenal lelah. Karena Rhaissa adalah inspirasinya. Napas cintanya.
        Tapi jangan di kira karena sibuk bekerja Rhaissa tidak merindukan Agoy. Karena di setiap break syuting ia selalu mendambakan Agoy. Di tengah keramaian ia menginginkan pria itu. Terkadang ia pernah berharap kalau Agoy ikut membintangi klipnya. Ia merindukan tatapan penuh cinta dari pria itu, ia kangen wajahnya meski fotonya selalu muncul di ponselnya. Ia berharap pria itu datang dan melepaskan rasa rindunya. Berharap puisi-puisi manisnya. Agoy bukan tipe pria yang harus menelepon kekasihnya setiap hari, ia tidak mau di cap sebagai pria protrektif atau posesif terhadap Rhaissa. Dan ia akan datang bila rindunya tak terbendung lagi. Dia ingin hidupnya terkontrol oleh keadaan. Ia tidak ingin cinta mengontrol dirinya namun dialah yang mengontrol cinta itu. Meski begitu ia ingin berbuat sesuatu untuk cintanya, ia pun ingin memenej dirinya. Dari kecil ia memang sudah di ajarkan untuk mandiri dan bertanggungjawab dengan lingkungan dan dirinya sendiri. Ayahnya mengajarkan bagaimana menjadi pebisnis sejati dan Ibunya mengatakan bagaimana menghargai seorang wanita, dan memahami karir seorang wanita. Karena itu sangat penting.

        Dari jendela kamarnya Rhaissa memandang langit malam, sepi, ada satu bintang terang tanpa berkedip seperti sedang menatap Rhaissa. Bintang itu begitu jauh namun seakan berbicara pada Rhaissa, ingin membawa Rhaissa naik dan bersanding bersamanya melewati malam, karena esok ia akan menghilang di telan sang matahari. Rhaissa telah sampai di langit ia bersama bintang yang juga kesepian. Ia tak lagi melamun, karena bintang menemaninya. Dan tiba-tiba sang awan kelam datang membungkus bintang, Rhaissa tak bisa lagi melihatnya apalagi berbicara dengannya dan tanpa sadar, air matanya menetes, ada perih kecil yang menggores hatinya. Ia ingin memaki sang awan namun itu bukan kuasanya. Ia tak akan bisa berbuat apa-apa. Tapi sang awan tidak mau egois, ia mengambil bintang dan menghadirkan rembulan untuk Rhaissa. Agar Rhaissa menyadari kalau ia tidak perlu memaki perjalanannya. Semua yang terjadi telah di gariskan oleh sang pengatur alam ini. Dan Rhaissa tidak perlu membenci, sebab cinta tidak di ciptakan untuk membenci. Semua telah ia lewati dengan cinta, menyanyi dengan cinta dan menjalani hidup dengan cinta. Jika hati terlena oleh cinta maka itu merupakan bagian terindah dari hidup, bukanlah siksaan. Lamunan Rhaissa buyar oleh suara deringan telepon di kamarnya. Ia masuk sedikit untuk meraih gagang telpon dan mengangkatnya.
        “Ya…”
        “Ais, ada teman kamu sayang. Mama sudah menyuruhnya ke atas.” Kata Mama dan sebelum ia bertanya, Mama sudah menutup teleponnya. Rhaissa hanya menarik napas dalam-dalam. Jam di dindingnya menunjukkan pukul sembilam malam. Beberapa detik setelah ia menyalakan televisi, tamu itu muncul. Rhaissa mengangkat wajahnya….. kini bukan saja bulan yang menemaninya, bintang terang itu pun muncul lagi. Ia membawa hati Rhaissa yang tertinggal di langit dan memberinya cahaya.
        “Halo… Angel…” ia muncul dengan senyumnya yang paling indah dan mendebarkan Rhaissa.
        “Kamu…?” Rhaissa tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Wajahnya merona indah. Senyum merekah itu mengobati rasa kangen di hati Agoy. ”Aku tidak tahu kenapa Mama mengizinkan kamu untuk naik ke sini.”
        “Karena Mama kamu percaya sama kita.” Ia menghampiri gadis itu.
        “O ya? Tapi tidak berarti kamu bisa masuk ke kamar ku, jangn tersinggung aku bercanda, tapi serius juga sih. Oke.., silahkan duduk.” Ia mengajak Agoy duduk di depan pintu kamarnya di kursi panjang yang menghadap ke luar, di mana Rhaissa bisa menatap langit. Ia memang senang menghabiskan waktu di tempat itu sembari mendengar alunan musik dari dalam kamarnya. Mereka duduk bersandar di temani sang langit yang terang. Lampu-lampu kota menyala di setiap sudut malam.
        “Kamu tidak pernah menulis puisi lagi?”
        “Masih, tapi untuk aku baca sendiri.” Ia menatap kekasihnya. Rhaissa tersenyum dan Agoy menyukai senyum itu.
        “Kenapa tidak kau bagikan untuk aku? Kamu kan tidak perlu repot-repot lagi untuk menyuruh orang mengeposkannya.”
        “Tidak, karena kamu pasti sudah bosan.” Katanya bercanda. Ia tersenyum.
        “Terima kasih ya. Karena kamu telah ke sini malam ini.”
        “Apa aku datang di saat yang tepat? Kenapa kamu tidak menelepon aku?” ia tahu kalau mereka saling merindu. Seorang pembantu rumah membawakan dua gelas minuman dan makanan kecil. Ia meletakannya di atas meja kecil di samping Agoy dan Rhaissa. Rhaissa mengucapkan terima kasih pada wanita empat puluhan itu. Agoy melanjutkan setelah wanita itu turun. ”Tengah malam pun aku akan datang kalau kamu menelepon ku.” Ujar Agoy bersungguh-sungguh. Rhaissa mengangkat wajahnya untuk menatap mata Agoy. Di antara cahaya lampu teras ia mengamati mata kelam itu. Ia memang pria impian, pandai membuat puisi, lembut dan penyayang. Dia pria sejati.
        “Silahkan di minum.”
        “Terima kasih. O ya, kedua orang tua ku akan datang ke sini jika kamu sudah siap.” Katanya sebelum meneguk minuman hangat itu. Rhaissa masih menatapnya.
        “Siap? Untuk apa?”
        “Ya untuk kamu, karena aku ingin menikah dengan mu. Bukankah kita sudah pernah membicarakannya?”
        “Menikah?” suaranya setengah berguman dan tidak percaya. ”Agoy, pernah gak sih terpikir oleh kamu? Seperti apa kehidupan kita setelah menikah? Ada banyak orang bilang kalau kehidupan setelah menikah itu tidak seindah di saat pacaran. Kamu percaya?”
        Agoy menggeleng. ”Karena ada seorang pria pernah berkata, setelah menikah kita akan
menemukan kehidupan yang begitu komplit. Berbagi kasih sayang, memiliki impian yang sama, mempunyai keturunan dan itu katanya melebihi ratusan keindahan dari masa pacaran. Dan itu menakjubkan.” Tutur Agoy. Rhaissa menyunggingkan senyum. Pasti Ayahnya Agoy yang bicara seperti itu.
        “Dan kamu juga harus tahu… bahwa tidak semua impian bisa di capai.”
        “Angel… impian ku ada di tangan kamu. Cuma kamu yang bisa mewujudkannya.”
        “Andai aku tidak bisa?”
        “Angel, I do love you… kamu tahu, Aku tidak akan meminta apa pun lagi jika sudah bersama kamu. Kamu adalah dunia ku, surga ku. Mmm… kamu tahu, mata kamu itu sangat indah dan sering menusuk jantung ku jika rindu melanda ku.”
        “Kamu itu sedang berpuisi… atau sedang merayu aku?” Rhaissa menggerakkan kedua alisnya. Membuat Agoy tertawa. Ia bersandar lagi. Rhaissa terus menatapnya, dan ia tahu kalau Agoy serius. ”Tapi aku suka kata-kata mu, apakah aku ini begitu berarti bagi kamu?” Tanya Rhaissa lagi.
        “Bagaimana aku harus membuktikannya?” kini badanya menghadap ke Rhaissa. Rhaissa terdiam. Agoy memang tidak perlu membuktikan apa-apa, selama ini ia sudah begitu menghargai Rhaissa itu berkat didikan orang tuanya dan cintanya yang tulus untuk Rhaissa. Mana ada seorng pria yang tumbuh dan besar di negeri barat bisa betah pacaran dengan wanita seperti Rhaissa. Yang banyak orang menganggapnya kuno, kalau bukan karena cinta sejati lalu apa namanya. Sedikit pun Agoy tidak berani menyentuh kulit mulus itu. Rhaissa juga tahu kalau cinta Agoy sama dengan cintanya pada pria itu. Namun ia tidak mau menyimpang dari prinsifnya. Ia pun tidak menyesali adat serta budayanya. Semua ada aturannya dan bila saatnya tiba semua pasti berubah. Bukannya ia bersikap sok munafik, bukan pula ia tidak pernah menginginkan pelukan mesra dari pria yang amat ia cintai itu. Dan Agoy tidak pernah meminta sesuatu yang belum menjadi miliknya, itu membuat Rhaissa tambah menyayanginya. Dia jarang bertemu dengan pria seperti itu. Rhaissa menghormati dirinya juga orang lain. Agoy merasa begitu nyaman kalau berada di samping Rhaissa, seperti saat ini.
        “Tadi, kalau tidak salah aku melihat gitar di kamar mu.”
        “Gitar? Tentu saja, mau aku ambilkan?”
        “Boleh.”
Rhaissa melangkah ke kamarnya untuk mengambil gitar yang sekali-kali ia mainkan. Sesaat saja ia sudah kembali. Ia memberikan gitar itu pada Agoy untuk di mainkan. Pria itu mulai memetik senarnya, Rhaissa mengamatinya dengan seksama. Ia melirik Rhaissa.
        “Mau nyayikan lagu untuk ku?”
        Rhaissa tersenyum. ”Kamu serius?” ia duduk meluruskan tubuhnya. Agoy mengangguk.
        “Tapi jangan menyayikan lagu yang mengharuskan kau mengeluarkan lengkingan kamu itu ya.”
        “Kenapa? Kamu tidak suka?”
        “Tentu saja aku suka, tapi ini kan sudah malam. Bisa-bisa orang-orang pada berdatangan ke sini.” Agoy mulai mengatur posisi gitarnya.
        “Tapi sorry… aku sedang tidak ingin menyanyi.”
        “Tidak apa-apa..” ia mulai memainkan gitarnya. Membawakan sebuah lagu Rhaissa. Lagu itu sangat manis. Penuh pengharapan, setia dan di klip lagu itulah Rhaissa menangis. Agoy terus memetik senar gitar dengan begitu lembut. Ia sangat lihai, hingga tanpa sadar Rhaissa pun mulai mengikuti alunan suara gitar. Ia mulai menyanyi, pelan dan lembut. Mereka bertatapan lalu sama-sama tersenyum. Dan di pertengahan lagu Agoy berhenti.
        “Kenapa?” Rhaissa bingung.
        “Aku tidak ingin kamu menangis…” ia memeluk gitar itu. Rhaissa jadi tidak enak. Ia ingat kata-kata Agoy tentang klip itu.
        “Hei, bagaimana aku bisa menangis kalau kamu ada di samping ku.”
        “Tidak Angel sayang…. Kita hentikan saja ya?” kata Agoy akhirnya. Mereka menikmati tehnya yang mulai dingin, dan kue kecil yang gurih dan nikmat. Suasana yang nyaman, indah dan syahdu. ”Suara kamu lebih indah dari yang pernah aku dengar di mana pun.” Kata Agoy pasti membuat Rhaissa menciptakan mimik lucu.
        “Terima kasih, tapi jangan terlalu serius begitu, gak lucu tahu…!”
        “Aku bukan saja serius tapi bersungguh-sungguh. Suara kamu memang indah. Kamu tahu, setiap malam sebelum tidur, aku selalu mendengar suara mu dan menonton VCD kamu. Kalau belum maka aku tidak bisa tidur sama sekali. Apa kamu akan menganggap aku berlebihan dan mengada-ada? Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, aku mencintai kamu bukan karena semua hal itu. Apa kamu juga mencintai aku?”
        “Apa aku harus menjawabnya?” Rhaissa berkata pelan. Agoy mengangguk. ”Iya. aku mencintai kamu, mungkin sejak pertama kita bertemu di kafe itu.”
        “Itu artinya aku lebih dulu mencintai kamu.”
        “Dan kamu jahat, karena di situ kamu pura-pura sama sekali tidak mengenali aku.”
        “Sayang… kamu jangan naïf deh, mana ada orang di negeri ini tidak mengenali kamu hhh..? waktu ketemu kamu itu, aku sudah setahun ada di Jakarta dan sudah mengikuti perjalanan kamu. Dan amplop-amplop konyol itu pun mulai mengalir.”
        “Ya aku percaya…”
        “Oke.” Agoy melirik arlojinya. ”Sudah hampir jam sebelas. Ouh.. aku benci jika harus pergi. Tapi waktu sudah harus memisahkan kita. Aku harus pulang dan kamu harus istirahat, tapi aku tidak perlu lagi menonton dan mendengar lagu kamu sebelum tidur karena aku sudah mendengarnya langsung. Kamu harus mimpi indah ya…” ujar Agoy panjang lebar. Rhaissa juga seakan tidak percaya kalau mereka sudah melewati hampir dua jam di tempat itu. Cinta memang membuat orang ingin hidup lebih lama.
        “Kamu itu kalau ngomong selalu…”
        “Selalu bikin kamu tenang ya…?” potong Agoy dengan cepat merasa terlalu percaya diri. Rhaissa tidak membantah. Ia mengantar Agoy ke depan. Dan menunggu sampai satpam menutup pintu gerbang baru ia masuk. Dia sangat bahagia. Kak Dina benar, kalau ada seorang pria yang mencintainya lebih dari yang ia tahu.
        Agoy membuat hidupnya lebih bermakna, kata-katanya selalu enak di dengar, penuh makna dan romantis. Rhaissa mulai menulis lagu lagi. Banyak artis top sekali lewat lalu menghilang. Tapi itu tidak terjadi pada Rhaissa. Sudah puluhan tahun ia bergelut di dunia tarik suara, dan sampai detik ini ia masih eksis. Bahkan semakin di sukai, itu karena kecintaannya pada dunia seni yang sudah mendarah daging. Di tambah lagi ia selalu aktif termasuk menulis lagu untuk dirinya sendiri.
        Rhaissa mendapat tawaran untuk mendampingi seorang aktor film dari luar, setiap film yang ia mainkan merupakan jaminan kalau filmya akan menjadi box office. Namun dengan rendah hati, Rahissa menolaknya. Tidak sedikit penggemar Rhaissa menyayangkan keputusan itu. Tapi Rhaissa lebih mengerti dari apa pun. Di depan publik ia mengatakan tidak bisa akting. Ia tidak ingin mengecewakan penggemar dari aktor itu sendiri. Tetapi pada dasarnya, ia tidak mungkin bisa memerankan sebagai seorang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Karena tak ada film zaman sekarang yang tidak memiliki adegan mesra, apalagi kisah cinta. Atau paling tidak adegan pelukan erat. Apakah para peminat film akan menerima? Yang nota benenya sang aktor di kenal sebagai sang penakluk para artis di dunia film.
        Rhaissa…! Kenapa tidak kau coba? Bukankah di setiap video klip mu, kamu bisa berakting begitu mesra tanpa harus melalukan kontak fisik? Bahasa tubuh juga bisa menciptakan kemesraan yang hakiki, tanpa terbantahkan. Tatapan mata bisa melumerkan apapun, sikap pun bisa mewakili segalanya. Cinta yang membara bisa di perlihatkan dengan tatapan yang indah.
       
        Agoy sedang makan siang bersama rekan kerjanya, pemuda itu meragukan apakah Agoy bisa bertahan dengan Rhaissa atau tidak. Soalnya bukan apa, dia kenal Agoy sebagai pria modern. Apa iya bisa bertahan pacaran dengan seorang gadis seperti putri raja, yang setiap bertemu hanya berpegangan tangan dan mengucapkan salam. Seperti bulan purnama, indah namun hanya bisa di pandang.
        “Goy, kalau aku jadi kamu, barangkali aku sudah gila.” Katanya di sela makannya.
        Agoy melirik temannya seklilas. ”Memangnya kamu tidak tahu kalau aku sudah tergila-gila dengannya?”
        “Maksud ku bukan itu, Man..” ia menatap Agoy. ”Rhaissa itu seperti bulan, yang hanya bisa kamu liatin keindahannya.” Godanya. Dan Agoy paham betul inti ucapan temannya itu.
        “Rhaissa tidak bisa di ibaratkan dengan apa pun. Dia adalah segala-galanya, kamu tidak akan mengerti apa itu namanya cinta sejati. Dengan cuma tersenyum ia mampu memberikan kebahagian yang tidak pernah aku bisa temukan di mana pun. Ia bisa bicara ribuan cinta hanya dari tatapan mata-
nya. Aku bisa mengerti arti semua itu dari bahasa tubuhnya.”
        “Wow…” temannya itu berdecak kagum. Ia tersenyum dan tak bermaksud mengejek Agoy. ”Mendengar kata-kata kamu itu aku seperti melihat orang pacaran dengan bayangan sendiri. Ayolah… realistislah sedikit.” Pria itu coba membuka mata Agoy. Sepertinya Agoy tidak tertarik, karena dunia modern yang ia jalani selama ini di aliri ajaran ke dua orang tuanya. ”Apa kamu tidak punya hasrat? Kangen, maksud ku kangen dalam arti yang romantis seperti pasangan-pasangan lainnya.” Ia masih terus berusaha. Agoy diam. Mereka menyelesaikan makan siangnya.
        Teman Agoy memang berkata benar. Agoy mencintai Rhaissa dan cinta mereka tidak seperti pasangan pada umumnya. Apa itu bisa di bilang aneh? Kalau menurut remaja sekarang memang aneh! Tapi kalau menurut orang tua, adat dan Agama tentu saja itu tidak aneh, dan itu adalah hal yang benar. Apalagi Rhaissa, ia sangat menjunjung tinggi budayanya. Ia bangga dengan budaya timurnya. Ia sadar banyak sekali orang memujanya, dan itu pertanda masih banyak orang di negeri ini yang mendukung budaya timur. Jika ada segelintir orang menganggapnya ketinggalan zaman, itu tidak akan menjadi masalah besar baginya.

        Rhaissa sedang menyelesaikan syuting video klip di Malaysia. Ada seorang pengusaha yang menyimak perjalanannya. Pria itu menginginkan Rhaissa, maka ia pun mengundang Rhaissa untuk makan malam di istana-nya. Rhaissa tidak tahu bagaimana harus bersikap. Karena pria itu datang sendiri ke tempat Rhaissa menginap dan mengundangnya secara khusus. Itu bukan hal pertama kali ia temui, namun kali ini, pria itu adalah salah satu pangeran di negeri itu. Dan kejadian ini juga terjadi saat ia sudah mengenali Agoy. Andai ia penuhi undangan itu, berarti ia mengkhianati Agoy. Tapi dia juga menghargai undangan pria itu. Apalagi dia datang sendiri ke apartemen tanpa di antar sopir. Kini Rhaissa di hadapkan pada dilemma. Andai ada kak Dina tentu ia tidak akan sebingung itu. Ia di dampingi Ririn yang lima tahun di atasnya. Mencoba memberi masukan pada Rhaissa.
        “Tenanglah Rhaissa, yang terpenting kamu tidak punya niat untuk mengkhianati Agoy. Aku pikir tidak ada salahnya sekedar menerima undangan pria itu.”
        “Namanya Abrar, orang sini memanggilnya Tuan Abrar atau pangeran Abrar.”
        “Seorang pangeran?” Ririn tersenyum menggodanya.
        “Rin… Arron Gautama juga seorang pangeran di hati ku.”
        “Aku tahu, sekarang keputusannya ada di hati kamu Non…” Ririn menatapnya dan memberi kebesan penuh. Rhaissa terdiam.
        “Kamu memang benar. Intinya kan aku tidak ada niat ke arah itu.” Ia mengambil keputusan. Dan di iyakan oleh Ririn. Itu pertanda kalau Rhaissa akan memenuhi undangan sang pangeran.
        Pangeran itu membawa Rhaissa ke tempat paling mewah di Malaysia. Pria berusia tiga puluhan itu merasa tersanjung karena Rhaissa tidak menyepelekan undangannya. Di malam bersejarah itu ia memberikan seperangkat perhiasan berlian kepada Rhaissa. Bisa Rhaissa pastikan kalau nilainya di atas milyaran rupiah. Dia tidak mungkin bisa menerima itu. Kalau ia boleh jujur, ia lebih menghargai Abrar memberinya setangkai bunga indah dan wangi dari pada sekotak perhiasan, yang terkesan berlebihan. Sementara bunga itu lebih nyata, lebih jujur dan yang pasti tidak menganggap Rhaissa terkesan matrealistis.
        “Maafkan saya… anda mungkin bermaksud baik, namun saya tidak bermaksud mengatakn kalau saya juga bermaksud baik. Tapi yang pasti saya menghargai undangan Tuan dengan datang ke sini.”
        “Tidak apa-apa kalau kamu menolak tapi jangan panggil Tuan, Abrar saja. Saya mungkin agak berlebihan.” Ia mengamati kotak berlian itu lalu menutupnya kembali. ”Saya merasa malam ini begitu istimewa makanya saya ingin melakukan hal istimewa juga karena kamu adalah sosok yang istimewa bagi saya. Saya memang punya niat baik pada kamu, bagaimana dengan kamu sendiri?”
        “Saya sudah punya seseorang…” ia berkata dengan jujur tanpa bermaksud menyinggung perasaanya apalagi memberi harapan.
        “Itu artinya kedatangan kamu kesini sekedar untuk menghormati saya.”
        “Saya minta maaf.”
        “Tidak apa-apa.. kamu pasti bingung. Kalau menolak di anggap tidak menghargai orang. Aku mengerti dan itu tidak mengurangi kekaguman saya sama kamu. Kamu tidak perlu meminta maaf. Pria itu memang beruntung” Sepertinya ia menyadari tidak semua yang ia inginkan bisa di beli dengan uang dan berlian. Rhaissa tersenyum tipis, bayangan Agoy melintas di pelupuk matanya. Ia tidak peduli apa pandangan Abrar padanya, karena ia hanya ingin jujur pada dirinya sendiri.
        “Kenapa kamu menganggap kamu bukan pria beruntung?”
        “Saya tahu maksud ucapan kamu, tapi saya percaya kamu lebih tahu apa yang saya maksud. Terkadang ada satu hal yang tidak kita pahami.” Ia berkata dengan santai. Apa pun yang di maksudkan oleh Abrar yang pasti dia memiliki hati yang bersih, dia seorang pangeran yang sesungguhnya. Rhaissa menyukai Abrar  tapi tidak jatuh cinta, hanya sebatas kekaguman.
        Rhaissa tahu kalau Tuan Abrar adalah pria yang baik dan sangat menghargai wanita. Itu mengagumkan sekali, namun dia bukan tipe Rhaissa. Dan bukan hal aneh kalau keesokan harinya gambar pangeran Abrar dan Rhaissa muncul di halaman depan tabloid-tabloid Malaysia dan masuk ke Indonesia. Itu sangat mengejutkan Agoy. Dia tidak sanggup membayangkan terlalu jauh hubungan Rhaissa dengan pria itu. Gambar itu memang tidak begitu jelas, pasti ada wartawan professional yang berhasil mengabadikan gambar acara makan malam itu.
        ‘Ada apa antara Pangeran Abrar dan Diva Indonesia, Rhaissa?’  
        Itu judul tabloidnya. Gambar itu di zoom dan sang professional berhasil memperlihatkan kotak perhiasan di tangan sang pangeran. Dan sang pangeran tidak mau ambil pusing dengan berita itu. Buat dia yang penting ia dan Rhaissa tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
        Dan, di saat Rhaissa kembali dari Malaysia. Agoy yang sudah berjanji menjemputnya di Bandara sudah muncul. Ririn bersama yang lain pulang dengan jemputan khusus. Mereka membiarkan Rhaissa naik mobil Agoy.
        “Hai, gimana kabar kamu?” katanya setelah Rhaissa duduk di sebelahnya. Ia melirik kekasihnya.
        “Baik.” Rhaissa kangen dengan pria itu. Ia percaya kalau Agoy sudah membaca berita itu. Ia tidak tahu apakah Agoy cemburu atau tidak. Sebenarnya Agoy amat sangat cemburu, belum pernah dia merasa secemburu saat ini. Namun ia harus sabar dengan posisinya, Rhaissa adalah seorang bintang, dia harus menyadari betul itu. Tidak baik baginya kalau bertanya langsung sebab Rhaissa baru saja tiba. Lain lagi menurut Rhaissa, seandainya Agoy sudah tahu maka ia akan lebih senang jika pria itu langsung mengkonfirmasikannya langsung kepada dia, dan dia bisa mendengar dari mulut Rhaissa sendiri. Ia menatap Agoy yang sedang menyetir. Satu minggu ini wajah itu selalu menggodanya, maka ia tak melepaskan matanya dari Agoy.
        “Hei, aku kangen sama kamu….” Cetusnya kemudian.
        “Aku juga…” ia melirik Rhaissa sejenak. Rasa cemburunya masih ada namun rasa cinta itu begitu besar. Ketulusan dan keteduhan mata Rhaissa membuatnya tidak ingin mengetahui berita itu. Rhaissa merasa kalau Agoy mulai memahami profesinya, yang kapan saja bisa di terpa gosip.
        “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin menjelaskan sesuatu.” Ia menghela napas sejenak. Agoy pun menatapnya sekilas. Antara berharap kejujuran gadis itu dan tidak. ”Kalau boleh aku menebak, kamu pasti sudah melihat beritanya, kan?”
        “Hanya melihat dan hanya kamu yang tahu kebenaran beritanya. Terus terang aku akan senang sekali jika mendengarnya pertama dari kamu.”
        “Ya, aku percaya kalau kamu ingin aku jujur. Malam itu Tuan Abrar datang sendiri ke apartemen bermaksud mengundang aku untuk makan malam, dan aku berpikir tidak ada salahnya menghargai undangan seseorng. Dan kalau itu menurut kamu salah, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud….”
        Agoy ingat gambar kotak perhiasan. ”Apa dia melamar kamu?” dan foto-foto itu, sang pangeran pasti saja punya maksud. Rhaissa mengernyitkan kedua alisnya, ia kaget mendengar Agoy melontarkan pertanyaan sepert itu.
        “Aku hanya ingin menikah dengan kamu.” Jelasnya dengan begitu meyakinkan.
        “Terima kasih Angel, aku merasa tidak sabar.” Mereka tersenyum. Agoy yakin kalau hari ini Rhaissa tidak punya kegiatan dan ia ingin bersama belahan jiwanya barang sebentar. ”Mau makan siang bersama ku hari ini?” sebenarnya itu hal biasa namun Agoy mengungkapkannya dengan sangat manis dan romantis. Hati Rhaissa merasa begitu nyaman.
        “Dengan senang hati, tapi tidak keberatan kan kalau aku pulang dulu ke rumah?” pintanya. Agoy mengangguk kecil. Dia tahu kalau Rhaissa akan melakukan hal itu, dia juga tahu kalau Rhaissa begitu menghargai keluarganya dan selalu mengutamakan mereka.

        Pernikahan Rhaissa dan Agoy di percepat karena Arie membatalkan pernikahannya. Kekasih Arie mendapakan bea siswa dan melanjutkan sekolah di luar. Acara resepsinya di adakan di hotel berbintang di pinggir laut. Pengusaha perhotelan itu sengaja menampilankan nuansa hotel sejati. Setelah sebelumnya mengadakan upacara adat dan akad nikah di rumah kediaman Rhaissa, kesibukan itu berlangsung dua hari dua malam.
        Para undangan di manjakan dengan menu hotel berbintang lima, dari pagi hingga malam. Sebelumnya di adakan acara khusus untuk anak-anak yatim. Dan siangnya pangeran Abrar pun datang memenuhi undangan khusus dari Rhaissa dan Arron Gautama. Pria itu menganggap Arron adalah laki-laki paling beruntung di abad 21. karena mendapatkan wanita sesempurna Rhaissa. Itu pasti berlebihan. Itu menurut dia karena dia tidak berhasil membawa Rhaissa ke dalam istananya.
        Kedua orang tua Agoy pun tidak menyadari kalau anak tunggal mereka akan seberuntung itu. Arron bisa mengikuti jejak Ayahnya  dan telah mendapatkan wanita impiannya. Dan wanita itu adalah impian separuh pria di negeri ini. Setelah itu semua stasius televisi menyiarkan berita pernikahan itu dan wawancara kecil, serta berbagai media cetak juga berlomba menyajikan gambar-gambarnya.
        Setelah semua beres, kedua orang tua Agoy kembali ke Amerika. Mereka semakin mempercayai Agoy untuk menjalani bisnisnya di Indonesia. Sebelum berangkat mereka berharap Agoy dan Rhaissa mengadakan bulan madu di Hawaii. Sayangnya Rhaissa hanya memilih Indonesia. Andai pun mereka ke Hawaii maka itu dalam rangka jalan-jalan saja.
        Agoy membawa Angelnya ke sebuah rumah yang di belinya sebulan sebelum pernikahan. Rumah itu bernuansa klasik, serta ada sentuhan rumah adat Bengkulu di sampingnya. Di bagian luar di cat dengan warna coklat muda dan bagian dalam hijau lembut. Rumah yang begitu unik dan cantik tidak begitu besar namun cukup luas. Halaman depan di penuhi dengan berbagai macam bunga khususnya mawar. Desain bagian samping kanan terlihat sentuhan gaya Bali, namun bagian dalam delapan puluh persen bergaya modern. Di halaman samping agak ke belakang ada sebuah kolam renang yang cantik. Tempat itu tertutup dan terkesan pribadi sekali. Rumah yang kokoh, indah, anggun serta elegan. Agoy ingin mengumpanakan kalau rumah itu adalah cerminan priabadi dari Rhaissa. Namun keanggunan Rhaissa tidak bisa di samakan dengan apapun. Rumah baru itu tidak akan di publikasikan ke publik untuk di perlihatkan setiap sudutnya. Mereka tidak akan melakukan itu. Biarlah rumah itu menjadi istana kecil untuk pasangan yang sedang berbahagia itu.
        Ketika memasuki rumah itu, aroma wangi catnya yang masih baru terasa menyengat ke hidung serta keramik porselennya berwarna coklat keemasan berkilau namun terlihat begitu teduh. Seisi rumah nyaris terlihat berwarna coklat dan hijau muda. Rumah itu sebenarnya terlalu besar untuk mereka berdua. Andai saja Rhaissa tidak mencintai Agoy maka ia akan kesepian di istana indah itu.
        Agoy menatap Rhaissa. ”Kamu menyukai rumah ini?”
Rhaissa menatap kekasihnya lalu mengamati ruangan itu sejenak, terlihat ada tangga kecil menuju lan
tai atas. Semuanya terlihat begitu menakjubkan.
        “Seberapa pun aku menyukai rumah ini namun tidak bisa menyamai perasanan ku menyukai kamu. Kamu memberi semua ornament dengan warna kesenangan ku sementara aku sendiri tidak tahu apa yang kamu sukai.”
        “Aku hanya menyukai kamu, Angel.” Ia mengulurkan tangannya seakan meminta dan mengajak wanita itu ke atas. Rhaissa memandang telapak tangan yang terbuka itu. Agoy menatap wajah lembut itu dan mereka pun bertatapan dan tersenyum. Rhaissa mengangkat pula tangannya untuk menggapai tangan Agoy. Sesaat telapak tangan mereka bersentuhan. Agoy menggenggam erat tangan Rhaissa, meraih dan menuntunnya ke kamar atas. Kamar pengantin mereka.
        Rhaissa pun di kejutkan dengan seisi kamar itu. Agoy telah memindahkan semua isi kamar rahasianya di apartemennya ke dalam kamar itu. Sebuah springbed yang berukuran besar di tutupi dengan sprey warna hijau muda dengan motip mawar putih. Di sebelah kamar, Agoy juga menyediakan sebuah ruangan kedap suara sebagai tempat Rhaissa bermain piano atau alat musik lainnya. Rhaissa benar-benar seperti masuk ke dalam rumah impian.
        Kembali ke kamar pengantin, Agoy menatap gadis impiannya. Dia sendiri tidak tahu dari mana harus memulai untuk membahagiakan gadis itu. Alunan lembut suara saxofon Kenny,G mengalun lembut dari DVD player yang ada di sudut ruangan. Agoy memegang tangan Rhaissa, dengan lembut ia mengusap bahu Rhaissa. Ia tidak pernah merasa gugup yang sedahsyat itu. Itu bukan pertam ia menatap seornga wanita dengan  begitu dekat. Dan Rhaissa pun merasakan hatinya bergemuruh hebat. Semua alunan lagu yang ada di dunia ini tak mampu menyaingi dentaman-dentaman yang ada di hati kedua insan itu. Tangan Agoy berpindah ke tangan Rhaissa dengan mengikuti irama saxofon ia membawa gadis itu untuk berdanca pelan. Mata mereka saling menatap lembut dan tak bicara apa pun. Keduanya menggerakan badan lembut mengikuti irama yang tak kalah lembut. Kedua tangan Rhaissa berpindah ke pinggang Agoy. Perlahan ia memeluk tubuh atletis itu, merapatkan wajahnya di dada Agoy. Agoy pun mengusap punggung Rhaissa. Mereka masih mengikuti irama sambil berpelukan yang semakin erat. Rhaissa seakan ingin menghitung detik demi ketik saat berada di dalam pelukan Agoy. Karena setiap detiknya mengandung rasa nyaman dan ketenangan yang teramat sangat. Dan ia seperti bisa menghitung pula setiap kali jantung Agoy berdetak. Agoy pun merasakan hal yang sama. Ia terus mengusap Rhaissa, seakan ingin merangkul tubuh itu seutuhnya. Kini tangannya mengelus wajah gadis itu dan berbisik.
        “Apa kau begitu gugup?” tanyanya pelan. Rhaissa menggeleng pelan di dada Agoy. Sejujurnya ia lebih malu di banding rasa gugupnya. Agoy menusap lagi pipi Rhaissa. ”Sayang… kita tidak akan melakukannya malam ini andai kamu belum siap.”
        Rhaissa mengangkat wajahnya. ”Aku tidak akan menikah jika belum siap.” Katanya lembut.
        “Benarkah?” Agoy tersenyum lembut pula. Di balas Rhaissa dengan senyum indah.
        “Aku suka rumah ini..”
        “Oh ya? Kalau begitu, berdansalah dengan ku.” Kembali ia memeluk Rhaissa dan kedua tubuh itu bergerak bersamaan, berdekap begitu rapat. Sudah begitu lama mereka mendambakan saat-saat seperti itu. Berada di dalam pelukan cinta sejati. Agoy memang di besarkan di negeri barat, tapi dia di lahirkan oleh wanita timur maka dia tetap membawa gaya pergaulan orang timur. Dan sangat memahami budaya timur. Makanya ia belum pernah berhubungan intim dengan wanita mana pun. Sebebas-bebasnya dia tak melakukan yang satu itu, meskipun berpacaran ia melakukan kemesraan ya sebatas pacaran layaknya remaja umumnya. Ia mencium kening Rhaissa, kedua kelopak matanya dan hampir seluruh wajahnya hingga terahir bibirnya yang selalu menebarkan senyum manis itu. Kini Agoy bisa menyentuh impiannya. Dengan begitu lembut ia melumat bibir mungil itu dan mengajarkan Rhaissa. Ia memberikan keindahan pada kekasihnya. Tanpa butuh banyak waktu Rhaissa pun menyesuaikan dirinya. Dengan sedikit getaran aneh ia mampu membuat Agoy merasa takjub. Ia sepertinya mengajarkan Agoy bagaimana rasanya menikmati cinta sejati. Cinta yang tidak akan pernah Agoy lupakan seumur hidupnya. Dan mereka memasuki alam mimpi yang terindah, di sana mereka saling memahami, mengenali diri masing-masing hingga tak ada rahasia sedikit pun di antara mereka, tak ada yang di sembunyikan.
        Rhaissa menitikan air mata bahagia, ia seakan bertanya. ’inikah yang namanya hubungan suami istri? Tuhan, inikah yang namanya surga mu? Seperti inikah yang namanya malam pertama itu? Inikah awal dari kehidupan baru ku?’ semua tanya itu sudah bisa ia jawab sendiri. Agoy menatapnya dan agak terkejut saat melihat air mata itu.
        “Angel, kamu menangis sayang?” ia mengusap air mata itu. Rhaissa sendiri tidak percaya dengan air matanya. Ia tersenyum. Karena tidak percaya apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Ia memeluk Agoy. Pria itu mendekapnya erat. Ia coba memahami kenapa Rhaissa menangis. Apakah ia telah menyakiti wanita itu atau dia sedang menyesal. Praduga itu lenyap saat Rhaissa memeluknya semakin erat. Agoy mencium telinganya sembari berbisik. ”Angel… aku sangat mencintai mu.”
        “Aku juga.” Balas Rhaissa. ”Jangan lepaskan aku dari pelukan mu.”
        “Tentu.” Ia merasa tersanjung. Karena telah menyerahkan cinta sejatinya pada wanita suci. Keduanya merasa sama-sama beruntung. Memiliki cinta dan ketulusan. Tidak ada yang lebih indah dari ketulusan. Cinta ibarat api yang membara yang bisa membakar hati jika tidak bisa mengendalikannya. Namun ketulusan akan menenangkan hati dan menempatkan cinta pada posisi yang paling istimewa. Agoy terus memeluk Rhaissa. Wanita itu selama ini seakan tidak sadar kalau ia memiliki kecantikan yang luar biasa. Kesederhanaannya mampu meluluhkan hati sang pangeran Abrar. Agoy berkata lagi. ”Wanita suci menyerahkan cinta sucinya, berada di dalam pelukan pria beruntung yang memberi cinta dan ketulusan. Si pria tidak memiliki apa-apa untuk di beri, andai ia bisa meraih surga maka akan ia berikan untuknya. Tapi kenyataannya saat ini hanya cinta yang ia punya….” Kata Agoy perlahan. Rhaissa masih menunggu pria itu menyelesaikan kata-katanya. ”Hanya itu yang bisa aku katakana…” lanjut Agoy.
        “Pabila cinta mu itu tulus, maka aku….”
        “Kamu apa….?” Tanya Agoy.
        “Aku tidak bisa berpuisi.”
        Agoy tersenyum. Kembali ia memeluk Rhaissa. ”Tidak sayang.. kamu tidak perlu berpuisi. Kamu cukup pintar menyanyi saja. Kalau kamu pintar juga berpuisi maka wanita di negeri ini akan cemburu dengan kelebihan yang kamu punya.” Tutur Agoy. Rhaissa tidak perduli dengan apa yang Agoy katakan, yang ada di hatinya saat ini adalah kebahagiaan karena telah memiliki cinta sejatinya. Cinta yang berjalan dengan mulus hingga berakhir ke pelaminan.
       
        Berikutnya semua berjalan normal. Mereka tetap beraktifitas dengan hidup yang selalu di penuhi rasa cinta yang tidak pernah berubah sedikit pun bahkan semakin kuat. Nyanyian dan canda serta kasih sayang yang berlimpah. Dan tanpa terasa tiga tahun telah terlewati. Namun pasangan sejati itu belum juga di karuniai seorang anak. Sebagai seorang wanita Rhaissa sempat di hinggapi rasa kegalauan. Apalagi Agoy adalah anak tunggal. Meski  begitu Rhaissa pribadi juga sangat mendambakan kehadiran seorang anak di antara mereka. Selama ini Agoy tidak pernah menyinggungnya sama sekali. Tapi Rhaissa terus saja memikirkannya.
        Hari itu Rhaissa menyelesaikan syuting video klip di taman bunga. Di syuting pengambilan gambar Rhaissa tidak memakai alas kaki. Ia membawakan salah satu tarian daerah untuk lagunya itu bersama penari latarnya yang berjumlah empat orang. Tak jarang dalam video klip Rhaissa memasukan nuansa promosi kekayaan budaya negeri. Dari tarian juga pakaian. Setelah selesai, Agoy yang dari tadi sudah datang menjemputnya duduk di tempat yang teduh. Rhaissa menghampirinya, Agoy menantinya dengan senyum. Agoy berdiri dan sepertinya harus menunggu sebentar, karena Rhaissa harus menggantikan pakaiannya. Agoy mengulurkan tangannya, Rhaissa menyambutnya dan mereka bergandengan tangan. Itulah kebiasan mereka beberapa tahun ini. Setiap kali Agoy punya waktu ia akan selalu menjemput Rhaissa. Rhaissa selalu pulang naik mobil suaminya, manager dan asistennya akan pulang dengan mobil Rhaissa. Saat duduk di mobil ia bersandar dan menghela napas dengan pelan. Agoy meliriknya sejenak sembari menyalakan mesin mobil.
        “Capek?”
        “Lumayan.. kamu gak telepon dulu kalau mau ke sini. Gimana kerjaan kantor?” Rhaissa mengusap tangan Agoy. Pria itu hanya tersenyum menandakan kalau tak ada masalah untuk urusan kantor. Ia meraih kepala Rhaissa mencium keningnya sekilas lalu membiarkan kepala Rhaissa bersandar di bahunya.
        “Aku sudah menelepon Ririn tadi, dia pasti lupa menyampaikannya. Kalau aku telepon kamu mengganggu syuting lagi,” tuturnya. Rhaissa tersenyum. Ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu kiri Agoy. Mobil mulai melaju pelan.
        “Mm.. apa kamu sudah membuat janji pada dokter kita?”
        “Apa kamu bennr-benar serius agar kita periksa ke dokter?”Agoy menatap Rhaissa sejenak.
        “Kalau kamu nggak keberatan tidak ada salahnya, kan?” ia pun menatap Agoy. ”Tapi kalau kamu keberatan aku tidak akan memaksa.”
        “Tidak sayang.. jangan bicara seperti itu. Aku kan sudah pernah bilang ke kamu, ada atau tidaknya kehadiran seorang anak di dalam kehidupan kita, tidak ada yang berubah sedikit pun.”
        “Tentu saja.”
        “Kita akan menemui dokter, pukul delapan malam besok.”
        “Kamu yakin?”
        Agoy mengangguk. Ia meraih kekasihnya dan mencium bibirnya sejenak. Rahissa lagi-lagi tersenyum. Dan mereka akan kembali ke istana mereka.
        Dengan adanya janji ke dokter, Rhaissa terpaksa menunda acara makan malamnya dengan penggemarnya yang akan datang dari jauh. Ia bahagia karena akhirnya Agoy mau juga mengajaknya ke dokter setelah sekian lama membujuk. Meski di hatinya sendiri timbul kekawatiran, dirinyakah yang bermasalah? Andai Agoy yang bermasalah maka ia akan tetap mencintai pria itu sampai akhir hayatnya, tapi masalahnya bagaimana bila sebaliknya? Apa sikap yang akan di ambil oleh Agoy? Sedikit pun Rhaissa tidak sanggup membayangkannya. Ia gelisah menanti laporan medisnya. Setelah beberap menit menunggu. Dokter memanggil Agoy dan Rhaissa. Dokter setengah baya yang masih cantik itu tersenyum pada pasangan itu. Sudah hampir 25 tahun ia menangani kasus seperti yang di alami oleh Rhaissa dan Agoy.
        “Anda berdua adalah pasangan yang hebat.” Katanya tanpa berbasa-basi. ”Kalian adalah orang yang sabar, Tuhan tidak akan menyia-nyiakan doa hambanya yang sabar. Ada pasangan yang baru menikah tiga bulan sudah berteriak. Kalian berdua tidak bermasalah sama sekali. Ini hanya masalah waktu..” Rhaissa melirik Agoy. Ia sudah bisa memahami arti kata-kata itu. ”Peran sang pencipta adalah segala-galanya. Dia yang menentukan semuanya.”
        Agoy tersenyum. Ia menatap dokter itu. ”Kami mengerti dok.”
        “Hmm.. kalian berdua subur.” Ia menekan kan kata-kata itu terutama untuk Rhaissa. Rhaissa tersenyum ia agak terhibur meski tak sepenuhnya yakin.
        “Jelaskan sama dia dok, bahwa kami memang harus bersabar. Dan andai pun Tuhan tidak menginginkan kami memiliki anak, maka kami akan tetap saling mencintai sama seperti saat pacaran dulu.” Agoy seakan menyakinkan Rhaissa dengan saksi dokter itu. Bahwa tidak ada alasan apa pun untuk Rhaissa khawatir. Dokter itu menggeleng-geleng kagum.
        “Andai semua pasangan berpikiran seperti anda.”
        Agoy menggenggam tangan Rhaissa. ”Baiklah dok, kami permisi dulu. Terima kasih atas waktunya.” Mereka pamit setelah dokter itu mengangguk pelan. Dokter itu masih terkagum-kagum.  
        Sekembalinya dari rumah sakit, Agoy bermaksud mengajak Rhaissa untuk istirahat di hotel. Sebenarnya Agoy tidak ingin melihat Rhaissa bersedih sedikit pun. Ia rela melakukan apa saja asal wajah itu kembali bersinar. Ia akan selalu bersemangat kalau Rhaissa terlihat tersenyum.
        “Tidak sayang, aku tidak begitu berminat untuk tidur di hotel malam ini. Saat ini rumah rasanya akan lebih nyaman.” Rhaissa sebenarnya masih meragukan keterangan dokternya. Di mobil ia tak banyak bicara. Agoy menangkap kesedihan di wajah itu, bagaimana pun caranya ia tidak ingin melihat wajah itu sampai menangis.
        “Tidak apa-apa, tapi kamu jangan terlalu banyak pikiran. Dokter kan sudah bilang kalau kita tidak punya masalah apa pun dalam hal ini…” ia mengusap tangan Rhaissa.
        Di kamar, ia sedang menatap Agoy menyalakan DVD player. Lalu rebahan di atas tempat tidur tanpa gairah. Di LCD TV wajah Rhaissa muncul membawakan lagu indah dengan rona wajah yang tersenyum. Namum wajah yang ada di atas tempat tidur itu sedang murung. Agoy menghampirinya. Dan duduk di dekatnya.
        “Kelihatannya kamu belum puas dengan hasil diagnosa dokter tadi ya?”
        “Sedikit, kamu tidak akan mengerti bagaimana perasaan ku.”
        “Mau periksa ke tempat lain? Kamu punya dokter kenalan? Kita akan melakukannya sayang.. tapi tolong jangan bersedih seperti ini. Lihat…” ia menoleh ke layar kaca. ”Angel yang aku kenal seperti yang di layar itu, yang selalu tersenyum dan berbahagia. Aku kan pernah bilang sama kamu.. setelah memiliki kamu, aku tidak meminta yang lain, asal kamu bahagia. Kamu tidak menyesal, kan menikah dengan aku?” kata Agoy dengan nada rendah. Rhaissa duduk.
        “Kalau kita tidak memiliki keturunan, bagaimana dengan orang tua mu, dan kamu sendiri?”
        “Sssstt…” ia mencium pipi Rhaissa. ”Jangan singgung-singgung lagi masalah itu ya, karena tidak seorang pun yang bisa memaksakan kita. Tuhan telah menetapkan semua ini, dan kamu harus berjanji untuk tidak boleh murung lagi. Akhir-akhir ini kamu jarang sekali tersenyum. Aku kangen dengan senyum kamu.” Kata Agoy setengah menggodanya. Rhaissa malah cemberut di goda seperti itu. Ia lupa kalau Agoy sudah berhasil menggodanya, sepertinya ia lupa kalau Agoy senang melihatnya ngambek. Agoy memeluknya dengan erat. ”Apa pun yang terjadi dengan pernikahan kita, aku tidak ingin ada sedikit pun yang berubah. Kamu lupa bagaimana aku mendambakan mu di saat kita pacaran? Begitu manisnya bila rindu telah datang, dan sangat bahagianya saat kita telah bertemu. Kamu tidak melupakan semua itu, kan?” ia masih berbicara lembut. Rhaissa menggeleng. ”Nah, kalau begitu berjanjilah bahwa kamu tidak akan murung lagi, karena kalau kamu murung aku sedih, kamu tidak suka aku sedih, kan?” ia mengusap pipi Rhaissa. ”Kita akan mengunjungi Papa-Mama jika kamu punya waktu, mereka pasti sudah kangen sekali sama kamu. Bagaimana?”
        “Paling bisanya bulan depan.”
        “Tidak masalah.” Agoy mengusap lagi wajah itu. Rhaissa menatap Agoy yang selalu memberikannya senyum manis dan kasih sayang yang berlimpah. Ia sangat bersyukur kepada Tuhan karena di berikan seorang suami yang sebaik Agoy. Dan sepertinya ia tidak pantas mendapatkan apa pun lagi, karena Agoy sudah memberikan seluruh kasih sayangnya. Jika ia terus meminta seorang anak kepada Tuhan dan Tuhan tidak mengabulkannya maka ia tidak akan marah. Sebab bila Agoy sudah ada dalam pelukannya maka ia akan melupakan segala isi dunia ini. Dengan pelan ia pun membalas pelukan Agoy, melingkarkan kedua tangannya pada tubuh pria itu.

        Di sela-sela kesibukan menyanyi Rhaissa membintangi beberapa iklan. Ada beberapa iklan yang di bintanginya selama ini, ia tidak akan membintangi iklan yang tak begitu penting dan bukan produk yang ia pakai. Seperti pruduk minuman ringan, minuman air mineral, Telekomunikasi, Bank, alat kosmetik, parfum, serta iklan wisata di negeri ini untuk di tayangkan di TV luar.
        Kehidupan rumah tangganya aman, tidak pernah di terpa gosip miring, walau pun keduanya sibuk namun mereka tetap menjalani komunikasi yang baik. Atas keindahan suarannya, Rhaissa sudah banyak menerima penghargaan, menjadi penyanyi kesayangan negeri sendiri dan berbagai penghargaan dari luar. Ia memang sosok sempurna di mata pemggemarnya. Di mata suaminya serta keluarganya. Sebagai seorang bintang, ia selalu eksis dengan gayanya sendiri dan aktif memproduksikan karya-karyanya. Meski kaya raya, ia tetap hidup apa adanya. Tidak mau glamour. Tetapi apakah ia sesempurna itu?”
        Sore itu, seperti biasa Rhaissa menyambut Agoy pulang dari kantor seperti biasanya, setiap baru bertemu mereka selalu mengulurkan tangan satu sama lainnya. Agoy merangkul pundaknya dan menggandengnya. Itulah tradisi mereka berdua, meskipun berlangsung hanya beberapa detik. Dan mereka sendiri lupa kapan kebiasaan itu di mulai, sepertinya saat Agoy mengajak Rhaissa menaiki tangga rumahnya untuk pertama kali.
        Agoy buka tipe pria yang harus di buatkan teh setiap pagi dan sore oleh isterinya. Mereka selalu melakukan apa pun bersama. Agoy melihat kartu nama di atas meja rias Rhaissa.
        “Kamu sudah menemukan dokternya?”
        “Aku harap kamu punya waktu ya, besok pukul sebelas.” Ia menatap Agoy penuh harapan. Pria itu tersenyum lalu mengangguk kecil.
        “Aku pasti mengusahakannya.”
        Rhaissa langsung memeluknya. Agoy merengkuhnya erat. Hati Agoy sebenarnya agak sedikit terenyuh namun ia tidak ingin mengecewakan Rhaissa. Tanpa sepengetahuan Rhaissa, ia meraih kartu nama itu.
        Keesokannya, jelang siang. Agoy dan Rhaissa mengunjungi dokter tersebut. Seorang dokter pria yang tidak di ragukan lagi dalam profesinya. Dokter itu atas rekomendasi salah satu teman Rhaissa, saat itu Rhaissa bermaksud mengunjungi dokter luar dan temannya itu menyarankan untuk bertemu dulu dengan dokter Aksyai. Mereka bukan menjalani terapi tapi menjalani general chek up. Sebenarnya Rhaissa tidak perlu melakukannya lagi karena penjelasan dokter kemaren itu sudah sangat jelas. Namun entah kenapa, naluri Rhaissa mengatakan kalau ada sesuatu yang bermasalah. Dan… hasil dari diagnosa dokter Aksyai pun ternyata hasilnya sama. Ia menyarankan mereka bersabar, hanya itu.
        “Maaf dok, apakah aktifitas dan rasa capek itu mempengaruhi?” kata Agoy sekedar ingi tahu.
Dokter itu menatap Agoy. Pria itu tersenyum seolah memberi kesempatan dokter menjelaskan.
        “Sama sekali tidak,.” Ia menoleh ke Rhaissa. ”Tidak ada pengaruhnya sama sekali, sebelum di sini, saya bertugas selama lima tahun di daerah pedesaan. Saya banyak melihat kehidupan para pasangan yang ada di sana, mereka semua bekerja, apalagi para wanitanya. Mereka berangkat ke kebun atau ke sawah dari terbit matahari bahkan sampai terbenam. Dan ada yang jalan kaki sampai berkilo-kilo dan mereka tetap memiliki anak, bahkan sampai banyak, kalau mereka tidak ikut keluarga berencana. Itu sebagai percontohan saja, bahwa itu tidak berpengaruh sama sekali.” Tuturnya. Agoy meraih tangan Rhaissa dan menggenggamnya. Tak lama kemudian mereka pun minta diri.
        “Terima kasih ya dok.” Ujar Rhaissa.
Dokter itu mengangguk, ia menghela napas dan meresa bersalah pada Rhaissa tapi apa boleh buat, semua itu atas permintaan Agoy. Sepertinya Rhaissa baru merasa yakin, tidak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dan bersabar. Ia tahu ada pasangan yang sudah menikah puluhan tahun baru di beri momongan sementara dia baru tiga tahun.
        Di dalam mobil, Agoy menatap Rhaissa. ”Sayang… aku tidak mau kamu mengkhawatirkan sedikit pun masalah ini, oke.” Ia berkata bijak. Dan Rhaissa tidak yakin kalau Agoy benar-benar memahami perasaannya. Seperti halnya ia tidak begitu paham bagaimana perasaan Agoy menghadapi masalah mereka. Dan yang tidak Rhaissa tahu adalah, bahwa sebagai seorang suami yang terlalu mencintai isterinya, Agoy terpaksa berbohong. Berbohong demi siapa? Demi dia atau Rhaissa???
       
        Hari itu mereka mengunjungi orang tua Agoy. Sebenarnya Rhaissa tidak begitu menyukai Amerika, ia lebih menyukai pemandangan indah di Bangkok, Australia dan tentunya Bali yang terindah. Orang tua Agoy libur untuk menjemput anak dan menantunya.
        Wanita setengah baya itu memakai celana jin panjang, blazer dan berkaca mata. Dan Ayah mertua Rhaissa si Nathan Abimanyu Gautama berpenampilan biasa dan berwibawa. Senyumnya ia wariskan pada Agoy namun wajah Agoy sembilan puluh persen adalah milik Ibunya, Nyonya Nathan yang bernama Andini. Wanita itu kelihatan begitu energik, smart, dan tentunya ia adalah wanita yang disiplin. Tergambar jelas dari sikapnya, namun ia adalah wanita yang penyanyang. Rhaissa masuk dalam keluarga yang sangat tepat.
        “Halo honey… bagaimana kabar kamu?” wanita itu memeluk menantunya.
        “Baik Ma, Mama sendiri gimana?”
        Wanita itu melepas pelukannya. ”Seperti yang kamu liat. Dan kamu, Mama melihat kamu makin cantik dan makin dewasa.” Ia memegang pipi Rhaissa sejenak. Rhaissa tersenyum, lalu ia menoleh ke Ayah mertuanya.
        “Pa….” ia memberi hormat.
        “Papa kangen sekali sama kalian.” Mereka berpelukan sesaat, juga pada Agoy. Beberapa detik kemudian mereka meninggalkan Bandara dan menuju rumah orang tua Agoy. Rhaissa merasa bahagia karena mertuanya yang sibuk itu menyempatkan diri khusus untuk menjemput ia dengan Agoy. Itu satu tanda kalau keluarga mereka sangat menghargai sesama. Dan secara tidak langsung mengajarkan Rhaissa, terkadang hal yang menurut orang sepele namun sangat berarti untuk seseorang.
        Tiba di rumah, mereka menyantap makanan yang sudah di siapkan oleh pengurus rumah dengan menu khusus yang sudah di racik oleh Mama Agoy. Ini bukan kedatangan pertama Rhaissa ke tempat itu. Di meja makan mereka sangat akrab. Semua begitu wajar dan apa adanya.
        “Arron, apa kamu bawa pesan Mama?” wanita itu melirik putranya. Dan Rhaissa ikut menatap Agoy. Papa menambahkan.
        “Dia pasti bawa, kemaren Papa juga mengingatkannya.”
        “Pasti Ma, Arron tidak pernah lupa pesan Mama sama Papa.”
        “Mama sudah tidak sabar ingin melihatnya.”
        “Papa juga.”
Rhaissa tidak mengerti ke mana arah pembicaraan itu. Ia menatap orang-orang tercinta itu satu persatu. Dan mereka terlihat berbahagia, memang keluarga yang harmonis.
        “Kalau begitu biar aku ambilkan sekarang.” Ia menyentuh bahu Rhaissa sekilas. ”Tunggu sebentar ya sayang.” Ia meninggalkan ruang makan. Nyonya Andini menatap menantunya.
        “Mama memesan beberapa DVD kamu sama Arron, klip-klip baru yang belum sempat Mama lihat di sini.” Jelasnya. Rhaissa bengong beberapa saat, lalu ia tersenyum. Ia malu. ”Arron pasti tidak pernah cerita kalau Mama menyukai lagu-lagu kamu.” Ia menambahkan. Rhaissa tidak bisa ngomong apa-apa. Sepertinya ia mendapatkan sebuah penghargaan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Agoy telah kembali dengan tiga buah DVD di tangannya. Ia memberikan pada Mamanya. ”Terima kasih honey.” Dan kedua mertuanya rebutan DVD itu membuat Rhaissa merasa tidak enak dan lucu dengan sikap mereka. Namun tetap saja mereka terlihat berbahagia. ”Honey, tolong setelkan untuk Mama ya.” Ia memberikan lagi pada Agoy setelah mengamatinya sejenak.
        “Sekarang Ma?”
        “Ya, yang paling baru.”
Agoy mengambilnya dan berjalan ke arah DVD player yang ada di pojok ruang makan itu. Ia mulai menyalakannya.
        “Mama biasanya kalau nonton sendiri dan tidak mau di ganggu.” Goda Agoy.
        “Itu nanti honey, sekarang Mama kan hanya ingin melepas rasa penasaran dulu.” Ia melirik menantunya. ”Mama dengar penjualan DVD kamu di Asia, sangat bagus.” Ia ikut merasa bangga. Rhaissa hanya melebarkan senyumnya. Ia tidak mau mertuanya terlalu berlebihan itu akan membuatnya tambah tidak enak hati. Detik berikutnya TV sudah menyala dengan menampilkan wajah Rhaissa yang membawakan lagu terbarunya, di Indonesia telah terjual ribuan keping kopynya. Nyonya Andini terpana melihat performance Rhaissa di klip itu. Tadinya ia mengatakan hanya penasaran namun kini ini telah melupakan makanannya. Agoy telah kembali ke kursi dan melanjutkan menikmati makanannya.
        “Dia tidak akan berkedip.” Goda Agoy. Rhaissa menyikut tangan Agoy pelan.
        “Mama bisa menebak siapa sutradara yang membuat video klip itu.”
        “Yang terbaik di Negara kita.” Jawab Agoy.
        “Sepertinya Negara kita sudah jauh lebih berkembang.” Papa menimpali. Ia melirik Rhaissa. ”Kamu membuat lagu dengan sangat bagus.” Pujinya tanpa basa-basi. Rhaissa mulai risih, sebab di keluarganya sendiri jarang memberi pujian, yang ada kritik yang selalu membangun. Rhaissa merapikan piringnya. Andini langsung mencegahnya.
        “Jangan sayang… Arron, ajak Rhaissa istirahat.”
        “Oke, Ma.” Lalu menoleh ke Papanya. ”Pa, sejam lagi kita ngobrol di tempat biasa ya.” Ia mengingatkan Papanya. Pria itu mengangguk pasti. Agoy mengajak Rhaissa istirahat di kamar mereka. Rhaissa harus mandi dan istirahat seperlunya.
        Seusai mandi ia ke dapur untuk mengambil air putih. Dan langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar Agoy dan Mamanya sedang berbicara serius.
        “Bagaimana keadaannya sayang…?”
        “Ma, Arron tidak tahu sampai kapan harus terus berbohong pada Rhaissa, Ma?” suara Agoy putus asa. Rhaissa menyandarkan tubuhnya di dinding. Pembicaraan itu semakin serius. 
        “Sayang… Mama kira sebaiknya kamu kasi tahu kebenaran itu pada Rhaissa. Kebenaran terkadang menyakitkan, tapi sepertinya tidak baik terus menyembunyikannya apalagi pada orang yang sangat kamu cintai.”
        “Arron gak bisa Ma, itu sama saja dengan Arron menyakiti diri sendiri.”
        Diam sesaat.
        Rhaissa menahan napas, ia masih bersandar.
        “Bagaimana saat kalian periksa sama dokter kedua?”
        “Dokter ke dua, Arron mempercayakan Rhaissa yang mencarinya.”
        “Apa doter itu mengatakan yang sebenarnya?”
        “Tidak.” Agoy menggeleng. ”Sebelum kami bertemu, aku mengambil kartu nama dokter itu di atas meja Rhaissa lalu meneleponnya. Aku menjelaskan semuanya. Dan dokter itu memberikan penjelasan yang sama persis dengan dokter pertama, aku sudah mengatur semuanya, Ma. Aku senang karena Rhaissa tidak curiga”
        “Ya Tuhan… hasil diagnosa dokter pertama kan mengatakan kalau Rhaissa masih punya kemungkinan untuk memiliki anak.”
        Rhaissa menutup mulutnya. Hatinya menjerit. Ia sudah mulai memahami isi pembicaraan itu.
        “Tapi kata dokter kan hanya nol koma beberapa persen Ma.”
        Rhaissa kembali ke kamarnya. Ia menangis mendengar kenyataan itu. Itu berita paling buruk yang pernah ia dengar di dalam hidupnya. Ia merasa menjadi wanita yang paling malang di dunia ini. Ia tidak bisa menghentikan tangisnya. Sebelum berangkat ia tidak pernah bermimpi akan mendengar berita sedahsyat itu. Saat mendengar Agoy melangkah ke kamar, ia menghapus air matanya. Namun dengan jelas terlihat kalau ia habis menangis. Agoy menghampirinya dan duduk di sebalahnya.
        “Hei, ada apa dengan kamu, Angel?” ia mengusap punggung Rhaissa. Ia tidak tahan dan langsung memeluk Agoy, ia merasa tidak pantas lagi di sebut seorang Angel bagi Agoy. Dan lebih
Pantasnya di sebut sebagai virus di keluarga Agoy. Agoy memeluknya dengan pikiran galau. ”Kenapa kamu menangis? Ada apa hah…?” ia mengusap lagi punggung Rhaissa.
        “Aku baru saja menerima telepon dari kampung. Salah satu teman sekelas ku waktu SMA dulu meninggal akibat kanker rahim.” Ia mengarang cerita. Padahal temannya itu sudah meninggal beberapa tahun silam.
        “Ya Tuhan.” Ia memeluk Rhaissa makin erat. Ia memahami kepedihan Rhaissa. ”Apa kita harus pulang sayang?”
        “Tidak. Kita tidak mungkin bisa bertemu dia lagi, ia pasti di makamkan sebelum kita tiba.”
        “Tenanglah…” ia coba menghibur Rhaissa. Namun kepedihan yang ada di hati wanita itu tidak akan bisa di sembuhkan dengan sebuah hiburan seperti apa pun. Agoy menghela napas. ”Istirahatlah, biar aku ambilakan minum.” Ia menghapus air mata Rhaissa sebelum melangkah ke dapur. Beberapa saat saja ia sudah kembali ke kamar. Rhaissa berdiri di ujung jendela, pandangannya jauh menembus kota malam Holywood. Agoy memberikan gelas minuman itu pada Agoy.
        “Terima kasih.” Ia meneguk air mineral itu. Agoy memegang kedua bahunya. Rhaissa kemudian menatap Agoy. ”Kamu tidak ngobrol sama Papa? Kasian Papa, pasti ia sudah menunggu kamu.”
        “Kamu?”
        Rhaissa menggeleng. ”Aku tidak apa-apa.”
        “Baiklah.” Ia mengusap bahu Rhaissa sejenak. Rhaissa mungkin sedang menginginkan waktu untuk sendirian, untuk mengenang temannya itu.pikirnya. tak sedikit pun ia cuiga kalau Rhaissa telah mendengar obrolannya bersama Mama.
        Sepeninggal Agoy, Rhaissa segera mengambil ponselnya. ia mencari nomor dokter Aksyai, lalu menghubungi pria itu. Sebelum menekan nomor itu ia memejamkan matanya sejenak. Sesaat kemudian telepon tersambung.
        “Halo…?”
        “Dok, ini Rhaissa, maaf mengganggu sebentar.”
        “Tidak apa-apa, ada apa Rhaissa?”
Rhaissa menarik napas sesaat sebelum melanjutkan. Ia coba menahan debar jantungnya yang tak
karuan. Ia gugup bercampur penasaran.
        “Dok, saya tidak bisa mempunyai seorang anak, kan?” katanya langsung pada sasaran.
        “Rhaissa dengar dulu.”
        “Saya sudah mendengar semunya, secara tanpa sengaja dari Agoy dan mertua saya.”
        “Mertua kamu? Memangnya kamu di mana?”
        “Amerika.”
        “Ya Tuhan, Rhaissa… aku akan menjelaskan semuanya setelah kamu kembali.”
        “Tidak dok, saat ini saya hanya ingin memastikan saja….”
        “Rhaissa, tidak ada yang bisa memastikan. Apalagi kamu masih memiliki kemungkinan dan harapan.” Dokter itu coba menjelaskan.
        “Ya, harapan dan kemungkinan nol koma itu, kan? Maafkan saya dok, terima kasih atas waktunya, terima kasih.” Tak sedikit pun ia menyalahkan dokter itu. Ia memutuskan pembicaraannya. Ia berpikir untuk menghubungi dokter yang pertama. Ia juga harus memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Telepon kedua tidak langsung di angkat. Ia sadar, kalau di Indonesia matahari baru saja terbit.
        “Ya hallo…” telepon Rhaissa terjawab juga. Suara seorang wanita.
        “Bisa bicara dengan dokter?”
        “Ya, tunggu sebentar ya.” Wanita itu menyerahkan ponsel pada suaminya yang baru saja selesai sarapan.
        “Siapa Ma?” Tanya suaminya. Sebelum menerima telepon.
        Wanita itu menggeleng. ”Belum sempat nanya. Sepertinya penting sekali. Cepat di jawab” pintanya, karena sudah terbiasa dengan keadaan darurat.
        “Halo..”
        “Dok, ini Rhaissa.” Suara itu terdengar cepat.
        “O, bagaimana kabar kamu?”
        “Buruk.” Jawabnya tak kalah singkat.
        “Apa yang terjadi?” ia menatap memandang istrinya yang sudah berjalan ke belakang.
        “Maaf sebelumnya, karena pagi-pagi sudah mengganggu.”
        “Tidak apa-apa, saya masih banyak waktu.”
        “Terima kasih. Begini dok, apa boleh saya tahu, penyakit apa yang saya derita?”
        Dokter itu tidak langsung menjawab karena kaget. kenapa suami wanita itu menceritakannya? Sebelum bertemu mereka, suaminya menemui dia dan meminta merahasiakan semuanya. Pria itu berpendapat kalau di antara mereka pasti ada yang bermasalah. Jika dia yang bermasalah tidak apa-apa namum jika istrinya yang bermasalah maka dokter itu harus merahasiakannya. Tapi sekarang kenapa Rhaissa mengetahuinya?
        “Dok?”
        “Mm.. Rhaissa saya rasa penjelasan saya akan sama persis dengan suami kamu.”
        “Dia sendiri belum tahu kalau saya sudah mengetahui ini.”
        “Apa? Jadi… oke, sepertinya masalah ini tidak bisa kita bicarakan di telepon. Temui saya kalau kamu ada waktu.”
        “Baiklah, saya akan menemui dokter lagi, sebelumnya terima kasih banyak.” Rhaissa meletakkan ponselnya. ia ingin menangis lagi. Dari luar terdengar suara pintu di ketuk, ia menoleh ke arah pintu.
        “Masuk.” Kata Rhaissa. Nyonya Andini masuk dengan senyum khasnya. ”Mama.”
        “Sayang, Mama telah menontonnya, semuanya bagus. Oya, tadi Arron bilang.. kamu baru saja mendapat kabar duka cita dari teman SMA kamu, benarkah sayang?” ia memegang tangan Rhaissa. Rhaissa mengangguk walau agak berat. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya pada wanita itu. Ia sudah mengetahui segalanya dan Mama Agoy masih baik dan menganggap Rhaissa sebagai menantu yang sempurna. Rhaissa ingin menjerit. ”Mama ikut sedih. Mm.. tapi Mama tidak ingin melihat kamu sedih, bagaimana kalau besok kamu temani Mama?”
        “Ke mana, Ma?”
        “Ke suatu tempat, kamu pasti suka.”
        “Ya. Rhaissa pasti akan temani Mama.” Ia coba tersenyum.
        “Istirahatlah, Mama akan menonton lagi video kamu, tidak puas kalau hanya sekali.” Ia mengusap tangan Rhaissa sekilas lalu keluar. Rhaissa memandangnya sampai menghilang. Ia menarik napas sangat berat. Wanita itu begitu pandai menyimpan rahasia besar tentang dirinya. Demi siapa semua itu? Kembali Rhaissa memdekati jendela besar di kamar itu. Angin malam menyapu wajahnya. Ia memejamkan matanya. Kenangan saat pertama kali bertemu dengan Agoy mengetuk ingatannya.
        Agoy pria yang baik dan anak tunggal. Kaya, pengusaha dan anak seorang konglomerat. Pada siapa mereka mewariskan semua itu kalau Agoy tidak memiliki keturunan. Rhaissa tdiak mau egois. Agoy tidak boleh terus bersamanya. Agoy harus menikah lagi. Harus! Hati Rhaissa benar-benar sudah menjerit. Andai saja ia bisa berlari dari semua kenayataan itu. Ia memohon kepada Tuhan agar di beri sedikit kekuatan.
        Agoy sudah kembali ke kamar, Rhaissa menoleh, ia tersenyum pada Rhaissa.
        “Belum tidur?” ia menghampiri Rhaissa. Rhaissa membalas senyumnya lalu kembali menatap ke luar jendela. Ia merasa tidak punya keberanian untuk lebih lama menatap mata Agoy. ”Pemandangan yang indah. New York di malam hari.” Ia memeluk tubuh Rhaissa dari belakang. Napas Rhaissa seakan tertahan. Agoy mencium pipinya dari samping lalu menempelkan wajahnya pada wajah Rhaissa. Tangan Rhaissa memegang pinggiran jendela. Matanya terpejam dan dadannya terasa semakin sesak hingga merasa sulit untuk bernapas. Pelukan Agoy sebenarnya tidak terlalu keras namun cukup romantis dan penuh cinta serta kehangatan.
        ‘Ya Tuhan, apakah aku sanggup untuk berpisah darinya? Jika saja saat ini aku mati di dalam pelukannya, itu mungkin lebih baik.’
        “Angel, kamu masih memikirkan teman kamu itu ya? Bagaimana kalau kita pulang saja besok?”
        “Tidak. Besok aku akan menemani Mama, maaf.. aku sebenarnya agak sedikit pusing.”
        “Kalau begitu aku akan mengambil aspirin dan menutup jendela.”
        “Agoy?” Rhaissa memanggil nama itu pelan. Ia menatap Agoy. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan dan tiba-tiba saja ia memeluk Agoy. Pria itu melakukan hal yang sama dan mengusap rambut Rhaissa. Rhaissa memeluk Agoy dengan begitu erat seakan tidak mau melepaskannya lagi. Sebenarnya ia ingin menanyakan tentang diagnosa dokter itu namun sulit sekali ia memulainya. Mungkin karena kekuatan cinta Agoy yang begitu dalam membuatnya tak mampu bertanya.
        “Sayang, sepertinya kita harus menutup jendelanya, karena anginnya terlalu kencang.” Ia melepas pelukannya dan menatap Rhaissa. ”Kalau tidak bisa tidur, kita akan ngobrol sambil minum kopi, mau?” tangannya sambil merapatkan kaca jendela.
        “Boleh.”
        “Tapi jangan sedih lagi.”
        Rhaissa coba tersenyum. Mereka akhirnya melangkah ke dapur untuk membuat kopi seperti yang sering mereka lakukan di Jakarta. Untuk sekedar membuat kopi mereka jarang menyuruh pembantu. Mereka penggemar cappuccino dan kopi asli Indonesia. Setelah membuat kopi, mereka kembali ke kamar. Agoy banyak cerita tentang kamarnya itu. Itu kamar yang ia tempati dari kecil hingga dewasa. Rumah orang tua Agoy tidak banyak berubah, paling catnya yang di ganti. Rumah yang di lengkapi dengan taman indah yang di tanami bonsai dan cerama, di bagian belakang ada sebuah kolam renang. Rumah yang memliki interior Bali dan Amerika latin dengan ukiran jepara.
        Malam itu Rhaissa meminta Agoy menceritakan tentang mantan-mantan pacarnya. Agoy
mengatakan kalau dia cowok scorpio yang sulit sekali untuk jatuh cinta. Ada satu dua cewek yang pernah dekat dengannya, bahkan dari bangku kuliah. Ia juga tidak pernah punya kriteria untuk punya istri dari kalangan tertentu atau dari Negara mana pun. Namun sejak melihat penampilan Rhaissa di televisi, ia langsung terpikat. Dan sejak saat itu ia mulai memburu DVD dan apa pun yang berhubungan dengan Rhaissa. Ia tertarik dengan kesederhanaannya kemudian dengan suaranya yang indah. Ia punya niat baik dan sangat mencintai Rhaissa sehingga apa pun yang terjadi maka ia tidak akan membiarkan wanita itu bersedih. Apa pun akan ia lakukan.
       
        Pukul sepuluh waktu Washington, Nyonya Andini mengajak Rhaissa mengunjungi tokoh-tokoh para perancang ternama. Di mana tempat para tokoh menjual karya terbaik dari perancang terbaik. Ia ingin Rhaissa memiliki semua yang terbaik, yang di hasilkan dari tangan-tangan terbaik di dunia. Rhaissa tidak menyangka kalau mertuanya akan membawa ia ke tempat seperti itu. Tadinya ia berpikir ia akan di bawa ke kantor atau ke mana saja. Di toko itu dia seakan mengajak Rhaissa memborong semua yang Rhaissa sukai. Tapi Rhaissa tidak menginginkan apa pun. Karena kasih sayang tulus yang di perlihatkan oleh Nyonya Andini membuatnya tidak sanggup. Ia tidak bisa kehilangan itu, ia membutuhkan kasih sayang itu melebihi barang-barang mahal itu.
        Menjelang pukul dua belas siang, mereka menikmati makanan di sebuah kafe yang tendanya ada di tepi jalan. Di bahu trotoar dengan tenda-tenda yang lucu. Mama memesan kopi, pizza dan big burger. Sampai-sampai Rhaissa terkejut melihat pesanan itu.
        “Ayo honey… kita bersenang-bersenang… Mama yakin kamu tidak pernah makan sebebas ini,
kan? Tanpa di ganggu oleh para fans dan sang produser kamu pasti membatasi porsi makan kamu, kan? Lihat saja hasilnya. Tubuh kamu persis seperti para model di negeri ini. Kamu jangan khawatir karena makanan seperti ini sekali-kali memang di perlukan.”
        Rhaissa tersenyum. ”Mhm.. siapa takut.” Tantang Rhaissa. Dan sesaat sebelum mereka menikmati makanan. Seseorang menegur Rhaissa.
        “Sorry, Rhaissa…., kan?”
Rhaissa menoleh. Terlihat seorang wanita dengan teman laki-lakinya tersenyum pada Rhaissa.
        “E e hai.” Rhaissa berdiri. Kedua wanita itu berpelukan sejenak. Wanita itu memperkenalkan teman bulenya dan Rhaissa memperkenalkan mertuanya.
        “Ini Mama saya.”
        “Halo tante, Rhaissa.. tentu saja saya mengenali Mama mertua kamu.” Ia mengulurkan tangannya pada Mama. Wanita itu tersenyum ramah.
        “Ayo kita makan siang sama-sama.” Ajaknya dengan tulus.
        “Mama benar.. kenapa nggak.” Tambah Rhaissa. Wanita modis itu melirik cowoknya sejenak lalu menatap Rhaissa dan mertuanya.
        “Tidak. Terima kasih sekali… kami harus buru-buru, lain kali kami tidak akan menolak. Maaf ya tante. Mm.. Rhaissa dan tante, kami pamit dan selamat makan siang.” Kedua remaja itu pergi menyusuri trotoar, sepertinya mereka akan berbelanja.
        “Hmm… baru saja Mama bilang kalau tidak ada yang mengganggu kamu di sini.”
        “Ma, tentu saja dia kenal dengan Rhaissa. Dia itu VJ MTV di Singapura.”
        “O, ayo kita nikmati makanannya.” Ia sudah tidak sabar. Ia mencicipi kopinya, di ikuti Rhaissa. Rhaissa memandang Mama mertuanya. Ia ingin sekali mengetahui tentang rahasia yang di simpan oleh keluarga Agoy terhadap dirinya.
        “Ma… terima kasih untuk semua ini.”
        Wanita itu mengangguk dan tersenyum.”Kamu wanita sempurna sayang.”
        “Mama berbohong.”
        “Whats…?!”
Rhaissa meletakan gelasnya. Ia menghela napas dengan pelan.
        “Kenapa Mama melakukan semua ini? Kenapa Mama mengatakan aku wanita sempurna padahal Mama tahu kalau aku adalah seorang wanita yang paling menyedihkan.”
Wanita itu menatap Rhaissa seolah tidak percaya mendengar kata-kata barusan.
        “Whats do you mean, honey?” suaranya tak kalah pelan dari suara Rhaissa.
        “Semalam, tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan Mama bersama Agoy.”
        “Oh my God.” Sesaat ia terdiam. Ia bisa memahami bagaimana perasaan Rhaisa saat ini. Ia menarik napas panjang. Lalu matanya tiba-tiba menangkap pemandangan di sisi jalan. Ada seorang wanita gendut sedang mendorong kereta bayi. Di belakangnya ada tiga orang anak yang masih balita. Terlihat dengan jelas kalau wanita subur itu sangat kualahan. Dia kesal dan mengomeli anak-anaknya. Seakan-akan dia sangat menyesali karena sudah melahirkan anak-anaknya ke dunia ini. Mama menatap Rhaissa.
        “Kamu lihat sayang, wanita yang ada di ujung jalan itu?” katanya. Sedangkan Rhaissa sudah mengikuti arah mata Mamanya sedari tadi. Lalu ia berujar.
        “Tapi bagaimana pun juga, dia adalah wanita yang sempurna.”
        “Sempurna dalam arti apa, sayang? Kenapa kamu berpikir setiap wanita yang bisa melahirkan anak di muka bumi ini di sebut sebagai wanita sempurna? Menurut Mama, seorang yang bisa di sebut sempurna itu jika ia bisa menikmati hidupnya dengan nyaman dan bahagia. Kamu tahu, ada berapa wanita di dunia ini yang memiliki anak berlusin-lusin namun mereka belum tentu bahagia dan nyaman.” Ujarnya santai. Rhaissa menatap mertuanya yang mulai menikmati pizzanya. Rhaissa ikut makan meski tak begitu bernafsu. ”Kamu tidak menikmati pizza mu sayang…?” ia melihat Rhaissa makan tidak menikmatinya  dengan sungguh-sungguh.
        “Maafkan Rhaissa Ma.”
        “Tidak apa-apa.” Ia jadi ikut-ikitutan tak beranfsu.
        “Ma, kenapa Mama dan Agoy merahasiakan hal itu, terhadap Rhaissa?”
        “Sayang…, seseorang rela melakukan apa saja demi orang yang di cintainya.” Ia coba menjelaskan. Rhaissa diam, ia mulai mencicipi lagi makan siangnya. Kali ini wanita itu menatap Rhaissa lekat-lekat. ”Sayang… kamu tidak apa-apa?” ia menyentuh tangan Rhaissa. Rhaissa tersenyum. Ia merasa ada yang tidak adil setelah mendengar penuturan Mama.
        “Mama bilang demi kebahagiaan orang yang kita cintai. Ma, aku juga mencintai Mama. Aku ingin sekali melakukan sesuatu untuk Mama, tapi bagaimana?”
        “Kamu tidak perlu melakukan apa-apa sayang… Mama sudah bahagia mendapatkan Arron, dan mendapatkan juga seorang anak perempuan seperti kamu. Itu sudah membuat Mama sangat bahagia.”
        ‘Dia bahagia mendapatkan seorang anak, Agoy. Dan mendapatkan seorang menantu perempuan tapi aku? Tak seorang pun yang bisa aku miliki.’ Sisi lain di hati Rhaissa membrontak. ’Hei, Rhaissa! Kamu memiliki seorang suami yang sangat mencintai kamu dan mertua yang amat sangat menyanyangi kamu. Apalagi yang kamu keluhkan?’ sudut hatinya yang lain memaki.
        “Hee… Mama tidak ingin melihat kamu sedih seperti itu. Mama akan senang sekali kalau kamu menghabiskan makanan mu, hmm…?” ia mengusap tangan Rhaissa sekilas lalu. ”Kamu tunggu sebentar ya, Mama ke belakang dulu.” Ia pergi sebentar dan Rhaissa memandangnya berlalu. Sejujurnya ia agak kecewa karena Agoy merahasiakan tentang dirinya yang tidak bisa memiliki seorang anak. Hati kecilnya bertanya sendiri, bagaimana kelanjutan hubungan mereka nanti? Bisakah bertahan?
        ‘Aku harus melakukan sesuatu. Demi cinta, aku juga bisa berbuat apapun.’
        Mama menghubungi Agoy. Ia mengatakan kalau Rhaissa telah mengetahui semuanya.
        Agoy tentu saja kaget. Tak bisa ia bayangkan bagaimana perasaan Rhaissa saat ini. Ia berdoa semoga di beri ketabahan.
        Di dalam kamarnya, ia mengamati seisi ruangan. Ia menunggu Rhaissa pulang. Ia memandang ke luar jendela dengan perasaan tidak menentu. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi Rhaissa jika sudah kembali. Apa yang harus ia jawab kalau Rhaissa bertanya?
        Saat itu ketika Rhaissa mengajaknya chek up ke dokter, ia berpikir pasti ada yang tidak beres di antara mereka. Untuk itu ia menemui dokter itu terlebih dahulu dan berbicara langsung padanya, agar dokter mengikuti keinginannya. Dan tentu saja dokter itu menolak.
        “Kenapa anda minta saya melakukan hal itu? Itu melanggar etika profesi, dan saya tidak bisa melakukannya.”
        “Saya tahu itu melanggar kode etik kedokteran. Tapi ini demi kebaikan seorang pasien dan demi selamatnya sebuah rumah tangga. Semua ini demi kebaikan dok.”
        “Tapi anda juga harus tahu, ini menyangkut nama baik semua dokter yang ada di dunia ini, jadi.”
        “Dok, saya hanya meminta seandainya istri saya yang bermasalah, dan kalau saya yang bermasalah tidak apa-apa. Makanya saya mohon… kalau istri saya yang mengalaminya, saya tidak ingin dia mengetahuinya. Jika itu terjadi maka jangan katakan apa pun. Dan dokter bisa menagatakan apa saja untuk dia percaya.”
        “Kenapa jika anda yang mandul, saya harus berterus terang?”
        “Karena dia adalah segala-galanya bagi saya. Saya tidak bisa hidup tanpa dia, dan saya tidak ingin dia sedih.” Tutur Agoy serius.
        Dokter itu manggut-manggut. Ia menatap Agoy tak percaya. ’Mana ada orang menikah tidak menginginkan keturunan.’ Pikirnya.
        “Dokter bisa melakukannya?” ia memohon lagi.
        “Terus-terang ini berat sekali.”
        “Tapi saya sangat memohon.” Pinta Agoy lagi.
        “Baiklah, tapi semua ini saya lakukan atas nama kemanusiaan saja. dan anda harus tahu, semua keputusan pasti ada efeknya. Mungkin secara psikis bagi saya dan anda sendiri.”
        “Saya sangat mengerti dok.” Agoy merasa lega karena dokter mau bekerja sama dengannya.
        Agoy menghela napas berat. Kini ia tahu apa resiko dan efek itu baginya  dan juga istrinya…! Namun apa pun yang telah ia lakukan semua itu demi kebaikan. Tapi kebaikan untuk siapa? Yang namanya berbohong tetap saja salah dan tidak baik, apa pun alasannya.
        “Hai…. Kok ngelamun? Tidak biasanya kamu seperti itu?” Rhaissa sudah muncul dari pintu. Agoy menoleh dan tersenyum menyambutnya.
        “Gimana belanjanya?”
        “Ya lumayan capek. Mama belanja banyak sekali, seolah dia ingin membelikan semua isi toko untuk aku, sepertinya dia ingin sekali membahagiakan aku. Oya, aku gak ngerti kenapa ya… semua orang di dunia ini seakan berlomba-lomba ingin melakukan sesuatu demi orang tercintanya? Tanpa berpikir terlebih dahulu bagaimana perasaan orang yang di cintainya tersebut.” Ia meletakkan kantong belanjaanya di dekat lemari. Agoy mengamatinya.
        “Kalau aku salah, maafkan aku…” kata Agoy lembut. Rhaissa menatap pria berhati mulia itu. Ia duduk di bibir ranjang dan menarik napas berat.
        “Jangan bicara seperti itu, maaf.. aku lelah sekali.”
        Agoy mendekatinya. ”Kamu tidak ingin kita membahasnya sekarang?”
        “Membahas apa?”
        “Sayang… tadi Mama telepon aku, kamu sudah mengetahuinya, kan?”
        “Apaa…?” Rhaissa tampak berpikir sesaat. ”O… itu, itu tidak penting, kan?”
        “Aku tahu kamu marah, maafkan aku ya…”
        “Aku tidak marah, jika kamu tidak membicarakannnya berarti tidak penting. Mama ada sih sesuatu yang penting tidak di bicarakan sama istri?” Rhaissa coba menenangkan gejolak di hatinya. ”Jadi buat apa kamu minta maaf.. dan kita tidak perlu membahasnya” Rhaissa masih tenang dan Agoy merasa sangat bersalah. Rhaissa merebahkan tubuhnya. Sepertinya ia memang kelelahan. Agoy mencium keningnya sekilas lalu keluar. Ia menemui Ayahnya. Pria itu sedang menikmati kopinya di teras samping rumah. Ia ikut duduk dan Ayahnya melihat perubahan di wajah putranya.
        “Ada apa? Kamu kok kelihatan bingung?” ia mengulurkan gelas kopinya. Agoy menyunggingkan seulas senyum. Ia meraih kopi Ayahnya dan meneguknya sedikit.
        “Rhaissa Pa… ia mendengar obrolan Arron sama Mama semalam, dia sudah tahu semuanya.”
        Pria itu menatap anaknya dengan serius. ”Bagaimana keadaan Rhaissa sekarang?”
        “Buruk. Dia marah.”
        “Kasian anak itu. Kamu harus membujuknya, apa perlu kita ngomongnya sama-sama? Dan ajak Mama kamu.”
        “Ia bahkan sudah membicarakannya sama Mama, Mama yang memberitahukan sama Arron. Rhaissa mengatakan sama Mama kalau dia mendengarkannya tanpa sengaja.”
Tuan Nathan menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia jadi ikut bingung dan serba salah.
        “Saat ini kamu sebaiknya temani Rhaissa, ini pasti berat sekali buat dia.”
        “Tapi dia malah tidak ingin membicarakannya.”
        “Jangan hiraukan, temani saja dia. Dia butuh dukungan kamu.” Katanya serius. Agoy menatap Papanya dan pria itu mengangguk supaya Agoy kembali ke kamar, menemani Rhaissa.
        Waktu Agoy kembali, Rhaissa baru selesai mandi. Ia bersandar di tepi jendela memandang senja. Agoy ikut bersandar di bahu jendela satunya. Ia menatap Rhaissa dan Rhaissa menoleh lalu menciptakan sebuah senyuman, masih indah senyum itu. Ia melipat kedua tangannya.
        “Kamu tahu bagaimana perasaan aku sekarang?” katanya seperti bertanya pada diri sendiri. Agoy mengangguk. Tapi Rhaissa menggeleng. Kembali ia menoleh ke luar jendela.
        “Sayang… aku tentu saja sangat mengerti.” Ia mendekati wanita itu dan memegang bahunya. ”Aku tahu kamu marah.”
        “Tidak, ini bukan soal marah. Aku tidak mungkin bisa marah sama kamu.”
        “Marah saja, aku tidak keberatan kamu marah. Aku memang pantas menerimanya, kamu tidak perlu menahannya, kamu bisa melampiaskan semua kemarahan kamu sama aku.” Agoy mengusap-usap bahu Rhaissa. Rhaissa tetap menatap ke luar.
        “Aku hanya ingin tanya satu hal, kenapa kamu merahasiakannya?”
        “Karena aku tidak ingin kehilangan kamu.” Jawab Agoy sangat cepat.
        “Kau berpikir begitu?”
        “Tentu saja.” suara Agoy sangat yakin. Rahissa memutar tubuhnya. Ia menatap Agoy seksama.
        “Kamu mengambil keputusan sepihak dan meng-cut perasaan ku.”
        “Maafkan aku.”
        “Tolong jangan bilang maaf lagi.. aku tidak marah, hanya kecewa.. sekarang aku ingin tanya, kenapa kamu mau mempertahankan aku? Apa kamu berpikir kalau aku wanita yang sangat lemah?”
        “Tidak sayang… aku melakukan semua ini karena aku sangat mencintai kamu.” Ia memegang wajah Rhaissa.
        “Tidak, itu bukan cinta, tapi kasihan.”
        “Itu tidak benar.”
Rhaissa menoleh ke arah luar lagi.
        “Oke, kamu bilang akan melakukan apa saja demi kebahagian ku. Aku ingin kamu melakukannya..”
        “Jangan meminta aku melakukan sesuatu yang tidak mungkin bisa aku lakukan.” Ia mendengar nada ancaman dari suara Rhaissa.
        “Tidak sulit dan aku kira kamu pasti bisa melakukannya. Menikah lagi.”
        “Aku sudah menduganya.” Ia meraih wajah Rhaissa dengan lembut. ”Lihat mata ku… apa kamu pikir ada manusia yang sempurna di dunia ini?”
        “Tapi kamu sempurna, kamu bisa punya anak dengan wanita lain.” Ucapnya dengan nada tekanan. Agoy memeluknya namun Rhaissa menolak halus. Baru kali ini hal itu terjadi. Agoy menatap wajah itu.
        “Kalau aku berada di posisi kamu, apa yang harus kamu lakukan? Menikah lagi hanya demi seorang anak???”
        “Tidak, tentu saja tidak. Karena aku mencintai kamu. Tapi ini masalahnya beda.”
        “Di mana letak bedanya?”
        “Tapi kamu sempur….”
        “Ya, aku memang sempurna. Masa kecil yang bahagia, hidup serba berkecukupan, punya orang tua yang hebat, melimpahiku dengan kasih sayang dan memberikan apa pun yang aku butuhkan. Dan menjadi laki-laki mapan, pintar, kaya dan tampan. Lalu menikah dengan seorang wanita yang paling aku cintai lebih dari apapun. Wanita itu juga sangat mencintai aku. Tapi wanita itu tidak bisa memberikan seorang anak pada pria yang sempurna. Itu yang kamu sebut sempurna?”
        “Kamu bisa mendapatkannya dari wanita lain.” Kata Rhaissa seperti mengulangnya lagi.
        “Ya Tuhan… sayang… kenapa kamu belum mengerti juga? Itu bukan cara untuk menutupi satu kekurangan namun menambah kekurangan yang lain. Kalau aku menikah lagi, apa kamu mau melihat aku hidup tanpa cinta? Apa kamu ingin menambah lagi kekurangan satunya? Aku akan sangat menderita bila jauh dari kamu. Dan aku akan lebih menderita lagi kalau melihat kamu sedih. Kalau boleh aku memohon, jangan pernah singgung lagi masalah ini. Kamu lupa ya? Dulu aku pernah mengatan sama kamu.’Apalagi yang aku inginkan di dunia ini kalau sudah mendapatkan kamu? Tidak ada sayang… karena kamu adalah surga ku, kehidupan ku dan sumber kebahagiaan ku.’” Kata Agoy dengan nada masih seperti dulu. Rhaissa menjauhinya, ia duduk di ranjang dan Agoy mengikuitinya.
        “Jangan berpuisi.. aku serius.”
        “Aku juga serius, kenapa kamu menganggap aku berpuisi? Lagian kalau juga puisi itu hal yang serius kok. Seseorang mengatakan isi hatinya yang keluar dari hati yang paling dalam.”
        “Tapi saat ini kata-kata kamu itu tidak keluar dari hati.” Kata Rhaissa masih ngotot. Agoy memeluk pundak Rhaissa. Ia tidak tahu harus ngomong apa lagi selain memeluknya. Diam lama, lalu
        “Kamu ingat saat aku meminta kamu menjadi kekasih ku? Saat itu kamu bilang, jangan meminta sesuatu yang tidak bisa aku berikan. Ingat?”
        Rhaissa menoleh ke wajah Agoy. Itu percakapan sudah tiga tahun lebih. ’Kenapa setiap kata yang pernah keluar dari mulut ku setiap detilnya bisa ia ingat dengan baik?’ ”Aku sendiri tidak ingat.”
        “Tidak apa-apa.” Agoy tidak mempermasalahkannnya. ”Sekarang kita turun ya, Papa dan Mama pasti sudah menunggu untuk makan malam.”
        “Aku….” Rhaissa ragu-ragu.
        “Jangan begitu, aku sangat mengenali kamu.”
        “Baiklah, aku akan menyusul.”
        “Aku menunggu.”
        Rhaissa mengangguk. Ia memandang punggung Agoy yang menjauh dari kamar. Rhaissa menghela napas panjang. Namun di hatinya masih terbesit keinginan untuk menyuruh Agoy menikah lagi. Ia tidak mau memanfaatkan cinta Agoy. Ia tidak boleh egois. Kebahagiaan Agoy adalah kebahagiaanya juga. Ia tidak ingin Agoy dan keluarganya menganggap dia lemah. Ia tidak ingin menghentikan garis keturunan yang ada di rumah ini. Ia merasa memang harus mengalah demi tiga orang dan demi keturunan-keturunan Agoy yang selanjutnya. Ia beranjak dari springbed, dua hari lagi ia dan Agoy akan kembali ke Jakarta. Ketika ia ingin meninggalkan kamar, terdengar suara deringan telepon. Itu suara ponsel Agoy. Ia mengangkatnya.
        “Hai.. hallo handsome.. gimana kabar kamu? Hampir lima tahun aku tidak mendengar suara kamu, tapi aku tidak mungkin lupa dengan suara kamu. Bicara dong…”
        “Iya hallo….”
        “Hei, sejak kapan suara kamu berubah menjadi suara perempuan?”
        “Maaf, saya memang perempuan. Saya Rhaissa.”
        “Oh my God, sorry…. Saya Cathy…. Saya kira anda Arron. Maaf ya saya sepertinya salah sambung.” Katanya sopan. Suara yang penuh semangat itu berubah menjadi rasa tidak enak.
        “Nggak apa-apa number wrong itu biasa.”
        “Oke, sekali lagi sorry…” Cathy mematikan ponselnay ‘Sial’ ia menepikan mobilnya ‘Rhaissa’ siapa wanita itu? Ya Tuhan, apakah itu istrinya Arron? Bodoh, bodoh…!!! Chaty menyalakan ponselnya lagi. Dan Rhaissa menatap nomor yang tadi masuk lagi.
        “Anda tidak salah sambung….”
        “Ya ya.. saya baru ingat. Rhaissa, kamu istrinya Arron ya? Anda wanita yang beruntung. Bisa ketemu?”
        “Ketemu? Dengan Arron? Tentu saja, dia banyak cerita tentang kamu.” Otak Rhaissa mulai bekerja dengan cepat. Ia percaya kalau Chaty itu teman lama Agoy. Syukur-syukur ia mantannya Agoy dan belum menikah atau setidaknya masih single. Hatinya tiba-tiba menjadi berbunga-bunga, seakan menemukan pasangan yang pas untuk Agoy. Ia akan mempertemukan mereka lagi. ”Dia sangat kehilangan kamu selama hampir lima tahun ini. Sepertinya dia masih memikirkan kamu…”
        “Benarkah…?” tadinya ia ingin bertemu dengan Rhaissa, penasaran dia dengan wanita yang berhasil merebut hati Agoy. Tapi mendengar kata-kata Rhaissa membuat Chaty berubah pikiran.”Tapi
 Saya ingin bertemu dengan kamu.” Suara itu biasa-biasa saja. Rhaissa berpikir sejenak. Waktunya tinggal dua hari, apa yang harus ia lakukan. Ia tidak ingin hilang kesempatan untuk mempertemukan Agoy dan Cathy.
        “Cathy… kamu di mana?”
        “Ya di New York.”
        “O ya? Kebetulan sekali.” Rhaissa hampir melonjak kegirangan. ”Kebetulan sekali kami sedang ada di sini. Bagaimana kalau besok aku undang kamu makan malam di rumah Arron?”
        “Mmm… good idea, boleh.”
        “Pukul 19.30. aku tunggu.”
        “Oke, aku pasti datang… da daaa…” suara Cathy terdengar riang.
        ‘Aku akan berhasil.’ Bathin Rhaissa. Ia menatap ponsel itu lalu menghampus nomor yang masuk lalu meletakan kembali di atas meja.
        Tok tok tok.
        Rhaissa menoleh ke pintu. Mama masuk dan menghampirinya. ”Maaf Ma, aku baru aja mau turun, bagaimana dengan Papa?” ia merasa tidak sanggup untuk bertemu dengan Ayah mertuanya.
        “Papa kamu tidak seperti yang kamu khawatirkan sayang… ayolah…, kamu sudah terlambat.” ia meraih tangan Rhaissa. Saat mereka menuruni tangga. Rhaissa berkata.
        “Ma, barusan teman lamanya Agoy telepon. Dia bertanya tentang Agoy, dan aku mengundangnya untuk makan malam di sini besok.”
        “Siapa?”
        “Cathy.” Kata Rhaissa ringan. Langkah Mama terhenti di ikuti Rhaissa. Wanita itu menatap Rhaissa. ”Maaf Ma, aku lancang.” Ia coba membela diri. Wanita itu tersenyum untuk menyembunyikan kekagetannya.
        “Tidak, bukan itu maksud Mama.” Ia melangkah lagi dan kembali di ikuti oleh Rhaissa. ”Apa Arron pernah menceritakan tentang Cathy sebelumnya?”
        “Belum, tapi Agoy pernah cerita banyak tentang teman-teman wanitanya.” Tentang itu ia tidak berbohong. Mama tdiak bertanya lagi. Mereka menuju ruang makan. Malam ini Rhaissa merasa agak sedikit tegang. Seaakan seluruh dunia saat ini sedang menertawakan kekurangannya. Mengejeknya dan kasihan padanya. Di meja makan semua berbicara sangat hati-hati seolah takut kalau Rhaissa tersinggung. Itu membuat Rhaissa merasa sedikit tidak nyaman. Itu membuat ia benci dengan kondisinya saat ini. Ia kasihan dengan keadaan yang menimpa dirinya. Ia gelisah namun telepon Cathy tadi sedikit menghiburnya. Ia bisa menarik napas lega sejenak.
        ‘Aku akan melakukan apa yang seharusnya. Tak peduli itu akan membuat diri ku sendiri sakit.’
        Sorenya Rhaissa semakin gelisah. Cathy akan hadir di antara mereka. Ia memandang keluar jendela. Beberapa hari ini ia senang berada di sana, bahkan sampai berjam-jam.’Cathy nama yang lucu, pasaran namun tetap saja enak di dengar. Seperti apa dia? Ia pasti bisa menjadi pasangan yang ideal untuk Agoy.’ Lamunannya masuk saat mendengar Agoy masuk.
        “Haei… besok kita akan kembali ke Jakarta, apa kamu tidak ingin membeli oleh-oleh? Aku bisa menemani mu. Kalau kemaren-kemaren waktu ku di rebut sama Papa agar aku terus belajar.” Kemaren Agoy mengunjungi kantor Papanya.
        Rhaissa menatap pria itu. ’Kembali? besok?’.”Bukankah kamu masih ada urusan di sini? Aku tidak apa-apa kalau pulang duluan. Pengawal ku dan Ririn bisa menjemput di Bandara kok.” Sepertinya Rhaissa coba membuat peluang yang lebih lama untuk Agoy dan Cathy.
        “Itu bisa di selesaikan dari Jakarta, lagian mana boleh kamu pulang sendiri. Kita kan sudah sepakat untuk pulang besok.” Ia menarik tangan Rhaissa.”Tidak baik terlalu lama berdiri di sini, ayolah..” ia membawa Rhaissa duduk di sofa. Rhaissa memandang ujung kakinya agak lama. Lalu menatap Agoy. Ia ingin mengetahui sesuatu dari pria itu dengan tidak bermaksud menyinggungnya.
        “Boleh aku tanya satu hal?” ia berhati-hati. Agoy mengangguk. ”Kata dokter, penyakit aku apa?”
Agoy tersenyum lagi. Ia mengusap tangan Rhaissa.
        “Aku kan sudah bilang, jangan bicarakan hal itu lagi.”
        “Tapi aku ingin tahu..” suaranya masih pelan. ”Kamu tidak mau kan kalau aku bertanya langsung pada dokter kita?”
        Agoy memperbaiki posisi tubuhnya hingga ia menghadap ke Rhaissa. Ia menatap mata yang ingin tahu itu dengan lekat-lekat. ”Sebenarnya aku tidak mau peduli, yang aku takutkan adalah jangan sampai kamu berubah. Yang ada di diri kamu itu bukan hal yang fatal dan dokter tahu itu. Hanya saja.. aku tidak mengerti istilah kedokterannya.”
        “Itu bukan satu jawaban, aku butuh jawaban dari pertanyaan ku. Untuk itu kan aku bisa berobat.”
        “Ya ya.. dokter bilang ada sejenis virus di rahim kamu, dan itu bisa menghilang dengan sendirinya… dan kamu masih punya banyak harapan.”
        “Nol koma berapa persen?”
        “Sayang… kita kan sudah berjanji untuk tidak membicarakan hal ini lagi?” Agoy berdiri. Ia menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. Lalu kembali menatap Rhaissa yang masih duduk di sofa. ”Honey, Angel… aku kehilangan diri kamu yang asli dalam waktu 48 jam ini. Kamu tidak menatap aku dengan mata mu yang dulu, dan aku nyaris tidak pernah melihat senyum kamu lagi.”
        “Aku…”
        “Aku tahu sayang… setelah mengetahui ini kamu agak sedikit berubah. Aku mohon jangan berubah ya.”
        “Maafkan aku ya… aku ke kamar mandi sebentar.” Rhaissa melangkah ke kamar mandi. Agoy menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur. Rhaissa sendiri menyadari kalau secara pribadi Agoy tidak berubah setelah mengetahui kondisinya namun ia tidak mungkin bisa bersikap sama seperti Agoy. Rhaissa ingin keluar dari kamar mandi namun setelah mendengar deringan ponsel, ia menunggu sejenak. Ternyata Cathy yang menelepon.
        “Hai Cathy… kapan kamu kembali dari Paris?” terdengar suara tawa Agoy. Sesaat kemudian ia bicara lagi. ”Ya ya.. namanya Rhaissa, tentu saja, dia sangat cantik, dia sangat sempurna. Aku begitu mencintainya.” Diam sejenak. Agoy sedang mendengar temannya bicara sejenak. Lalu.. ”Bukannya tidak mengundang mu, ya, kalau kamu pengamat musik dari negeri kita, kamu pasti kenal dia. Tapi aku tahu jenis musik apa yang kamu sukai. O ya?? Rhaissa belum bilang tuh, kalau malam ini dia mengundang kamu makan.” Mendengar itu. Rhaissa bersandar di dinding kamar mandi. Agoy masih ngobrol. ”Sebenarnya iya, tapi karena Rhaissa sudah mengundang kamu, jadi aku tidak bisa bicara apa-apa lagi. Ya terima kasih.” Agoy mematikan ponselnya. Rhaissa menghela napas dan jadi ragu-ragu untuk keluar karena ia memang belum memberitahukan pada Agoy tentang undangan makan itu. Agoy duduk di sofa, ia memandang Rhaissa yang muncul beberapa saat kemudian. Ia duduk di samping Agoy. Agoy langsung merengkuh pundaknya. Rhaissa bicara.
        “Kemaren malam, teman kamu yang bernama Cathy menelepon ke HP kamu. Kebetulan aku yang terima dan….”
        “Kamu mengundangnya makan malam ini, kan?”
        “Ya, kamu keberatan?”  tanyanya. Agoy menggeleng. ”Dia bilang sudah lima tahun kalian tidak bertemu.” Ia masih menatap Agoy. Pria itu mengiyakan.
        “Kami dulu berteman.. bisa di bilang teman dari kecil.. waktu dewasa kami sempat pacaran sebentar dan ternyata tidak cocok… dan sejak lima tahun lalu ia bekerja di Prancis.”
        “Masih sendiri?”
        “Mm, kurang tahu juga. Sejak itu kami tidak pernah saling contact lagi, memangnya kenapa?”
Rhaissa bersandar sembari menarik napas. Agoy mengamatinya seakan coba menebak apa yang ada di pikiran Rhaissa. Ia meraih tubuh itu dan membiarkannya bersandar di bahunya. Ia tidak bisa menebak yang ada di pikiran Rhaissa. Semoga saja bukan hal-hal yang aneh. Meski sudah bersandar di bahu Agoy tetap saja Rhaissa punya niat untuk menyatukan Agoy dengan Cathy. Keinginan itu memang konyol dan yang pasti akan sangat menyakitkan bagi dirinya. Ia berharap Agoy akan mengizikannya untuk pulang lebih dulu ke Jakarta. Dengan harapan Agoy bisa punya waktu lebih lama untuk berdua. Ia juga ingin membuktikan bahwa ia juga bisa melakukan apa saja atas nama cinta. Terlintas di pikirannya kalau ia harus hidup tanpa ada Agoy di sampingnya. Pindah rumah dan yang pasti tidak kembali ke rumah orang tuanya. Mungkin di rumah pribadinya dengan membawa seorang adiknya atau siapa pun yang mau tinggal bersamanya. Ia akan terus berkarir hingga tidak ada lagi yang menginginkannya. Itu akan membuat hidupnya lebih tenang jika harus hidup bersama orang yang ia cintai namun tidak bisa memberikannya kebahagiaan.

        Cathy datang lebih awal, penampilannya agak sedikit menonjol. Ia datang sendiri, dengan jelas Rhaissa bisa melihat kesan menggoda dari penampilan itu. Sengaja atau dari dulu ia memang sudah seperti itu? Hanya keluarga Agoy yang tahu. Ia mengenakan celana panjang yang lembut dan baju tanpa lengan di tutupi syal berwarna gelap. Meski begitu masih terlihat jelas leher putihnya yang jenjang. Sementara Rhaissa mengenakan baju dengan lengan sampai siku di padu dengan celana panjang juga. Dan Agoy, atas permintaan Rhaissa, ia mengenakan celana jin biru gelap dan kaus ketat warna abu-abu. Seolah-oleh ingin memperlihatkan bentuk tubuhnya yang atletis.
        Makan malam yang terkesan kekeluargaan, semula Mama dan Papa bergabung. Basa-basi ala kadarnya serta saling tanya kabar dan keluarga juga tentang kesibukan selama ini. Selanjutnya hanya ada Rhaissa, Agoy dan Cathy. Mereka melewati malam di teras atas sembari menikmati kopi Brasilia. Cathy menatap Rhaissa sejenak. Jujur, ia cemburu dengan keberuntungan yang dia proleh. Wanita anggun itu sepertinya tidak bisa di kalahkan dengan apa pun. Dia begitu menawan, ramah dan selalu tersenyum seolah tidak pernah ada duka di dalam setiap langkah perjalanan hidupnya.
        “Aku menyukai musik namun tidak begitu mengamati perkembangan musik sendiri, kesannya
agak kurang nasionalis ya? Dan itulah sebabnya Arron bilang kalau aku kurang menggemari musik.” Ia menoleh ke Agoy sekilas. Mereka tersenyum. Cathy coba bersikap ramah dan anggun seakan mengikuti Rhaissa. Sepertinya ia mencoba menjadi diri Rhaissa. ”Aku menyukai hampir semua alat musik. Piano, gitar, biola dan aku bahkan sekali-kali mendengar musik klasik. Namun lebih ke musik cadas, serta musik latin. Tapi terus terang aku tidak begitu menyukai musik yang berjenis dangdut...” ia tertawa agak malu membuat Rhaissa ikut tertawa.
        “Tapi ada beberapa orang Asia yang menyukai musik asli Indonesia itu lho.” Kata Rhaissa. Agoy menghirup kopinya lalu ikut bicara.
        “Dangdut itu pada dasarnya bagus, namun zaman sekarang suka di warnai dengan hal-hal yang tidak senonoh.” Agoy diam sejenak. Kedua wanita itu masih menunggunya. ”Tapi hanya penyanyi tertentu saja yang seperti itu. Selainya masih banyak yang memegang keasliannya, terutama penyanyi seniornya.”
        “Mungkin kamu beanr.” Kata Cathy. ”Rhaissa, kamu adalah wanita yang sangat terkenal di Asia. Malam ini aku merasa sangat beruntung bisa kenal dengan kamu. Tapi terus terang, aku agak malu karena tidak begitu mengikuti perkembangan negeri sendiri. Sehingga tidak begitu tahu tentang lagu-lagu kamu.”
        “Tidak masalah, itu hal yang lumrah. Lagian setiap orang itu punya selera sendiri-sendiri, kan?” tutur Rhaissa penuh simpatik. Agoy senang mendengar penuturan bijak Rhaissa. Rhaissa beranjak dari kursinya. ”Maaf ya, aku harus turun sebentar.”
        “Angel..” Agoy coba menahannya. Rhaissa melemparkan senyum. Lalu menoleh ke Cathy.
        “Sebentar ya..” ucapnya. Cathy mengangguk lembut di sertai senyuman. Agoy tentu saja tidak menyadari kalau Rhaissa sedang berusaha meninggalkan mereka berdua dengan Cathy. Cathy menamandang Agoy.
        “Kamu memanggilnya ‘Angel?’”
        “Ya.”
        “Panggilan sayang?” ia terus bertanya. Agoy mengangguk.
        “Romantis sekali. Kamu banyak berubah Ron.. aku sedikit cemburu dengan kehidupan kamu saat ini. Lima tahun kita tidak pernah bertemu, dulu setelah berpisah dari kamu, aku sengaja melarikan diri ke Paris untuk melupakan kamu. Tapi… aku tahu kita tidak cocok untuk pacaran... tujuh bulan menjalin kasih rasanya lebih sakit dari puluhan tahun kita sebagai teman. Setahun yang lalu aku mendapat kabar dari teman kalau kamu sudah menemukan jantung hati kamu. Kamu sangat bahagia tentunya, seharusnya aku senang namun entah kenapa ada rasa tidak rela di hati ku. Maafkan aku, karena tidak bisa melupakan mu. Kamu dan Rhaissa benar-benar pasangan yang serasi, dia wanita tipe kamu banget. Semua yang kamu inginkan ada pada dirinya…”
        Agoy merasa tersanjung mendengar itu. ”Kamu juga. Kamu akan menemukan pria idaman kamu, yakinlah. Dan mengenai masalah itu, aku rasa yang tidak bisa kamu lupakan itu adalah hanya rasa pertemanan kita. Aku juga sering merasakannya, sering mengingat kamu.” Agoy meyakinkan Cathy dan dirinya juga.
        Namun dalam hati Cathy menggeleng. ’Pria idaman? Tidak ada selain kamu, Arron. Tapi kamu sama sekali tidak memahami perasaan ku’ ”Mm.. kalian menikah sudah tiga tahun, kan? Apa karena karir, Rhaissa menunda untuk punya momongan?” itu pertanyaan biasa untuk orang yang sudah menikah jika belum memiliki anak. Apalagi pasangan sibuk seperti Agoy dan Rhaissa. Tapi ketika Cathy menanyakan itu Agoy merasa tidak nyaman. Karena sama sekali ia tidak menyangka kalau pertanyaan itu akan keluar dari mulut Cathy.
        “Anak adalah sebuah rencana dan titipan dari Tuhan, jadi hanya Tuhan yang bisa menentukannya.” Agoy bersandar di kursinya. Cathy tidak mengerti maksud Agoy maka ia pun mulai menebak dengan nada agak nakal.
        “Apa kamu ada masalah? Atau Rhaissanya? Mm.. kalau Rhaissa tidak bisa, aku bisa melakukannya untuk kamu.” Ia mulai menggoda Agoy.