PABILA, CINTA ITU TULUS
YANG TAK TERSENTUH….,
Jutaan wanita tersenyum
bangga melihat penampilan mu.
Karena kau memegang teguh
citra kaum mu.
Jutaan pria ingin menjamah
mu, mereka menatap penuh kekaguman.
Diri mu terus terbalut
busana indah bak demi kayangan.
Anak kecil hingga
orang tua menyukai suara mu.
Mengenali suara mu
dan wajah mu.. hingga ke mancanegara.
Kau selalu
tersenyum di setiap langkah mu,
Dan, senyum itu
sangat menawan,
Meresahkan jiwa ku,
membangunkan setiap tidur malam ku.
Kau begitu tinggi untuk di
gapai, begitu dalam untuk di selam.
Dan begitu jauh untuk di
raih…
Pabila, kamu bukan
milik jutaan orang…
Mungkin sekarang
kamu sudah menjadi milik ku satu-satunya.
Pabila, kamu bukan
orang terkenal maka kamu akan ku rengkuh ke dalam hati ku.
Pabila, kamu hanya
perempuan biasa, maka aku tak akan pernah merasa semiskin ini.
Pabila, kamu telah
menyanyi, maka telinga ini tak kan
bisa mendengar yang lainnya.
Pabila, kamu menebarkan
senyum, maka seisi alam ini akan merasa cemburu.
Rhaissa meletakkan lembaran puisi itu di atas
mejanya. Itu lembaran yang ke
77 ia terima. Yang di kirim
oleh seseorang dengan tulisan tangan, tanpa nama dan isinya tetap sama. Bukan
di copy bukan pula di cetak. Rhaissa tidak pernah bosan untuk membacanya. Lembaran
pertama ia terima adalah tepat setahun yang lalu.
Puisi-puisi itu terkadang menghiburnya,
tak jarang juga membuatnya menangis. Jika ia telah selesai membacanya, ia
merasa seakan berada di antara mimpi dan kenyataan, sehingga tanpa sadar suara hatinya
menjawab…..
Pabila,
aku tidak seperti sekarang ini,
maka tentunya saat ini kita sedang duduk berdua di pan-
tai, memandang laut luas yang tak terbatas dan tak berujung…
Pabila......
Rhaissa coba merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang mahal, kenyataan saat ini
sepertinya sangat berbeda apabila ia telah berada di atas
panggung, di elu-elukan oleh
jutaan penggemarnya. Saat ini ia merasakan sepi yang amat sangat. Ia merasa
seolah tidak seorang pun yang bisa memahaminya. Dan puisi-puisi itu sering kali
mengganggu pikirannya. Ia menatap langit-langit kamarnya dan perasannya tambah
berkecamuk. Ia menghela napas dengan berat.
Rhaissa adalah anak ke lima dari sembilan
bersaudara. Ayahnya seorang guru SD dan Ibunya
seorang
adalah seorang Ibu rumah tangga biasa. Yang siap melayani keluarganya dalam 24
jam.
Rhaissa kecil saat menginjak usia 2
tahun, sudah berani menyanyi di depan umum, baik di acara kawinan ataupun acara
17-san. Ia senang sekali kalau di minta untuk menyanyi. Keempat saudaranya
sangat menyayanginya. Ia memiliki dua kakak laki-laki dan dua perempuan. Ibunya
perlahan mulai menyadari kalau anak bungsunya itu memiliki bakat menyanyi,
seperti halnya ia pun senang menyanyi juga Neneknya.
Rhaissa kecil sebenarnya ingin menjadi seorang guru, seperti Ayahnya. Meski ia sadar profesi seorang guru itu memiliki gaji yang sangat kecil. Itu dulu. Sebagai seorang guru, Ayahnya mengalami banyak sekali kesulitan dalam membiayai anak-anaknya. Rhaissa ingat betul saat SMP ia terpaksa gantian ke sekolah dengan abangnya, sehari masuk sehari tidak lantaran kekurangan uang transport. Saat ia usia 3 tahun, ia memiliki seorang adik perempuan. Namun Rhaissa tetap senang menyanyi. Dan suatu hari seorang guru SD-nya melihat ada kilauan mutiara pada diri Rhaissa, maka guru keseniannya itu pun rela mengajar jam tambahan untuk Rhaissa di luar jam sekolah. Ia pun menjelaskan pada Ibu Rhaissa kalau anaknya yang satu itu memiliki suara emas. Dan dari tahun ke tahun Rhaissa tetap sekolah dan terus menyanyi, hingga suatu hari seorang pencari bakat menemukan nya. Saat itu Rhaissa duduk di kelas 2 SMP.
Seorang pria 35-an menemui orang tua
Rhaissa dan guru keseniaannya. Karena ia tahu Rhaissa memiliki suara emas dan
itu saja tidak cukup. Ia memiliki sebuah lagu dan ia merasakan kalau Rhaissa
cocok untuk menyanyikannya. Maka atas kesepakatan mereka, selepas pulang dari
sekolah Rhaissa di minta untuk datang ke studionya. Bukan untuk rekamam tapi
untuk belajar, itu berlangsung hampir setiap hari dan nyaris dua jam sehari.
Lama-lama Rhaissa merasa bosan dan jenuh. Karena setiap hari belajar, ya
menari, belajar vocal dan esoknya lagi ia belajar tentang kepribadian. Di
tambah lagi dengan ilmu psikologi, Rhaissa merasa belum memerlukan semua itu.
Kalau saja ia tidak merasa senang menyanyi, maka sudah pasti ia tinggalkan
semua itu, karena sangat melelahkan. Tetapi Rhaissa di didik oleh Ibunya untuk
menjadi seorang yang sabar. Dengan mengatakan bahwa Rhaissa sangat beruntung
karena bisa sekolah musik tanpa harus mengeluarkan uang. Rhaissa yang nyaris
putus asa bangkit kembali, karena seringnya mendengarkan petuah sang Bunda
tersayang.
Bulan ketiga, pria itu membawa Rhaissa
ke dapur rekamam. Itulah saat-saat yang di tunggu oleh Rhaissa, ia akan menjadi
seorang penyanyi. Dan akan di kenal oleh banyak orang. Pastinya akan
menyenangkan, masuk dapur rekaman saat usia 14 tahun.
Itu peristiwa 9 tahun yang lalu.
Saat ini, Rhaissa sudah mempunyai 4
orang adik. Satu perempuan dan tiga laki-laki. Dan 3 keponakan yang lucu-lucu.
Ayahnya sudah pensiun, dan Ibunya sudah memiliki perpustakaan sendiri di dalam
rumah, karena keluarga mereka senang membaca. Rhaissa juga sudah memiliki
beberapa rumah dan deposito yang banyak. Rhaissa bukan di lahirkan di kota Metropolitan tapi di
Bengkulu. Sebuah kota
kecil yang indah. Namun kini mereka sudah menetap di Ibu kota
dan tetap sering pulang ke Bengkulu, kota
kelahiran mereka.
Rhaissa tidak pernah kekurangan kasih
sayang. Karena mereka sering berkumpul dan di rumah yang mereka tempati
sekarang di huni oleh lebih kurang sepuluh orang. Rumah yang selalu ramai dan
setiap bepergian Rhaissa di temani oleh seorang penangawal, dan kakak
perempuannya yang merangkap sebagai manager, dan di tambah seorang asisten
pribadi Rhaissa. Rhaissa sebenarnya tidak membutuhkan pengawal, karena
menurutnya secara tidak langsung itu akan menjadi jarak antara dia dengan para
penggemarnya. Namun sang kakak yang sebagai manager berkehendak lain,
menurutnya pengawal adalah symbol ketenangan. Seorang penggemar bila sudah
histeris maka akal sehat pun ter-
lupakan.
Rhaissa telah menjadi seorang penyanyi nomor satu di negri ini, dengan ciri
khasnya sendiri. Dia seorang bintang yang tidak gila dengan dunia glamour, yang
penuh dengan serba kepalsuan. Namun dia adalah seorang bintang yang
sesungguhnya, yang berkarakter dan berwibawa. Sejak masuk dapur rekaman hingga
detik ini tidak ada yang berubah pada dirinya, alisnya tidak di cukur, kuku jarinya
tak ada satu pun yang panjang, semua terlihat normal. Hanya sekali-kali mamakai
wig, tidak suka memakai kutek dan Make Up seperlunya. Setiap busana yang ia
kenakan asli berkarakter Asia Timur, Melayu. Negara yang ia cintai.
Dia wanita Asia
yang di kagumi jutaan orang, dengan modal suara yang dahsyat, kepribadian yang
anggun, sopan, sangat bertata krama dan feminin. Selalu tersenyum kepada semua
orang dan cantik. Cantik alami yang bisa
di hitung dengan jari ada berapa artis di negeri ini yang cantik natural
saperti Rhaissa. Apabila ia menyanyi di panggung ia tak ubahnya seperti sang
putri. Sapaan pertamanya adalah senyuman. Pembawaannya sangat lembut. Bisa di
pastikan seorang pangeran dari negeri seberang pun akan rela meninggalkan
tahtanya hanya demi seorang Rhaissa.
Rhaissa memang sangat terkenal, milik
publik dan milik para penggemarnya. Dia seorang kakak, seorang adik dan seorang
anak. Namun dia tetaplah seorang gadis remaja, dengan usiannya yang kini
menginjak 23 tahun. Di setiap event,
lagu-lagu Rhaissa bisa di pastikan mendapat Award,
baik di negeri sendiri maupun di negeri tetangga. Keluarga dan orang-orang
yang berada di belakangnya sangat bangga dengannya. Tak terkecuali Rhaissanya
sendiri. Namun di balik semua itu ada yang tidak bisa ia gapai, yaitu cinta
seorang kekasih seusianya. Atau maksimal lima
tahun di atas usianya. Bukan pria yang kebapak-bapaan, karena ia sudah punya
seorang Ayah. Tapi seorang laki-laki yang mencintainya sebagai seorang kekasih.
Tetapi apakah ada seorang laki-laki yang seusia Rhaissa yang mempunyai
penghasilan melebihi Rhaissa?
Tentu saja ada!
Tapi
di mana pria itu???
Setiap pria yang coba mendekatinya
selalu berpendapat tidak bisa hidup dengan harta yang di miliki Rhaissa. Mereka
selalu mundur. Dan pabila Rhaissa coba untuk serius, dengan berkomitmen untuk
berhenti menyanyi, dan ia pun menemukan ketidakseriusan dari pihak sang pria.
Ternyata ada juga pria matre di dunia ini. Ia belum menemukan cinta yang
benar-benar tulus.
Rhaissa coba menuliskan lirik-lirik
lagu, itu terdorong dari puisi-puisi itu, semacam sebuah jawaban dari puisi
fansnya yang sering membuatnya penasaran itu. Rhaissa tidak berani membayangkan
seperti apa pria itu. Yang pasti dia adalah pengagum sejati. Yang selalu
mengikuti perjalanan karir Rhaissa.
Suatu malam, Rhaissa menerima telepon
dari seseorang masuk ke ponsel pribadinya. Tanpa nama dan itu tidak biasa.
“Hallo… selamat malam Angel.” Itu suara
seorang pria.
“Yaa… selamat malam, ini siapa?”
“Sebelumnya saya mau minta maaf, karena
sayalah yang mengirim puisi-puisi itu.” Suaranya sangat sopan dan berwibawa.
Rhaissa yang tadinya hendak tidur, kini terpaksa duduk dan bersandar di
ranjangnya.
“Mmm.. apa maksud dari semua ini?” nada
suara Rhaissa tenang namun agak bergetar.
“Tolong jangan menganggap saya meneror
anda, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin menyampaikan perasaan
saya yang tulus kepada anda, sangat tulus Angel…. Malam ini saya menelepon karena
saya tidak tahan melihat kamu menangis di video klip terakhir kamu. Kamu tahu,
saya sangat terpukul melihat air mata kamu itu. Itu sangat menyakitkan saya,
apalagi di video itu model prianya terlihat sangat cuek sekali. Angel, kalau
kamu membuat klip lagi, jangan sampai menangis ya, karena saya benar-benar
tidak tahan melihatnya. Tapi saya tidak mungkin akan berhenti
untuk
menonton klip-klip kamu, karena hanya itu yang
bisa membuat saya tenang. Mm.. mimpi indah buat kamu..” katanya akhirnya
lalu menutup telepon tanpa memberi kesempatan Rhaissa bicara. Rhaissa menghela
napas panjang.
Ya Tuhan, dari mana dia mendapatkan
nomor ponsel ku? Pasti dia bukan pria sembarangan. Rhaissa turun dari tempat
tidurnya, untuk menyetel kembali DVD terbarunya dengan model terbaik saat ini.
Isi cerita dalam lirik lagu itu menceritakan seorang wanita yang kehilangan
kekasihnya. Rhaissa memang selalu menghayati setiap lagu-lagunya. Dan bukan
saja tuntutan isi lagu, karena kenyataannya lirik di lagu itu benar-benar sedih.
Rhaissa terus menatap klip itu hingga tanpa ia sadari air matanya ikut menetes
lagi. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa pria yang meneleponnya tadi ikut menonton
bersamanya. Selanjutnya ia tidak bisa memejamkan mata nyaris semalaman. Setiap
kata yang di ucapkan pria itu terus terngiang di telinganya. Tanpa bisa ia
kontrol, pikirannya terus ke pria itu. Suaranya benar-benar enak di dengar, dan
ia mengambil lagi salah satu puisi yang menumpuk di atas meja kecilnya dan
membacanya berulang-ulang.
Paginya ia memceritakan kejadian itu
kepada kakaknya, Dina yang menjadi managernya. Sang kakak yang sudah
bertunangan itu sangat memahami dan mengerti adiknya.
“Itu hanya cinta buta seorang penggemar
sayang, kak Dina harap kamu jangan sampai terbawa arus ya.”
“Kak Dina, tapi ini lain.” Protes
Rhaissa manja namun serius. ”Mana ada sih seorang penggemar yang mengamati aku
menangis di dalam video klip? Dan puisi-puisi itu tidak pernah berubah, kak.”
“Sayang, asal kamu tahu ya, dia itu
bukan laki-laki gentleman. Sebaiknya kamu mempersiapkan diri kamu untuk acara live di televisi nanti malam.
Rhaissa menghela napas pendek. ”Baiklah,
hh… bagaimana kalau kita ke Mal dulu?”
Kak
Dina tersenyum, ia menatap adiknya dan berkata sebagai manager.
“Hari ini tidak ada jadwal belanja
karena kamu harus istirahat yang cukup.”
“Tapi aku masih bisa istirahat setelah
pulang dari Mal kan,
kak?” pinta Rhaissa seakan sangat mamahami kondisinya. Wajah itu sangat memohon
membuat kak Dina tidak tega. Akhirnya ia mengangguk setelah menarik napas
panjang.
“Oke, dengan catatan harus ingat
tanggungjawab.”
Rhaissa langsung memeluk kak Dina. ”Terima
kasih kak.” Rhaissa langsung bergegas menggantikan bajunya dengan sangat
bergairah. Wanita berambut bob itu mengamati adiknya. Yang sudah mengenakan
celana jin, kaus lengan panjang berwarna krem dan memakai topi dengan tetap
membiarkan rambutnya tergerai indah.
“Jangan lupa kaca mata kamu.” Ingat kak
Dina.
Rhaissa memang hobi mengoleksi kaca
mata tapi bukan berwarna hitam. Paling gelap berwarna coklat tua. Ia tidak
pernah terpengaruh dengan dunia Barat yang terus melaju pesat, yang nota
benenya di sukai oleh banyak kalangan remaja Timur. Setiap tahun dunia mode
memang terus berkembang, namun bukan berarti ia harus mengikutinya. Karena
belum tentu cocok untuk karakter dirinya sendiri. Sebab ia yakin, yang ada di
Timur juga akan terus berkembang. Jika kita berlomba-lomba untuk mengikuti
trend Barat, maka siapa yang akan menciptakan trend di tempat kita sendiri. Dan
budaya Timur adalah menempatkan seorang wanita sebagai sosok yang agung bak
hiasan dunia.
Mungkin banyak orang berpendapat, bahwa
Rhaissa bukanlah seorang artis modern. Namun ia adalah seorang penyanyi bukan
super model. Bagaimana pun ia punya prinsip yang kuat berkat didikan orang
tuanya. Dengan selalu tampil anggun ia pun bisa memikat jutaan orang. Orang
menyukainya dan memujinya. Itu terbukti dengan hasil penjualan CD dan DVD-nya
yang selalu menempati hasil teratas. Ia mendapat double platinum dan hasil dari
RBT-nya mencapai milyaran rupiah. Undangan untuk tampil di luar negri pun tak
pernah sepi. Rhaissa adalah Rhaissa yang hidup di dunia artisnya sendiri. Tidak
perlu mengikuti bintang top sebelumnya atau mengekor karakter ---
orang.
Hari ini Rhaissa pergi hanya di temani
kakaknya dan seorang pengawal. Tadinya ia ingin pergi bersama kakaknya dan
menyetir sendiri, pasti menyenangkan. Karena ia sudah lama tidak menyetir
sendiri. Namun kak Dina tidak mengizinkannya. Rhaissa memasuki lift Mal. Setiap
orang yang kenal dan berani, pasti mendekatinya dan minta foto bareng serta
tanda tangan. Dan yang tidak berani hanya kagum memandang dari kejauhan. Tapi
tidak sedikit hanya sekedar menegurnya dan menyapa manis. Namun ada pula yang
tidak yakin kalau itu adalah Rhaissa seorang artis berkelas yang jalan-jalan di
tempat keramaian. Rhaissa mempunyai tahi lalat kecil di atas bibir sebelah
kanannya. Itu melengkapi kesempurnaan senyum tulusnya untuk semua orang di tambah
lagi dengan gigi yang tersusun indah dan rapih. Tegur sapanya yang lembut
membuat orang ingin terus mendengar suaranya. Ia simbol wanita sejati. Mungkin
seumur hidupnya ia tidak pernah marah.
Saat Rhaissa, kak Dina dan pengawalnya
ingin masuk ke sebuah kafe untuk makan siang. Seorang pemuda nyaris bertabrakan
dengan Rhaissa. Sosok pria berdasi yang terlihat seperti orang sibuk. Lengan
pria itu mengenai bahu Rhaissa. Dan pria itu menoleh.
“Oo… maaf.” Katanya pendek. Detik
berikutnya, keduanya bertatapan begitu dekat. Pria itu terus menatap mata
Rhaissa yang ada di balik kaca mata coklatnya. Ia pasti tidak kenal dengan
Rhaissa. Pria maskulin itu tersenyum tipis dan senyum itu sempat membuat
jantung Rhaissa lemas. Waktu seakan terhenti untuk melihat senyum itu. Rhaissa
membuka kaca matanya dan laki-laki tolol itu masih tidak mengenalinya. Ia
tersenyum lagi dan mengucapkan kata-kata maaf untuk kedua kalinya.”Maafkan
saya.”
“Sama-sama.” Balas Rhaissa. Mendengar
suara Rhaissa memaksa pria itu menarik napas dalam.
“Ais.. kamu nggak apa-apa?” Dina
memegang tangan adiknya. Itu panggilan sayang.
“Nggak, nggak papa kok, kak.” Rhaissa
kembali memasang kaca matanya. Pria itu telah berlalu dan duduk bersama seorang
temannya yang berdasi juga, saat Rhaissa menoleh ia sudah terlihat asyik dengan
rekannya itu. Dina mengambil tempat duduk tiga meja dari pria itu, agak jauh
namun Rhaissa masih bisa melirik kesana. Tanpa di ketahui oleh Rhaissa, pria
itu sekali-kali mencuri pandang ke Rhaissa, dan menatapnya. Meski terlihat cuek
namun penuh rasa keingintahuan. Ada
kilauan dan rasa penasaran di mata itu.
“Ais.., apa kamu mengenali pria tadi?”
Tanya kak Dina tiba-tiba di saat mereka menikmati makan siangnya.
“Entahlah…” kata Rhaissa datar. Dina
menatap adiknya yang menjawab pertanyaan tidak seperti biasanya. Dan terdengar
aneh di telinganya. Dina tertawa kecil.
“Yang pasti dia bukan seorang pengagum,
dia sama sekali tidak mengenali kamu.”
“Mungkin. Ia pasti mengagumi seorang
Madonna.” Kata Rhaissa sembari tertawa halus. ”Tapi… aku merasa pernah
mendengar suaranya. Mungkin aku pernah mendengar suara itu sebelumnya, namun
entah di mana dan kapan?” kening Rhaissa bertaut seakan coba mengingatnya.
“Sudahlah, habiskan sisa makanan mu dan
kita akan segera kembali. Setidaknya kamu harus istirahat dua jam penuh, oke.”
Kata Dina semacam printah. Rhaissa tersenyum dan saat ia menoleh ke arah pria
tadi, kursi itu telah di isi oleh orang lain. Wow… cepat sekali mereka
menghilang. Membuat Rhaissa tambah penasaran.
Rhaissa hanya membawa pulang sepasang
sepatu buatan Indonesia.
Ia tidak pernah gengsi untuk memakai produk dalam negri.
Rhaissa mengisi acara siaran langsung
di televisi swasta, selain menyanyi ia juga akan menerima tanya jawab langsung
dari penonton yang ada di rumah. Itu acara interaktif yang sering di adakan
televisi tersebut, dan malam itu akan terasa istimewa karena bintang tamunya
adalah Rhaissa. Rhaissa membawakan lagu-lagu anyarnya dan di iringi oleh tiga
penari latar. Lagu kedua tanpa penari dan itu
membuat
para penonton bisa fokus melihat penampilannya di atas panggung. Di saat anak
muda tergila-gila dengan Justin Biber dan anak band Smash maka Rhaisaa punya
penggemar dari berbagai kalangan…, Dan setelah jeda iklan,
Baru di beri kesempatan telepon masuk
dengan di pandu oleh seorang host. Rhaissa duduk di temani host pria yang sudah
sangat di kenali di dunia pertelevisian. Telepon pertama masuk.
“Halo…?” host itu yang mengangkat.
“Halo, selamat malam.” Peneleponnya seorang
wanita.
“Dengan siapa dan di mana?” masih host.
“Dengan Cut Lara dari Aceh.”
“O, jauh sekali. Apa yang mau di
tanyakan silahkan langsung kepada Rhaissa-nya.” Dan detik itu wajah Rhaissa
langsung di zoom.
“Ya, terima kasih. Selamat malam
Rhaissa.”
“Ya, selamat malam juga Lara.” Senyum
Rhaissa sudah mengembang. Ia menunggu.
“Saya hanya ingin menanyakan, apakah
sebelum menjadi seorang Rhaissa seperti sekarang ini, pernahkah merasakan
perjuangan hidup yang begitu pahit? Itu saja, terima kasih.”
“Bagaimana?” presenter muda itu menoleh
pada Rhaissa. Rhaissa tersenyum dan menghela napas. Seandainya Cut Lara
mengikuti perjalanan karirnya tentu ia tidak perlu bertanya seperti itu.
Seharusnya ia bertanya,’Siapa pacar Rhaissa dan kapan akan menikah?’ namun
bagaimana pun juga Rhaissa harus menjawab pertanyaan itu.
“Terima kasih Lara, ini mungkin bukan
sebuah jawaban tapi sebuah kisah yang sangat luar biasa, mungkin kamu belum
tahu kalau saya mempunyai sembilan orang saudara. Saya anak kelima dari anak
seorang guru sekolah dasar, dan seorang Ibu yang sabar, penyayang dan pintar,
seorang Ibu rumah tangga biasa, tapi saat itu saya merasa bukan kehidupan yang
pahit, namun kehidupan yang penuh cinta dan kasih sayang. Kami bisa melewatinya
dan kami tidak akan pernah melupakan saat-saat seperti itu.” Ujar Rhaissa
dengan penuh kewibawaan dan sepertinya ia baru saja mengalami masa kecilnya.
“Oke… mudah-mudahan Cut Lara puas
dengan penuturan Rhaissa barusan, sseperti yang kita tahu bahwa Rhaissa sangat
mengagumi keluarganya. Kita menerima penelpon ke dua, sebelum break,
silahkan….”
“Halo….” Penelepon langsung masuk. Kali
ini seorang pria.
“Ya silahkan.” Kata hostnya.
“Saya Agoy di Jakarta, sebenarnya saya
tidak punya satu pertanyaan pun untuk Rhaissa. Saya hanya ingin memberi sedikit
kekaguman atas… mm… Tuhan maha besar dan perancang busananya yang brillian, dan
malam ini Rhaissa terlihat sangat cantik sekali….” Kata-kata itu semacam pujian
seorang juri di ajang lomba. Rhaissa hanya tersenyum dewasa.
“Terima kasih.” Balasnya singkat. Ia
tidak biasa menerima pujian dengan besar kepala. Itu ajaran di dalam
keluarganya.
“Wow….” Host itu melirik Rhaissa. ”Anda
memang benar Agoy.”
Semua
orang juga sudah tahu kalau malam itu penampilan Rhaissa seperti putri dari
negri dongeng. Ia mengenakan busana dari perancang ternama dengan gaun berwarna
hijau muda. Seorang perancang akan senang jika karyanya di kenakan oleh
Rhaissa. Karena itu merupakan kepuasan tersendiri bagi mereka begitu pun
Rhaissa. Ada
juga yang beranggapa kalau Rhaissa tak ubahnya seperti maneken di sebuah mega
Mal. Apabila ia mengenakan sesuatu maka konsumen langsung tertarik untuk
membelinya. Bukankah itu secara tidak langsung menunjukkan kalau Rhaissa bisa
juga di bilang sebagai super model? Sepertinya tidak ada yang bisa membantah
itu.
Dari semua telepon yang masuk malam
itu, hanya pernyataan Agoy yang berkesan untuk Rhaissa. Bukan lantaran
pujiannya, namun ketulusan di dalam kata-kata itu. Menjelang tidur, hampir
pukul dua dini hari. Rhaissa yang lelah ingin istirahat dan seharusnya ia tidak
mengaktifkan ponselnya. Karena segala sesuatu bisa melalui kak Dina dan
asistennya. Sehingga ia tidak harus mengangkat telepon seperti saat ini. Dengan
tenaga tersisa ia menempelkan ponsel ke telinganya.
“Hallooo…”
“Hai, maaf ya, saya mengganggu
sebentar, sebentaaaar saja.” Dan suara itu sudah sangat di kenali oleh Rhaissa.
Namun kali ini ia tidak mengangak kepalanya yang sudah terasa berat. ”Saya Agoy
yang tadi siang bertemu kamu di kafe, dan setelah kejadian itu saya melihat
kamu di televisi. Semoga saya tidak salah, bahwa yang saya jumpai siang itu
adalah kamu yang semalam. Oke, itu saja, terima kasih, mimpi indah.” Belum
sempat di jawab, suara di seberang sudah menghilang. Rhaissa melihat nomor Agoy
di layar ponselnya, terbersit di benaknya untuk menelepon balik namun urung.
Kini ia hanya bisa mengingat pertemuan siang itu. Lagi-lagi ada orang asing
yang tahu nomor pribadinya. Ia pun memutuskan untuk mematikan ponselnya. Dan
sejak saat itu kak Dina tidak mengizinkannya memegang HP. Semua telepon yang
masuk harus melalui dia dan twitter pun kak Dina yang membalasnya. Dan itu
membuat Agoy kesulitan untuk menghubunginya Rhaissa dan setiap ia coba
menghubungi manager Rhaissa selalu menanyakan ada perlu apa dan siapa, apa
sudah punya janji, dan kalau belum harus bikin janji dulu. Dan saat Agoy
menyebut nama panjangnya barulah si manager mengetahui siapa Agoy itu
sesungguhnya. Kak Dina tahu betul siapa Agoy, dia seorang pemuda kelahiran Jakarta, besar dan sekolah
di negri paman Sam. Orang tuanya punya bisnis perhotelan di negeri itu. Agoy
kembali ke tanah air untuk membuka bisnis yang sama. Dia anak muda yang
mewarisi jiwa bisnis dari Ayahnya. Maka selesai kuliah empat tahun, di tambah
dengan dua tahun pengalaman kerja, dia pun memberanikan diri untuk membuka
usaha sendiri. Dan di saat usianya mendekati 25 tahun ia sudah bisa menempati
apartemen mewah, dan memiliki segala yang di inginkan anak muda zaman sekarang.
Tinggal sendirian di apartemennya sebab kedua orang tuanya masih menetap di
Amerika.
Setelah menyelesaikan syuting klip ke
dua untuk lagu yang sama di kawasan Puncak. Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Ririn si manager
baru bertanya pada Rhaissa.
“Rhaissa, mau dan bisa gak ketemu
seseorang?”
Rhaissa
menoleh ke arah managernya yang duduk tepat di sebelahnya. Wanita muda itu
tersenyum.
“Kamu ini aneh, kan kamu yang mengatur semua jadwal ku. Jadi
kenapa bertanya seperti itu?”
“Tapi bertemu dengan orang yang satu
ini tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pekerjaan. Bukan juga untuk acara
jumpa fans, tapi dia mengajak kamu nge-date.”
“Whats..??” Rhaissa tertawa. Kak Dina
pun yang duduk di sebelahnya ikut tertawa. Ia kini bukan sebagai manager
Rhaissa tapi sebagai orang yang siap menemi kemanapun Rhaissa pergi.
“Aku serius Rhaissa, nama pria itu Agoy.”
Ririn menatap Rhaissa. Rhaissa pun menatap Ririn tak percaya.
“Agoy…?” ulangnya pelan. ”Agoy?” nama
itu terucap lagi.
“Hei hei…. Ada apa dengan kamu, Rhaissa?” Dina melirik
adiknya yang terlihat seperti orang linglung. ”Agoy itu yang ikut
berpartisifasi dalam acara di televisi malam itu kan, Ais?”
“Mungkin, tapi tidak ada yang bisa
menebak kan,
berapa pria yang bernama Agoy di negri ini?”
“Tapi dia bilang kamu kenal dia.
Katanya ia pernah bertemu dengan kamu di mega Mal waktu makan siang bersama kak
Dina.” Tambah Ririn.
“Ya Tuhan, pria itu?”
“Dia bukan tipe pria pecundang, kan?” kak Dina seperti
bertanya pada Rhaissa.
“Semoga.” Jawab Rhaissa seakan
berharap.
Dina menatap adiknya. ”Apa kamu sedang
jatuh cinta?”
Rhaissa
seakan tersadar dengan jawabannya barusan, ia tersenyum.
“Jatuh cinta? O o… bagaimana mungkin?
Kalian kan
lebih mengenali aku melebihi aku sendiri.”
“Oke,
sekarang gimana? Apa mau terima gak telepon dari dia?” tegas Ririn.
“Menurut kalian, apa harus?”
“Keputusannya ada di tangan kamu, Ais.”
Kata Dina yang sudah tahu siapa si Agoy itu.
“Baiklah, suruh dia telepon aku nanti
malam.” Kata Rhaissa dengan pasti. Kak Dina mengeluarkan ponsel dari dalam
tasnya kemudian menyerahkan pada Rhaissa. Rhaissa menatap kakaknya sembari
tersenyum. ”Nanti malam kok, kak.”
“Tidak ada salahnya kan, kakak memberikan ponsel ini sekarang?”
kak Dina melirik nakal ke Rhaissa. Ririn tertawa dan akhirnya ketiganya ikut
tertawa. Beberapa menit setelah menerima ponsel, Rhaissa pun tertidur di mobil.
Sembari mendengarkan lagu Celine Dion.
Ia mennyukai diva asal Canada
itu.
“Dia kecapean sekali.” Ujar Ririn
sembari menatap Rhaissa sejenak. Dina pun mengiyakannya. Mereka pun akhirnya
ikut menyandar di jok mobil yang empuk itu. Setengah jam lagi mereka akan tiba
di rumah. Minggu depan mereka akan ke Singapura. Rhaissa di undang untuk
menghadiri acara Award di negri tetangga itu. Kebetulan lagu Rhaissa masuk
nominasi sebagai favorit famele Artist. Dan perancang busana handal negeri ini telah menyiapakan
gaun untuk Rhaissa, yang menyukai warna hijau muda.
Malamnya Rhaissa meneruskan menulis
lirik-lirik lagu, dia jarang menulis, ide menulis itu pun ia dapat berkat
sering membaca puisi-puisi yang di kirim secara misterius itu. Dan pengirimnya
menyebut dia dengan panggilan ‘Angel’. Pria itu tidak pernah menelponnya lagi.
Tapi minggu depan, apakah puisinya akan muncul lagi? Ataukah Rhaissa tidak
pernah berharap lagi. Pria aneh, yang tidak pernah mencantumkan alamatnya. Itu
bisa di sebut semacam surat
kaleng. Di stempel kantor pos tercantum nama kantor pos penerima dan Rhaissa
pun meminta asistennya menanyakan. Dari kantor pos mana surat itu berasal. Rhaissa yakin, pegawai pos
sana pasti
mengenali pengirim yang nyaris 80 kali menemui kantor pos itu untuk mengirim
puisi-puisi itu kepadanya. Dan kabar pun di dapat. Pegawai pos mengatakan kalau
yang mengirim surat
tanpa nama itu hanya seorang wanita biasa. Yang usianya sekitar 30-an. Rhaissa
menjadi tambah penasaran dan saat menelpon dia menggunakan private number. Siapa dia
sebenarnya?
Rhaissa sudah menggatikan baju tidur,
siap untuk tidur dan ia senang tidur sendiri tanpa di temani siapapun. Itu
membuatnya sangat nyaman. Karena nyaris 24 jam ia selalu ngumpul bersama
keluarga dan bertemu dengan orang-orang. Maka di saat-saat seperti ini ia
merasa bernapas untuk dirinya sendiri, hidup bersama khayalannya dan terkadang
menikmati asa itu mengasyikkan bagi Rhaissa. Asa itu mengikuti irama hati,
namun jika asa menguasai hati sebaiknya berhati-hati. Rhaissa menyetel lagu
lembut menjelang tidurnya, kebiasaan itu tidak pernah hilang. Selain senang
menonton acting Richard Gere dan Rano Karno ia juga menyukai aksi Lara Croff
serta aksi kocak Olga Saputra. Ponselnya berdering di saat ia sudah lupa. Agoy
benar-benar menghubunginya.
“Halo… belum tidur, kan?” suara lembut itu menyusup ke dalam
telinga Rhaissa. Dan Rhaissa langsung bisa mengingat bagaimana pria itu
menatapnya di depan lift kafe mega Mal itu. Pria plamboyan yang cool, tapi
siapa Agoy sebenarnya? Pria itu tidak mengenalinya sama sekali.
“Mana ada orang tidur sambil memegang
ponsel dan dengan begitu jelas bisa mendengar suara anda.” Nadanya berkata
pelan teratur dan tidak bermaksud menyinggung. Terdengar tawa kecil dari
sebrang. Lalu diam, sepertinya Agoy bingung mau ngomong apa. Rhaissa
menunggunya kemudian terdengar helaan napas.
“Mm.. apa aku besok boleh datang ke
rumah kamu?”
Rhaissa
diam sejenak. Agoy menunggunya dengan cemas jangan sampai gadis itu menjawab
tidak bisa. Habis sudah harapannya.
“Boleh tahu, buat apa?” Tanya Rhaissa.
“Ya bertemu dengan kamu, memangnya
untuk apalagi.”
“O, terus kalau sudah ketemu?”
“Ya, apa ya…? Maunya sih ngajak kamu
ngajak kamu pergi. Tapi kayaknya gak sopan ya?”
“Memang iya.” Kata Rhaissa singkat
dengan nada setengah bercanda.
“Tu, benar kan? O iya, terima kasih banyak yak arena
sudah mengizinkan aku menelpon kamu.
Kamu
tahu gak, betapa susahnya aku mencari nomor kamu ini? Aku menghubungi internet
dan menelpon beberapa kantor tabloid dan majalah, hanya karena ingin menemukan
nomor kamu. Mereka bersikeras tidak ingin memberi tahu dengan alasan melanggar etika.”
“Dan akhirnya mereka melanggar etika
itu, kan?”
“Karena mereka tidak mau ada seorang
pria mengakhiri hidupnya di kantor mereka.”
“Jangan berlebihan, jadi kamu
mendatangi kantor mereka?”
“Tentu saja, di sini akulah yang
melanggar etika itu, aku minta maaf sama kamu. Setelah menghubungi kamu sekali
seterusnya aku tidak bisa menghubungi kamu lagi, karena ponsel kamu selalu
berada di tangan manager kamu. Dan dia selalu meng-introgasi aku.” Kata Agoy
dengan jujur. Rhaissa tertawa pelan. ”Bagaimana, boleh ya aku ke rumah kamu?”
“Hei, rumah saya itu terbuka untuk
siapa saja.”
“Ya, itu pasti tapi aku tidak ingin
sekedar datang ke rumah kamu, aku ingin bertemu dengan kamu.”
“O, kalau itu aku tidak bisa janji, apa
aku ada di rumah atau tidak.”
“Iyeess!!!” Agoy berteriak kegirangan.
Membuat Rhaissa menjauhi ponselnya dari telinga. Aneh. Pikirnya.
Agoy memang pria beruntung karena
Rhaissa memberi kesempatan padanya untuk kenal lebih dekat. Itu kesempatan emas
apalagi sampai bisa jalan berdua. Sejak itu pria puitis itu tidak pernah lagi
mengirimkan puisinya untuk Rhaissa. Biasanya dia bisa mengirim dua sampai tiga
lembar dalam dua minggu. Rhaissa merasa kehilangan, merasa ada sesuatu yang
aneh. Seperti ada kurang pada dirinya. Karena dalam setahun ini ia selalu
mendapatkan lembaran puisi itu dalam setiap minggunya. Dan yang lebih terasa
ada perhatian dalam puisi itu dan kini perhatian itu tidak muncul lagi. Angel
itu kini merasa kesepiaan.
Angin laut berhembus lembut, membelai wajah
Rhaissa dan mengibaskan rambutnya. Ombak laut berlomba menghempaskan diri ke
pantai, hingga pecah dan memancarkan keindahan di atas karang yang menjulang
tinggi. Rhaissa menghela napas pelan dan sekali-kali menghirup minumannya. Agoy
yang duduk bersandar di sebelahnya merasa gugup, tak biasanya ia seperti itu
jika berdekatan dengan seorang wanita. Seorang pria akan merasa sangat bodoh
jika tiba-tiba gugup berhadapan dengan seorang wanita apalagi itu wanita idamannya.
Rhaissa mengenakan baju santai dengan
lengan sebatas siku, dengan kerah pendek. Ia pun mengenakan kaca mata coklat
terang dan celana jin lembut. Di sampingnya Agoy sedang berjuang keras untuk
berani mengatakan sesuatu yang teramat penting. Ia tidak peduli apakah Rhaissa
mencintainya atau tidak, dan ia merasa kalau Rhaissa telah memberinya lampu
hijau. Itu baginya sudah merupakan jalan terang bahkan teramat terang.
“Rhaissa…” menyebut nama itu saja rasa
susah sekali. Rhaissa menoleh dan membuka kaca matanya. Ia tersenyum tipis dan
masih bersandar. Cahaya matahari yang mulai keemasan membias di wajahnya. Dan
sebelum wajah itu kembali menghadap ke laut, Agoy meneruskan ucapannya. ”Aku
ingin mengatakan sesuatu sama kamu, aku menyukai kamu. Aku jatuh cinta sama
kamu dan aku merasa telah mencintai kamu.” Kata Agoy. Ia tak lagi bersandar.
Kini ia menatap serius ke wajah Rhaissa. Rhaissa terdiam. Ia meletakkan kaca
matanya di atas meja marmer itu. Sementara Agoy menanti reaksi Rhaissa selanjutnya.
Namun reaksi yang muncul hanya sekilas senyum yang tidak bisa di mengerti
maknanya, bahkan tatapannya untuk Agoy sulit di tebak. ”Aku.. terlalu to the
point ya? Maaf, jika kamu tidak
menyukai keterus-terangan ku. Kamu mungkin beranggapan, siapa Agoy? Seorang
pria yang baru ketemu dua kali, pertama tanpa sengaja dan ini kedua, dan berani
mengatakan kata-kata yang tidak bisa di anggap enteng itu. Mungkin tidak pantas
untuk kamu, tapi aku tidak mau menebak perasaan kamu.” Kata-kata itu mulai
terdengar lancar dan sangat teratur serta memohon.
“Agoy.. apakah kamu termasuk salah satu
orang yang memahami apa itu arti dari cinta?” tutur Rhaissa seolah minta di
pahami. Ia menatap Agoy. ”Karena terus terang aku sendiri tidak memahami makna
cinta itu yang sebenarnya. Yang aku tahu, seseorang di beri sebuah hati untuk
merasakan berbagai rasa. Di beri satu pikiran untuk menampung berbagai masalah
yang masuk ke otak kita, terkadang kita merasa tidak begitu mampu untuk
memikirkan semuanya. Tapi sebagai manusia kita pasti memiliki perasaan pada
seseorang. Tidak peduli dia siapa, berasal dari mana, dan apakah cinta itu
tulus atau tidak, semuanya tergantung dari pribadi orangnya. Kamu tahu, orang
bilang cinta itu sangat aneh. Tapi bagaimana menurut kamu sendiri?” penuturan
panjang dari Rhaissa memaksa Agoy berpikir lalu tersenyum lembut dan coba
mencerna maksud dari uraian itu.
“Terus terang aku tidak begitu mengerti
maksud dari kata-kata kamu. Dan satu hal yang aku sangat yakin, bahwa aku
sangat menyukai kamu.” Katanya dengan nada begitu pasti. Ia merasa ingin sekali
menggenggam jemari Rhaissa dan itu tidak gampang! Rhaissa bukan gadis biasa,
kecerobohannya akan menimbulkan petaka dan ia tidak ingin itu terjadi. Rhaisa
masih berpegang teguh pada caranya sendiri dan norma-norma serta
adat-istiadatnya, ia bukan gadis yang terlalu gampang di sentuh, meski itu
untuk orang yang ia sukai sekali pun. Remaja sekarang mungkin akan
menganggapnya kuno, tapi tidak apalah, itu hak mereka.
“Mmm.. bagaimana kalau kita pulang?”
“Baiklah, tapi sebelum kita pulang.
Boleh aku tahu bagaimana perasaan kamu sama aku?” kata Agoy tidak ingin
penasaran.
“Semoga seperti apa yang kamu inginkan.
Tapi jangan pernah berharap dengan sesuatu yang tidak mungkin aku bisa beri.”
“Lagi-lagi aku tidak bisa memahami
kata-kata kamu….” Namun ia tetap tersenyum.
Rhaissa tidak mau memancing pikiran
yang coba meresahkan kalbunya. Ia ingin semua berjalan seperti biasanya. Karena
ia yakin jika cinta sudah datang maka ia akan merasakan sendiri. Sehari sebelum
berangkat ke Singapura untuk menghadiri acara MTV Award, ia menerima lagi surat ke 78 setelah satu
bulan ini menghilang. Dan Rhaissa merasa deg-degan seperti orang yang menerima surat cinta untuk pertama
kalinya. Padahal itu isinya pastilah sama, yaitu puisi-puisi yang sebenarnya
sudah bisa ia hafal di luar kepalanya. Mungkin karena sudah sebulan menghilang
membuat Rhaissa merasa canggung, dan jujur saja selama sebulan ini ia merasa
takut kalau pria itu sudah melupakannya. Atau mungkin pria itu merasa bahwa
puisi itu tidak penting. Ia hanya iseng mengirimkannya lalu melupakannya.
Sementara Rhaissa sendiri sudah berulang-ulang membacanya, memahaminya dan
menikmati kata demi kata dalam setiap baitnya bahkan sering melamunkan sang
pengirimnya. Dan kali ini Rhaissa tidak mengenali huruf dalam tulisan itu.
Karena sepertinya bukan sebuah puisi. Penasan ia pun membacanya….
‘Angel....
Ada puluhan kata di hati ini tersirat untuk kamu, namun tidak satu pun
bisa terungkap. Kadang
Hayalan terbang ke puncak gunung, dan diri mu ibarat awan yang menerpa
wajah ku. Ingin se-
kali aku merengkuh mu, memiliki cinta mu,walau hanya setetes embun pagi.
Semakin hari hati
Ini semakin gelisah. Karena wajah mu seperti terus menari di mata ku.
Engkau tidak bisa di um-
Pamakan dengan apapun di dunia ini.
Ada sejuta rasa sayang tersimpan di mata mu, ada kerinduaan tersimpan di
sana. Andai kau
mengerti, maka aku tidak akan pernah segelisah ini. Bila aku memiliki
cinta, nyawa dan hati,
Maka semua itu adalah kepunyaan mu. Pabila kamu mengerti betapa aku
tidak mengingingkan
Rasa gundah ini, namun rasa itu terus saja menguasai diri ini. Seakan
mengajak cinta menyapa,
Mengetuk pintu hati mu dan ingin membawa mu ke alam nyata.. Angel mimpi indah ya.’
Rhaissa
menarik napas berat.
‘Ya Tuhan, isi surat ini menggambarkan kalau aku semakin
jauh darinya.’ Kini Rhaissa menghela napas panjang. ‘Rhaissa!! Hentikan untuk
membaca semua kegilaan ini. Lupakan semua kertas-kertas itu. Karena dia akan
menyeret kamu ke dalam kata-kata yang ia sendiri tidak mengerti artinya.’ Sudut
lain di hatinya mulai meronta. Ia meletakkan surat itu di atas meja di saat terdengar
suara ketukan pintu. Dina muncul untuk sekedar menanyakan kesiapannya berangkat
besok. Rhaissa tersenyum pada kakaknya.
“Bagaimana, tidak ada yang di perlukan
lagi, kan?”
lalu matanya melihat selembar kertas di atas meja hias Rhaissa. Ia meraihnya. ”Apa
ini? Surat
fans, apa dia minta di balas?” ia menatap adiknya. Rhaissa menggeleng dan
lagi-lagi ia menghela napas.
“Tujuh puluh delapan.” Ia duduk di
pinggir ranjangnya. Dina menghampirinya dengan kertas masih di tangan. Di zaman
serba canggih ini masih saja ada orang menulis surat.
“Apa ini mengganggu kamu?”
“Mungkin, sedikit.” Suaranya mulai
serak.
“Mm.. gimana kalau ini kamu anggap saja
seperti surat-surat para pnggemar kamu yang lain? Dan kalau dia serius, ia pasti
muncul di twitter kamu.” Kata Dina pelan dan Rhaissa coba memahami kata-kata
kakaknya. ”Oke, jika kamu mau kita akan mencari wanita yang selalu mengeposkan
surat-surat pria ini untuk kamu. Gimana?”
Rhaissa jadi tertawa mendengar
keseriusan kakaknya. ”Nggak perlu kak, mungkin akunya aja yang agak
berlebihan.” Ia bangkit. ”Oke, aku gak apa-apa, percaya, kan?”
“Ya, sedikit.” Canda Dina. Sebenarnya
ia tahu kalau adiknya itu agak sedikit terganggu dengan setiap kemunculan surat itu. Ia akan
memeriksa lagi setiap surat
yang akan sampai ke tangan Rhaissa. Tapi ia juga tidak ingin menyembunyikan apa
pun dari adiknya itu. Akhirnya mereka berdua tertawa.
“Mau
kakak temenin?”
Rhaissa tersenyum. ”Makasih kak, tapi
aku butuh HP.”
“Tentu, kakak akan ambilkan, dan mulai
malam ini ia menjadi milik kamu.” Ia menciptakan senyum tulusnya. Rhaissa
menyimak kakaknya. Wanita itu begitu menyayanginya.
“Kak…?” ia kembali duduk di sebelah
kakaknya. ”Selama ini, kakak selalu mengerti setiap keluhan dan kebutuhan ku,
apa kakak tidak pernah merasa kalau aku ini terlalu berlebihan?”
“Berlebihan dalam hal apa?” ia
mengurungkan niatnya untuk keluar.
“Entahlah, terkadang aku merasa sering
tidak sopan dengan kakak, kakak tahu kan,
kalau aku sangat menghargai kakak? Sering aku berpikir, apa yang bisa aku
lakukan seandainya kakak tidak ada di sampingku. Aku pasti seperti anak kecil
yang tidak tahu harus melangkah ke mana.” Matanya terlihat sendu. Dina memegang
bahunya.
“Buat kakak, kamu itu tetap anak kecil
yang masih berumur empat tahun.” Ia memahami ke mana arah kata-kata adiknya. ”Kakak
masih ingat dengan jelas saat kamu kakak mandikan setiap sore dan mengeringkan
badan kamu dengan handuk, dan kamu terus berlari dan melompat-lompat di tempat
tidur, membasahi tempat tidur kita. Hmmm… sebenarnya apa yang sedang berkecamuk
di pikiran kamu? Apa karena dua bulan lagi kakak mau menikah dan kamu pikir
kakak tidak peduli lagi sama kamu? Atau jangan-jangan kamu berpikir kalau
selama ini yang kakak lakukan semuanya karena terpaksa? Ais… kamu sendiri tahu kan, kalau kakak itu
sangat menyayangi kamu? Terkadang kakak berpikir, apakah tidak terlalu cepat
untuk menikah? Kedua kakak kita sudah menikah dan mungkin dengan pernikahan
kakak ini, tahun depan Arie bisa menyusul. Kamu tahu kan, kalau kakak kamu yang satu itu sering
menggoda kakak. ’Kak Dina kapan dong? Ntar kalau Arie duluan gimana?’ tapi
sebenarnya itu bukan alasan kakak, pertunangan kakak juga sudah hampir setahun,
tidak enak juga kalau kelamaan. Kamu jangan pernah punya perasaan tidak enak
sama kakak, kami selama ini sangat bangga sama kamu. Dan keluarga kita sangat
menyayangi kamu, mungkin cara penyampaiannya berbeda tapi pada dasarnya cinta
kita sama untuk kamu. Mengerti, kan?”
ia mengamati adiknya dan Rhaissa memeluk kak Dina untuk beberapa saat. ”Istirahatlah,
kakak ambilkan ponsel mu.” Katanya setelah mengusap punggung Rhaissa. Dina
keluar dari kamar Rhaissa menuju kamarnya sendiri. Karena setiap orang di rumah
ini mempunyai kamar masing-masing dan jika ada yang ingin tidur di kamar yang
lain, maka itu atas kehendak pribadi atau permintaan adik atau sang kakak. Sepuluh orang dengan kamar masing-masing dan
tiga kamar berbentuk pavillium untuk pengurus rumah dan satu kamar tamu. Kamar
Rhaissa ada di atas bersama tiga kamar yang lain. Semua pengurus rumah sudah di
anggap bagian dari keluarga. Di tengah malam seperti ini semua penghuni rumah
sudah terlelap. Dan akhir-akhir ini Rhaissa mengalami kesulitan untuk
memejamkan matanya. Biasanya kalau capek dia gampang sekali tidur, tak peduli
ada suara-suara berisik di sekelilingnya. Itulah dia. Karena ia merasa selalu
nyaman apalagi kalau ada kak Dina di sampingnya.
Jika tidak sedang show atau jumpa
penggemar, Rhaissa cukup pergi bersama kak Dina dan satu pengawal pribadinya.
Seperti saat ini, mereka sedang ke Singapura. Dalam perjalanan satu setengah
jam itu Rhaissa hanya menjawab twitter di ponsel termahalnya. Dari teman-teman
SMA dan dari penggemarnya. Biasanya di bantu sama kak Dina. Tapi kini ia
sepertinya mencoba belajar tanpa kak Dina. Rhaissa hanya tamatan SMA dan duduk
di bangku kuliah hanya bertahan dua tahun. Namun suatu saat ia akan melanjutkan
kuliahnya dan menggemgam gelar sarjana seperti kakak-kakaknya. Meskipun itu
sangat sulit.
Menjelang malam, Rhaissa dan kakaknya
siap-siap menuju acara puncak, namun sebelumnya ia akan latihan sebentar
bersama seorang penyanyi dari luar. Karena ia akan di duetkan dengan penyanyi
tersebut. Acara MTV Award di adakan setiap tahun di Singapura khusus untuk Asia. Malam itu Rhaissa tetap tampil seperti biasa.
Sepertinya dialah satu-satunya penyanyi Asia yang berpenampilan jauh dari gaya anak gaul zaman
sekarang. Namun yang pasti dia punya banyak pengagum di kalangan tertentu
bahkan jauh lebih banyak dari yang di perkirakan orang. Dari pejabat, dan
kalangan elit tidak akan malu mengundangnya untuk bernyanyi di istana.
Sebelum penyerahan favorit famele artist, Rhaissa di daulat untuk menyanyi
bersama peraih favorit male artist.
Mereka berdua baru bertemu tadi siang dan sempat latihan sebentar. Mereka
membawakan lagu Barat yang sangat terkenal saat ini. Sebenarnya itu semua sudah
di atur oleh panitia pelaksana. Dan
Rhaissa memang peraih gelar itu. Ia pulang dengan menyandang sebagai artis
wanita favorit. Keberuntungan memang sedang berpihak dengannya. Itu semua
karena suaranya yang memang indah, dan ia juga memiliki senyuman yang semua
orang ingin melihatnya. Penampilannya selalu terjaga dan jurnalis Singapura
serta Malaysia sering
mewawancarainya dan majalah di sana
pun sudah pernah membuatnya sebagai sampul majalah. Tetapi apakah Rhaissa
sendiri mempunyai idola? Tidak! Dia mengagumi Ibu dan keluarganya. Kalau senang
dengan akting dari beberapa artis mungkin ada. Dan itu tidak bisa ia jadikan sebagai
idola yang terlalu fanatik.
Sekembalinya dari Singapura… Rhaisaa
jatuh sakit dan suhu badannya sangat panas. Setelah di bawa ke dokter, ternyata
ia kena tifus. Dia harus di rawat untuk beberapa hari. Rhaissa merasakan
matanya agak panas dan perih. Saat keningnya di kompres ia seakan menginginkan
matanya yang di kompres. Seingat keluarganya, Rhaissa kecil jarang sekali
sakit. Tak ada satu pun wartawan di izinkan meliput Rhaissa di rumah sakit.
Karena keluarga menginginkan ia cepat sembuh.
Hari ini, Rhaissa di besuk oleh Agoy.
Pria itu sangat terpukul melihat kondisinya. Tadinya keluarga Rhaissa
kebertatan meninggalkan Rhaissa berduaan saja dengan Agoy. Tapi setelah melihat
ketulusan di mata pria itu, dan ketulusan seorang kekasih, hingga mereka pun
luluh.
Agoy menatap Rhaissa yang terbaring
lemas. Wajahnya sedikit pucat dan tetesan infuse dari botol terus menetes ke
dalam tubuhnya. Agoy hanya duduk, ia tidak bisa berbuat apa-apa melihat Rhaissa
lemah dan sakit. Namun mata Rhaissa memancarkan ketegaran seakan menunjukkan
kalau dia bukanlah gadis cengeng dan manja. Walaupun demikian ia tetap saja
tidak bisa menyembunyikan,
Bahwa
wajah itu tetapalah wajah kekana-kanakan. Agoy tidak bisa membohongi dirinya
kalau dia sangat menyukai wajah itu. Kesederhanannya dan ketulusannya untuk
semua orang membuat Agoy jatuh cinta. Dorongan kuat untuk memiliki gadis itu
semakin kuat menggodanya. Tapi sebelum ia menikahi gadis itu, tidak ada yang
bisa ia lakukan. Rhaissa yang begitu suci hingga untuk sekedar memegang
tangannya saja Agoy merasa tidak punya keberanian. Menggenggam tangannya
sekedar menunjukkan kalau dia begitu peduli dengan gadis itu, tapi itu hanya
ada dalam pikirannya. Ia menghela napas dengan berat. Rhaissa yang menatapnya
jadi tersenyum.
“Terima kasih ya, karena telah datang.
Sebenarnya aku ingin sekali duduk, tapi setiap kali aku ingin mencoba, kepala
ini rasanya seperti mau melayang.”
Agoy tersenyum manis namun hatinya
terasa perih mendengar pengakuan Rhaissa yang tidak di buat-buat itu.
“Jangan memaksakan diri, kamu tetap
terlihat tegar meski berbaring begitu. Oya, selamat ya. Karena kamu telah
terpilih sebagai artis favorit di Singapura. Kamu memang luar biasa.”
“Terima kasih. Ouh.. ya Tuhan,
sebenarnya aku sama sekali tidak betah kalau harus tiduran seperti ini.” Ia
seperti mengeluh karena tidak biasa berleha-leha.
“Hei, tidak ada salahnya kan sekali-kali
memanjakan diri? Kamu harus istirahat, karena menurut dokter minimal satu
minggu. Tanpa aktifitas dan tanpa memikirkan hal yang lainnya. Cuma istirahat,
nothing else.” Suaranya sudah persis seperti dokter yang mewanti-wanti seorang
pasien. Membuat Rhaissa tersenyum lagi. Dan saat itu seorang suster membawakan
setangkai bunga mawar untuknya. Ia menyerahkan mawar itu untuk Rhaissa dan Agoy
mengamatinya.
“Ini untuk Nona, tadi ada seseorang
yang mengantarkannya.” Katanya tanpa menatap ke Agoy.
“O, ya. Terima kasih ya Sus.” Ia
menerimanya dengan senang hati namun tiba-tiba wajahnya berubah setelah melihat
kartu yang menempel di mawar itu.
‘Angel…
semoga kamu cepat sembuh.
Itu doa ku setiap detik.’
Rhaissa
meletakkan mawar itu di meja kecil yang ada di samping tempat tidurnya. Agoy tidak
pernah lepas mengamatinya. Dan setiap perubahan di wajah itu ia amati setiap
detiknya. Meski Rhaissa telah berusaha tidak memperlihatkannya dan bersikap
biasa namun tak berhasil mengelabui Agoy. Pabila tidak ada Agoy di sana maka mawar itu telah
di lemparnya, tapi ia ingin menghormati tamunya.
“Dari fans ya?” kata Agoy tanpa
bermaksud untuk ikut campur.
“Mungkin, tapi bisa iya, bisa juga
nggak.” Ia mengukir senyum namun tak semanis tadi. Ia menagamati Agoy, pria itu
juga membawakan bunga sebelum masuk sama persis dengan bunga yang di bawa
Suster itu. ”Terima kasih ya, mawar kamu sama dengan yang itu, hanya plastiknya
saja yang berbeda yang ini coklat muda dan punya kamu hijau muda.”
“Barangkali pengirimnya tahu kalau kamu
suka dengan mawar.”
‘Tentu saja.’ Jawab Rhaissa dalam hati.
Jangankan tentang bunga kegemarannya, segala tentang Rhaissa pun ia tahu.
Rhaissa tersenyum. Ia tidak ingin menyepelekan kehadiran Agoy di sisinya, walau
harus ia akui kalau sang puitis misterius itu sering mengganggu pikirannya. Dan
ia tidak pernah terpikir kalau pria itu sudah berani mengirim bunga untuknya.
Selama ini hanya puisi lalu berlanjut ke surat
dan kini setangkai bunga. Rhaissa merasa kalau pria itu semakin dekat saja
dengannya dan seolah bisa melihat dirinya kapan saja, membuatnya merasa agak
sedikit kurang nyaman. Agoy menarik napas panjang dan berusaha menghelanya
seringan mungkin.
“Rhaissa…” ia coba memegang rambut
Rhaissa dan menatap gadis itu dengan perasaan yang berkecamuk. Namun tetap saja
ia tak sanggup meski sekedar untuk membelai rambut gadis itu. Karena sepertinya
Rhaissa belum mengizinkannya. ”Mm.. aku sayang sama kamu, cepat sembuh ya.”
Ucapnya lembut. Rhaissa hanya bisa mengangguk pelan dan tersenyum lembut. Dan
Agoy telah berjanji pada dirinya untuk segera melamar gadis itu. Agar ia bisa
melindungi dan memberikan kasih sayang yang sepenuhnya. Ia akan membelai rambut
indahnya dan mengusap jemari-jemarinya yang halus, dan akan menggandengnya
serta merangkul pundaknya jika sedang berjalan berdua.
Sore itu, Agoy meninggalkan rumah
sakit. Perasaannya pada gadis itu terus saja membara dan bergejolak. Walau
Rhaissa telah resmi menerimanya sebagai kekasih namun tetap saja membuat
perasaannya tidak menentu. Dan setiap saat dan setiap waktu luang ia
menyempatkan untuk meneleponnya dan menemaninya di rumah sakit hingga Rhaissa
di izinkan pulang.
Dua bulan mendatang Rhaissa akan
mengadakan konser tunggalknya. Waktunya akan tersita di tempat latihan sampai
tiga jam bahkan empat jam setiap harinya. Konser itu akan melibatkan banyak
orang dan Rhaiss ingin semuanya terlihat maksimal. Harus ia akui kalau
kehadiran Agoy membuat hatinya berbunga dan menambah semangat hidupnya semakin
terpacu. Dan bila surat
misterius itu datang lagi ia langsung gelisah. Ia tidak ingin mengatakan kalau
itu adalah surat kaleng, walau kenyataannya itu
adalah sejenis surat
kaleng. Karena tanpa nama dan alamat sang pengirim. Seperti sekarang ini….
‘Angel,
aku adalah manusia yang paling
merasa bahagia setelah mengetahui kamu sembuh.
Mungkin bunga ku saat itu sampai ke tangan kamu. Itu adalah bunga
pertama ku untuk seo-
rang gadis, semoga kamu menyukainya.
Angel, pernahkah kamu berpikir sedikit saja tentang aku? Seandainya
pernah maka alangkah
beruntungnya aku.
Pabila tidak pernah maka jangan pernah aku mengetahuinya. Sebab kamu
sudah ada di dalam
napas ku.
Pabila aku pejamkan mata, maka wajah mu lah terakhir yang aku lihat.
Pabila aku bangun maka wajah mu pula pertama kali yang muncul. My
Angel.. apa yang harus
aku lakukan? Bagaimana aku harus
menghentikan semua ini?
Terkadang hati ini berkata, alangkah kerdilnya diri ini, mencintai kamu,
mengagumi kamu,
Memuja mu dan terus memikirkan kamu. Tapi aku tahu bahwa aku tidak akan
bisa menghenti-
kannya, walau aku sangat ingin. Keyakinan itu terus tumbuh dan tak
terbilang sebesar apa seka-
rang. Pabila hujan turun maka sebanyak tetesan itulah rasanya. Pabila
ada bintang di langit,
dan terlihat semua maka seanyak itulah rasanya di hati ku. Dan apabila
aku bernapas maka se-
perti udara itulah aku membutuhkan kamu. Mata ini hanya ingin melihat
kamu dan bibir ini ha-
nya ingin menyebut nama kamu, kamu dan terus nama kamu…’
Rhaissa dan Agoy sedang sedang ngobrol
di ruang tamu apartemen Agoy, pembantu Agoy sedang bersih-bersih di dalam. Ia
sudah menghilang setelah menyediakan minuman untuk tamu majikannnya tadi.
Sebelumnya ia kaget setelah melihat kalau tamu majikannya adalah seorang artis
yang sangat terkenal di negeri ini. Ia pun berpikir, dia itu siapanya
majikannya, Pacar atau sekedar teman bisnis? Tapi ia tidak berani berpikir
terlalu jauh.
Agoy tidak merasa malu sedikit pun
mengajak Rhaissa bertandang ke apartemennya, bukan karena apartemen itu mewah
atau sejenisnya. Kemewahan apartemen itu sedikit memperlihatkan keanehan, tidak
ada satu pun kursi yang terlihat. Rhaissa sempat bingung di mana harus duduk.
Karena di mana-mana hanya terlihat karpet dan bantai duduk yang besar. Yang
biasanya di pakai untuk santai di ruang istirahat atau ruang keluarga, teman
untuk menonton televisi atau sejenisnya. Dan saat Agoy mengajaknya untuk duduk
di bawah, ia tidak punya pilihan lain. Dan ternyata enak sekali, terkesan
nyaman dan santai. Setelah beberapa menit ia menyadari kenapa Agoy mendekor
apartemennya separti itu.
Agoy menatap Rhaissa yang bersandar di
bantai besar itu. Ia merasa inilah saatnya untuk mengatakan sesuatu yang ia
simpan selama ini. Gadis itu harus tahu kalau dia sangat serius dengan hubungan
ini.
“Rhaissa, aku masih perlu bertanya
sekali lagi sama kamu. Bagaimana perasaan kamu sama aku?” katanya sembari
menatap lembut ke wajah gadis itu dan serius.
“Apa yang harus aku katakana? Bagaimana
aku mengatakannya sama kamu? Jika kamu tanya apa aku peduli sama kamu? Aku
peduli. Aku sering memikirkan kamu, terkadang berharap dapat duduk seperti ini
berjam-jam, tetapi kamu juga harus tahu, bahwa ada orang lain yang juga sering
terpikir oleh ku.” Tutur Rhaissa untuk jujur. Agoy memejamkan matanya. Ia sadar
kalau Rhaissa tak bisa ia miliki seutuhnya. Rhaissa meneruskan. ”Dia seseorang
yang juga sering meresahkan aku, aku juga tidak tahu perasaan apa yang mulai
tumbuh di hati ku untuknya. Mungkin aku hanya bisa bilang kalau perasaan itu
sama persis dengan perasaan aku ke kamu. Aku… aku hanya ingi kamu mengerti saja
tentang kondisi ini.” Rhaissa terhenti sejenak. Ia tidak tahu bagaimana
perasaan Agoy setelah mendengar pengakuannya. Namun sepertinya Agoy tidak
bereaksi apa-apa. Rhaissa mendesah. Ia berbicara lagi.”Dua bulan lagi aku akan
mengadakan konser tunggal dan sebelum itu kakak ku akan menikah. Aku bahagia
dengan pernikahannya meski itu adalah kenyataan yang harus aku hadapi kalau dia
tidak akan bisa lagi bersama ku sepanjang hari.” Ia bicara seakan mengeluarkan
perasaannya sendiri. Agoy mulai tersenyum. Ia kenal baik dengan kak Dina yang
sangat menyayangi Rhaissa. Ia bisa memahami perasaan gadis itu dengan baik.
“Dia sangat menyayangi kamu, tetapi aku
sangat yakin kalau perasaan sayang ku terhadap kamu melebihi rasa sayangnya.
Aku yakin itu, dengan tidak bermaksud menyepelekan kasih sayangnya.” Rhaissa
Cuma tertsenyum, ia tahu tanpa di bilang pun ia tahu kalau kata-kata itu tidak
mengada-ada. Ia tahu Agoy tulus mengatakan itu. Ia membenarkan kalau ada orang
bilang bahwa cinta itu tidak mesti di ungkapkan dengan kata-kata, karena cinta
itu bisa di rasakan, bisa di lihat dan ada getaran bersama kehadirannya serta
ada debaran. Dan Rhaissa yakin kalau ia memiliki getaran itu bersama Agoy. Dan
pria misterius itu? Getaran aneh itu selalu muncul jika suratnya datang dan
puisi-puisinya itu membuatnya merasa ada yang lain di hatinya yang paling dalam
jika sudah membacanya. Ya namanya juga orang misterius maka cara jatuh cintanya
pun ikut misterius. Ia yakin suatu hari akan bertemu dengan pria itu.
Agoy memperlihatkan foto-foto kedua
orang tuanya kepada Rhaissa. Ia terlihat sangat membanggakan mereka. Rhaissa
tahu betapa berartinya mereka untuk Agoy.
“Mama kamu cantik sekali.” Komentar
Rhaissa spontan.
Agoy tersenyum. ”Papa ku juga cakep, kan?” pria yang terlihat
di foto itu memang benar seperti yang di bilang Agoy. Rhaissa mengangguk. Tanpa
ragu-ragu Agoy pun menceritakan semuanya tentang dia dan keluarganya. Tentang
masa kecilnya dan tentang teman-temannya. ”Sendainya orang tua ku tahu kalau
aku memiliki pacar seperti kamu, mereka pasti sangat bahagia. Bagaimana menurut
kamu?”
“Kamu sudah bercerita begitu banyak,
sementara aku?”
“Aku sudah tahu semua tentang keluarga
kamu.” Ia sudah mengikuti begitu banyak tentang karir
Rhiassa
dan keluarga yang begitu mendukungnya. ”Semua menyayangi kamu, keluarga yang
harmonis, dan sangat berbeda dengan aku yang di lahirkan sendiri di dalam
keluarga. Aku tidak punya adik dan kakak namun aku punya orang tua yang sangat
hebat di dunia ini.” Ia kembali memuji kedua orang tuanya. Rhaissa jadi
penasaran dengan orang tua yang hebat itu. Tapi ia suka cara Agoy menyayangi
kedua orang tuanya. Agoy sangat terbuka, jujur dan bicara apa adanya. Ia juga
baik dan penyayang.
“Agoy… kamu begitu jujur. Terima kasih
karena sudah mempercayai aku. Kini aku tahu kalau Agoy adalah hanya panggilan
di keluarga kamu. Arron Gautama ternyata nama panjang kamu. Dua-duanya aku
suka.’Gautama’ itu nama salah satu pemilik hotel berbintang lima
itu, kan? Apa
kau menyukai perkerjaan mu?” kata Rhaissa tak bermaksud terlalu mendikte.
“Sangat.” Jawab Agoy cepat.
“Memang seharusnya begitu, pabila
seseorang mencintai pekerjaannya maka dia akan sukses.” Rhaissa menggerakkan
posisi duduknya. ”Aku boleh ke kamar kcil?”
“O, ya. Di sana. Di sebelah kiri dapur.”
“Terima kasih.” Rhaissa beranjak dan
melangkah ke belakang menuju dapur. Sebelum menemukan kamar mandi Rhaissa
bertemu dengan pembantu rumah. Sepertinya ia bersiap-siap untuk pulang. ”Maaf,
saya hendak ke kamar kecil.”
“O.. ya terus aja, pintu ke dua dari
sini.” Wanita itu menunjuk dan amplop ada di tangan kirinya. Rhaissa tidak tahu
kenapa ia ingin sekali mengetahui amplop di tangan wanita itu.
“Maaf, mbak. Boleh saya tahu apa yang
mba pegang itu?”
“O.” wanita itu melirik amplop di
tangannya. ”Ini surat, majikan saya meminta saya mengeposkannya.
Ini, liat aja.” Ia memberi kan
amplop itu. Rhaissa mengambilnya. Dan saat melihat nama Angel di amplop itu,
badannya langsung terasa gemetar, dan bumi seperti gelap. Debaran tak menentu
menghantam dadanya. Ada
rasa senang, sedih dan kecewa bercampur aduk di dadanya. Alamat di amplop itu
akan menuju rumahnya.
“Maksud mbak, surat ini untuk seseorang?”
“Iya, nama cewek itu Angel dan saya
yang selalu mengirimkan surat
itu.”
“Selalu?”
“Ya.”
“Mbak tahu, Angel itu siapa?”
‘Waduh, jangan-jangan wanita ini sedang
cemburu berat dengan Angel itu?’ batinnya.
“Mm.. tidak. Tapi saya yakin dia bukan
siapa-siapanya majikan saya.” Ia berusaha membela Agoy. Meski ia sendiri tidak
tahu itu surat yang ke berapa kalinya yang akan
ia pos-kan.
“Mm, bagaimana kalau surat yang satu ini, biar saya yang posin?
Saya jamin pasti sampai ke tangan Angel. Aku mohon…”
“Gimana ya?” tapi sepertinya ia sangat
percaya dengan artis muda itu dan tidak mungkin akan membohonginya. ”Selama ini
tidak ada yang tahu kalau saya yang mengirim surat ini, apalagi sampai memperlihatkannya
pada seseorang. Mungkin saya akan di pecat. Sebab kata majikan saya itu sangat
rahasia. Tapi sekarang amplop itu sudah ada di tangan anda.”
“Tadi kan saya sudah bilang. Saya jamin.” Rhaissa
coba membuka keberanian wanita itu. Dan wanita itu tidak berani berpikir lagi.
Ia memberikan pada Rhaissa untuk membawanya ke kantor pos. apalagi Rhaissa
bilang kalau dia pulang akan melewati kantor pos. akhirnya wanita itu pulang
karena pekerjaannya sudah selesai sebelum tengah hari. Tinggal Rhaissa yang
menghela napas panjang. Hingga tanpa ia sadari tangannya telah membuka pintu
yang ada di sampingnya. Pintu itu terbuka sedikit dan tentu saja itu bukan
pintu kamar mandi dan ternyata itu adalah kamar rahasia Agoy. Di mana selama
ini pembantunya pun tidak di izinkan untuk masuk. Rhaissa terkesimak saat
melihat seisi ruangan yang cukup luas itu. Semua terisi foto-foto dan poster
Rhaissa. Sedikit demi sedikit kakinya melangkah masuk. Di dinding ada tulisan
yang cukup besar, ’My Angel’ dengan warna hijau muda dan coklat. Ruangan itu di
alasi dengan karpet coklat muda dan ada banyak alat elektronik di dalamnya.
Seperangkat home teather terpasang dan kumpulan CD dan DVD tersusun rapih.
Semuanya tentang Rhaissa dan berbagai majalah yang memuat profile Rhaissa pun
ada banyak di atas meja. Gadis itu menghela napas lagi. Surat tadi sudah ia kantongi. Ia akan ke
kamar mandi sebentar seperti keinginan pertamanya. Setelah itu ia akan bilang
sama Agoy kalau ia ingin segera pulang. Pria itu pasti tidak keberatan. Kalau
pun dia melihat ada perubahan di wajah Rhaissa, ia tidak akan peduli. Karena ia
sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang.
Pria pengirim puisi itu memang telah
membuatnya jatuh cinta, dan setelah tahu siapa sebenarnya pria itu ia malah
tidak tahu bagaimana perasaannya. Apakah perasaan itu masih sama? Seperti
perasannya sama Agoy, yang kini menjadi agak berbeda. Waktu Agoy mengantarnya
pulang, di mobil ia berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dengan
dirinya. Tapi sebenarnya ia merasa sangat gugup. Penasaran ia dengan perasaan
pria yang di sampingnya itu. Pria yang tak pernah ia bayangkan ternyata orang
yang sama, mengirim surat,
puisi dan setangkai mawar di rumah sakit. Tadinya ia membayangkan kalau
pengirim puisi itu adalah pria yang romantis, penuh cinta dan mengagumkan
melebihi siapapun. Ternyata dia adalah Agoy, cowok pendiam, cool dan matanya
memang penuh dengan kemilau cinta yang menyilaukan mata Rhaissa. Rhaissa
mendesah bimbang. Memaksa Agoy menoleh.
“Ada
apa? Sepertinya kamu terlihat gelisah dan itu meresahkan aku.”
“Meresahkan kamu? Kata-kata yang indah
laksana puisi. Oh ya, Goy…. Apa kamu menyukai puisi?” kata Rhaissa pelan namun
bisa membuat Agoy seperti tercekat. Ia menatap Rhaissa sejenak lalu ke depan
lagi. Rhaissa sebenarnya berharap Agoy lebih jujur. Tadinya ia pikir Agoy
adalah pria yang sudah begitu jujur untuk dirinya. ”Goy, kamu selama ini sudah
jujur sama aku, rasanya tidak adil jika kamu saja yang jujur. Aku juga ingin
lebih jujur lagi tentang perasaan ku yang sebenarnya. Aku sebenarnya menyukai
seseorang, aku tidak tahu di mana dia dan bahkan tidak kenal dengannya. Sama
sekali aku tidak tahu tentang dia. Dia selalu mengirimi aku puisi…” Rhaissa
diam seperti menuggu reaksi Agoy. Tapi sepertinya Agoy masih menunggu
kelanjutan kata-kata Rhaissa. Dan benar, Rhaissa melanjukan lagi ucapannya. ”Pertama
aku menganggap puisi itu hanya kekaguman biasa seorang fans. Tapi lama-lama
terus mengalir dan sepertinya aku merasa sedikit terganggu. Karena si pengirim
tidak mencantumkan nama dan alamatnya. Lambat laun aku coba tidak peduli dengan
pengirimnya dan anehnya aku menjadi selalu berharap puisi-puisinya datang. Aku
terus membaca puisinya, dan lama-lama aku menjadi sering kangen dengannya. Jika
ia tidak mengirimkan puisinya aku sering di hinggapi rasa takut, takut ia
melupakan aku. Aku cemas dan selalu berharap. Kalau rasa seperti itu bisa di
namakan cinta, maka aku rasa aku telah jatuh cinta dengannya. Dan yang ingin
aku katakan pada kamu adalah, perasaan itu sama yang aku rasakan sama kamu. Apa
kamu kecewa? Karena seorang wanita yang kamu cintai jatuh cinta dengan dua
orang sekaligus?” Rhaissa berharap Agoy memperlihatkan wajah ceria karena
Rhaissa mencintai keduanya, juga menyukai puisinya. Dan kedua orang itu adalah
dirinya. namun pria itu tetap diam, dan yang Rhaissa dapat adalah wajah itu
terlihat bingung, merasa berdosa dan menyesal.
“Rhaissa, aku tidak tahu bagaimana
perasaan ku setelah mendengar cerita kamu. Mungkin juga tidak semua orang bisa
jujur meskipun ia sangat ingin. Mungkin ia malu, takut atau apapun namanya,
setiap orang pasti punya alasannya sendiri, kan?”
“Kenapa kamu berkata seperti itu?”
“Ya, barangkali pengagum kamu itu,
termasuk yang seperti itu.”
“Mungkin juga, tapi yang pasti aku
ingin sekali segera tahu alasannya. Karean selama ini ia membuat aku nyaris
gila.” Kata Rhaissa dengan nada gemas. Agoy tertawa. ”Kenapa? kamu cemburu ya?
Coba saja seandainya kamu suka puisi.”
“Puisi? Tentu saja aku suka puisi.”
“Kau mau buatkan satu untuk ku?”
“Tentu.” Katanya pendek. Rhaissa menggeleng-gelengkan
kepalanya pelan. ”Hei.. apa kau meragukan ku?”
“Nggak, hanya saja kok kamu jadi serius
begitu. Aku kan
hanya bercanda.”
“Aku juga bercanda.” Ujar Agoy
akhirnya. Rhaissa tahu kalau pria itu serius. Dan ia pun serius.
“Agoy… seandainya aku tahu pria itu,
bagaimana perasaan kamu? Dan apakah setelah bertemu dengan aku, pria itu tidak
berubah dan masih seperti puisi-puisinya? Aku tidak sabar. Kalau mau, dia pasti
bisa langsung menemui aku, kan?
Dulu kak Dina bilang kalau pria itu tidak gentleman. Tapi aku tidak berpendapat
seperti itu. Karena setiap puisinya datang, aku selalu lemah, detik itu pula
aku berharap ia muncul di hadapan ku dan dengar bibirnya mengungkapkan
perasaannya pada ku. Telinga ku ini ingin mendengar langsung darinya. Dan aku
yakin itu pasti akan lebih indah dari tulisan puisi-puisi itu.”
Mendengar itu membuat Agoy mengerem
mendadak. Orang di belakangnya mengumpat karena hampir saja menabrak mobil
Agoy.
“Kenapa Goy?” Rhaissa panik. ”Apa kata-kata
ku telah menyinggung perasaan kamu”
“Tidak. Tadi tiba-tiba saja aku melihat
ada orang menyeberang di depan.” Ia menarik napas sejenak lalu baru menoleh ke
arah Rhaissa. Dan Agoy telah berdusta.
“Aku kira kamu marah.” Dia tahu kalau tidak
ada siapa-siapa yang menyeberang tadi. ”Tapi kalau kamu tidak suka aku
membicarakan tentang pria itu maka aku tidak akan membicarakannya lagi. Aku
janji.”
“Nggak, aku nggak apa-apa kok.” Agoy
mulai tenang lagi.
“Aku harap juga begitu.” Ia pun mulai
tenang, namun tak bisa ia pungkiri kalau perasaannya masih berkecamuk. Agoy
menyetir lagi, mengantar Rhaissa sampai ke rumahnya. Agoy merasakan ada yang
tidak beres, ia merasa Rhaissa seakan ingin mengetesnya atau menjebaknya.
Mungkin ia masih ragu dengan perasaannya sendiri. Dia mulai di hinggapi rasa
takut akan kehilangan gadis itu.
Tiba di rumah, Rhaissa langsung
mengeluarkan amplop dari kantong celananya. Surat dari Agoy untuk Angel yang ia terima
dari pembantu Agoy.
‘Angel…,
ini mungkin surat
dan puisi terakhir dari aku,
Pertama hanya kata maaf yang hanya ingin aku katakan sama kamu. Aku
tahu, kalau selama ini
aku adalah cowok pecundang, yang tidak bisa berbuat apa-apa, Cuma
bersembunyi di balik pu-
isi-puisi konyol itu yang tidak bermanfaat
buat kamu. Namun aku hanya ingin kamu tahu, bahwa
sebelum menulis puisi itu aku tidak pernah mengada-ngada. Semuanya
keluar begitu saja dari
dalam hati ku yang paling dalam.
Angel…aku tidak ingin kamu menganggap aku munafik, maka di surat terakhir ini aku
ingin
mengatakan ribaun maaf… karena aku adalah Agoy. Pria yang beberapa bulan
ini kamu kenal.
Maafkan aku ya, aku mohon…
pabila perlu, aku bisa bersyujud di hadapan kamu.
Pabila kamu tidak bisa memaafkan aku, maka apa yang bisa aku lakukan?
Pabila kamu berpaling, maka terhempaslah diriku.
Pabila kamu membenci ku, maka terhenti sudah harap ku.
Pabila kamu memaafkan aku, maka tenanglah dunia ku.
Pabila kamu memberi ku harapan maka terbitlah matahari ku.
Segala cinta untuk kamu, debaran di dada karena kamu. Setiap langkah
ingin menuju kamu.
Segala mimpi tentang kamu, kestiaan pun hanya untuk kamu.’
Rhaissa melipat surat
itu. Ia menghempaskan diri di atas tempat tidur, ia kecewa. Ingatannya kembali
ke kamar rahasia Agoy. Di sana
semua tentang dirinya ada. Memang ada sedikit kebanggaan dari relung hatinya.
Karena Agoy menyimpan semua tentang dirinya. Selama ini Agoy menyembunyikan
identitas pria misterius itu. Dan waktu di rumah sakit, ia bisa bersikap
biasa-biasa saja. Dan puisi-puisi Agoy mengatakan kalau dirinya adalah wanita
yang tak tersentuh. Agoy memang memujanya. Agoy mampu membuatnya merasa
melayang. Memujanya begitu tinggi. Rhaissa pun merasa malu dan takut Agoy
menganggapnya begitu sempurna. Rhaissa pun berguman di dalam hatinya..
‘Ada
cinta di sini, pernah hadir untuk kamu. Namun saat ini ada kegundahan terasa,
karena kau membuat aku bimbang. TULUSKAH, CINTA MU? Aku tidak ingin kekaguman
kamu sebatas aku seba
gai seorang penyanyi, aku ingin kamu tahu,
bahwa aku masih banyak memiliki kekurangan. Aku ingin kamu menyukai aku sebagai
Rhaissa, bukan yang lain. Bisakah??’
Rhaissa harus konsentrasi dengan
persiapan konsernya. Sementara kak Dina sibuk dengan selingan persiapan
pernikahannya. Semua sibuk dan Rhaissa benar-benar tidak bisa di ganggu. Segala
urusan di serahkan pada Ririn dan sekretarisnya. Sebuah infotainment meliput
persiapan itu. Dan Agoy sempat melihat hasil liputan itu di layar kaca.
Akhir-akhir ini ia sulit menemui gadis itu, setiap dia datang ke rumah Rhaissa
tidak pernah ada. Dan di luar pun ia selalu bekerja, Agoy tidak tahu apakah
gadis itu mencoba menghindarinya atau memang benar-benar sibuk dan tidak mau di
temani. Seandainya Rhaissa ternyata coba menjauhinya mungkin itu pantas ia
terima karena dia sendiri sudah berlaku tidak jujur.
Di layar televisi, Rhaissa tersenyum
saat wantawan menanyakan tentang kedekatannya pada seseorang akhir-akhir ini.
“Saya tidak bisa bicara apa pun untuk
saat ini, karena cinta dan seseorang akan tiba bila saatnya telah datang.”
“Dengar-dengar, dia seorang pengusaha
perhotelan…?”
“Oya, anda menebak atau bertanya? Nanti
orangnya marah lagi.” Kata Rhaissa di tengah senyumnya. ”Yang pasti orangnya
seorang yang sangat puitis.”
“Apa dia pernah menulis sebuah puisi
untuk anda?”
“Itu rahasia, saya tidak ingin
membahasnya di sini. Saat ini saya hanya fokus pada konser ini. Saya tidak bisa
membagikan pikiran saya untuk hal yang lain dulu, terima kasih ya.” Rhaissa
mengakhiri pembicarannya dengan wartawan itu.
Agoy menghela napas dalam-dalam.
Mencintai seorang penyanyi terkenal seperti Rhaissa, membutuhkan pengertian
seratus persen, berjiwa besar dan benar-benar harus tulus. Karena ketulusan
akan membuat semuanya menjadi mudah, tetapi apakah sesimpel itu? Jika rindu
mengganggunya maka Agoy hanya bisa berdiam diri di dalam kamarnya. Di temani
oleh semua tentang Rhaissa, menonton klip-klip lagunya dan terus menuliskan
puisi, namun tidak untuk di kirim lagi. Semua itu ia baca sendiri. Sebab ia
telah mengirimkan puisi terakhir bersama pengakuannya. Ia tidak tahu, apakah
gadis itu memaafkannya. Dua hari yang lalu seseorang mengantarkan undangan
pernikahan kak Dina untuk Agoy, Arron Gautama. Mungkin manager Rhaissa yang
ingat makanya undangan itu bisa sampai.
Namun bila Rhaissa yang kangen sama
Agoy, tak ada yang bisa ia lakukan. Terkadang ia ingin menghubungi Agoy. Namun
perasaannya mengatakan kalau dia sedang menghubungi seorang penggemar, bukan
pacar. Itu kenyataan yang sangat pahit. Jika ada yang mencintainya sebagai
Rhaissa maka itulah kebahagiaan tersendiri. Bukan kecintaan seorang penggemar
kepada sang idola. Sebenarnya tidak ada bedanya, yang menjadi pertanyaan,
tuluskah cinta itu?
Di saat acara resepsi pernikahan Dina.
Rhaissa terlihat akrab berbincang dengan pria bule, sebelumnya ia tidak pernah
terlihat akrab dengan pria mana pun. Bukannya ia anti dengan pria, namun ia
takut jika sampai menyakiti perasaan seorang pria. Ia pun tidak pernah menyebut
siapa pria yang sedang dekat dengannya dan tidak ingin mengekposnya andai pun
ada. Karena sang belahan jiwa adanya di hati. Mereka akan istimewa di dalam sana. Beberapa wartawan
mengabadikan gambar Rhaissa dengan bule itu. Apakah ada yang istimewa? Pria
bule itu memang mengaguminya. Terlihat caranya menatap Rhaissa. Mereka duduk
berseberangan di meja yang tidak begitu jauh dari pengantin. Rhaissa terlihat
bahagia, karena acara pernikahan kakaknya berjalan dengan lancar. Semua
keluarganya pun terlihat berbahagia. Seperti reuni keluarga besar, sanak
saudaranya pun berkumpul. Tapi kalau ia mau jujur, Rhaissa merasa ada yang
hilang di hatinya. Selama ini kak Dina begitu dekat dengannya, menyayanginya
dan kini ada orang lain bersamanya dan akan membawanya pergi jauh.
‘Aku bisa menyayangi kamu melebihi kak
Dina.’ Kata-kata itu tiba-tiba terngiang di telinganya. Agoy, pria itu belum
datang. ’Apakah dia tidak akan datang?’ Rhaissa bertanya dalam hati. Beberapa
menit kemudian Rhaissa melihat mobil Agoy berhenti di parkiran samping. Ia
bangkit dari kursi bermaksud menyambut pria itu namun urung karena detik itu
pula seorang wanita keluar dari mobil itu dan menggandeng Agoy. Jantung Rhaissa
terasa terhempas. Ia terluka, tega sekali pria itu membawa wanita lain di
tengah-tengah keluarganya. Rhaissa merasa bahwa dirinya begitu bodoh, terlena
dengan cinta dan harapan membuat dirinya buta.
Agoy dan wanita itu terlihat serasi, wartawan
pun mengambil gambar kedua pasangan itu. mereka menghampiri pengantin dan
memberi ucapan selamat. Rhaissa memandang pasangan itu cukup lama. Belum pernah
ia merasakan rasa sakit yang seperti ini. Seperti ada tombak yang menghujam
jantungnya. Ia membayangkan puisi apa yang di tulis Agoy untuk gadis itu.
Persetan!!! Ia memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu sebelum Agoy sempat
melihatnya. Ia pamit dengan bule itu. Dia tidak ingin menangis, dia harus
membujuk hatinya dan harus bisa mengendalikan perasaannya. Bodoh kalau sampai
menangis. Batinnya.
Setelah acara selesai, kak Dina mencari
adiknya itu. Ke mana adik kesayangannya itu. Ia tahu adiknya sedang gelisah dan
ia pun tahu tempatnya kalau ia sedang gundah. Ia ke kamar Rhaissa.
“Hai honey… apa kamu tidak melihat
Agoy?” katanya setelah menemukan Rhaissa. ”Kamu cemburu ya? Tadi dia
mencari-cari kamu lho.” Ia menggoda adiknya. Ia semakin mendekati Rhaissa yang
sedang duduk di sofanya. ”Tuh, coba lihat wajah kamu di dalam cermin itu.”
“Ah kakak, ngapaiin sih bicara seperti
itu? Sebentar lagi kakak akan meninggalkan rumah ini, hanya itu yang aku
pikirkan.”
Kak
Dina duduk di sebelah adiknya. Kata-kata itu memang ada benarnya. Ia mendesah
panjang.
“Kamu benar Ais… tapi kita tidak akan
terpisah, dengan peristiwa ini kakak benar-benar yakin kalau kakak benar-benar
menyayangi kamu. Dan kamu juga harus yakin kalau ada seorang pria yang begitu
menyayangi kamu melebihi apa pun dari dunia ini. Dia akan menjadi milik kamu,
percaya sama kakak. Kamu jangan cemburu begitu dong sayang… wanita yang
bersamanya tadi adalah adik sepupunya. Kamu harus janji tidak boleh banyak
pikiran, beberapa minggu lagi konser kamu akan di gelar lho.” Ia membujuk
adiknya. ”Kakak tidak ingin melihat kamu seperti ini lagi, kamu tahu kan kakak tidak suka
melihat kamu bersedih?” katanya lagi. Rhaissa tersenyum. Ia tahu kalau kak Dina
mengetahui apa pun yang belum ia ketahui.
Hari ini, Rhaissa pulang latihan hampir
jam enam sore dan jam tujuh malamnya Agoy menemuinya di rumah. Mereka tidak
pergi ke mana-mana, hanya ngobrol di rumah. Di ruang tamu itu mereka bisa
berbicara dengan leluasa. Keluarga Rhaissa mempercayai Agoy. Ayah dan Ibu
Rhaissa juga sudah sangat mengenali Agoy. Namun begitu Agoy masih saja terlihat
gugup.
“Kamu kok gugup begitu sih?” Rhaissa
penasaran. Karena Agoy berkali-kali terlihat gelisah.
“Mungkin karena aku merasa sangat
bersalah pada mu selama ini, maafkan aku ya, Rhaissa”
“Angel… bukankah itu nama yang kamu
suka?” Rhaissa tersenyum, membuat Agoy ikut tersenyum. Ia terlihat
mengembangkan senyumnya sangat indah.
“Itu bukan nama kamu, tapi itu milik
ku. Untuk itu juga aku minta maaf.” Agoy turun dari kursinya dan jongkok di
hadapan Rhaissa.
“Hei, apa-apaan kamu?” ia melirik ke
ruang belakang, kawatir kalau-kalau ada yang melihat sikap Agoy. Mulut Agoy
terbuka tanpa suara. ’Maafkan aku…’ desihnya. ”Cepat pindah ke kursi, aku tidak
suka kamu seperti ini.” Rhaissa memaksanya. Agoy pindah. ”Kenapa kamu merasa
begitu bersaalah? Aku akan menganggap itu suatu kesalahan jika kamu sengaja
melakukannya dan mengulangnya lagi.”
“Aku akan melakukan apa saja yang kamu
inginkan, Angel.” Katanya dengan nada senang. Ia tahu kalau Rhaissa sudah
memaafkannya. Dia tidak ingin mengemis jika Rhaissa tidak ingin memaafkannya,
karena sikap seperti itu akan merendahkan arti cinta itu sendiri. Beberapa saat
keduanya terdiam, tak ada yang bicara karena hati keduanya sedang bergejolak
indah. Agoy menatap mata Rhaissa beberapa detik, mata itu begitu indah.
“Hei, jangan pandangi aku seperti itu.
Di minum tehnya.” Rhaissa melirik teh yang di atas meja. Ia sendiri tidak
sanggup di lihat terus oleh Agoy. Agoy tidak tahu kalau hati Rhaissa seperti
mau melompat-lompat kegirangan. Sang Mister misterius itu sudah tidak ada lagi,
kini di hatinya hanya ada Agoy, Agoy yang ia cintai.
“Hmmhh… aku tidak tahu kenapa aku
seperti ini setiap kali bersama kamu. Kamu membuat aku merinding, bahkan
jantung ku berdebar-debar tidak menentu. Aku… Angel, menikahlah dengan ku.”
“Apa???” ia sama sekali tidak percaya
dengan apa yang baru saja ia dengar.
“O, maafkan aku. Aku ini sudah gila,
tapi aku serius, sangat serius….”
Rhaissa
mengamati pria itu, ia tahu ucapan itu serius dan ia tidak perlu lagi mencari
kebenaran di mata Agoy. Namun yang ia temukan adalah dirinya yang tenggelam di
dalam sana. Ia
tidak bisa lari dari kedalaman cinta Agoy. Pria itu menginginkannya sama
seperti ia menginginkan Agoy. Tapi ia malah menggeleng-geleng pelan.
“Kamu membuat aku tidak mengenali diri
ku sendiri, tapi ketahuilah, bahwa kamu tidak mengenali diri ku sebaik aku.
Yang kamu lihat selama ini adalah sosok Rhaissa yang ada di atas panggung.
Bukan keseharian ku, bukan juga kekurangan ku. Aku tidak ingin ada penyesalan
di kemudian hari.”
“Apa menurut kamu manusia di dunia ini
dilahirkan sempurna? Aku mencintai kamu, ingin memiliki kamu dan ingin hidup
bersama kamu sampai aku mati.”
“Jangan bicara seperti itu, aku mungkin
memiliki perasaan yang sama seperti kamu… namun bedanya… dunia kita sangat
berbeda jauh.”
“Aku tahu.” Agoy buru-buru memotong. ”Aku
bisa menerimanya.”
“Kamu belum mengerti, ini sangat
berbeda. Bisa di hitung berapa hari aku berada di rumah. Hari-hari ku nyaris
delapan puluh persen ada di luar. Kamu tidak akan tahan hidup dengan wanita
seperti aku. Mengertilah.”
“Harus bagaimana? Apa aku terus
mengirimi kamu puisi-puisi dan tetap hidup seperti ini? Hidup di dalam dunia
khayal ku? Aku mengerti ketakutan mu itu, kita akan menghadapinya bersama,
oke.”
“Aku tidak tahu dan aku tidak menduga
kalau malam ini kamu akan membahas masalah ini. Aku sebenarnya tidak mau hubungan
kita terlalu biru-buru. Kita akan menjajaki dulu, itu lebih baik, kan?”
Agoy
mengangguk. Itu tidak masalah baginya, ia tahu Rhaissa masih meragukan
keseriusannya. Itu wajar, dan Agoy tidak mau adanya pertunangan. Dia tidak mau
ada beban di dalam hubungan mereka. Siapa tahu Rhaissa bisa tertarik dengan
pria lain dan tak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi pula pada dirinya.
Karena apa pun bisa saja terjadi di kemudian hari.
Sehari sebelum Rhaissa mengadakan
konsernya, Agoy menemui kedua orang tua Rhaissa tanpa sepengatahuan anaknya.
Agoy melamar Rhaissa kepada kedua orang tua itu. Dia ingin membuktikan
ketulusan dan keseriusannya dengan Rhaissa.
“Semua keputusan mutlak ada di tangan
Rhaissa.” Kata Ayah Rhaissa tanpa bermaksud mengambil alih dan ia berkata
sepenuhnya sebagai Ayah yang tidak bisa mengambil keputusan sepihak. Karena
kebahagian anaknya ada di tangan anaknya sendiri dan ia tidak pernah
membeda-bedakan anaknya.
“Apa kamu pernah membicarakan hal ini
kepada Ais?” Ibu Rhaissa bertanya.
“Ais..??” Agoy tidak mengerti.
“Maksud Ibu, Rhaissa. Maaf, kami sering
memanggilnya seperti itu.”
“Oo…” Agoy tersenyum. Itu pasti
panggilan sayang Rhaissa di dalam keluarganya. “Ya, tapi dia
Masih
menragukan saya. Meragukan kalau dunia kami tidak bisa menyatu. Itu pemikiran
yang sangat wajar, ia khawatir kalau setelah menikah ia akan sering
meninggalkan saya. Baik keluar kota
atau pun ke luar negri. Tapi saya rasa itu bukan intinya.”
“Ais benar, ia sadar betul dengan dunia
yang ia geluti. Apa nanti kamu menginginkan ia berhenti berkarir?”
“O tidak Bu, sama sekali tidak.”
“Dia anak yang penurut.” Tambah si
Ayah.” Apa pun keputusan kamu nanti jika itu bisa membuat Ais bahagia tidak
masalah bagi kami. Karena kebahagiaanya adalah hal terpenting, dia sudah begitu
banyak berkorban untuk keluarga ini. Dia mutiara kami dan anak yang sangat
berbakti.” Dari kata-kata itu Agoy sadar kalau keluarga itu tidak akan
menyerahkan anaknya pada orang yang benar-benar belum memahami anaknya. Ia tahu
selama ini Rhaissa bukan semata-mata milik mereka tapi juga milik publik. Dan
dia tidak akan mudah begitu saja melenyapkan imej itu. Dan jika Agoy mengetahui
kekurangan Rhaissa maka mereka ingin Agoy tetaplah Agoy seperti saat ini, Agoy
yang mencintai Rhaissa apa adanya dia. Dan menjaga Rhaissa sepenuh jiwanya.
Sepertinya itu keinginan semua orang tua di dunia ini.
Dan sebelum konser selesai, kedua orang tua
Rhaissa tidak ingin menyampaikan dulu berita itu. Mereka akan menunggu besok,
ia tidak ingin konsentrasi Rhaissa terbagi. Persiapan dua bulan penuh tidak
akan bisa di gagalkan dengan berita yang masih bisa di bicarakan esok.
Konser di adakan di tempat paling
bonafide. Tiket terjual habis, acara di buka dari pukul 20.00-23.00. di iringi
oleh musisi terkenal. Penata Make Up dan busana semua jaminan. Penata panggung
serta dekorasi tak bisa di ragukan lagi. Mereka sering menggelar acara
penyanyi-penyanyi yang di datangkan dari luar negri.
Penampilan Rhaissa benar-benar memukau,
acara itu pun di siar langsung oleh televisi luar. Meski ada banyak penonton
dari luar yang datang langsung untuk menyaksikannya dari dekat. Sementara kak Dina
menunda acara honeymoonnya hanya ingin menyaksikan hal bersejarah dalam
perjalanan karir adiknya. Agoy duduk paling depan, tadinya ia ingin berada di
belakang panggung atau di kursi paling belakang, tapi ia berubah pikiran. Dia
tidak akan melewatkan sedetik pun penampilan Angelnya, ia akan memberi dukungan
penuh. Dan siapa menyangka kalau di panggung Rhaissa ternyata jago menari. O
iya, ia kan
belajar menari sejak belajar vocal. Makanya ia terlihat lebih lihai menari dari
klip-klipnya selama ini. Ia sangat luwes dan mengagumkan meski di irirngi oleh
para penari latar. Dan tidak ada satu pun yang tidak puas dengan konser
tersebut. Impian Rhaissa mungkin terwujud, selain ingin membuat orang lain
senang ia pun merasa puas dengan dirinya dan orang-orang yang mendukungnya
malam itu. Semua pendukung sudah bekerja keras dan hasilnya memang memuaskan.
Rhaissa telah menuntaskan sebanyak dua belas lagu dari semua hits-nya selama
ini.
Kini ia bisa menarik napas lega, kerja kerasnya menuai hasil.
Tidak ada kerja keras yang sia-sia,
jika kita tidak mendapatkan apapun minimal kita akan mendapatkan pengalaman
dari kerja keras itu. Sebab pengalaman juga tidak bisa di beli dengan apapun.
Rhaissa memang sibuk. Minggu depan ia
akan berduet dengan artis Malayasia dan membuat dua video klip. Satu di
Indonesia dan di Malaysia.
Dan akan di wawancarai oleh Majalah hiburan terkenal di negeri itu. Agoy seakan
terlupakan dan sepertinya ia akan mengambil sikap, jika ia tidak menikahi
Rhaissa di usia 23 tahun maka ia akan menikahinya saat usia 30 tahun. Dan
lagi-lagi keberuntungan berada di pihak Agoy. Dan Rhaissa akan menikah dengan
Agoy setelah pernikahan Arie, dan saat itu usianya 25 tahun, bukan 23 tahun.
Rhaissa memang mencintai Agoy, dan
berhasrat pada pria itu namun ia ingin semuanya berjalan normal. Tidak ada yang
berlebihan, bukan ia takut gossip tapi kehidupan yang normal seperti sebelum
Kenal
dengan Agoy. Jika ia tidak ada jodoh dengan Agoy maka tidak ada yang perlu di
besar-besarkan
di kemudian hari.
Secara diam-diam Agoy pun mengabarkan
tentang Rhaissa pada kedua orang tuanya yang menetap di negeri Paman Sam itu.
Atas ide Agoy, mereka pun menyetujui saat Agoy bermaksud membeli rumah di
kawasan taman wisata. Orang tuanya senang jika anaknya sudah menemukan pilihan
tidak peduli berasal dari negeri mana. Karena bagi orang tua, kebahagian
seorang anak adalah di atas segala-galanya. Agoy menjalani kehidupannya seperti
sebelumnya, ngantor dan berbisnis, ia tak pernah mempermasalahkan apakah harus
bertemu atau tidak dengan Rhaissa. Teman-teman sekantor sering menggodanya.
Mereka heran, bagaimana Agoy berpacaran dengan putri yang tak tersentuh itu.
Apakah dia tidak pernah kangen? Dan bagaimana kalau mereka bertemu? Apakah
hanya pandangan-pandangan saja? Huhh… orang-orang pengen tahu saja urusan
orang. Tapi Agoy tidak pernah mau peduli apalagi ambil pusing dengan pendapat
orang. Yang ada dia semakin bersemangat untuk bekerja, seolah tidak mengenal
lelah. Karena Rhaissa adalah inspirasinya. Napas cintanya.
Tapi jangan di kira karena sibuk
bekerja Rhaissa tidak merindukan Agoy. Karena di setiap break syuting ia selalu mendambakan Agoy. Di tengah keramaian ia
menginginkan pria itu. Terkadang ia pernah berharap kalau Agoy ikut membintangi
klipnya. Ia merindukan tatapan penuh cinta dari pria itu, ia kangen wajahnya
meski fotonya selalu muncul di ponselnya. Ia berharap pria itu datang dan
melepaskan rasa rindunya. Berharap puisi-puisi manisnya. Agoy bukan tipe pria
yang harus menelepon kekasihnya setiap hari, ia tidak mau di cap sebagai pria
protrektif atau posesif terhadap Rhaissa. Dan ia akan datang bila rindunya tak
terbendung lagi. Dia ingin hidupnya terkontrol oleh keadaan. Ia tidak ingin
cinta mengontrol dirinya namun dialah yang mengontrol cinta itu. Meski begitu
ia ingin berbuat sesuatu untuk cintanya, ia pun ingin memenej dirinya. Dari
kecil ia memang sudah di ajarkan untuk mandiri dan bertanggungjawab dengan
lingkungan dan dirinya sendiri. Ayahnya mengajarkan bagaimana menjadi pebisnis
sejati dan Ibunya mengatakan bagaimana menghargai seorang wanita, dan memahami
karir seorang wanita. Karena itu sangat penting.
Dari jendela kamarnya Rhaissa memandang
langit malam, sepi, ada satu bintang terang tanpa berkedip seperti sedang
menatap Rhaissa. Bintang itu begitu jauh namun seakan berbicara pada Rhaissa,
ingin membawa Rhaissa naik dan bersanding bersamanya melewati malam, karena
esok ia akan menghilang di telan sang matahari. Rhaissa telah sampai di langit
ia bersama bintang yang juga kesepian. Ia tak lagi melamun, karena bintang
menemaninya. Dan tiba-tiba sang awan kelam datang membungkus bintang, Rhaissa
tak bisa lagi melihatnya apalagi berbicara dengannya dan tanpa sadar, air
matanya menetes, ada perih kecil yang menggores hatinya. Ia ingin memaki sang
awan namun itu bukan kuasanya. Ia tak akan bisa berbuat apa-apa. Tapi sang awan
tidak mau egois, ia mengambil bintang dan menghadirkan rembulan untuk Rhaissa.
Agar Rhaissa menyadari kalau ia tidak perlu memaki perjalanannya. Semua yang
terjadi telah di gariskan oleh sang pengatur alam ini. Dan Rhaissa tidak perlu
membenci, sebab cinta tidak di ciptakan untuk membenci. Semua telah ia lewati
dengan cinta, menyanyi dengan cinta dan menjalani hidup dengan cinta. Jika hati
terlena oleh cinta maka itu merupakan bagian terindah dari hidup, bukanlah
siksaan. Lamunan Rhaissa buyar oleh suara deringan telepon di kamarnya. Ia
masuk sedikit untuk meraih gagang telpon dan mengangkatnya.
“Ya…”
“Ais, ada teman kamu sayang. Mama sudah
menyuruhnya ke atas.” Kata Mama dan sebelum ia bertanya, Mama sudah menutup teleponnya.
Rhaissa hanya menarik napas dalam-dalam. Jam di dindingnya menunjukkan pukul
sembilam malam. Beberapa detik setelah ia menyalakan televisi, tamu itu muncul.
Rhaissa mengangkat wajahnya….. kini bukan saja bulan yang menemaninya, bintang
terang itu pun muncul lagi. Ia membawa hati Rhaissa yang tertinggal di langit
dan memberinya cahaya.
“Halo… Angel…” ia muncul dengan
senyumnya yang paling indah dan mendebarkan Rhaissa.
“Kamu…?” Rhaissa tidak bisa
menyembunyikan kebahagiaannya. Wajahnya merona indah. Senyum merekah itu
mengobati rasa kangen di hati Agoy. ”Aku tidak tahu kenapa Mama mengizinkan
kamu untuk naik ke sini.”
“Karena Mama kamu percaya sama kita.”
Ia menghampiri gadis itu.
“O ya? Tapi tidak berarti kamu bisa
masuk ke kamar ku, jangn tersinggung aku bercanda, tapi serius juga sih. Oke..,
silahkan duduk.” Ia mengajak Agoy duduk di depan pintu kamarnya di kursi
panjang yang menghadap ke luar, di mana Rhaissa bisa menatap langit. Ia memang
senang menghabiskan waktu di tempat itu sembari mendengar alunan musik dari
dalam kamarnya. Mereka duduk bersandar di temani sang langit yang terang.
Lampu-lampu kota
menyala di setiap sudut malam.
“Kamu tidak pernah menulis puisi lagi?”
“Masih, tapi untuk aku baca sendiri.”
Ia menatap kekasihnya. Rhaissa tersenyum dan Agoy menyukai senyum itu.
“Kenapa tidak kau bagikan untuk aku?
Kamu kan
tidak perlu repot-repot lagi untuk menyuruh orang mengeposkannya.”
“Tidak, karena kamu pasti sudah bosan.”
Katanya bercanda. Ia tersenyum.
“Terima kasih ya. Karena kamu telah ke
sini malam ini.”
“Apa aku datang di saat yang tepat?
Kenapa kamu tidak menelepon aku?” ia tahu kalau mereka saling merindu. Seorang
pembantu rumah membawakan dua gelas minuman dan makanan kecil. Ia meletakannya
di atas meja kecil di samping Agoy dan Rhaissa. Rhaissa mengucapkan terima
kasih pada wanita empat puluhan itu. Agoy melanjutkan setelah wanita itu turun.
”Tengah malam pun aku akan datang kalau kamu menelepon ku.” Ujar Agoy
bersungguh-sungguh. Rhaissa mengangkat wajahnya untuk menatap mata Agoy. Di
antara cahaya lampu teras ia mengamati mata kelam itu. Ia memang pria impian,
pandai membuat puisi, lembut dan penyayang. Dia pria sejati.
“Silahkan di minum.”
“Terima kasih. O ya, kedua orang tua ku
akan datang ke sini jika kamu sudah siap.” Katanya sebelum meneguk minuman
hangat itu. Rhaissa masih menatapnya.
“Siap? Untuk apa?”
“Ya untuk kamu, karena aku ingin
menikah dengan mu. Bukankah kita sudah pernah membicarakannya?”
“Menikah?” suaranya setengah berguman
dan tidak percaya. ”Agoy, pernah gak sih terpikir oleh kamu? Seperti apa
kehidupan kita setelah menikah? Ada
banyak orang bilang kalau kehidupan setelah menikah itu tidak seindah di saat
pacaran. Kamu percaya?”
Agoy menggeleng. ”Karena ada seorang
pria pernah berkata, setelah menikah kita akan
menemukan
kehidupan yang begitu komplit. Berbagi kasih sayang, memiliki impian yang sama,
mempunyai keturunan dan itu katanya melebihi ratusan keindahan dari masa
pacaran. Dan itu menakjubkan.” Tutur Agoy. Rhaissa menyunggingkan senyum. Pasti
Ayahnya Agoy yang bicara seperti itu.
“Dan kamu juga harus tahu… bahwa tidak
semua impian bisa di capai.”
“Angel… impian ku ada di tangan kamu.
Cuma kamu yang bisa mewujudkannya.”
“Andai aku tidak bisa?”
“Angel, I do love you… kamu tahu, Aku
tidak akan meminta apa pun lagi jika sudah bersama kamu. Kamu adalah dunia ku,
surga ku. Mmm… kamu tahu, mata kamu itu sangat indah dan sering menusuk jantung
ku jika rindu melanda ku.”
“Kamu itu sedang berpuisi… atau sedang
merayu aku?” Rhaissa menggerakkan kedua alisnya. Membuat Agoy tertawa. Ia
bersandar lagi. Rhaissa terus menatapnya, dan ia tahu kalau Agoy serius. ”Tapi
aku suka kata-kata mu, apakah aku ini begitu berarti bagi kamu?” Tanya Rhaissa
lagi.
“Bagaimana aku harus membuktikannya?”
kini badanya menghadap ke Rhaissa. Rhaissa terdiam. Agoy memang tidak perlu
membuktikan apa-apa, selama ini ia sudah begitu menghargai Rhaissa itu berkat
didikan orang tuanya dan cintanya yang tulus untuk Rhaissa. Mana ada seorng
pria yang tumbuh dan besar di negeri barat bisa betah pacaran dengan wanita
seperti Rhaissa. Yang banyak orang menganggapnya kuno, kalau bukan karena cinta
sejati lalu apa namanya. Sedikit pun Agoy tidak berani menyentuh kulit mulus
itu. Rhaissa juga tahu kalau cinta Agoy sama dengan cintanya pada pria itu.
Namun ia tidak mau menyimpang dari prinsifnya. Ia pun tidak menyesali adat
serta budayanya. Semua ada aturannya dan bila saatnya tiba semua pasti berubah.
Bukannya ia bersikap sok munafik, bukan pula ia tidak pernah menginginkan
pelukan mesra dari pria yang amat ia cintai itu. Dan Agoy tidak pernah meminta
sesuatu yang belum menjadi miliknya, itu membuat Rhaissa tambah menyayanginya.
Dia jarang bertemu dengan pria seperti itu. Rhaissa menghormati dirinya juga
orang lain. Agoy merasa begitu nyaman kalau berada di samping Rhaissa, seperti
saat ini.
“Tadi, kalau tidak salah aku melihat gitar
di kamar mu.”
“Gitar? Tentu saja, mau aku ambilkan?”
“Boleh.”
Rhaissa
melangkah ke kamarnya untuk mengambil gitar yang sekali-kali ia mainkan. Sesaat
saja ia sudah kembali. Ia memberikan gitar itu pada Agoy untuk di mainkan. Pria
itu mulai memetik senarnya, Rhaissa mengamatinya dengan seksama. Ia melirik
Rhaissa.
“Mau nyayikan lagu untuk ku?”
Rhaissa tersenyum. ”Kamu serius?” ia
duduk meluruskan tubuhnya. Agoy mengangguk.
“Tapi jangan menyayikan lagu yang
mengharuskan kau mengeluarkan lengkingan kamu itu ya.”
“Kenapa? Kamu tidak suka?”
“Tentu saja aku suka, tapi ini kan sudah malam.
Bisa-bisa orang-orang pada berdatangan ke sini.” Agoy mulai mengatur posisi
gitarnya.
“Tapi sorry… aku sedang tidak ingin
menyanyi.”
“Tidak apa-apa..” ia mulai memainkan
gitarnya. Membawakan sebuah lagu Rhaissa. Lagu itu sangat manis. Penuh
pengharapan, setia dan di klip lagu itulah Rhaissa menangis. Agoy terus memetik
senar gitar dengan begitu lembut. Ia sangat lihai, hingga tanpa sadar Rhaissa
pun mulai mengikuti alunan suara gitar. Ia mulai menyanyi, pelan dan lembut.
Mereka bertatapan lalu sama-sama tersenyum. Dan di pertengahan lagu Agoy
berhenti.
“Kenapa?” Rhaissa bingung.
“Aku tidak ingin kamu menangis…” ia
memeluk gitar itu. Rhaissa jadi tidak enak. Ia ingat kata-kata Agoy tentang
klip itu.
“Hei, bagaimana aku bisa menangis kalau
kamu ada di samping ku.”
“Tidak Angel sayang…. Kita hentikan
saja ya?” kata Agoy akhirnya. Mereka menikmati tehnya yang mulai dingin, dan
kue kecil yang gurih dan nikmat. Suasana yang nyaman, indah dan syahdu. ”Suara
kamu lebih indah dari yang pernah aku dengar di mana pun.” Kata Agoy pasti
membuat Rhaissa menciptakan mimik lucu.
“Terima kasih, tapi jangan terlalu
serius begitu, gak lucu tahu…!”
“Aku bukan saja serius tapi
bersungguh-sungguh. Suara kamu memang indah. Kamu tahu, setiap malam sebelum
tidur, aku selalu mendengar suara mu dan menonton VCD kamu. Kalau belum maka
aku tidak bisa tidur sama sekali. Apa kamu akan menganggap aku berlebihan dan
mengada-ada? Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, aku mencintai kamu bukan
karena semua hal itu. Apa kamu juga mencintai aku?”
“Apa aku harus menjawabnya?” Rhaissa
berkata pelan. Agoy mengangguk. ”Iya. aku mencintai kamu, mungkin sejak pertama
kita bertemu di kafe itu.”
“Itu artinya aku lebih dulu mencintai
kamu.”
“Dan kamu jahat, karena di situ kamu
pura-pura sama sekali tidak mengenali aku.”
“Sayang… kamu jangan naïf deh, mana ada
orang di negeri ini tidak mengenali kamu hhh..? waktu ketemu kamu itu, aku
sudah setahun ada di Jakarta
dan sudah mengikuti perjalanan kamu. Dan amplop-amplop konyol itu pun mulai
mengalir.”
“Ya aku percaya…”
“Oke.” Agoy melirik arlojinya. ”Sudah hampir
jam sebelas. Ouh.. aku benci jika harus pergi. Tapi waktu sudah harus
memisahkan kita. Aku harus pulang dan kamu harus istirahat, tapi aku tidak
perlu lagi menonton dan mendengar lagu kamu sebelum tidur karena aku sudah
mendengarnya langsung. Kamu harus mimpi indah ya…” ujar Agoy panjang lebar.
Rhaissa juga seakan tidak percaya kalau mereka sudah melewati hampir dua jam di
tempat itu. Cinta memang membuat orang ingin hidup lebih lama.
“Kamu itu kalau ngomong selalu…”
“Selalu bikin kamu tenang ya…?” potong
Agoy dengan cepat merasa terlalu percaya diri. Rhaissa tidak membantah. Ia
mengantar Agoy ke depan. Dan menunggu sampai satpam menutup pintu gerbang baru
ia masuk. Dia sangat bahagia. Kak Dina benar, kalau ada seorang pria yang
mencintainya lebih dari yang ia tahu.
Agoy membuat hidupnya lebih bermakna,
kata-katanya selalu enak di dengar, penuh makna dan romantis. Rhaissa mulai
menulis lagu lagi. Banyak artis top sekali lewat lalu menghilang. Tapi itu
tidak terjadi pada Rhaissa. Sudah puluhan tahun ia bergelut di dunia tarik
suara, dan sampai detik ini ia masih eksis. Bahkan semakin di sukai, itu karena
kecintaannya pada dunia seni yang sudah mendarah daging. Di tambah lagi ia
selalu aktif termasuk menulis lagu untuk dirinya sendiri.
Rhaissa mendapat tawaran untuk
mendampingi seorang aktor film dari luar, setiap film yang ia mainkan merupakan
jaminan kalau filmya akan menjadi box office. Namun dengan rendah hati, Rahissa
menolaknya. Tidak sedikit penggemar Rhaissa menyayangkan keputusan itu. Tapi
Rhaissa lebih mengerti dari apa pun. Di depan publik ia mengatakan tidak bisa
akting. Ia tidak ingin mengecewakan penggemar dari aktor itu sendiri. Tetapi
pada dasarnya, ia tidak mungkin bisa memerankan sebagai seorang kekasih yang
sedang di mabuk cinta. Karena tak ada film zaman sekarang yang tidak memiliki
adegan mesra, apalagi kisah cinta. Atau paling tidak adegan pelukan erat.
Apakah para peminat film akan menerima? Yang nota benenya sang aktor di kenal
sebagai sang penakluk para artis di dunia film.
Rhaissa…! Kenapa tidak kau coba?
Bukankah di setiap video klip mu, kamu bisa berakting begitu mesra tanpa harus
melalukan kontak fisik? Bahasa tubuh juga bisa menciptakan kemesraan yang
hakiki, tanpa terbantahkan. Tatapan mata bisa melumerkan apapun, sikap pun bisa
mewakili segalanya. Cinta yang membara bisa di perlihatkan dengan tatapan yang
indah.
Agoy sedang makan siang bersama rekan
kerjanya, pemuda itu meragukan apakah Agoy bisa bertahan dengan Rhaissa atau
tidak. Soalnya bukan apa, dia kenal Agoy sebagai pria modern. Apa iya bisa
bertahan pacaran dengan seorang gadis seperti putri raja, yang setiap bertemu
hanya berpegangan tangan dan mengucapkan salam. Seperti bulan purnama, indah
namun hanya bisa di pandang.
“Goy, kalau aku jadi kamu, barangkali
aku sudah gila.” Katanya di sela makannya.
Agoy melirik temannya seklilas. ”Memangnya
kamu tidak tahu kalau aku sudah tergila-gila dengannya?”
“Maksud ku bukan itu, Man..” ia menatap
Agoy. ”Rhaissa itu seperti bulan, yang hanya bisa kamu liatin keindahannya.”
Godanya. Dan Agoy paham betul inti ucapan temannya itu.
“Rhaissa tidak bisa di ibaratkan dengan
apa pun. Dia adalah segala-galanya, kamu tidak akan mengerti apa itu namanya
cinta sejati. Dengan cuma tersenyum ia mampu memberikan kebahagian yang tidak
pernah aku bisa temukan di mana pun. Ia bisa bicara ribuan cinta hanya dari
tatapan mata-
nya.
Aku bisa mengerti arti semua itu dari bahasa tubuhnya.”
“Wow…” temannya itu berdecak kagum. Ia
tersenyum dan tak bermaksud mengejek Agoy. ”Mendengar kata-kata kamu itu aku
seperti melihat orang pacaran dengan bayangan sendiri. Ayolah… realistislah
sedikit.” Pria itu coba membuka mata Agoy. Sepertinya Agoy tidak tertarik,
karena dunia modern yang ia jalani selama ini di aliri ajaran ke dua orang
tuanya. ”Apa kamu tidak punya hasrat? Kangen, maksud ku kangen dalam arti yang
romantis seperti pasangan-pasangan lainnya.” Ia masih terus berusaha. Agoy
diam. Mereka menyelesaikan makan siangnya.
Teman Agoy memang berkata benar. Agoy
mencintai Rhaissa dan cinta mereka tidak seperti pasangan pada umumnya. Apa itu
bisa di bilang aneh? Kalau menurut remaja sekarang memang aneh! Tapi kalau
menurut orang tua, adat dan Agama tentu saja itu tidak aneh, dan itu adalah hal
yang benar. Apalagi Rhaissa,
ia sangat menjunjung tinggi
budayanya. Ia bangga dengan budaya timurnya. Ia sadar banyak sekali orang
memujanya, dan itu pertanda masih banyak orang di negeri ini yang mendukung
budaya timur. Jika ada segelintir orang menganggapnya ketinggalan zaman, itu
tidak akan menjadi masalah besar baginya.
Rhaissa sedang menyelesaikan syuting
video klip di Malaysia. Ada
seorang pengusaha yang menyimak perjalanannya. Pria itu menginginkan Rhaissa,
maka ia pun mengundang Rhaissa untuk makan malam di istana-nya. Rhaissa tidak
tahu bagaimana harus bersikap. Karena pria itu datang sendiri ke tempat Rhaissa
menginap dan mengundangnya secara khusus. Itu bukan hal pertama kali ia temui,
namun kali ini, pria itu adalah salah satu pangeran di negeri itu. Dan kejadian
ini juga terjadi saat ia sudah mengenali Agoy. Andai ia penuhi undangan itu,
berarti ia mengkhianati Agoy. Tapi dia juga menghargai undangan pria itu.
Apalagi dia datang sendiri ke apartemen tanpa di antar sopir. Kini Rhaissa di
hadapkan pada dilemma. Andai ada kak Dina tentu ia tidak akan sebingung itu. Ia
di dampingi Ririn yang lima
tahun di atasnya. Mencoba memberi masukan pada Rhaissa.
“Tenanglah Rhaissa, yang terpenting
kamu tidak punya niat untuk mengkhianati Agoy. Aku pikir tidak ada salahnya
sekedar menerima undangan pria itu.”
“Namanya Abrar, orang sini memanggilnya
Tuan Abrar atau pangeran Abrar.”
“Seorang pangeran?” Ririn tersenyum
menggodanya.
“Rin… Arron Gautama juga seorang
pangeran di hati ku.”
“Aku tahu, sekarang keputusannya ada di
hati kamu Non…” Ririn menatapnya dan memberi kebesan penuh. Rhaissa terdiam.
“Kamu memang benar. Intinya kan aku tidak ada niat
ke arah itu.” Ia mengambil keputusan. Dan di iyakan oleh Ririn. Itu pertanda
kalau Rhaissa akan memenuhi undangan sang pangeran.
Pangeran itu membawa Rhaissa ke tempat
paling mewah di Malaysia.
Pria berusia tiga puluhan itu merasa tersanjung karena Rhaissa tidak
menyepelekan undangannya. Di malam bersejarah itu ia memberikan seperangkat
perhiasan berlian kepada Rhaissa. Bisa Rhaissa pastikan kalau nilainya di atas
milyaran rupiah. Dia tidak mungkin bisa menerima itu. Kalau ia boleh jujur, ia
lebih menghargai Abrar memberinya setangkai bunga indah dan wangi dari pada
sekotak perhiasan, yang terkesan berlebihan. Sementara bunga itu lebih nyata,
lebih jujur dan yang pasti tidak menganggap Rhaissa terkesan matrealistis.
“Maafkan saya… anda mungkin bermaksud
baik, namun saya tidak bermaksud mengatakn kalau saya juga bermaksud baik. Tapi
yang pasti saya menghargai undangan Tuan dengan datang ke sini.”
“Tidak apa-apa kalau kamu menolak tapi
jangan panggil Tuan, Abrar saja. Saya mungkin agak berlebihan.” Ia mengamati
kotak berlian itu lalu menutupnya kembali. ”Saya merasa malam ini begitu
istimewa makanya saya ingin melakukan hal istimewa juga karena kamu adalah
sosok yang istimewa bagi saya. Saya memang punya niat baik pada kamu, bagaimana
dengan kamu sendiri?”
“Saya sudah punya seseorang…” ia
berkata dengan jujur tanpa bermaksud menyinggung perasaanya apalagi memberi
harapan.
“Itu artinya kedatangan kamu kesini
sekedar untuk menghormati saya.”
“Saya minta maaf.”
“Tidak apa-apa.. kamu pasti bingung.
Kalau menolak di anggap tidak menghargai orang. Aku mengerti dan itu tidak
mengurangi kekaguman saya sama kamu. Kamu tidak perlu meminta maaf. Pria itu
memang beruntung” Sepertinya ia menyadari tidak semua yang ia inginkan bisa di
beli dengan uang dan berlian. Rhaissa tersenyum tipis, bayangan Agoy melintas
di pelupuk matanya. Ia tidak peduli apa pandangan Abrar padanya, karena ia
hanya ingin jujur pada dirinya sendiri.
“Kenapa kamu menganggap kamu bukan pria
beruntung?”
“Saya tahu maksud ucapan kamu, tapi
saya percaya kamu lebih tahu apa yang saya maksud. Terkadang ada satu hal yang
tidak kita pahami.” Ia berkata dengan santai. Apa pun yang di maksudkan oleh
Abrar yang pasti dia memiliki hati yang bersih, dia seorang pangeran yang
sesungguhnya. Rhaissa menyukai Abrar
tapi tidak jatuh cinta, hanya sebatas kekaguman.
Rhaissa tahu kalau Tuan Abrar adalah
pria yang baik dan sangat menghargai wanita. Itu mengagumkan sekali, namun dia
bukan tipe Rhaissa. Dan bukan hal aneh kalau keesokan harinya gambar pangeran
Abrar dan Rhaissa muncul di halaman depan tabloid-tabloid Malaysia dan masuk ke Indonesia. Itu sangat mengejutkan
Agoy. Dia tidak sanggup membayangkan terlalu jauh hubungan Rhaissa dengan pria
itu. Gambar itu memang tidak begitu jelas, pasti ada wartawan professional yang
berhasil mengabadikan gambar acara makan malam itu.
‘Ada
apa antara Pangeran Abrar dan Diva Indonesia, Rhaissa?’
Itu judul tabloidnya. Gambar itu di zoom
dan sang professional berhasil memperlihatkan kotak perhiasan di tangan sang
pangeran. Dan sang pangeran tidak mau ambil pusing dengan berita itu. Buat dia
yang penting ia dan Rhaissa tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Dan, di saat Rhaissa kembali dari Malaysia.
Agoy yang sudah berjanji menjemputnya di Bandara sudah muncul. Ririn bersama
yang lain pulang dengan jemputan khusus. Mereka membiarkan Rhaissa naik mobil
Agoy.
“Hai, gimana kabar kamu?” katanya
setelah Rhaissa duduk di sebelahnya. Ia melirik kekasihnya.
“Baik.” Rhaissa kangen dengan pria itu.
Ia percaya kalau Agoy sudah membaca berita itu. Ia tidak tahu apakah Agoy
cemburu atau tidak. Sebenarnya Agoy amat sangat cemburu, belum pernah dia
merasa secemburu saat ini. Namun ia harus sabar dengan posisinya, Rhaissa
adalah seorang bintang, dia harus menyadari betul itu. Tidak baik baginya kalau
bertanya langsung sebab Rhaissa baru saja tiba. Lain lagi menurut Rhaissa,
seandainya Agoy sudah tahu maka ia akan lebih senang jika pria itu langsung
mengkonfirmasikannya langsung kepada dia, dan dia bisa mendengar dari mulut
Rhaissa sendiri. Ia menatap Agoy yang sedang menyetir. Satu minggu ini wajah
itu selalu menggodanya, maka ia tak melepaskan matanya dari Agoy.
“Hei, aku kangen sama kamu….” Cetusnya
kemudian.
“Aku juga…” ia melirik Rhaissa sejenak.
Rasa cemburunya masih ada namun rasa cinta itu begitu besar. Ketulusan dan
keteduhan mata Rhaissa membuatnya tidak ingin mengetahui berita itu. Rhaissa
merasa kalau Agoy mulai memahami profesinya, yang kapan saja bisa di terpa
gosip.
“Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin
menjelaskan sesuatu.” Ia menghela napas sejenak. Agoy pun menatapnya sekilas.
Antara berharap kejujuran gadis itu dan tidak. ”Kalau boleh aku menebak, kamu
pasti sudah melihat beritanya, kan?”
“Hanya melihat dan hanya kamu yang tahu
kebenaran beritanya. Terus terang aku akan senang sekali jika mendengarnya
pertama dari kamu.”
“Ya, aku percaya kalau kamu ingin aku
jujur. Malam itu Tuan Abrar datang sendiri ke apartemen bermaksud mengundang
aku untuk makan malam, dan aku berpikir tidak ada salahnya menghargai undangan
seseorng. Dan kalau itu menurut kamu salah, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud….”
Agoy ingat gambar kotak perhiasan. ”Apa
dia melamar kamu?” dan foto-foto itu, sang pangeran pasti saja punya maksud.
Rhaissa mengernyitkan kedua alisnya, ia kaget mendengar Agoy melontarkan
pertanyaan sepert itu.
“Aku hanya ingin menikah dengan kamu.”
Jelasnya dengan begitu meyakinkan.
“Terima kasih Angel, aku merasa tidak
sabar.” Mereka tersenyum. Agoy yakin kalau hari ini Rhaissa tidak punya
kegiatan dan ia ingin bersama belahan jiwanya barang sebentar. ”Mau makan siang
bersama ku hari ini?” sebenarnya itu hal biasa namun Agoy mengungkapkannya
dengan sangat manis dan romantis. Hati Rhaissa merasa begitu nyaman.
“Dengan senang hati, tapi tidak
keberatan kan
kalau aku pulang dulu ke rumah?” pintanya. Agoy mengangguk kecil. Dia tahu
kalau Rhaissa akan melakukan hal itu, dia juga tahu kalau Rhaissa begitu
menghargai keluarganya dan selalu mengutamakan mereka.
Pernikahan Rhaissa dan Agoy di percepat
karena Arie membatalkan pernikahannya. Kekasih Arie mendapakan bea siswa dan
melanjutkan sekolah di luar. Acara resepsinya di adakan di hotel berbintang di
pinggir laut. Pengusaha perhotelan itu sengaja menampilankan nuansa hotel
sejati. Setelah sebelumnya mengadakan upacara adat dan akad nikah di rumah
kediaman Rhaissa, kesibukan itu berlangsung dua hari dua malam.
Para undangan di manjakan dengan menu
hotel berbintang lima,
dari pagi hingga malam. Sebelumnya di adakan acara khusus untuk anak-anak
yatim. Dan siangnya pangeran Abrar pun datang memenuhi undangan khusus dari
Rhaissa dan Arron Gautama. Pria itu menganggap Arron adalah laki-laki paling
beruntung di abad 21. karena mendapatkan wanita sesempurna Rhaissa. Itu pasti
berlebihan. Itu menurut dia karena dia tidak berhasil membawa Rhaissa ke dalam
istananya.
Kedua orang tua Agoy pun tidak menyadari
kalau anak tunggal mereka akan seberuntung itu. Arron bisa mengikuti jejak
Ayahnya dan telah mendapatkan wanita
impiannya. Dan wanita itu adalah impian separuh pria di negeri ini. Setelah itu
semua stasius televisi menyiarkan berita pernikahan itu dan wawancara kecil,
serta berbagai media cetak juga berlomba menyajikan gambar-gambarnya.
Setelah semua beres, kedua orang tua
Agoy kembali ke Amerika. Mereka semakin mempercayai Agoy untuk menjalani
bisnisnya di Indonesia.
Sebelum berangkat mereka berharap Agoy dan Rhaissa mengadakan bulan madu di Hawaii. Sayangnya
Rhaissa hanya memilih Indonesia.
Andai pun mereka ke Hawaii
maka itu dalam rangka jalan-jalan saja.
Agoy membawa Angelnya ke sebuah rumah
yang di belinya sebulan sebelum pernikahan. Rumah itu bernuansa klasik, serta
ada sentuhan rumah adat Bengkulu di sampingnya. Di bagian luar di cat dengan
warna coklat muda dan bagian dalam hijau lembut. Rumah yang begitu unik dan
cantik tidak begitu besar namun cukup luas. Halaman depan di penuhi dengan
berbagai macam bunga khususnya mawar. Desain bagian samping kanan terlihat
sentuhan gaya Bali,
namun bagian dalam delapan puluh persen bergaya modern. Di halaman samping agak
ke belakang ada sebuah kolam renang yang cantik. Tempat itu tertutup dan
terkesan pribadi sekali. Rumah yang kokoh, indah, anggun serta elegan. Agoy
ingin mengumpanakan kalau rumah itu adalah cerminan priabadi dari Rhaissa.
Namun keanggunan Rhaissa tidak bisa di samakan dengan apapun. Rumah baru itu
tidak akan di publikasikan ke publik untuk di perlihatkan setiap sudutnya.
Mereka tidak akan melakukan itu. Biarlah rumah itu menjadi istana kecil untuk
pasangan yang sedang berbahagia itu.
Ketika memasuki rumah itu, aroma wangi
catnya yang masih baru terasa menyengat ke hidung serta keramik porselennya
berwarna coklat keemasan berkilau namun terlihat begitu teduh. Seisi rumah
nyaris terlihat berwarna coklat dan hijau muda. Rumah itu sebenarnya terlalu
besar untuk mereka berdua. Andai saja Rhaissa tidak mencintai Agoy maka ia akan
kesepian di istana indah itu.
Agoy menatap Rhaissa. ”Kamu menyukai
rumah ini?”
Rhaissa
menatap kekasihnya lalu mengamati ruangan itu sejenak, terlihat ada tangga
kecil menuju lan
tai
atas. Semuanya terlihat begitu menakjubkan.
“Seberapa pun aku menyukai rumah ini
namun tidak bisa menyamai perasanan ku menyukai kamu. Kamu memberi semua
ornament dengan warna kesenangan ku sementara aku sendiri tidak tahu apa yang
kamu sukai.”
“Aku hanya menyukai kamu, Angel.” Ia
mengulurkan tangannya seakan meminta dan mengajak wanita itu ke atas. Rhaissa
memandang telapak tangan yang terbuka itu. Agoy menatap wajah lembut itu dan
mereka pun bertatapan dan tersenyum. Rhaissa mengangkat pula tangannya untuk
menggapai tangan Agoy. Sesaat telapak tangan mereka bersentuhan. Agoy
menggenggam erat tangan Rhaissa, meraih dan menuntunnya ke kamar atas. Kamar
pengantin mereka.
Rhaissa pun di kejutkan dengan seisi
kamar itu. Agoy telah memindahkan semua isi kamar rahasianya di apartemennya ke
dalam kamar itu. Sebuah springbed yang berukuran besar di tutupi dengan sprey
warna hijau muda dengan motip mawar putih. Di sebelah kamar, Agoy juga
menyediakan sebuah ruangan kedap suara sebagai tempat Rhaissa bermain piano
atau alat musik lainnya. Rhaissa benar-benar seperti masuk ke dalam rumah
impian.
Kembali ke kamar pengantin, Agoy
menatap gadis impiannya. Dia sendiri tidak tahu dari mana harus memulai untuk
membahagiakan gadis itu. Alunan lembut suara saxofon Kenny,G mengalun lembut
dari DVD player yang ada di sudut ruangan. Agoy memegang tangan Rhaissa, dengan
lembut ia mengusap bahu Rhaissa. Ia tidak pernah merasa gugup yang sedahsyat
itu. Itu bukan pertam ia menatap seornga wanita dengan begitu dekat. Dan Rhaissa pun merasakan
hatinya bergemuruh hebat. Semua alunan lagu yang ada di dunia ini tak mampu
menyaingi dentaman-dentaman yang ada di hati kedua insan itu. Tangan Agoy
berpindah ke tangan Rhaissa dengan mengikuti irama saxofon ia membawa gadis itu
untuk berdanca pelan. Mata mereka saling menatap lembut dan tak bicara apa pun.
Keduanya menggerakan badan lembut mengikuti irama yang tak kalah lembut. Kedua
tangan Rhaissa berpindah ke pinggang Agoy. Perlahan ia memeluk tubuh atletis
itu, merapatkan wajahnya di dada Agoy. Agoy pun mengusap punggung Rhaissa.
Mereka masih mengikuti irama sambil berpelukan yang semakin erat. Rhaissa
seakan ingin menghitung detik demi ketik saat berada di dalam pelukan Agoy.
Karena setiap detiknya mengandung rasa nyaman dan ketenangan yang teramat
sangat. Dan ia seperti bisa menghitung pula setiap kali jantung Agoy berdetak.
Agoy pun merasakan hal yang sama. Ia terus mengusap Rhaissa, seakan ingin
merangkul tubuh itu seutuhnya. Kini tangannya mengelus wajah gadis itu dan
berbisik.
“Apa kau begitu gugup?” tanyanya pelan.
Rhaissa menggeleng pelan di dada Agoy. Sejujurnya ia lebih malu di banding rasa
gugupnya. Agoy menusap lagi pipi Rhaissa. ”Sayang… kita tidak akan melakukannya
malam ini andai kamu belum siap.”
Rhaissa mengangkat wajahnya. ”Aku tidak
akan menikah jika belum siap.” Katanya lembut.
“Benarkah?” Agoy tersenyum lembut pula.
Di balas Rhaissa dengan senyum indah.
“Aku suka rumah ini..”
“Oh ya? Kalau begitu, berdansalah dengan
ku.” Kembali ia memeluk Rhaissa dan kedua tubuh itu bergerak bersamaan,
berdekap begitu rapat. Sudah begitu lama mereka mendambakan saat-saat seperti
itu. Berada di dalam pelukan cinta sejati. Agoy memang di besarkan di negeri
barat, tapi dia di lahirkan oleh wanita timur maka dia tetap membawa gaya pergaulan orang
timur. Dan sangat memahami budaya timur. Makanya ia belum pernah berhubungan
intim dengan wanita mana pun. Sebebas-bebasnya dia tak melakukan yang satu itu,
meskipun berpacaran ia melakukan kemesraan ya sebatas pacaran layaknya remaja
umumnya. Ia mencium kening Rhaissa, kedua kelopak matanya dan hampir seluruh
wajahnya hingga terahir bibirnya yang selalu menebarkan senyum manis itu. Kini
Agoy bisa menyentuh impiannya. Dengan begitu lembut ia melumat bibir mungil itu
dan mengajarkan Rhaissa. Ia memberikan keindahan pada kekasihnya. Tanpa butuh
banyak waktu Rhaissa pun menyesuaikan dirinya. Dengan sedikit getaran aneh ia
mampu membuat Agoy merasa takjub. Ia sepertinya mengajarkan Agoy bagaimana
rasanya menikmati cinta sejati. Cinta yang tidak akan pernah Agoy lupakan
seumur hidupnya. Dan mereka memasuki alam mimpi yang terindah, di sana mereka saling
memahami, mengenali diri masing-masing hingga tak ada rahasia sedikit pun di
antara mereka, tak ada yang di sembunyikan.
Rhaissa menitikan air mata bahagia, ia
seakan bertanya. ’inikah yang namanya hubungan suami istri? Tuhan, inikah yang
namanya surga mu? Seperti inikah yang namanya malam pertama itu? Inikah awal
dari kehidupan baru ku?’ semua tanya itu sudah bisa ia jawab sendiri. Agoy
menatapnya dan agak terkejut saat melihat air mata itu.
“Angel, kamu menangis sayang?” ia
mengusap air mata itu. Rhaissa sendiri tidak percaya dengan air matanya. Ia
tersenyum. Karena tidak percaya apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Ia
memeluk Agoy. Pria itu mendekapnya erat. Ia coba memahami kenapa Rhaissa
menangis. Apakah ia telah menyakiti wanita itu atau dia sedang menyesal.
Praduga itu lenyap saat Rhaissa memeluknya semakin erat. Agoy mencium
telinganya sembari berbisik. ”Angel… aku sangat mencintai mu.”
“Aku juga.” Balas Rhaissa. ”Jangan
lepaskan aku dari pelukan mu.”
“Tentu.” Ia merasa tersanjung. Karena
telah menyerahkan cinta sejatinya pada wanita suci. Keduanya merasa sama-sama
beruntung. Memiliki cinta dan ketulusan. Tidak ada yang lebih indah dari
ketulusan. Cinta ibarat api yang membara yang bisa membakar hati jika tidak
bisa mengendalikannya. Namun ketulusan akan menenangkan hati dan menempatkan
cinta pada posisi yang paling istimewa. Agoy terus memeluk Rhaissa. Wanita itu
selama ini seakan tidak sadar kalau ia memiliki kecantikan yang luar biasa.
Kesederhanaannya mampu meluluhkan hati sang pangeran Abrar. Agoy berkata lagi. ”Wanita
suci menyerahkan cinta sucinya, berada di dalam pelukan pria beruntung yang
memberi cinta dan ketulusan. Si pria tidak memiliki apa-apa untuk di beri,
andai ia bisa meraih surga maka akan ia berikan untuknya. Tapi kenyataannya
saat ini hanya cinta yang ia punya….” Kata Agoy perlahan. Rhaissa masih
menunggu pria itu menyelesaikan kata-katanya. ”Hanya itu yang bisa aku
katakana…” lanjut Agoy.
“Pabila cinta mu itu tulus, maka aku….”
“Kamu apa….?” Tanya Agoy.
“Aku tidak bisa berpuisi.”
Agoy tersenyum. Kembali ia memeluk
Rhaissa. ”Tidak sayang.. kamu tidak perlu berpuisi. Kamu cukup pintar menyanyi
saja. Kalau kamu pintar juga berpuisi maka wanita di negeri ini akan cemburu
dengan kelebihan yang kamu punya.” Tutur Agoy. Rhaissa tidak perduli dengan apa
yang Agoy katakan, yang ada di hatinya saat ini adalah kebahagiaan karena telah
memiliki cinta sejatinya. Cinta yang berjalan dengan mulus hingga berakhir ke
pelaminan.
Berikutnya semua berjalan normal.
Mereka tetap beraktifitas dengan hidup yang selalu di penuhi rasa cinta yang
tidak pernah berubah sedikit pun bahkan semakin kuat. Nyanyian dan canda serta
kasih sayang yang berlimpah. Dan tanpa terasa tiga tahun telah terlewati. Namun
pasangan sejati itu belum juga di karuniai seorang anak. Sebagai seorang wanita
Rhaissa sempat di hinggapi rasa kegalauan. Apalagi Agoy adalah anak tunggal.
Meski begitu Rhaissa pribadi juga sangat
mendambakan kehadiran seorang anak di antara mereka. Selama ini Agoy tidak
pernah menyinggungnya sama sekali. Tapi Rhaissa terus saja memikirkannya.
Hari itu Rhaissa menyelesaikan syuting
video klip di taman bunga. Di syuting pengambilan gambar Rhaissa tidak memakai
alas kaki. Ia membawakan salah satu tarian daerah untuk lagunya itu bersama
penari latarnya yang berjumlah empat orang. Tak jarang dalam video klip Rhaissa
memasukan nuansa promosi kekayaan budaya negeri. Dari tarian juga pakaian.
Setelah selesai, Agoy yang dari tadi sudah datang menjemputnya duduk di tempat
yang teduh. Rhaissa menghampirinya, Agoy menantinya dengan senyum. Agoy berdiri
dan sepertinya harus menunggu sebentar, karena Rhaissa harus menggantikan
pakaiannya. Agoy mengulurkan tangannya, Rhaissa menyambutnya dan mereka bergandengan
tangan. Itulah kebiasan mereka beberapa tahun ini. Setiap kali Agoy punya waktu
ia akan selalu menjemput Rhaissa. Rhaissa selalu pulang naik mobil suaminya,
manager dan asistennya akan pulang dengan mobil Rhaissa. Saat duduk di mobil ia
bersandar dan menghela napas dengan pelan. Agoy meliriknya sejenak sembari
menyalakan mesin mobil.
“Capek?”
“Lumayan.. kamu gak telepon dulu kalau
mau ke sini. Gimana kerjaan kantor?” Rhaissa mengusap tangan Agoy. Pria itu
hanya tersenyum menandakan kalau tak ada masalah untuk urusan kantor. Ia meraih
kepala Rhaissa mencium keningnya sekilas lalu membiarkan kepala Rhaissa
bersandar di bahunya.
“Aku sudah menelepon Ririn tadi, dia
pasti lupa menyampaikannya. Kalau aku telepon kamu mengganggu syuting lagi,”
tuturnya. Rhaissa tersenyum. Ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu kiri Agoy.
Mobil mulai melaju pelan.
“Mm.. apa kamu sudah membuat janji pada
dokter kita?”
“Apa kamu bennr-benar serius agar kita
periksa ke dokter?”Agoy menatap Rhaissa sejenak.
“Kalau kamu nggak keberatan tidak ada
salahnya, kan?”
ia pun menatap Agoy. ”Tapi kalau kamu keberatan aku tidak akan memaksa.”
“Tidak sayang.. jangan bicara seperti
itu. Aku kan
sudah pernah bilang ke kamu, ada atau tidaknya kehadiran seorang anak di dalam
kehidupan kita, tidak ada yang berubah sedikit pun.”
“Tentu saja.”
“Kita akan menemui dokter, pukul
delapan malam besok.”
“Kamu yakin?”
Agoy mengangguk. Ia meraih kekasihnya
dan mencium bibirnya sejenak. Rahissa lagi-lagi tersenyum. Dan mereka akan
kembali ke istana mereka.
Dengan adanya janji ke dokter, Rhaissa
terpaksa menunda acara makan malamnya dengan penggemarnya yang akan datang dari
jauh. Ia bahagia karena akhirnya Agoy mau juga mengajaknya ke dokter setelah
sekian lama membujuk. Meski di hatinya sendiri timbul kekawatiran, dirinyakah
yang bermasalah? Andai Agoy yang bermasalah maka ia akan tetap mencintai pria
itu sampai akhir hayatnya, tapi masalahnya bagaimana bila sebaliknya? Apa sikap
yang akan di ambil oleh Agoy? Sedikit pun Rhaissa tidak sanggup
membayangkannya. Ia gelisah menanti laporan medisnya. Setelah beberap menit
menunggu. Dokter memanggil Agoy dan Rhaissa. Dokter setengah baya yang masih
cantik itu tersenyum pada pasangan itu. Sudah hampir 25 tahun ia menangani
kasus seperti yang di alami oleh Rhaissa dan Agoy.
“Anda berdua adalah pasangan yang
hebat.” Katanya tanpa berbasa-basi. ”Kalian adalah orang yang sabar, Tuhan
tidak akan menyia-nyiakan doa hambanya yang sabar. Ada pasangan yang baru menikah tiga bulan
sudah berteriak. Kalian berdua tidak bermasalah sama sekali. Ini hanya masalah
waktu..” Rhaissa melirik Agoy. Ia sudah bisa memahami arti kata-kata itu. ”Peran
sang pencipta adalah segala-galanya. Dia yang menentukan semuanya.”
Agoy tersenyum. Ia menatap dokter itu. ”Kami
mengerti dok.”
“Hmm.. kalian berdua subur.” Ia menekan
kan kata-kata
itu terutama untuk Rhaissa. Rhaissa tersenyum ia agak terhibur meski tak
sepenuhnya yakin.
“Jelaskan sama dia dok, bahwa kami
memang harus bersabar. Dan andai pun Tuhan tidak menginginkan kami memiliki
anak, maka kami akan tetap saling mencintai sama seperti saat pacaran dulu.”
Agoy seakan menyakinkan Rhaissa dengan saksi dokter itu. Bahwa tidak ada alasan
apa pun untuk Rhaissa khawatir. Dokter itu menggeleng-geleng kagum.
“Andai semua pasangan berpikiran
seperti anda.”
Agoy menggenggam tangan Rhaissa. ”Baiklah
dok, kami permisi dulu. Terima kasih atas waktunya.” Mereka pamit setelah
dokter itu mengangguk pelan. Dokter itu masih terkagum-kagum.
Sekembalinya dari rumah sakit, Agoy
bermaksud mengajak Rhaissa untuk istirahat di hotel. Sebenarnya Agoy tidak
ingin melihat Rhaissa bersedih sedikit pun. Ia rela melakukan apa saja asal
wajah itu kembali bersinar. Ia akan selalu bersemangat kalau Rhaissa terlihat
tersenyum.
“Tidak sayang, aku tidak begitu
berminat untuk tidur di hotel malam ini. Saat ini rumah rasanya akan lebih
nyaman.” Rhaissa sebenarnya masih meragukan keterangan dokternya. Di mobil ia
tak banyak bicara. Agoy menangkap kesedihan di wajah itu, bagaimana pun caranya
ia tidak ingin melihat wajah itu sampai menangis.
“Tidak apa-apa, tapi kamu jangan
terlalu banyak pikiran. Dokter kan
sudah bilang kalau kita tidak punya masalah apa pun dalam hal ini…” ia mengusap
tangan Rhaissa.
Di kamar, ia sedang menatap Agoy
menyalakan DVD player. Lalu rebahan di atas tempat tidur tanpa gairah. Di LCD
TV wajah Rhaissa muncul membawakan lagu indah dengan rona wajah yang tersenyum.
Namum wajah yang ada di atas tempat tidur itu sedang murung. Agoy
menghampirinya. Dan duduk di dekatnya.
“Kelihatannya kamu belum puas dengan hasil
diagnosa dokter tadi ya?”
“Sedikit, kamu tidak akan mengerti
bagaimana perasaan ku.”
“Mau periksa ke tempat lain? Kamu punya
dokter kenalan? Kita akan melakukannya sayang.. tapi tolong jangan bersedih
seperti ini. Lihat…” ia menoleh ke layar kaca. ”Angel yang aku kenal seperti
yang di layar itu, yang selalu tersenyum dan berbahagia. Aku kan pernah bilang sama kamu.. setelah
memiliki kamu, aku tidak meminta yang lain, asal kamu bahagia. Kamu tidak
menyesal, kan
menikah dengan aku?” kata Agoy dengan nada rendah. Rhaissa duduk.
“Kalau kita tidak memiliki keturunan,
bagaimana dengan orang tua mu, dan kamu sendiri?”
“Sssstt…” ia mencium pipi Rhaissa. ”Jangan
singgung-singgung lagi masalah itu ya, karena tidak seorang pun yang bisa
memaksakan kita. Tuhan telah menetapkan semua ini, dan kamu harus berjanji
untuk tidak boleh murung lagi. Akhir-akhir ini kamu jarang sekali tersenyum.
Aku kangen dengan senyum kamu.” Kata Agoy setengah menggodanya. Rhaissa malah
cemberut di goda seperti itu. Ia lupa kalau Agoy sudah berhasil menggodanya,
sepertinya ia lupa kalau Agoy senang melihatnya ngambek. Agoy memeluknya dengan
erat. ”Apa pun yang terjadi dengan pernikahan kita, aku tidak ingin ada sedikit
pun yang berubah. Kamu lupa bagaimana aku mendambakan mu di saat kita pacaran?
Begitu manisnya bila rindu telah datang, dan sangat bahagianya saat kita telah
bertemu. Kamu tidak melupakan semua itu, kan?”
ia masih berbicara lembut. Rhaissa menggeleng. ”Nah, kalau begitu berjanjilah
bahwa kamu tidak akan murung lagi, karena kalau kamu murung aku sedih, kamu
tidak suka aku sedih, kan?”
ia mengusap pipi Rhaissa. ”Kita akan mengunjungi Papa-Mama jika kamu punya
waktu, mereka pasti sudah kangen sekali sama kamu. Bagaimana?”
“Paling bisanya bulan depan.”
“Tidak masalah.” Agoy mengusap lagi
wajah itu. Rhaissa menatap Agoy yang selalu memberikannya senyum manis dan
kasih sayang yang berlimpah. Ia sangat bersyukur kepada Tuhan karena di berikan
seorang suami yang sebaik Agoy. Dan sepertinya ia tidak pantas mendapatkan apa pun
lagi, karena Agoy sudah memberikan seluruh kasih sayangnya. Jika ia terus
meminta seorang anak kepada Tuhan dan Tuhan tidak mengabulkannya maka ia tidak
akan marah. Sebab bila Agoy sudah ada dalam pelukannya maka ia akan melupakan
segala isi dunia ini. Dengan pelan ia pun membalas pelukan Agoy, melingkarkan
kedua tangannya pada tubuh pria itu.
Di sela-sela kesibukan menyanyi Rhaissa
membintangi beberapa iklan. Ada
beberapa iklan yang di bintanginya selama ini, ia tidak akan membintangi iklan
yang tak begitu penting dan bukan produk yang ia pakai. Seperti pruduk minuman
ringan, minuman air mineral, Telekomunikasi, Bank, alat kosmetik, parfum, serta
iklan wisata di negeri ini untuk di tayangkan di TV luar.
Kehidupan rumah tangganya aman, tidak
pernah di terpa gosip miring, walau pun keduanya sibuk namun mereka tetap
menjalani komunikasi yang baik. Atas keindahan suarannya, Rhaissa sudah banyak
menerima penghargaan, menjadi penyanyi kesayangan negeri sendiri dan berbagai
penghargaan dari luar. Ia memang sosok sempurna di mata pemggemarnya. Di mata
suaminya serta keluarganya. Sebagai seorang bintang, ia selalu eksis dengan
gayanya sendiri dan aktif memproduksikan karya-karyanya. Meski kaya raya, ia
tetap hidup apa adanya. Tidak mau glamour. Tetapi apakah ia sesempurna itu?”
Sore itu, seperti biasa Rhaissa
menyambut Agoy pulang dari kantor seperti biasanya, setiap baru bertemu mereka
selalu mengulurkan tangan satu sama lainnya. Agoy merangkul pundaknya dan
menggandengnya. Itulah tradisi mereka berdua, meskipun berlangsung hanya
beberapa detik. Dan mereka sendiri lupa kapan kebiasaan itu di mulai,
sepertinya saat Agoy mengajak Rhaissa menaiki tangga rumahnya untuk pertama
kali.
Agoy buka tipe pria yang harus di
buatkan teh setiap pagi dan sore oleh isterinya. Mereka selalu melakukan apa pun
bersama. Agoy melihat kartu nama di atas meja rias Rhaissa.
“Kamu sudah menemukan dokternya?”
“Aku harap kamu punya waktu ya, besok
pukul sebelas.” Ia menatap Agoy penuh harapan. Pria itu tersenyum lalu
mengangguk kecil.
“Aku pasti mengusahakannya.”
Rhaissa langsung memeluknya. Agoy
merengkuhnya erat. Hati Agoy sebenarnya agak sedikit terenyuh namun ia tidak
ingin mengecewakan Rhaissa. Tanpa sepengetahuan Rhaissa, ia meraih kartu nama
itu.
Keesokannya, jelang siang. Agoy dan
Rhaissa mengunjungi dokter tersebut. Seorang dokter pria yang tidak di ragukan
lagi dalam profesinya. Dokter itu atas rekomendasi salah satu teman Rhaissa,
saat itu Rhaissa bermaksud mengunjungi dokter luar dan temannya itu menyarankan
untuk bertemu dulu dengan dokter Aksyai. Mereka bukan menjalani terapi tapi
menjalani general chek up. Sebenarnya Rhaissa tidak perlu melakukannya lagi
karena penjelasan dokter kemaren itu sudah sangat jelas. Namun entah kenapa,
naluri Rhaissa mengatakan kalau ada sesuatu yang bermasalah. Dan… hasil dari
diagnosa dokter Aksyai pun ternyata hasilnya sama. Ia menyarankan mereka
bersabar, hanya itu.
“Maaf dok, apakah aktifitas dan rasa
capek itu mempengaruhi?” kata Agoy sekedar ingi tahu.
Dokter
itu menatap Agoy. Pria itu tersenyum seolah memberi kesempatan dokter
menjelaskan.
“Sama sekali tidak,.” Ia menoleh ke
Rhaissa. ”Tidak ada pengaruhnya sama sekali, sebelum di sini, saya bertugas
selama lima
tahun di daerah pedesaan. Saya banyak melihat kehidupan para pasangan yang ada
di sana, mereka
semua bekerja, apalagi para wanitanya. Mereka berangkat ke kebun atau ke sawah
dari terbit matahari bahkan sampai terbenam. Dan ada yang jalan kaki sampai
berkilo-kilo dan mereka tetap memiliki anak, bahkan sampai banyak, kalau mereka
tidak ikut keluarga berencana. Itu sebagai percontohan saja, bahwa itu tidak
berpengaruh sama sekali.” Tuturnya. Agoy meraih tangan Rhaissa dan
menggenggamnya. Tak lama kemudian mereka pun minta diri.
“Terima kasih ya dok.” Ujar Rhaissa.
Dokter
itu mengangguk, ia menghela napas dan meresa bersalah pada Rhaissa tapi apa
boleh buat, semua itu atas permintaan Agoy. Sepertinya Rhaissa baru merasa yakin,
tidak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dan bersabar. Ia tahu ada pasangan
yang sudah menikah puluhan tahun baru di beri momongan sementara dia baru tiga
tahun.
Di dalam mobil, Agoy menatap Rhaissa. ”Sayang…
aku tidak mau kamu mengkhawatirkan sedikit pun masalah ini, oke.” Ia berkata
bijak. Dan Rhaissa tidak yakin kalau Agoy benar-benar memahami perasaannya.
Seperti halnya ia tidak begitu paham bagaimana perasaan Agoy menghadapi masalah
mereka. Dan yang tidak Rhaissa tahu adalah, bahwa sebagai seorang suami yang
terlalu mencintai isterinya, Agoy terpaksa berbohong. Berbohong demi siapa?
Demi dia atau Rhaissa???
Hari itu mereka mengunjungi orang tua
Agoy. Sebenarnya Rhaissa tidak begitu menyukai Amerika, ia lebih menyukai
pemandangan indah di Bangkok, Australia dan tentunya Bali
yang terindah. Orang tua Agoy libur untuk menjemput anak dan menantunya.
Wanita setengah baya itu memakai celana
jin panjang, blazer dan berkaca mata. Dan Ayah mertua Rhaissa si Nathan
Abimanyu Gautama berpenampilan biasa dan berwibawa. Senyumnya ia wariskan pada
Agoy namun wajah Agoy sembilan puluh persen adalah milik Ibunya, Nyonya Nathan
yang bernama Andini. Wanita itu kelihatan begitu energik, smart, dan tentunya
ia adalah wanita yang disiplin. Tergambar jelas dari sikapnya, namun ia adalah wanita
yang penyanyang. Rhaissa masuk dalam keluarga yang sangat tepat.
“Halo honey… bagaimana kabar kamu?”
wanita itu memeluk menantunya.
“Baik Ma, Mama sendiri gimana?”
Wanita itu melepas pelukannya. ”Seperti
yang kamu liat. Dan kamu, Mama melihat kamu makin cantik dan makin dewasa.” Ia
memegang pipi Rhaissa sejenak. Rhaissa tersenyum, lalu ia menoleh ke Ayah
mertuanya.
“Pa….” ia memberi hormat.
“Papa kangen sekali sama kalian.”
Mereka berpelukan sesaat, juga pada Agoy. Beberapa detik kemudian mereka
meninggalkan Bandara dan menuju rumah orang tua Agoy. Rhaissa merasa bahagia
karena mertuanya yang sibuk itu menyempatkan diri khusus untuk menjemput ia
dengan Agoy. Itu satu tanda kalau keluarga mereka sangat menghargai sesama. Dan
secara tidak langsung mengajarkan Rhaissa, terkadang hal yang menurut orang
sepele namun sangat berarti untuk seseorang.
Tiba di rumah, mereka menyantap makanan
yang sudah di siapkan oleh pengurus rumah dengan menu khusus yang sudah di
racik oleh Mama Agoy. Ini bukan kedatangan pertama Rhaissa ke tempat itu. Di
meja makan mereka sangat akrab. Semua begitu wajar dan apa adanya.
“Arron, apa kamu bawa pesan Mama?”
wanita itu melirik putranya. Dan Rhaissa ikut menatap Agoy. Papa menambahkan.
“Dia pasti bawa, kemaren Papa juga
mengingatkannya.”
“Pasti Ma, Arron tidak pernah lupa
pesan Mama sama Papa.”
“Mama sudah tidak sabar ingin
melihatnya.”
“Papa juga.”
Rhaissa
tidak mengerti ke mana arah pembicaraan itu. Ia menatap orang-orang tercinta
itu satu persatu. Dan mereka terlihat berbahagia, memang keluarga yang
harmonis.
“Kalau begitu biar aku ambilkan
sekarang.” Ia menyentuh bahu Rhaissa sekilas. ”Tunggu sebentar ya sayang.” Ia
meninggalkan ruang makan. Nyonya Andini menatap menantunya.
“Mama memesan beberapa DVD kamu sama
Arron, klip-klip baru yang belum sempat Mama lihat di sini.” Jelasnya. Rhaissa
bengong beberapa saat, lalu ia tersenyum. Ia malu. ”Arron pasti tidak pernah
cerita kalau Mama menyukai lagu-lagu kamu.” Ia menambahkan. Rhaissa tidak bisa
ngomong apa-apa. Sepertinya ia mendapatkan sebuah penghargaan yang tidak pernah
ia duga sebelumnya. Agoy telah kembali dengan tiga buah DVD di tangannya. Ia
memberikan pada Mamanya. ”Terima kasih honey.” Dan kedua mertuanya rebutan DVD
itu membuat Rhaissa merasa tidak enak dan lucu dengan sikap mereka. Namun tetap
saja mereka terlihat berbahagia. ”Honey, tolong setelkan untuk Mama ya.” Ia
memberikan lagi pada Agoy setelah mengamatinya sejenak.
“Sekarang Ma?”
“Ya, yang paling baru.”
Agoy
mengambilnya dan berjalan ke arah DVD player yang ada di pojok ruang makan itu.
Ia mulai menyalakannya.
“Mama biasanya kalau nonton sendiri dan
tidak mau di ganggu.” Goda Agoy.
“Itu nanti honey, sekarang Mama kan hanya ingin melepas
rasa penasaran dulu.” Ia melirik menantunya. ”Mama dengar penjualan DVD kamu di
Asia, sangat bagus.” Ia ikut merasa bangga.
Rhaissa hanya melebarkan senyumnya. Ia tidak mau mertuanya terlalu berlebihan
itu akan membuatnya tambah tidak enak hati. Detik berikutnya TV sudah menyala
dengan menampilkan wajah Rhaissa yang membawakan lagu terbarunya, di Indonesia
telah terjual ribuan keping kopynya. Nyonya Andini terpana melihat performance
Rhaissa di klip itu. Tadinya ia mengatakan hanya penasaran namun kini ini telah
melupakan makanannya. Agoy telah kembali ke kursi dan melanjutkan menikmati makanannya.
“Dia tidak akan berkedip.” Goda Agoy.
Rhaissa menyikut tangan Agoy pelan.
“Mama bisa menebak siapa sutradara yang
membuat video klip itu.”
“Yang terbaik di Negara kita.” Jawab
Agoy.
“Sepertinya Negara kita sudah jauh
lebih berkembang.” Papa menimpali. Ia melirik Rhaissa. ”Kamu membuat lagu
dengan sangat bagus.” Pujinya tanpa basa-basi. Rhaissa mulai risih, sebab di
keluarganya sendiri jarang memberi pujian, yang ada kritik yang selalu
membangun. Rhaissa merapikan piringnya. Andini langsung mencegahnya.
“Jangan sayang… Arron, ajak Rhaissa
istirahat.”
“Oke, Ma.” Lalu menoleh ke Papanya. ”Pa,
sejam lagi kita ngobrol di tempat biasa ya.” Ia mengingatkan Papanya. Pria itu
mengangguk pasti. Agoy mengajak Rhaissa istirahat di kamar mereka. Rhaissa
harus mandi dan istirahat seperlunya.
Seusai mandi ia ke dapur untuk
mengambil air putih. Dan langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar Agoy dan
Mamanya sedang berbicara serius.
“Bagaimana keadaannya sayang…?”
“Ma,
Arron tidak tahu sampai kapan harus terus berbohong pada Rhaissa, Ma?” suara
Agoy putus asa. Rhaissa menyandarkan tubuhnya di dinding. Pembicaraan itu
semakin serius.
“Sayang… Mama kira sebaiknya kamu kasi
tahu kebenaran itu pada Rhaissa. Kebenaran terkadang menyakitkan, tapi
sepertinya tidak baik terus menyembunyikannya apalagi pada orang yang sangat
kamu cintai.”
“Arron gak bisa Ma, itu sama saja
dengan Arron menyakiti diri sendiri.”
Diam sesaat.
Rhaissa menahan napas, ia masih
bersandar.
“Bagaimana saat kalian periksa sama
dokter kedua?”
“Dokter ke dua, Arron mempercayakan
Rhaissa yang mencarinya.”
“Apa doter itu mengatakan yang
sebenarnya?”
“Tidak.” Agoy menggeleng. ”Sebelum kami
bertemu, aku mengambil kartu nama dokter itu di atas meja Rhaissa lalu meneleponnya.
Aku menjelaskan semuanya. Dan dokter itu memberikan penjelasan yang sama persis
dengan dokter pertama, aku sudah mengatur semuanya, Ma. Aku senang karena
Rhaissa tidak curiga”
“Ya Tuhan… hasil diagnosa dokter
pertama kan
mengatakan kalau Rhaissa masih punya kemungkinan untuk memiliki anak.”
Rhaissa menutup mulutnya. Hatinya
menjerit. Ia sudah mulai memahami isi pembicaraan itu.
“Tapi kata dokter kan hanya nol koma beberapa persen Ma.”
Rhaissa kembali ke kamarnya. Ia
menangis mendengar kenyataan itu. Itu berita paling buruk yang pernah ia dengar
di dalam hidupnya. Ia merasa menjadi wanita yang paling malang di dunia ini. Ia tidak bisa
menghentikan tangisnya. Sebelum berangkat ia tidak pernah bermimpi akan
mendengar berita sedahsyat itu. Saat mendengar Agoy melangkah ke kamar, ia
menghapus air matanya. Namun dengan jelas terlihat kalau ia habis menangis.
Agoy menghampirinya dan duduk di sebalahnya.
“Hei, ada apa dengan kamu, Angel?” ia
mengusap punggung Rhaissa. Ia tidak tahan dan langsung memeluk Agoy, ia merasa
tidak pantas lagi di sebut seorang Angel bagi Agoy. Dan lebih
Pantasnya
di sebut sebagai virus di keluarga Agoy. Agoy memeluknya dengan pikiran galau. ”Kenapa
kamu menangis? Ada
apa hah…?” ia mengusap lagi punggung Rhaissa.
“Aku baru saja menerima telepon dari
kampung. Salah satu teman sekelas ku waktu SMA dulu meninggal akibat kanker
rahim.” Ia mengarang cerita. Padahal temannya itu sudah meninggal beberapa
tahun silam.
“Ya Tuhan.” Ia memeluk Rhaissa makin
erat. Ia memahami kepedihan Rhaissa. ”Apa kita harus pulang sayang?”
“Tidak. Kita tidak mungkin bisa bertemu
dia lagi, ia pasti di makamkan sebelum kita tiba.”
“Tenanglah…” ia coba menghibur Rhaissa.
Namun kepedihan yang ada di hati wanita itu tidak akan bisa di sembuhkan dengan
sebuah hiburan seperti apa pun. Agoy menghela napas. ”Istirahatlah, biar aku
ambilakan minum.” Ia menghapus air mata Rhaissa sebelum melangkah ke dapur.
Beberapa saat saja ia sudah kembali ke kamar. Rhaissa berdiri di ujung jendela,
pandangannya jauh menembus kota
malam Holywood. Agoy memberikan gelas minuman itu pada Agoy.
“Terima kasih.” Ia meneguk air mineral
itu. Agoy memegang kedua bahunya. Rhaissa kemudian menatap Agoy. ”Kamu tidak
ngobrol sama Papa? Kasian Papa, pasti ia sudah menunggu kamu.”
“Kamu?”
Rhaissa menggeleng. ”Aku tidak
apa-apa.”
“Baiklah.” Ia mengusap bahu Rhaissa
sejenak. Rhaissa mungkin sedang menginginkan waktu untuk sendirian, untuk
mengenang temannya itu.pikirnya. tak sedikit pun ia cuiga kalau Rhaissa telah
mendengar obrolannya bersama Mama.
Sepeninggal Agoy, Rhaissa segera
mengambil ponselnya. ia mencari nomor dokter Aksyai, lalu menghubungi pria itu.
Sebelum menekan nomor itu ia memejamkan matanya sejenak. Sesaat kemudian telepon
tersambung.
“Halo…?”
“Dok, ini Rhaissa, maaf mengganggu
sebentar.”
“Tidak apa-apa, ada apa Rhaissa?”
Rhaissa
menarik napas sesaat sebelum melanjutkan. Ia coba menahan debar jantungnya yang
tak
karuan.
Ia gugup bercampur penasaran.
“Dok, saya tidak bisa mempunyai seorang
anak, kan?”
katanya langsung pada sasaran.
“Rhaissa dengar dulu.”
“Saya sudah mendengar semunya, secara
tanpa sengaja dari Agoy dan mertua saya.”
“Mertua kamu? Memangnya kamu di mana?”
“Amerika.”
“Ya Tuhan, Rhaissa… aku akan
menjelaskan semuanya setelah kamu kembali.”
“Tidak dok, saat ini saya hanya ingin
memastikan saja….”
“Rhaissa, tidak ada yang bisa
memastikan. Apalagi kamu masih memiliki kemungkinan dan harapan.” Dokter itu
coba menjelaskan.
“Ya, harapan dan kemungkinan nol koma
itu, kan?
Maafkan saya dok, terima kasih atas waktunya, terima kasih.” Tak sedikit pun ia
menyalahkan dokter itu. Ia memutuskan pembicaraannya. Ia berpikir untuk
menghubungi dokter yang pertama. Ia juga harus memastikan apa yang sebenarnya
terjadi pada dirinya. Telepon kedua tidak langsung di angkat. Ia sadar, kalau
di Indonesia
matahari baru saja terbit.
“Ya hallo…” telepon Rhaissa terjawab
juga. Suara seorang wanita.
“Bisa bicara dengan dokter?”
“Ya, tunggu sebentar ya.” Wanita itu
menyerahkan ponsel pada suaminya yang baru saja selesai sarapan.
“Siapa Ma?” Tanya suaminya. Sebelum
menerima telepon.
Wanita itu menggeleng. ”Belum sempat
nanya. Sepertinya penting sekali. Cepat di jawab” pintanya, karena sudah
terbiasa dengan keadaan darurat.
“Halo..”
“Dok, ini Rhaissa.” Suara itu terdengar cepat.
“O, bagaimana kabar kamu?”
“Buruk.” Jawabnya tak kalah singkat.
“Apa yang terjadi?” ia menatap
memandang istrinya yang sudah berjalan ke belakang.
“Maaf sebelumnya, karena pagi-pagi
sudah mengganggu.”
“Tidak apa-apa, saya masih banyak
waktu.”
“Terima kasih. Begini dok, apa boleh
saya tahu, penyakit apa yang saya derita?”
Dokter itu tidak langsung menjawab
karena kaget. kenapa suami wanita itu menceritakannya? Sebelum bertemu mereka,
suaminya menemui dia dan meminta merahasiakan semuanya. Pria itu berpendapat
kalau di antara mereka pasti ada yang bermasalah. Jika dia yang bermasalah
tidak apa-apa namum jika istrinya yang bermasalah maka dokter itu harus merahasiakannya.
Tapi sekarang kenapa Rhaissa mengetahuinya?
“Dok?”
“Mm.. Rhaissa saya rasa penjelasan saya
akan sama persis dengan suami kamu.”
“Dia sendiri belum tahu kalau saya
sudah mengetahui ini.”
“Apa? Jadi… oke, sepertinya masalah ini
tidak bisa kita bicarakan di telepon. Temui saya kalau kamu ada waktu.”
“Baiklah, saya akan menemui dokter
lagi, sebelumnya terima kasih banyak.” Rhaissa meletakkan ponselnya. ia ingin
menangis lagi. Dari luar terdengar suara pintu di ketuk, ia menoleh ke arah
pintu.
“Masuk.” Kata Rhaissa. Nyonya Andini
masuk dengan senyum khasnya. ”Mama.”
“Sayang, Mama telah menontonnya,
semuanya bagus. Oya, tadi Arron bilang.. kamu baru saja mendapat kabar duka
cita dari teman SMA kamu, benarkah sayang?” ia memegang tangan Rhaissa. Rhaissa
mengangguk walau agak berat. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya pada wanita
itu. Ia sudah mengetahui segalanya dan Mama Agoy masih baik dan menganggap
Rhaissa sebagai menantu yang sempurna. Rhaissa ingin menjerit. ”Mama ikut
sedih. Mm.. tapi Mama tidak ingin melihat kamu sedih, bagaimana kalau besok
kamu temani Mama?”
“Ke mana, Ma?”
“Ke suatu tempat, kamu pasti suka.”
“Ya. Rhaissa pasti akan temani Mama.”
Ia coba tersenyum.
“Istirahatlah, Mama akan menonton lagi
video kamu, tidak puas kalau hanya sekali.” Ia mengusap tangan Rhaissa sekilas
lalu keluar. Rhaissa memandangnya sampai menghilang. Ia menarik napas sangat
berat. Wanita itu begitu pandai menyimpan rahasia besar tentang dirinya. Demi
siapa semua itu? Kembali Rhaissa memdekati jendela besar di kamar itu. Angin
malam menyapu wajahnya. Ia memejamkan matanya. Kenangan saat pertama kali
bertemu dengan Agoy mengetuk ingatannya.
Agoy pria yang baik dan anak tunggal.
Kaya, pengusaha dan anak seorang konglomerat. Pada siapa mereka mewariskan
semua itu kalau Agoy tidak memiliki keturunan. Rhaissa tdiak mau egois. Agoy
tidak boleh terus bersamanya. Agoy harus menikah lagi. Harus! Hati Rhaissa
benar-benar sudah menjerit. Andai saja ia bisa berlari dari semua kenayataan
itu. Ia memohon kepada Tuhan agar di beri sedikit kekuatan.
Agoy sudah kembali ke kamar, Rhaissa
menoleh, ia tersenyum pada Rhaissa.
“Belum tidur?” ia menghampiri Rhaissa.
Rhaissa membalas senyumnya lalu kembali menatap ke luar jendela. Ia merasa
tidak punya keberanian untuk lebih lama menatap mata Agoy. ”Pemandangan yang
indah. New York di malam hari.” Ia memeluk tubuh Rhaissa dari belakang. Napas
Rhaissa seakan tertahan. Agoy mencium pipinya dari samping lalu menempelkan
wajahnya pada wajah Rhaissa. Tangan Rhaissa memegang pinggiran jendela. Matanya
terpejam dan dadannya terasa semakin sesak hingga merasa sulit untuk bernapas.
Pelukan Agoy sebenarnya tidak terlalu keras namun cukup romantis dan penuh
cinta serta kehangatan.
‘Ya Tuhan, apakah aku sanggup untuk
berpisah darinya? Jika saja saat ini aku mati di dalam pelukannya, itu mungkin
lebih baik.’
“Angel, kamu masih memikirkan teman
kamu itu ya? Bagaimana kalau kita pulang saja besok?”
“Tidak. Besok aku akan menemani Mama,
maaf.. aku sebenarnya agak sedikit pusing.”
“Kalau begitu aku akan mengambil
aspirin dan menutup jendela.”
“Agoy?” Rhaissa memanggil nama itu
pelan. Ia menatap Agoy. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan dan tiba-tiba
saja ia memeluk Agoy. Pria itu melakukan hal yang sama dan mengusap rambut
Rhaissa. Rhaissa memeluk Agoy dengan begitu erat seakan tidak mau melepaskannya
lagi. Sebenarnya ia ingin menanyakan tentang diagnosa dokter itu namun sulit
sekali ia memulainya. Mungkin karena kekuatan cinta Agoy yang begitu dalam
membuatnya tak mampu bertanya.
“Sayang, sepertinya kita harus menutup
jendelanya, karena anginnya terlalu kencang.” Ia melepas pelukannya dan menatap
Rhaissa. ”Kalau tidak bisa tidur, kita akan ngobrol sambil minum kopi, mau?”
tangannya sambil merapatkan kaca jendela.
“Boleh.”
“Tapi jangan sedih lagi.”
Rhaissa coba tersenyum. Mereka akhirnya
melangkah ke dapur untuk membuat kopi seperti yang sering mereka lakukan di
Jakarta. Untuk sekedar membuat kopi mereka jarang menyuruh pembantu. Mereka
penggemar cappuccino dan kopi asli Indonesia. Setelah membuat kopi, mereka
kembali ke kamar. Agoy banyak cerita tentang kamarnya itu. Itu kamar yang ia
tempati dari kecil hingga dewasa. Rumah orang tua Agoy tidak banyak berubah,
paling catnya yang di ganti. Rumah yang di lengkapi dengan taman indah yang di
tanami bonsai dan cerama, di bagian belakang ada sebuah kolam renang. Rumah
yang memliki interior Bali dan Amerika latin dengan ukiran jepara.
Malam itu Rhaissa meminta Agoy
menceritakan tentang mantan-mantan pacarnya. Agoy
mengatakan
kalau dia cowok scorpio yang sulit sekali untuk jatuh cinta. Ada satu dua cewek
yang pernah dekat dengannya, bahkan dari bangku kuliah. Ia juga tidak pernah
punya kriteria untuk punya istri dari kalangan tertentu atau dari Negara mana
pun. Namun sejak melihat penampilan Rhaissa di televisi, ia langsung terpikat.
Dan sejak saat itu ia mulai memburu DVD dan apa pun yang berhubungan dengan
Rhaissa. Ia tertarik dengan kesederhanaannya kemudian dengan suaranya yang
indah. Ia punya niat baik dan sangat mencintai Rhaissa sehingga apa pun yang
terjadi maka ia tidak akan membiarkan wanita itu bersedih. Apa pun akan ia lakukan.
Pukul sepuluh waktu Washington, Nyonya
Andini mengajak Rhaissa mengunjungi tokoh-tokoh para perancang ternama. Di mana
tempat para tokoh menjual karya terbaik dari perancang terbaik. Ia ingin
Rhaissa memiliki semua yang terbaik, yang di hasilkan dari tangan-tangan
terbaik di dunia. Rhaissa tidak menyangka kalau mertuanya akan membawa ia ke
tempat seperti itu. Tadinya ia berpikir ia akan di bawa ke kantor atau ke mana
saja. Di toko itu dia seakan mengajak Rhaissa memborong semua yang Rhaissa
sukai. Tapi Rhaissa tidak menginginkan apa pun. Karena kasih sayang tulus yang
di perlihatkan oleh Nyonya Andini membuatnya tidak sanggup. Ia tidak bisa
kehilangan itu, ia membutuhkan kasih sayang itu melebihi barang-barang mahal
itu.
Menjelang pukul dua belas siang, mereka
menikmati makanan di sebuah kafe yang tendanya ada di tepi jalan. Di bahu
trotoar dengan tenda-tenda yang lucu. Mama memesan kopi, pizza dan big burger.
Sampai-sampai Rhaissa terkejut melihat pesanan itu.
“Ayo honey… kita bersenang-bersenang…
Mama yakin kamu tidak pernah makan sebebas ini,
kan?
Tanpa di ganggu oleh para fans dan sang produser kamu pasti membatasi porsi
makan kamu, kan? Lihat saja hasilnya. Tubuh kamu persis seperti para model di
negeri ini. Kamu jangan khawatir karena makanan seperti ini sekali-kali memang
di perlukan.”
Rhaissa tersenyum. ”Mhm.. siapa takut.”
Tantang Rhaissa. Dan sesaat sebelum mereka menikmati makanan. Seseorang menegur
Rhaissa.
“Sorry, Rhaissa…., kan?”
Rhaissa
menoleh. Terlihat seorang wanita dengan teman laki-lakinya tersenyum pada
Rhaissa.
“E e hai.” Rhaissa berdiri. Kedua
wanita itu berpelukan sejenak. Wanita itu memperkenalkan teman bulenya dan
Rhaissa memperkenalkan mertuanya.
“Ini Mama saya.”
“Halo tante, Rhaissa.. tentu saja saya
mengenali Mama mertua kamu.” Ia mengulurkan tangannya pada Mama. Wanita itu
tersenyum ramah.
“Ayo kita makan siang sama-sama.”
Ajaknya dengan tulus.
“Mama benar.. kenapa nggak.” Tambah
Rhaissa. Wanita modis itu melirik cowoknya sejenak lalu menatap Rhaissa dan
mertuanya.
“Tidak. Terima kasih sekali… kami harus
buru-buru, lain kali kami tidak akan menolak. Maaf ya tante. Mm.. Rhaissa dan
tante, kami pamit dan selamat makan siang.” Kedua remaja itu pergi menyusuri
trotoar, sepertinya mereka akan berbelanja.
“Hmm… baru saja Mama bilang kalau tidak
ada yang mengganggu kamu di sini.”
“Ma, tentu saja dia kenal dengan
Rhaissa. Dia itu VJ MTV di Singapura.”
“O, ayo kita nikmati makanannya.” Ia
sudah tidak sabar. Ia mencicipi kopinya, di ikuti Rhaissa. Rhaissa memandang
Mama mertuanya. Ia ingin sekali mengetahui tentang rahasia yang di simpan oleh
keluarga Agoy terhadap dirinya.
“Ma… terima kasih untuk semua ini.”
Wanita itu mengangguk dan tersenyum.”Kamu wanita sempurna sayang.”
“Mama berbohong.”
“Whats…?!”
Rhaissa
meletakan gelasnya. Ia menghela napas dengan pelan.
“Kenapa Mama melakukan semua ini?
Kenapa Mama mengatakan aku wanita sempurna padahal Mama tahu kalau aku adalah
seorang wanita yang paling menyedihkan.”
Wanita
itu menatap Rhaissa seolah tidak percaya mendengar kata-kata barusan.
“Whats do you mean, honey?” suaranya
tak kalah pelan dari suara Rhaissa.
“Semalam, tanpa sengaja aku mendengar
pembicaraan Mama bersama Agoy.”
“Oh my God.” Sesaat ia terdiam. Ia bisa
memahami bagaimana perasaan Rhaisa saat ini. Ia menarik napas panjang. Lalu
matanya tiba-tiba menangkap pemandangan di sisi jalan. Ada seorang wanita
gendut sedang mendorong kereta bayi. Di belakangnya ada tiga orang anak yang
masih balita. Terlihat dengan jelas kalau wanita subur itu sangat kualahan. Dia
kesal dan mengomeli anak-anaknya. Seakan-akan dia sangat menyesali karena sudah
melahirkan anak-anaknya ke dunia ini. Mama menatap Rhaissa.
“Kamu lihat sayang, wanita yang ada di
ujung jalan itu?” katanya. Sedangkan Rhaissa sudah mengikuti arah mata Mamanya
sedari tadi. Lalu ia berujar.
“Tapi bagaimana pun juga, dia adalah
wanita yang sempurna.”
“Sempurna dalam arti apa, sayang?
Kenapa kamu berpikir setiap wanita yang bisa melahirkan anak di muka bumi ini
di sebut sebagai wanita sempurna? Menurut Mama, seorang yang bisa di sebut
sempurna itu jika ia bisa menikmati hidupnya dengan nyaman dan bahagia. Kamu
tahu, ada berapa wanita di dunia ini yang memiliki anak berlusin-lusin namun
mereka belum tentu bahagia dan nyaman.” Ujarnya santai. Rhaissa menatap
mertuanya yang mulai menikmati pizzanya. Rhaissa ikut makan meski tak begitu
bernafsu. ”Kamu tidak menikmati pizza mu sayang…?” ia melihat Rhaissa makan
tidak menikmatinya dengan
sungguh-sungguh.
“Maafkan Rhaissa Ma.”
“Tidak apa-apa.” Ia jadi ikut-ikitutan
tak beranfsu.
“Ma, kenapa Mama dan Agoy merahasiakan
hal itu, terhadap Rhaissa?”
“Sayang…, seseorang rela melakukan apa
saja demi orang yang di cintainya.” Ia coba menjelaskan. Rhaissa diam, ia mulai
mencicipi lagi makan siangnya. Kali ini wanita itu menatap Rhaissa lekat-lekat.
”Sayang… kamu tidak apa-apa?” ia menyentuh tangan Rhaissa. Rhaissa tersenyum.
Ia merasa ada yang tidak adil setelah mendengar penuturan Mama.
“Mama bilang demi kebahagiaan orang
yang kita cintai. Ma, aku juga mencintai Mama. Aku ingin sekali melakukan
sesuatu untuk Mama, tapi bagaimana?”
“Kamu tidak perlu melakukan apa-apa
sayang… Mama sudah bahagia mendapatkan Arron, dan mendapatkan juga seorang anak
perempuan seperti kamu. Itu sudah membuat Mama sangat bahagia.”
‘Dia bahagia mendapatkan seorang anak,
Agoy. Dan mendapatkan seorang menantu perempuan tapi aku? Tak seorang pun yang
bisa aku miliki.’ Sisi lain di hati Rhaissa membrontak. ’Hei, Rhaissa! Kamu
memiliki seorang suami yang sangat mencintai kamu dan mertua yang amat sangat
menyanyangi kamu. Apalagi yang kamu keluhkan?’ sudut hatinya yang lain memaki.
“Hee… Mama tidak ingin melihat kamu
sedih seperti itu. Mama akan senang sekali kalau kamu menghabiskan makanan mu,
hmm…?” ia mengusap tangan Rhaissa sekilas lalu. ”Kamu tunggu sebentar ya, Mama
ke belakang dulu.” Ia pergi sebentar dan Rhaissa memandangnya berlalu.
Sejujurnya ia agak kecewa karena Agoy merahasiakan tentang dirinya yang tidak
bisa memiliki seorang anak. Hati kecilnya bertanya sendiri, bagaimana
kelanjutan hubungan mereka nanti? Bisakah bertahan?
‘Aku harus melakukan sesuatu. Demi
cinta, aku juga bisa berbuat apapun.’
Mama menghubungi Agoy. Ia mengatakan
kalau Rhaissa telah mengetahui semuanya.
Agoy tentu saja kaget. Tak bisa ia
bayangkan bagaimana perasaan Rhaissa saat ini. Ia berdoa semoga di beri
ketabahan.
Di dalam kamarnya, ia mengamati seisi
ruangan. Ia menunggu Rhaissa pulang. Ia memandang ke luar jendela dengan
perasaan tidak menentu. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi Rhaissa jika sudah
kembali. Apa yang harus ia jawab kalau Rhaissa bertanya?
Saat itu ketika Rhaissa mengajaknya
chek up ke dokter, ia berpikir pasti ada yang tidak beres di antara mereka.
Untuk itu ia menemui dokter itu terlebih dahulu dan berbicara langsung padanya,
agar dokter mengikuti keinginannya. Dan tentu saja dokter itu menolak.
“Kenapa anda minta saya melakukan hal itu?
Itu melanggar etika profesi, dan saya tidak bisa melakukannya.”
“Saya tahu itu melanggar kode etik
kedokteran. Tapi ini demi kebaikan seorang pasien dan demi selamatnya sebuah
rumah tangga. Semua ini demi kebaikan dok.”
“Tapi anda juga harus tahu, ini
menyangkut nama baik semua dokter yang ada di dunia ini, jadi.”
“Dok, saya hanya meminta seandainya
istri saya yang bermasalah, dan kalau saya yang bermasalah tidak apa-apa.
Makanya saya mohon… kalau istri saya yang mengalaminya, saya tidak ingin dia
mengetahuinya. Jika itu terjadi maka jangan katakan apa pun. Dan dokter bisa
menagatakan apa saja untuk dia percaya.”
“Kenapa jika anda yang mandul, saya harus
berterus terang?”
“Karena dia adalah segala-galanya bagi
saya. Saya tidak bisa hidup tanpa dia, dan saya tidak ingin dia sedih.” Tutur
Agoy serius.
Dokter itu manggut-manggut. Ia menatap
Agoy tak percaya. ’Mana ada orang menikah tidak menginginkan keturunan.’
Pikirnya.
“Dokter bisa melakukannya?” ia memohon
lagi.
“Terus-terang ini berat sekali.”
“Tapi saya sangat memohon.” Pinta Agoy
lagi.
“Baiklah, tapi semua ini saya lakukan
atas nama kemanusiaan saja. dan anda harus tahu, semua keputusan pasti ada
efeknya. Mungkin secara psikis bagi saya dan anda sendiri.”
“Saya sangat mengerti dok.” Agoy merasa
lega karena dokter mau bekerja sama dengannya.
Agoy menghela napas berat. Kini ia tahu
apa resiko dan efek itu baginya dan juga
istrinya…! Namun apa pun yang telah ia lakukan semua itu demi kebaikan. Tapi
kebaikan untuk siapa? Yang namanya berbohong tetap saja salah dan tidak baik,
apa pun alasannya.
“Hai…. Kok ngelamun? Tidak biasanya kamu
seperti itu?” Rhaissa sudah muncul dari pintu. Agoy menoleh dan tersenyum
menyambutnya.
“Gimana belanjanya?”
“Ya lumayan capek. Mama belanja banyak
sekali, seolah dia ingin membelikan semua isi toko untuk aku, sepertinya dia
ingin sekali membahagiakan aku. Oya, aku gak ngerti kenapa ya… semua orang di
dunia ini seakan berlomba-lomba ingin melakukan sesuatu demi orang tercintanya?
Tanpa berpikir terlebih dahulu bagaimana perasaan orang yang di cintainya
tersebut.” Ia meletakkan kantong belanjaanya di dekat lemari. Agoy
mengamatinya.
“Kalau aku salah, maafkan aku…” kata
Agoy lembut. Rhaissa menatap pria berhati mulia itu. Ia duduk di bibir ranjang
dan menarik napas berat.
“Jangan bicara seperti itu, maaf.. aku
lelah sekali.”
Agoy mendekatinya. ”Kamu tidak ingin
kita membahasnya sekarang?”
“Membahas apa?”
“Sayang… tadi Mama telepon aku, kamu
sudah mengetahuinya, kan?”
“Apaa…?” Rhaissa tampak berpikir sesaat.
”O… itu, itu tidak penting, kan?”
“Aku tahu kamu marah, maafkan aku ya…”
“Aku tidak marah, jika kamu tidak
membicarakannnya berarti tidak penting. Mama ada sih sesuatu yang penting tidak
di bicarakan sama istri?” Rhaissa coba menenangkan gejolak di hatinya. ”Jadi
buat apa kamu minta maaf.. dan kita tidak perlu membahasnya” Rhaissa masih
tenang dan Agoy merasa sangat bersalah. Rhaissa merebahkan tubuhnya. Sepertinya
ia memang kelelahan. Agoy mencium keningnya sekilas lalu keluar. Ia menemui
Ayahnya. Pria itu sedang menikmati kopinya di teras samping rumah. Ia ikut
duduk dan Ayahnya melihat perubahan di wajah putranya.
“Ada apa? Kamu kok kelihatan bingung?”
ia mengulurkan gelas kopinya. Agoy menyunggingkan seulas senyum. Ia meraih kopi
Ayahnya dan meneguknya sedikit.
“Rhaissa Pa… ia mendengar obrolan Arron
sama Mama semalam, dia sudah tahu semuanya.”
Pria itu menatap anaknya dengan serius.
”Bagaimana keadaan Rhaissa sekarang?”
“Buruk. Dia marah.”
“Kasian anak itu. Kamu harus
membujuknya, apa perlu kita ngomongnya sama-sama? Dan ajak Mama kamu.”
“Ia bahkan sudah membicarakannya sama
Mama, Mama yang memberitahukan sama Arron. Rhaissa mengatakan sama Mama kalau
dia mendengarkannya tanpa sengaja.”
Tuan
Nathan menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia jadi ikut bingung dan serba salah.
“Saat ini kamu sebaiknya temani
Rhaissa, ini pasti berat sekali buat dia.”
“Tapi dia malah tidak ingin
membicarakannya.”
“Jangan hiraukan, temani saja dia. Dia
butuh dukungan kamu.” Katanya serius. Agoy menatap Papanya dan pria itu
mengangguk supaya Agoy kembali ke kamar, menemani Rhaissa.
Waktu Agoy kembali, Rhaissa baru
selesai mandi. Ia bersandar di tepi jendela memandang senja. Agoy ikut bersandar
di bahu jendela satunya. Ia menatap Rhaissa dan Rhaissa menoleh lalu
menciptakan sebuah senyuman, masih indah senyum itu. Ia melipat kedua
tangannya.
“Kamu tahu bagaimana perasaan aku
sekarang?” katanya seperti bertanya pada diri sendiri. Agoy mengangguk. Tapi
Rhaissa menggeleng. Kembali ia menoleh ke luar jendela.
“Sayang… aku tentu saja sangat
mengerti.” Ia mendekati wanita itu dan memegang bahunya. ”Aku tahu kamu marah.”
“Tidak, ini bukan soal marah. Aku tidak
mungkin bisa marah sama kamu.”
“Marah saja, aku tidak keberatan kamu
marah. Aku memang pantas menerimanya, kamu tidak perlu menahannya, kamu bisa
melampiaskan semua kemarahan kamu sama aku.” Agoy mengusap-usap bahu Rhaissa.
Rhaissa tetap menatap ke luar.
“Aku hanya ingin tanya satu hal, kenapa kamu
merahasiakannya?”
“Karena aku tidak ingin kehilangan
kamu.” Jawab Agoy sangat cepat.
“Kau berpikir begitu?”
“Tentu saja.” suara Agoy sangat yakin.
Rahissa memutar tubuhnya. Ia menatap Agoy seksama.
“Kamu mengambil keputusan sepihak dan
meng-cut perasaan ku.”
“Maafkan aku.”
“Tolong jangan bilang maaf lagi.. aku
tidak marah, hanya kecewa.. sekarang aku ingin tanya, kenapa kamu mau
mempertahankan aku? Apa kamu berpikir kalau aku wanita yang sangat lemah?”
“Tidak sayang… aku melakukan semua ini
karena aku sangat mencintai kamu.” Ia memegang wajah Rhaissa.
“Tidak, itu bukan cinta, tapi kasihan.”
“Itu tidak benar.”
Rhaissa
menoleh ke arah luar lagi.
“Oke, kamu bilang akan melakukan apa
saja demi kebahagian ku. Aku ingin kamu melakukannya..”
“Jangan meminta aku melakukan sesuatu
yang tidak mungkin bisa aku lakukan.” Ia mendengar nada ancaman dari suara
Rhaissa.
“Tidak sulit dan aku kira kamu pasti
bisa melakukannya. Menikah lagi.”
“Aku sudah menduganya.” Ia meraih wajah
Rhaissa dengan lembut. ”Lihat mata ku… apa kamu pikir ada manusia yang sempurna
di dunia ini?”
“Tapi kamu sempurna, kamu bisa punya
anak dengan wanita lain.” Ucapnya dengan nada tekanan. Agoy memeluknya namun
Rhaissa menolak halus. Baru kali ini hal itu terjadi. Agoy menatap wajah itu.
“Kalau aku berada di posisi kamu, apa
yang harus kamu lakukan? Menikah lagi hanya demi seorang anak???”
“Tidak, tentu saja tidak. Karena aku
mencintai kamu. Tapi ini masalahnya beda.”
“Di mana letak bedanya?”
“Tapi kamu sempur….”
“Ya, aku memang sempurna. Masa kecil
yang bahagia, hidup serba berkecukupan, punya orang tua yang hebat, melimpahiku
dengan kasih sayang dan memberikan apa pun yang aku butuhkan. Dan menjadi
laki-laki mapan, pintar, kaya dan tampan. Lalu menikah dengan seorang wanita
yang paling aku cintai lebih dari apapun. Wanita itu juga sangat mencintai aku.
Tapi wanita itu tidak bisa memberikan seorang anak pada pria yang sempurna. Itu
yang kamu sebut sempurna?”
“Kamu bisa mendapatkannya dari wanita
lain.” Kata Rhaissa seperti mengulangnya lagi.
“Ya Tuhan… sayang… kenapa kamu belum
mengerti juga? Itu bukan cara untuk menutupi satu kekurangan namun menambah
kekurangan yang lain. Kalau aku menikah lagi, apa kamu mau melihat aku hidup
tanpa cinta? Apa kamu ingin menambah lagi kekurangan satunya? Aku akan sangat
menderita bila jauh dari kamu. Dan aku akan lebih menderita lagi kalau melihat
kamu sedih. Kalau boleh aku memohon, jangan pernah singgung lagi masalah ini. Kamu
lupa ya? Dulu aku pernah mengatan sama kamu.’Apalagi yang aku inginkan di dunia
ini kalau sudah mendapatkan kamu? Tidak ada sayang… karena kamu adalah surga
ku, kehidupan ku dan sumber kebahagiaan ku.’” Kata Agoy dengan nada masih
seperti dulu. Rhaissa menjauhinya, ia duduk di ranjang dan Agoy mengikuitinya.
“Jangan berpuisi.. aku serius.”
“Aku juga serius, kenapa kamu menganggap
aku berpuisi? Lagian kalau juga puisi itu hal yang serius kok. Seseorang
mengatakan isi hatinya yang keluar dari hati yang paling dalam.”
“Tapi saat ini kata-kata kamu itu tidak
keluar dari hati.” Kata Rhaissa masih ngotot. Agoy memeluk pundak Rhaissa. Ia
tidak tahu harus ngomong apa lagi selain memeluknya. Diam lama, lalu
“Kamu ingat saat aku meminta kamu
menjadi kekasih ku? Saat itu kamu bilang, jangan meminta sesuatu yang tidak
bisa aku berikan. Ingat?”
Rhaissa menoleh ke wajah Agoy. Itu
percakapan sudah tiga tahun lebih. ’Kenapa setiap kata yang pernah keluar dari
mulut ku setiap detilnya bisa ia ingat dengan baik?’ ”Aku sendiri tidak ingat.”
“Tidak apa-apa.” Agoy tidak
mempermasalahkannnya. ”Sekarang kita turun ya, Papa dan Mama pasti sudah
menunggu untuk makan malam.”
“Aku….” Rhaissa ragu-ragu.
“Jangan begitu, aku sangat mengenali
kamu.”
“Baiklah, aku akan menyusul.”
“Aku menunggu.”
Rhaissa mengangguk. Ia memandang
punggung Agoy yang menjauh dari kamar. Rhaissa menghela napas panjang. Namun di
hatinya masih terbesit keinginan untuk menyuruh Agoy menikah lagi. Ia tidak mau
memanfaatkan cinta Agoy. Ia tidak boleh egois. Kebahagiaan Agoy adalah
kebahagiaanya juga. Ia tidak ingin Agoy dan keluarganya menganggap dia lemah.
Ia tidak ingin menghentikan garis keturunan yang ada di rumah ini. Ia merasa
memang harus mengalah demi tiga orang dan demi keturunan-keturunan Agoy yang
selanjutnya. Ia beranjak dari springbed, dua hari lagi ia dan Agoy akan kembali
ke Jakarta. Ketika ia ingin meninggalkan kamar, terdengar suara deringan telepon.
Itu suara ponsel Agoy. Ia mengangkatnya.
“Hai.. hallo handsome.. gimana kabar
kamu? Hampir lima tahun aku tidak mendengar suara kamu, tapi aku tidak mungkin
lupa dengan suara kamu. Bicara dong…”
“Iya hallo….”
“Hei, sejak kapan suara kamu berubah menjadi
suara perempuan?”
“Maaf, saya memang perempuan. Saya
Rhaissa.”
“Oh
my God, sorry…. Saya Cathy….
Saya kira anda Arron. Maaf ya saya sepertinya salah sambung.” Katanya sopan.
Suara yang penuh semangat itu berubah menjadi rasa tidak enak.
“Nggak apa-apa number wrong itu biasa.”
“Oke, sekali lagi sorry…” Cathy mematikan ponselnay ‘Sial’ ia menepikan mobilnya
‘Rhaissa’ siapa wanita itu? Ya Tuhan, apakah itu istrinya Arron? Bodoh,
bodoh…!!! Chaty menyalakan ponselnya lagi. Dan Rhaissa menatap nomor yang tadi
masuk lagi.
“Anda tidak salah sambung….”
“Ya ya.. saya baru ingat. Rhaissa, kamu
istrinya Arron ya? Anda wanita yang beruntung. Bisa ketemu?”
“Ketemu? Dengan Arron? Tentu saja, dia
banyak cerita tentang kamu.” Otak Rhaissa mulai bekerja dengan cepat. Ia
percaya kalau Chaty itu teman lama Agoy. Syukur-syukur ia mantannya Agoy dan
belum menikah atau setidaknya masih single. Hatinya tiba-tiba menjadi
berbunga-bunga, seakan menemukan pasangan yang pas untuk Agoy. Ia akan
mempertemukan mereka lagi. ”Dia sangat kehilangan kamu selama hampir lima tahun
ini. Sepertinya dia masih memikirkan kamu…”
“Benarkah…?” tadinya ia ingin bertemu
dengan Rhaissa, penasaran dia dengan wanita yang berhasil merebut hati Agoy.
Tapi mendengar kata-kata Rhaissa membuat Chaty berubah pikiran.”Tapi
Saya ingin bertemu dengan kamu.” Suara itu
biasa-biasa saja. Rhaissa berpikir sejenak. Waktunya tinggal dua hari, apa yang
harus ia lakukan. Ia tidak ingin hilang kesempatan untuk mempertemukan Agoy dan
Cathy.
“Cathy… kamu di mana?”
“Ya di New York.”
“O ya? Kebetulan sekali.” Rhaissa hampir
melonjak kegirangan. ”Kebetulan sekali kami sedang ada di sini. Bagaimana kalau
besok aku undang kamu makan malam di rumah Arron?”
“Mmm… good idea, boleh.”
“Pukul 19.30. aku tunggu.”
“Oke, aku pasti datang… da daaa…” suara
Cathy terdengar riang.
‘Aku akan berhasil.’ Bathin Rhaissa. Ia
menatap ponsel itu lalu menghampus nomor yang masuk lalu meletakan kembali di
atas meja.
Tok tok tok.
Rhaissa menoleh ke pintu. Mama masuk
dan menghampirinya. ”Maaf Ma, aku baru aja mau turun, bagaimana dengan Papa?”
ia merasa tidak sanggup untuk bertemu dengan Ayah mertuanya.
“Papa kamu tidak seperti yang kamu
khawatirkan sayang… ayolah…, kamu sudah terlambat.” ia meraih tangan Rhaissa.
Saat mereka menuruni tangga. Rhaissa berkata.
“Ma, barusan teman lamanya Agoy telepon.
Dia bertanya tentang Agoy, dan aku mengundangnya untuk makan malam di sini
besok.”
“Siapa?”
“Cathy.” Kata Rhaissa ringan. Langkah
Mama terhenti di ikuti Rhaissa. Wanita itu menatap Rhaissa. ”Maaf Ma, aku
lancang.” Ia coba membela diri. Wanita itu tersenyum untuk menyembunyikan
kekagetannya.
“Tidak, bukan itu maksud Mama.” Ia
melangkah lagi dan kembali di ikuti oleh Rhaissa. ”Apa Arron pernah
menceritakan tentang Cathy sebelumnya?”
“Belum, tapi Agoy pernah cerita banyak
tentang teman-teman wanitanya.” Tentang itu ia tidak berbohong. Mama tdiak
bertanya lagi. Mereka menuju ruang makan. Malam ini Rhaissa merasa agak sedikit
tegang. Seaakan seluruh dunia saat ini sedang menertawakan kekurangannya.
Mengejeknya dan kasihan padanya. Di meja makan semua berbicara sangat hati-hati
seolah takut kalau Rhaissa tersinggung. Itu membuat Rhaissa merasa sedikit
tidak nyaman. Itu membuat ia benci dengan kondisinya saat ini. Ia kasihan
dengan keadaan yang menimpa dirinya. Ia gelisah namun telepon Cathy tadi
sedikit menghiburnya. Ia bisa menarik napas lega sejenak.
‘Aku akan melakukan apa yang
seharusnya. Tak peduli itu akan membuat diri ku sendiri sakit.’
Sorenya Rhaissa semakin gelisah. Cathy
akan hadir di antara mereka. Ia memandang keluar jendela. Beberapa hari ini ia
senang berada di sana, bahkan sampai berjam-jam.’Cathy nama yang lucu, pasaran
namun tetap saja enak di dengar. Seperti apa dia? Ia pasti bisa menjadi pasangan
yang ideal untuk Agoy.’ Lamunannya masuk saat mendengar Agoy masuk.
“Haei… besok kita akan kembali ke
Jakarta, apa kamu tidak ingin membeli oleh-oleh? Aku bisa menemani mu. Kalau
kemaren-kemaren waktu ku di rebut sama Papa agar aku terus belajar.” Kemaren
Agoy mengunjungi kantor Papanya.
Rhaissa menatap pria itu. ’Kembali?
besok?’.”Bukankah kamu masih ada urusan di sini? Aku tidak apa-apa kalau pulang
duluan. Pengawal ku dan Ririn bisa menjemput di Bandara kok.” Sepertinya
Rhaissa coba membuat peluang yang lebih lama untuk Agoy dan Cathy.
“Itu bisa di selesaikan dari Jakarta,
lagian mana boleh kamu pulang sendiri. Kita kan sudah sepakat untuk pulang
besok.” Ia menarik tangan Rhaissa.”Tidak baik terlalu lama berdiri di sini, ayolah..”
ia membawa Rhaissa duduk di sofa. Rhaissa memandang ujung kakinya agak lama.
Lalu menatap Agoy. Ia ingin mengetahui sesuatu dari pria itu dengan tidak
bermaksud menyinggungnya.
“Boleh aku tanya satu hal?” ia
berhati-hati. Agoy mengangguk. ”Kata dokter, penyakit aku apa?”
Agoy
tersenyum lagi. Ia mengusap tangan Rhaissa.
“Aku kan sudah bilang, jangan bicarakan
hal itu lagi.”
“Tapi aku ingin tahu..” suaranya masih
pelan. ”Kamu tidak mau kan kalau aku bertanya langsung pada dokter kita?”
Agoy memperbaiki posisi tubuhnya hingga
ia menghadap ke Rhaissa. Ia menatap mata yang ingin tahu itu dengan
lekat-lekat. ”Sebenarnya aku tidak mau peduli, yang aku takutkan adalah jangan
sampai kamu berubah. Yang ada di diri kamu itu bukan hal yang fatal dan dokter
tahu itu. Hanya saja.. aku tidak mengerti istilah kedokterannya.”
“Itu bukan satu jawaban, aku butuh
jawaban dari pertanyaan ku. Untuk itu kan aku bisa berobat.”
“Ya ya.. dokter bilang ada sejenis
virus di rahim kamu, dan itu bisa menghilang dengan sendirinya… dan kamu masih
punya banyak harapan.”
“Nol koma berapa persen?”
“Sayang… kita kan sudah berjanji untuk
tidak membicarakan hal ini lagi?” Agoy berdiri. Ia menyisir rambutnya dengan
jari-jari tangannya. Lalu kembali menatap Rhaissa yang masih duduk di sofa. ”Honey,
Angel… aku kehilangan diri kamu yang asli dalam waktu 48 jam ini. Kamu tidak
menatap aku dengan mata mu yang dulu, dan aku nyaris tidak pernah melihat
senyum kamu lagi.”
“Aku…”
“Aku tahu sayang… setelah mengetahui
ini kamu agak sedikit berubah. Aku mohon jangan berubah ya.”
“Maafkan aku ya… aku ke kamar mandi
sebentar.” Rhaissa melangkah ke kamar mandi. Agoy menjatuhkan dirinya di atas
tempat tidur. Rhaissa sendiri menyadari kalau secara pribadi Agoy tidak berubah
setelah mengetahui kondisinya namun ia tidak mungkin bisa bersikap sama seperti
Agoy. Rhaissa ingin keluar dari kamar mandi namun setelah mendengar deringan
ponsel, ia menunggu sejenak. Ternyata Cathy yang menelepon.
“Hai Cathy… kapan kamu kembali dari
Paris?” terdengar suara tawa Agoy. Sesaat kemudian ia bicara lagi. ”Ya ya..
namanya Rhaissa, tentu saja, dia sangat cantik, dia sangat sempurna. Aku begitu
mencintainya.” Diam sejenak. Agoy sedang mendengar temannya bicara sejenak.
Lalu.. ”Bukannya tidak mengundang mu, ya, kalau kamu pengamat musik dari negeri
kita, kamu pasti kenal dia. Tapi aku tahu jenis musik apa yang kamu sukai. O
ya?? Rhaissa belum bilang tuh, kalau malam ini dia mengundang kamu makan.”
Mendengar itu. Rhaissa bersandar di dinding kamar mandi. Agoy masih ngobrol. ”Sebenarnya
iya, tapi karena Rhaissa sudah mengundang kamu, jadi aku tidak bisa bicara
apa-apa lagi. Ya terima kasih.” Agoy mematikan ponselnya. Rhaissa menghela
napas dan jadi ragu-ragu untuk keluar karena ia memang belum memberitahukan
pada Agoy tentang undangan makan itu. Agoy duduk di sofa, ia memandang Rhaissa
yang muncul beberapa saat kemudian. Ia duduk di samping Agoy. Agoy langsung
merengkuh pundaknya. Rhaissa bicara.
“Kemaren malam, teman kamu yang bernama
Cathy menelepon ke HP kamu. Kebetulan aku yang terima dan….”
“Kamu mengundangnya makan malam ini,
kan?”
“Ya, kamu keberatan?” tanyanya. Agoy menggeleng. ”Dia bilang sudah
lima tahun kalian tidak bertemu.” Ia masih menatap Agoy. Pria itu mengiyakan.
“Kami dulu berteman.. bisa di bilang
teman dari kecil.. waktu dewasa kami sempat pacaran sebentar dan ternyata tidak
cocok… dan sejak lima tahun lalu ia bekerja di Prancis.”
“Masih sendiri?”
“Mm, kurang tahu juga. Sejak itu kami
tidak pernah saling contact lagi,
memangnya kenapa?”
Rhaissa
bersandar sembari menarik napas. Agoy mengamatinya seakan coba menebak apa yang
ada di pikiran Rhaissa. Ia meraih tubuh itu dan membiarkannya bersandar di
bahunya. Ia tidak bisa menebak yang ada di pikiran Rhaissa. Semoga saja bukan
hal-hal yang aneh. Meski sudah bersandar di bahu Agoy tetap saja Rhaissa punya
niat untuk menyatukan Agoy dengan Cathy. Keinginan itu memang konyol dan yang pasti
akan sangat menyakitkan bagi dirinya. Ia berharap Agoy akan mengizikannya untuk
pulang lebih dulu ke Jakarta. Dengan harapan Agoy bisa punya waktu lebih lama
untuk berdua. Ia juga ingin membuktikan bahwa ia juga bisa melakukan apa saja
atas nama cinta. Terlintas di pikirannya kalau ia harus hidup tanpa ada Agoy di
sampingnya. Pindah rumah dan yang pasti tidak kembali ke rumah orang tuanya.
Mungkin di rumah pribadinya dengan membawa seorang adiknya atau siapa pun yang
mau tinggal bersamanya. Ia akan terus berkarir hingga tidak ada lagi yang
menginginkannya. Itu akan membuat hidupnya lebih tenang jika harus hidup
bersama orang yang ia cintai namun tidak bisa memberikannya kebahagiaan.
Cathy datang lebih awal, penampilannya
agak sedikit menonjol. Ia datang sendiri, dengan jelas Rhaissa bisa melihat
kesan menggoda dari penampilan itu. Sengaja atau dari dulu ia memang sudah
seperti itu? Hanya keluarga Agoy yang tahu. Ia mengenakan celana panjang yang
lembut dan baju tanpa lengan di tutupi syal berwarna gelap. Meski begitu masih
terlihat jelas leher putihnya yang jenjang. Sementara Rhaissa mengenakan baju
dengan lengan sampai siku di padu dengan celana panjang juga. Dan Agoy, atas
permintaan Rhaissa, ia mengenakan celana jin biru gelap dan kaus ketat warna
abu-abu. Seolah-oleh ingin memperlihatkan bentuk tubuhnya yang atletis.
Makan malam yang terkesan kekeluargaan,
semula Mama dan Papa bergabung. Basa-basi ala kadarnya serta saling tanya kabar
dan keluarga juga tentang kesibukan selama ini. Selanjutnya hanya ada Rhaissa,
Agoy dan Cathy. Mereka melewati malam di teras atas sembari menikmati kopi
Brasilia. Cathy menatap Rhaissa sejenak. Jujur, ia cemburu dengan keberuntungan
yang dia proleh. Wanita anggun itu sepertinya tidak bisa di kalahkan dengan apa
pun. Dia begitu menawan, ramah dan selalu tersenyum seolah tidak pernah ada
duka di dalam setiap langkah perjalanan hidupnya.
“Aku menyukai musik namun tidak begitu
mengamati perkembangan musik sendiri, kesannya
agak
kurang nasionalis ya? Dan itulah sebabnya Arron bilang kalau aku kurang
menggemari musik.” Ia menoleh ke Agoy sekilas. Mereka tersenyum. Cathy coba
bersikap ramah dan anggun seakan mengikuti Rhaissa. Sepertinya ia mencoba
menjadi diri Rhaissa. ”Aku menyukai hampir semua alat musik. Piano, gitar,
biola dan aku bahkan sekali-kali mendengar musik klasik. Namun lebih ke musik
cadas, serta musik latin. Tapi terus terang aku tidak begitu menyukai musik
yang berjenis dangdut...” ia tertawa agak malu membuat Rhaissa ikut tertawa.
“Tapi ada beberapa orang Asia yang menyukai
musik asli Indonesia itu lho.” Kata Rhaissa. Agoy menghirup kopinya lalu ikut
bicara.
“Dangdut itu pada dasarnya bagus, namun
zaman sekarang suka di warnai dengan hal-hal yang tidak senonoh.” Agoy diam sejenak.
Kedua wanita itu masih menunggunya. ”Tapi hanya penyanyi tertentu saja yang
seperti itu. Selainya masih banyak yang memegang keasliannya, terutama penyanyi
seniornya.”
“Mungkin kamu beanr.” Kata Cathy. ”Rhaissa,
kamu adalah wanita yang sangat terkenal di Asia. Malam ini aku merasa sangat
beruntung bisa kenal dengan kamu. Tapi terus terang, aku agak malu karena tidak
begitu mengikuti perkembangan negeri sendiri. Sehingga tidak begitu tahu
tentang lagu-lagu kamu.”
“Tidak masalah, itu hal yang lumrah.
Lagian setiap orang itu punya selera sendiri-sendiri, kan?” tutur Rhaissa penuh
simpatik. Agoy senang mendengar penuturan bijak Rhaissa. Rhaissa beranjak dari
kursinya. ”Maaf ya, aku harus turun sebentar.”
“Angel..” Agoy coba menahannya. Rhaissa
melemparkan senyum. Lalu menoleh ke Cathy.
“Sebentar ya..” ucapnya. Cathy
mengangguk lembut di sertai senyuman. Agoy tentu saja tidak menyadari kalau
Rhaissa sedang berusaha meninggalkan mereka berdua dengan Cathy. Cathy menamandang
Agoy.
“Kamu memanggilnya ‘Angel?’”
“Ya.”
“Panggilan sayang?” ia terus bertanya.
Agoy mengangguk.
“Romantis sekali. Kamu banyak berubah
Ron.. aku sedikit cemburu dengan kehidupan kamu saat ini. Lima tahun kita tidak
pernah bertemu, dulu setelah berpisah dari kamu, aku sengaja melarikan diri ke
Paris untuk melupakan kamu. Tapi… aku tahu kita tidak cocok untuk pacaran...
tujuh bulan menjalin kasih rasanya lebih sakit dari puluhan tahun kita sebagai
teman. Setahun yang lalu aku mendapat kabar dari teman kalau kamu sudah
menemukan jantung hati kamu. Kamu sangat bahagia tentunya, seharusnya aku
senang namun entah kenapa ada rasa tidak rela di hati ku. Maafkan aku, karena
tidak bisa melupakan mu. Kamu dan Rhaissa benar-benar pasangan yang serasi, dia
wanita tipe kamu banget. Semua yang kamu inginkan ada pada dirinya…”
Agoy merasa tersanjung mendengar itu. ”Kamu
juga. Kamu akan menemukan pria idaman kamu, yakinlah. Dan mengenai masalah itu,
aku rasa yang tidak bisa kamu lupakan itu adalah hanya rasa pertemanan kita.
Aku juga sering merasakannya, sering mengingat kamu.” Agoy meyakinkan Cathy dan
dirinya juga.
Namun dalam hati Cathy menggeleng. ’Pria
idaman? Tidak ada selain kamu, Arron. Tapi kamu sama sekali tidak memahami
perasaan ku’ ”Mm.. kalian menikah sudah tiga tahun, kan? Apa karena karir,
Rhaissa menunda untuk punya momongan?” itu pertanyaan biasa untuk orang yang
sudah menikah jika belum memiliki anak. Apalagi pasangan sibuk seperti Agoy dan
Rhaissa. Tapi ketika Cathy menanyakan itu Agoy merasa tidak nyaman. Karena sama
sekali ia tidak menyangka kalau pertanyaan itu akan keluar dari mulut Cathy.
“Anak adalah sebuah rencana dan titipan
dari Tuhan, jadi hanya Tuhan yang bisa menentukannya.” Agoy bersandar di
kursinya. Cathy tidak mengerti maksud Agoy maka ia pun mulai menebak dengan
nada agak nakal.
“Apa kamu ada masalah? Atau Rhaissanya?
Mm.. kalau Rhaissa tidak bisa, aku bisa melakukannya untuk kamu.” Ia mulai
menggoda Agoy.