*REJANG GIRL*
Rejang Lebong adalah
salah satu kabupaten di propinsi Bengkulu. Terletak di pegunungan Bukit Besar.
Penduduk asli terdiri dari suku Rejang dan suku Lembak. Suku Rejang mendiami
kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi.
Kabupaten Rejang Lebong memiliki 15 buah kecamatan yang masih dalam
pengembangan. Sebelah utara berbatas dengan Kota Lubuk Linggau dan Kabupaten
Musi Rawas, sebelah Selatan dengan kabupaten Kepahiang, sebelah timur berbatas
dengan kabupaten Lebong dan propinsi Jambi, sedangkan sebelah barat berbatas
dengan kabupaten Lahat.
Ibukota kabupaten ini di Curup. Terletak 85 km dari kota Bengkulu. Mata
pencarian penduduk adalah bertani, dagang, PNS dan lain-lain. Perkebunan
rakyat adalah perkebunan kopi, karet. Sedangkan palawija banyak ditanam di
lereng gunung Kaba. Sebagian lagi merupakan petani pembuat aren/gula merah.
SINOPSIS :
Nane, Dio dan Anifatul Hasannah adalah tiga anak remaja yang bergelut
dengan perasaan mereka. Dio dan Nane berteman sejak dari kanak-kanak, sementara
Anifatul adalah gadis yang datang dari luar kota.. yang kemudian masuk ke dalam kehidupan
Nane dan Dio.
Nane gadis yang baik hati, tulus dan
sangat menyayangi Dio. Dia pelajar SMA kelas tiga dan Dio duduk di bangku
kuliah semester empat. Mereka hidup di perkampungan yang jauh dari Ibu kota,
mungkin hampir enam ratus ribu mil jaraknya. Dio anak tunggal dan hidup hampir
serba berkecukupan di kampungnya. Dia pemuda yang baik, cakep dan berkulit
coklat, penyayang dan peduli pada lingkungan. Tidak punya pacar tapi
kemana-mana di temani oleh Nane.
Nane tidak pernah menyembunyikan rahasia
apa pun kepada Dio, apalagi tentang keluarganya. Pokoknya kedua sahabat itu
saling mengenali satu sama lainnya. Nane mempunyai rambut panjang, cantik alami
dan tidak sombong dan bisa melakukan pekerjaan apa saja. ia memiliki seorang
adik laki-laki berusia 12 tahun. Kedua orangtuanya menghabiskan hari-harinya di
sawah dan di kebun. Tak jarang Nane membantu orangtuanya dan sering juga
berkunjung ke rumah Dio, orangtua Dio memiliki usaha perkembunan karet yang
luas, sawah dan mempunyai toko di rumahnya untuk membeli hasil panen para
petani karet dan yang lainnya, lalu di jual ke luar kota, sebagai anak yang
memiliki uang yang lebih, Dio tidak pernah membiarkan dirinya hanya
menghabiskan uang orangtuanya, bagaimana pun sebagai anak yang baik, dia tahu
bagaimana cara membantu kedua orangtuanya. Bahkan ia rela terjun untuk membantu
usaha mereka.
Anifatul, gadis yang tegar. Ia memiliki
kulit yang putih, rambut panjang, berperawakan lembut dan sangat menyayangi
ibunya. Bersama Ibunya ia pindah dari Jakarta ke perkampungan Nane, Rejang
Lebong. Itu nama daerah Nane. Ibunya adalah seorang perawat senior dan
menempati rumah kosong yang pernah di tempati seorang perawat yang sudah pindah
mengikuti suaminya. Anifatul tinggal berdua dengan ibunya, mereka meninggalkan Jakarta setelah Ayah
Anifatul Hasannah meninggal. Anifatul tidak bisa melupakan kematian Ayahnya,
yang ia kira karena di bunuh oleh orang.
Kehadiran Anifatul di kampung itu, secara
tidak langsung merubah kehidupan Nane dan Dio, karena dia hadir di
tengah-tengah kedua sahabat itu. Dio jatuh cinta dengan Anifatul, dan Anifatul menawarkan
persahabatan dengan Nane. Dio sering mengajak Anifatul jalan-jalan, ke kebun,
sawah dan juga mengajaknya main ke rumah.
Anifatul yang tadinya jatuh cinta
dengan Dio mencoba menepis perasaannya karena mengira Nane dan Dio adalah
pasangan kekasih. Tapi setelah Dio mengutarakan perasaanya kepada Anifatul,
memaksa gadis itu berpikir, apa iya, Dio dan Nane tidak pacaran? Karena mereka
terlihat serasi dan selalu bersama.
Setelah menyadari situasi, Nane menjadi
pendiam dan sangat hati-hati. Dan entah kenapa ia merasa mulai memiliki perasaa
dan keinginan yang begitu kuat untuk memiliki seseorang. Dan ia di landa
kebingungan yang amat sangat luar biasa. Entah ia merasa mulai jatuh cinta
dengan Dio? ataukah ia menyayangi Anifatul.
Nane tahu kalau Dio dan Anifatul saling
mencintai, Nane tidak mungkin menyingkirkan Anifatul dan tidak bisa melihat Dio
bersama Anifatul. Dio juga tidak ingin Nane berubah, bagaimana pun ia sangat
menyayangi wanita itu. Anifatul mulai memahami apa yang di alami oleh Nane, itu
yang membuatnya bingung… karena ia merasa kalau Nane juga menyukainya sebagai
orang yang lebih dari sahabat.
Gejolak demi gejolak berbenturan, Dio
tidak tahu bagaimana perasaannya kepada Nane, begitupun Nane. Anifatul juga
tidak tahu perasaan apa yang di rasakan Nane dengannya? Ada hal yang ingin ia
ketahui dari Nane, apakah Nane bisa menyembunyikan perasaan itu...??
Hanya Nane yang tahu, bagaimana
perasaannya kepada Dio dan juga terhadap Anifatul Hasannah. Cinta, menjaga
lingkungan hidup dari para pembalak hutan dan sebuah rahasia yang hanya di
ketahui oleh orang-orang tertentu, yang apabila terkuak akan sangat
mempengaruhi hubungan ketiga anak manusia itu....
ooooooooooooooooooo
REJANG LEBONG.
Di sebuah kampung yang begitu indah, nyaman, sejuk serta hijau dan
bisa di pastikan jauh dari polusi udara apalagi pemanasan global. Kendaraan
yang hilir mudik sepertinya tidak kenal dengan yang namanya macet. Kendaraan
memang tidak bisa di bilang sepi, apalagi kendaraan roda dua, sepertinya sudah
menjamur di kampung itu, dan di tambah lagi jalanannya yang mulus serta terawat
dengan rapih.
Sebuah gunung besar terlihat
berdiri kokoh di belakang perkampungan, seperti layaknya tembok hijau raksasa
yang memagari bagian belakang kampung.. hingga terlihat seperti pemandangan
indah yang menakjubkan. Kampung Nane sudah menjadi kelurahan yang terdiri tiga
kecamatan.. yang sudah menjadi sebuah Kabupaten, terdiri dari beberapa
kelurahan. Penghasilan para penduduk terdiri dari hasil pertanian, dan
perkebunan. Ada beberapa orang yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Di
kabupaten Lebong itu sudah banyak sekali sekolah SMA Negeri salah satunya yang
tertua, yaitu sekolah tempat Nane di Muara Aman. Yang berada di lingkugan
pasar.
Siang itu, Nane sedang duduk
di teras rumahnya yang sederhana. Rumah itu tepat di pinggir jalan yang tidak
begitu jauh dari persimpangan jalan. Ia menanti kedatangan Dio sejak lima belas menit yang
lalu. Kata orang pekerjaan menunggu itu adalah paling membosankan, tapi tidak
berlaku buat Nane. Dio sudah meneleponnya dan mengatakan akan muncul sepuluh
menit lagi, meski sudah lewat, ia tidak akan menelepon balik untuk
memastikannnya. Nane asyik menikmati lagu Mp3 di ponselnya, sebuah lagu Astrid dengan
judul ‘Tentang Rasa’ lalu menyusul lagu Ungu yang bertajuk ‘Percaya padaku’
Nane sangat menikmati lagu-lagu dari negeri sendiri khususnya ‘Kotak’, meski
hampir semua remaja Indonesia sedang menggila dengan boy band atau girl band
juga demam bola TIMNAS, namun bagi Nane, yang berada jauh dari Glora Bung Karno hanya cukup mendoakan saja semoga
Indonesia berjaya di mata dunia dan bisa menjadi kebanggaan semua rakyatnya.
Meski kenyataannya Timnas kalah juga di final melawan Malaysia. Masih betah berada di Runer-up
Beberapa menit berikutnya
sebuah mini bus berhenti di depan rumah Nane, tetapnya satu rumah di sebelah
rumah yang posisinya pas di depan rumahnya. Rumah itu kosong karena baru di tinggal
penghuninya kira-kira sebulan yang lalu. Dengan berhentinya mini bus itu tidak
membuat Nane sedikit pun beranjak dari tempat duduknya, ia masih bersandar di
kursi kayu yang di terasnya dengan headset masih menempel di telinganya. Satu
dua orang lewat, dan mobil angkutan umum yang memang terlihat lewat sekitar lima menit sekali.
Seorang wanita empat puluhan
terlihat keluar dari mini bus, di ikuti seorang gadis sepantaran Nane kemudian
menyusul dua buah koper yang lumayan besar di keluarkan oleh sang kondektur.
Dua wanita itu seperti anak dan ibunya. Berikutnya mini bus itu berlalu dan
meninggalkan dua wanita yang sangat asing di mata Nane. Kedua wanita itu sedang
terlibat perbincangan serius lalu mengangkat koper mereka ke atas rumah kosong
itu. bisa Nane pastikan kalau kedua wanita itu tidak sedang menunggu mobil,
sebab tidak mungkin orang menunggu mobil tapi meletakkan kopernya di teras
rumah orang, meski pun kosong. Rumah Nane ada di sebelah timur, dan pasar Muara
Aman terletak di barat yang kira-kira berjarak 4 kilo meter dari rumah Nane,
satu lagi, ada dusun yang paling ujung namanya Semelako juga berjarak 4 kilo
meter dari rumah Nane, posisinya ada di utara rumah Nane.
Nane masih mengamati kedua
wanita itu, si ibu terlihat melirik ke kiri dan ke kanan dan si gadis yang
berambut panjang itu tanpa sengaja beratatapan dengan Nane, tanpa sadar Nane
menciptakan sebuah senyuman dan itu spontan. Di balas gadis itu di sertai
dengan anggukan kecil, tampangnya ‘Laura Basuki’ sekali. Si ibu lalu meninggalkan
anaknya bersama kedua koper mereka. Gadis itu melirik dua buah kursi yang ada
di teras itu lalu menarik satunya untuk ia duduk. Ia melirik ke Nane lagi saat
Nane sedang menatap jam tangannya.
Dua puluh menit sudah berlalu
dan belum pernah Dio terlambat separah itu, ‘Ke mana tu anak?’ Tanpa di liputi
rasa kesal, Nane beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumahnya, beberapa
saat kemudian ia keluar lagi dan gadis yang di depan itu masih duduk menemani
kopernya sambil memainkan ponsel di tangannya. Dia terlihat lelah tapi tidak
ingin menampakannya.
Nane memutuskan untuk menyapa
gadis itu dengan menghampirinya. Ia menyeberang jalan. Melihat gelagat Nane,
gadis itu berdiri seakan menghargai niat baik Nane.
“Hai…?” katanya menyapa duluan.
Gadis itu terlihat feminin sekali.
“Hai….” Balas Nane. ”Mm…..?”
“Saya… Anifatul Hasannah.” Ia
menatap gadis yang mirip Lucy Lawless waktu masih muda itu.
O ooo… sepertinya dia bukan
orang satu kampung dengan Nane. Nane harus menggunakan bahasa nasional dengan
gadis itu. ”O, saya Nane, Nane Doyosi.” Mereka saling mengulurkan tangan dan
berjabat erat. ”Aku belum pernah melihat kamu sebelumnya dan wanita yang
tadi……?”
“Wanita yang tadi itu ibu
saya, dia sedang ke Puskesmas untuk bertemu dengan kepala Puskesmas. Kami akan
menempati rumah ini.”
“Ibu kamu perawat ya?”
“Kok tahu?”
“Nebak aja, ini rumahkan
pernah di tempati oleh seorang perawat.” Jelas Nane. Anifatul tersenyum dan
mempersilahkan Nane duduk di kursi yang satunya. Nane menurut, ia duduk dan
menatap Anifatul. Gadis itu juga melakukan hal yang sama. ”Kamu masih sekolah?”
“Ya, kelas tiga. Aku harap
juga kamu masih sekolah seperti aku, agar kita bisa satu sekolah.”
“Maksud kamu, kamu pindah
sekolah?”
“Aku hanya memiliki ibu, dia
pindah tugas dan otomatis aku harus menemaninya.”
“O.” Nane manggut-manggut
kecil.
“Pindahan dari Jakarta, lumayan jauh.
Satu jam perjalanan udara dan hampir tiga jam perjalanan darat.” Tutur Anifatul
seakan ingin menceritakan perjalanan panjangnya nyaris seharian ini. Dan Nane
sangat paham sekali, untung sekarang jalanan sudah sangat bagus. Biasanya
perjalanan dari Bandara Fatmawati Soekarno menuju kampungnya membutuhkan waktu
empat jam. Dan Nane tidak tahu berapa jam perjalanan dari rumah Anifatul menuju
Bandara SOETTA.
Sebuah motor besar berhenti
di depan rumah Nane. Nane melirik arlojinya, ‘Dua puluh lima menit’ gumannya. Anifatul melirik Nane.
Lalu menoleh pada sosok yang sedang membuka helm itu. ternyata seorang pria
jangkung, menawan dan mirip Vino G. Bastian. Kulitnya coklat dan rambutnya
lurus, hidung mancung dan berbodi atletis.
“Kamu kayaknya kedatangan
tamu, tuh.” Ujar Anifatul. Mereka melihat pria itu turun dari motornya. Sebelum
ia naik ke rumah Nane, Nane memanggilnya dengan tepukan tangannya. Pria itu
menoleh. Wajah plamboyannya langsung tertangkap oleh Anifatul, sesaat pria itu
dan Anifatul saling tatap. Nane melambaikan tangannya agar pria itu datang ke
tempat mereka.
Dengan langkah mantap ia
menuju ke tempat Nane dan wanita asing itu sedang duduk. Anifatul mengamati
pria itu dari sepatu hingga ujung rambutnya. Mendekati sempurna. Pria itu
tersenyum dengan raut penuh penyesalan kepada Nane.
“Sorry ya Nan…
aku sangat terlambat.” Katanya dalam bahasa Rejang asli. Anifatul tidak
mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan.
“Dua puluh lima menit, empat puluh tujuh detik.” Kata
Nane setelah melirik jam tangannya. ”Lupakan…” ia pun membalas dengan bahas ibu
pertiwinya lalu menatap pria itu, dan pria itu sudah melirik Anifatul yang
mengangguk ramah. ”Kamu pasti punya alasan yang sangat kuat, kan? Kita pake bahasa Indonesia, sebab yang ada di depan kamu sekarang
ini adalah Anifatul Hasannah, pindahan dari Jakarta. Dan kita akan pergi setelah ibunya
kembali.” Ia tidak ingin gadis itu tersinggung dengan bahasa mereka. Nane
menoleh pada Anifatul. Anifatul melirik Nane kemudian pada pria itu. ”Anif… ini
Dio, kenalkan…”
Pria yang bernama Dio itu
mengulurkan tangannya di sambut erat oleh Anifatul sambil berdiri.
“Anifatul Hasannah, boleh di
panggil dengan Nif.”
“O, baru pindah ya?”
“Ya, begitulah…” ujarnya
mencoba bersikap wajar. Di hati kecilnya mengatakan kalau pria yang ada di
hadapannya itu benar-benar menawan, beralis tebal dan berwajah oval.
“Ibunya sedang menemui kepala
Puskesmas untuk mengambil kunci rumah.” Jelas Nane kemudian.
“Jika kalian ingin pergi,
tidak usah menunggu ibuku. aku tidak apa-apa kok sendiri di sini.” Ia tidak
enak hati pada dua pasangan sejoli itu. apalagi ia tahu kalau Nane sudah lama
menunggu pacarnya itu.
“Nggak apa-apa kok, kita
tungguin.” Kilah Dio sambil duduk di kayu teras. ”Di Jakarta di mananya?” Dio
mulai bertanya.
“Jakarta Selatan.” Jawab Nif dengan tenang.
“O,…” nada suara Dio
mengandung arti lain. Bisa ia bayangkan jika remaja kota akan tinggal di kampung seperti Anifatul
itu. dia tersenyum.
“Kamu kenapa senyum-senyum
seperti itu?” Nane merasa aneh dengan
senyum Dio itu, dan ia hafal betul dengan bahasa tubuh Dio. Bagaimana ia
mengagumi sesuatu dan menyepelekannya. Dan Nif juga merasakan kalau Dio sedang
menertawakannya.
“Ya, sedang ngebayangin
kehidupan remaja-remaja Metropolitan aja…” ujar Dio santai.
“Begitu ya?” Nif merasa
sedikit tersinggung. Ia tidak menyangka kalau pria kampung seperti Dio bisa
menertawakannya, jarang orang melakukan itu. kebanyakan pria mengaguminya dan
bahkan berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayangnya. Bagaimana pun juga Nif
adalah sosok seorang gadis yang banyak di idamkan pria. Dia memiliki semua yang
pria harapkan, kulit putih, langsing, rambut panjang, hidung mancung juga
ramah. Tapi dia tidak tahu kalau Dio mendambakan seorang wanita yang berotak
cemerlang, baik dan pemberani, satu lagi… yaitu tulus.
“Jangan salah paham gitu dong Nif…, yang
ada di otakku adalah gadis-gadis manja yang sering berkeliaran di mall untuk
menghabiskan uang orang tuanya. Syukur-syukur orangtuanya tidak memakai uang
rakyat…” kata Dio enteng.
“Kebanyakan nonton televisi
sih…” celetuk Nane, agar Nif tidak terlalu tersinggung.
“Hei..! mana ada laki-laki
seperti aku, betah duduk di depan TV?” ia menatap Nane.
“Itu ibuku sudah kembali.” Tukas
Nif setelah melihat ibunya berjalan ke arah mereka. Mereka menunggu wanita itu
naik ke teras. Lalu beramah-tamah sejenak, kenalan dan Dio membantu Nif dan
ibunya membawa koper ke dalam. Rumah itu ternyata sudah di bersihkan oleh
petugas Puskesmas dua hari sebelum Nif dan ibunya datang. Sebelum pergi, Dio berpesan
kepada kedua wanita itu, tidak boleh sungkan-sungkan minta bantuan jika
mengalami kesulitan apa pun. Nif merasa sangat senang mendengar kata-kata Dio
itu, sebagai gadis yang baru menjajaki kakinya di daerah asing, dia sangat
membutuhkan kata-kata seperti itu, apalagi Dio mengatakannya langsung.
Di atas motor, Dio bertanya kepada Nane. ”Kamu nggak mau tahu
kenapa aku terlambat?”
“Memangnya mau kasih tau?
Kalau merasa perlu kenapa tunggu aku bertanya?” kalau berdua mereka tetap memakai
bahasa daerah, Rejang.
“Ya ya… aku libur kuliah
selama dua bulan…”
“Oh ya…?”
“Kok, cuma oh ya…? Ini kabar
baik, kita bisa menginap di kebun dan menunggu durian runtuh seperti
tahun-tahun sebelumnya…”
“Terus… apa hubungannya dengan
datang terlambat?” kata Nane tanpa bermaksud untuk protes. Ia hanya ingin tahu
kenapa Dio bisa ngaret separah itu.
“Sebelum datang ke rumah
kamu, aku menunggu kedatangan pak Amir untuk membawakan barang-barang yang kita
perlukan di pondok nanti.” Motor Dio berbelok ke arah pasar untuk mengantar
Nane membeli buku. Beberapa saat saja, motor besar itu sudah berhenti di depan
toko buku. Keduanya masuk ke dalam toko. Nane mengambil apa yang ia butuhkan.
Buku IPA, Dio menggodanya.
“Buat apa sih beli buku
gituan? Nilai bagus juga percuma, kan kalau tidak mau meneruskan kuliah?”
Nane menatap Dio sejenak. ”Kamu
tau kan? Dan
aku tidak perlu mengulanginya setiap hari? Dan tidak ada yang percuma di dalam
hidup ini. Lagian aneh aja seandainya nanti adikku bertanya pada orang lain
mengenai pelajaran yang tidak bisa ia jawab di PR-nya.”
“Ya ya.. tapi kan aku masih punya
banyak buku dan aku rasa kurikulum dua tahun yang lalu tidak akan jauh berbeda
dengan yang sekarang.. dan kita bisa memesan buku lewat internet yang lebih
komplit dan bermutu hmm…?” kata Dio sambil bermaksud membayar buku Nane dan
langsung di tepis oleh Nane. Dio mengalah asalkan Nane mau di ajak makan. Nane
hanya memilih makan es campur.
Di warung sederhana terlihat
Dio sangat menikmati es campurnya, buah yang segar di campur dengan susu. Lalu
menatap Nane, gadis itu memang memilih tidak melanjutkan sekolah dengan alasan
orangtuanya tidak mampu membiayai kuliahnya dan ia memilih adiknya yang akan
sekolah tinggi. Dio memang tidak bisa
memaksa kehendak Nane itu.. meski ia sangat menyayangkannya. Karena baginya
pribadi, pendidikan di zaman sekarang tidak pandang pria atau wanita, semuanya
berhak menimba ilmu.
“Nan…
besok setelah kamu pulang dari sekolah kita langsung ke kebun ya? Aku sudah
tidak sabar mendengar suara buah durian jatuh dari pohonnya yang menimbulkan
suara ‘bug’ di tanah.”
“Mana bisa seperti itu,
setelah pulang aku kan
harus membereskan rumah dulu.. lalu masak untuk makan sore bagi keluargaku.
Kalau tidak masak, nanti pulang dari sawah orangtuaku makan apa? Dan adikku
pasti akan berteriak kelaparan…” ia menatap Dio.
“Alasan kamu selalu saja
seperti itu. eh… ngomong-ngomong si Nif itu cakep juga ya? Dan namanya unik.”
Nane tersenyum mendengar pujian
tulus dari Dio untuk Nif. Memang tidak bisa di pungkiri, Nif memang berbeda.
Tidak sedikit gadis cantik di kampung mereka tapi Nif adalah produk luar kota yang sedikit
banyaknya akan membawa keistimewaan sendiri. Dan Nane sendiri tidak bisa di
samakan dengan Nif. Nane gadis manis yang sering membiarkan kulitnya bersahabat
dengan matahari. Nane memiliki gigi yang bagus, tubuh langsing yang agak
sedikit berotot, tinggi semampai rada pendiam dan mempunyai senyum yang sangat
menawan.
“Kamu suka ya, sama dia…?”
“Sepertinya dia adalah
perempuan yang aku impikan selama ini.” Ia tersenyum serius pada gadis itu. ”Kira-kira
dia mau tidak ya, kalau aku tembak untuk menjadi pacarku? Semoga saja dia tidak
punya pacar di Jakarta atau setidaknya sudah putus.”
Lagi-lagi Nane tersenyum.
Tidak ada gadis yang menolak Dio untuk menjadi pacarnya. Dio itu memiliki
postur tubuh yang tidak kalah kerennya dengan pria-pria kota, bahkan seorang model sekali pun. Dio
malahan terlihat lebih macho, kuat dan hanyak kelebihan positif yang ia miliki.
‘Hei Nan…. Kamu ini kenapa?
Kenapa baru sekarang kelebihan-kelebihan pada diri Dio menyeruak di kepala
kamu?’ Nane berguman sendiri. ’Sial!!’ ia memaki dirinya.
“Apa si Nif itu tipe cewek
terakhir kamu…??”
“Maksud kamu?” Dio mengeryitkan keningnya.
“Aku sudah mendengar puluhan
cewek yang kamu sukai dan selalu berakhir dengan kata-kata ‘Dia ternyata bukan
tipeku..’ apakah itu juga akan terjadi dengan Nif?”
“Jangan ngomong gitu dong
Nan, setidaknya aku kan
sudah bicara jujur sama kamu…, kamu sendiri tidak pernah bicara tentang
perasaan kamu dengan aku. Aku tidak pernah tahu siapa pria yang kamu sukai,
apakah cowok itu ada di sekolah kamu? Atau jangan-jangan kamu jatuh cinta dengan
salah satu guru di sekolahmu…!? Kamu pikir aku tidak tahu kalau ada guru keren
di sana? Aku
juga pernah sekolah di tempat kamu, ingat itu.” Kata Dio seolah memarahi gadis
itu.
“Andai itu terjadi,…” Nane
tertawa dan kali ini Dio tidak bisa mengartikan arti dari tawa itu. ”..dan aku
tidak akan memberitahukannya ke kamu.” Tambah Nane dengan pasti membuat Dio
rada sebal juga.
“Jadi itu arti persahabatan
kita selama ini?” Dio mulai terlihat serius. ”Sampai detik ini aku tidak pernah
tahu tentang perasaan kamu yang sebenarnya. Siapa yang kamu sukai dan siapa
yang kamu benci? Dan pada siapa kamu pernah jatuh cinta? Usia kamu itu sudah
tujuh belas tahun, mustahil kamu tidak pernah merasa menyukai pria di kampung
ini. Apa iya kamu belum pernah jatuh cinta?”
Nane menghirup es campurnya
lalu menatap Dio. ”Apa iya seorang gadis yang menginjak usia tujuh belas tahun,
bahwa hal terpenting dalam hidupnya adalah cinta!?? Apa ada peraturan seperti
itu? aku rasa tidak!”
Dio tertawa. ”Nane—Nane…
andai saja kamu pacarku sudah aku cium kamu.” Kata Dio tidak main-main. Nane
ikut tersenyum mendengar kata-kata konyol Dio. Mata Nane tertuju pada tumpukan
kayu besar yang masih basah, yang di susun rapih di seberang jalan. Sepertinya siap
akan di jual.
“Di… liat deh di seberang
jalan itu.” ujar Nane. Mata Dio menoleh ke sana. Di sana terlihat batang-batang pohon yang di
potong kira-kira berukuran satu meter dengan masih berbentuk bulat sebesar paha
orang desawa. Di susun sekitar satu kubik. ”Kebayang nggak sih, jika setiap hari
ada sebanyak itu pohon di tebang gimana jadinya kampung kita ini? Lama-lama
gunung kesayangan kita akan botak.”
“Kamu benar Nan…
tapi apa yang harus kita lakukan?”
“Kita lihat saja nanti. Kita
pulang yok.” Ajak Nane. Dio mengiyakan.
Pagi-pagi sekali, Nif sudah tiba di SMA Negeri 1 Muara Aman. Dia pikir seperti di
Jakarta akan kena macet, dan tidak menyesuaikan selisih waktu yang ada di
Jakarta dan Bengkulu, apalagi di Rejang Lebong tempat Nane, selisih waktunya
lebih lambat hampir setengah jam dari Jakarta.
Untung saja sudah ada orang
yang datang, ia datang ke ruang guru untuk melapor kepindahannya. Tapi yang ada
hanya tukang sapu ruangan. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari kantin, meski pun
ia sudah sarapan namun ia ingin melihat suasan kantin di sekolah itu. ibu
kantin mengamatinya sejenak.
“Ibu baru lihat kamu, apa
kamu anak pindahan…?” katanya dengan bahasa daerah.
“Maaf bu…?” tanya Nif tidak
mengerti.
Yakin sudah dia, kalau gadis
semampai itu anak baru, bukan anak kelas satu yang baru masuk, apalagi ini
sudah pertengahan semester. ”O…pantesan datangnya pagi sekali.” Ia mulai
menggunakan bahasa Nasional. ”Pindahan dari mana? Mm… silahkan duduk.”
“Terima kasih bu.” Nif
mengamati wanita yang kira-kira tidak jauh lebih tua dari ibunya. Ia duduk di
bangku panjang dan ibu kantin langsung menyuguhkannya segelas teh manis yang
hangat.
“Gratis untuk hari pertama
kamu.” Ujarnya ramah.
“Tidak usah bu, saya sudah
sarapan kok.” Nif merasa tidak enak.
“Tidak apa-apa, minum saja.”
katanya tulus membuat Nif tidak tega untuk menolak. Si ibu sudah kembali
merapikan dagangannya.
“Terima kasih ya bu.” Kata
Nif kemudian. Ia menyimak apa saja yang tersedia di kantin itu. ada bakso, nasi
goreng, beberapa gorengan dan berbagai minuman ringan. Ruang kantin yang tidak
jauh dari ruang guru itu sangat luas. ”Ibu sendirian…?” tanya Nif mencoba
berbincang.
“Tidak, sebentar lagi ada
yang datang membantu ibu, kalau sendiri bisa kualahan, apalagi kalau anak-anak
sudah jamnya keluar istirahat.
“Mm…” Nif paham sekali. ”Ini
SMA negeri 1, apa ibu kenal dengan perempuan yang namanya Nane?” ia berharap
sekali kalau Nane sekolah di tempat barunya itu.
“Nane, si jangkung itu? waktu
kelas dua, dia ketua OSIS di sekolah ini, anaknya jarang ngomong tapi baik dan
pintar. Dan satu lagi…” wanita itu berhenti sebentar merapikan perabotan
kantinnya untuk menatap Nif. ”Anak sulung ibu, tergila-gila sama dia.” Ibu
kantin tertawa seakan menertawai anaknya sendiri, tapi tidak terlihat sedikit pun
ia membenci Nane, yang ada hanya rasa kagumnya pada gadis itu. ”Meski pun sudah
kuliah dan tinggal di tempat kost, anak ibu masih sering menanyakan Nane. Tapi
dengar-dengar, guru olah raga di sekolah ini mau menjadi pacaranya Nane, entah
itu benar atau tidak ibu tidak tahu pasti. Tapi kata anak-anak, Nanenya tidak
mau.” Katanya sedikit senang. ”Mm.. ngomong-ngomong nama kamu siapa dan
pindahan dari mana?”
“Nama saya Anifatul Hasannah
dan pindahan dari Jakarta…” ia ragu-ragu
mengatakan kata Jakarta
itu. malu kalau-kalau wanita itu akan menertawainya. Tapi wanita itu tidak
menertawainya sama sekali, ia bahkan tidak peduli seperti apa Jakarta itu. Nif merasa bersyukur dan ia
berpikir, tentu saja Nane menolak pria mana pun karena Dio adalah pria yang
paling keren yang pernah ia lihat. Nif membatin. Hingga detik ini ia masih
ingat dengan sangat jelas bentuk garis-garis wajah Dio. Dio pemuda yang lain
dari pada yang lain. Kulitnya memang terlihat coklat, tapi dari penampilannya
ia sama sekali tidak terlihat dari kalangan orang susah. Ia punya wibawa, berkelas
dan tidak gampang mengagumi sesuatu. Entah kenapa Nif merasa tertantang. ”Bu…
sepertinya sudah ada guru yang datang, saya harus pergi untuk bertemu dengan
salah satu guru, terima kasih atas suguhan teh hangatnya.”
“O, ya. Sama-sama.”
Sepuluh menit berikutnya. Nif
masuk ke dalam kelas, bersama seorang guru yang akan memberi pelajaran di kelas
itu. Nane yang duduk di bangku tengah mengangkat kepalanya.
‘Ternyata dia anak IPA juga.’ Gumannya.
“Selamat pagi, pak….” sapa
anak-anak pada guru mereka.
“Pagi……” balas guru perlente
itu.
Acara perkenalan singkat pun
berlangsung, tidak ada yang istimewa. Hanya ada satu dua murid cowok yang terlihat
norak, biasalah seperti cowok-cowok mana pun yang ada di muka bumi ini kalau melihat
cewek langsung merespon. Nif di suruh duduk di bangku kosong.. sekilas ia dan
Nane saling pandang. Nif tersenyum dan berusaha di balas oleh Nane sewajarnya.
Pelajaran pertama di lewati
Nif dengan agak berat, dalam arti masih kaku. Tidak ada suara-suara berisik
yang terdengar, siswa terlihat tekun dan sepertinya sangat memanfaatkan waktu
semaksimal mungkin. Nif jarang belajar dalam kondisi hening dan serius seperti
itu, tapi ada juga hal yang bisa di selingi dengan candaan, dan guru masih
terlihat ingin menjalin kedekatan dengan murid-muridnya. Adegan tanya jawab
pelajaran pun berlangsung sangat teratur. Dan sepertinya Nif mulai menemukan
kenyamanan di dalam kelas itu. apalagi jendela bagian atas terbuka semua dan
angin alam masuk dengan sangat bebas.
Pada saat jam istirahat tiba,
sama saja dengan sekolah pada umumnya. Ada
yang berusaha kenal lebih dekat dengan Nif, ada yang ke kantin dan tidak
sedikit juga yang ke perpustakaan. Tidak ada yang bersikap berlebihan. Nane
menghampiri Nif.
“Selamat bergabung di sekolah
ini… sudah selesai acara kenalannya?
Ikut ke kantin nggak?” ajak Nane dengan nada biasa, layaknya pada teman
biasa pula.
“Ya, tentu saja..” Nif
tersenyum senang. ”Mm… Nan… bangku di sebelah kamu kan
kosong, boleh nggak kalau aku nanti duduk di sana?” kata Nif. Ia tahu ada tiga bangku
kosong di kelas mereka sementara yang terisi sekitar tiga puluhan.
“Akan aku pertimbangkan…”
ujar Nane lalu tersenyum sembari melirik sekilas ke arah Nif. ”Bercanda…. tentu
saja boleh. Bangku itu milik semua murid yang ada di sekolah ini, dan siapa pun
boleh menempatinya.” Mereka tersenyum lalu menuju kantin. Tempat yang
sebenarnya tidak begitu di sukai oleh Nane. Kalau tidak begitu lapar ia lebih
senang menghabiskan waktunya di perpustakaan. ”Istirahat hanya lima
belas menit, pukul satu lima
belas sekolah bubar. Waktu berangkat sekolah aku tidak melihat kamu, memangnya
tadi berangkat jam berapa?”
“Jam enam..”
“Jam enam waktu Jakarta atau waktu
Kabupaten Rejang Lebong?” tanya Nane datar.
“Beda, ya?” tanya Nif dengan
polosnya.
“Ya, banget…” kata Nane.
Mereka sudah ada di kantin.. Nif melirik arlojinya, jarum kecil itu menunjukan
pukul sebelas. Lalu ia memutarnya agar sesuai dengan waktu setempat.
“Waktu istirahat tepat pukul
setengah sebelas..” kata Nane agar Nif memutar sesuai dengan waktu yang ada di
sekolah mereka. Nif memesan bakso, di ikuti Nane. Nif ingin sekali mencoba bakso,
sebab makanan yang nyaris ada di seluruh pelosok Nusantara itu, rasanya
rata-rata sama. Enak.
Di pelajaran berikutnya Nif sudah
duduk bersama Nane, itu membuat Nif merasa lebih nyaman. Dan bagaimana pun juga
duduk berdua di kelas akan terasa lebih rileks. Nane melirik Nif.
“Kamu jangan senang dulu, aku
biasanya suka berpindah-pindah tempat duduk.. dan di kelas ini kita memang
sering bergantian teman duduk.” Kata Nane seakan menjelaskan agar suatu hari
Nif tidak kaget melihat sikapnya.
“Ya, aku tahu.. tapi terima
kasih untuk hari ini. Mm… ngomong-ngomong.. kamu tadi berangkat di antar sama
Dio ya?”
“Nggak..” ujar Nane jujur.
dan ia tahu kalau Nif sedang menyelidikinya.
“O…” nada suara Nif terdengar
agak aneh di telinga Nane. Nane melirik gadis yang di sukai oleh Dio itu dengan
seksama. Nif memiliki wajah yang sangat indah. Hidungnya kecil dan mancung,
rambutnya panjang tanpa poni dan bibirnya tipis. Nane juga berambut panjang dan
lebih hitam juga lebih lebat dari rambut Nif. Nane sudah mengalihkan
pandangannnya, sebab pria yang ada di pojok kiri belakang sedang menatap Nif.
“Ada yang terpesona tuh sama kamu….” Ujar Nane
pada Nif dengan nada agak menggoda.
“Siapa…?” Nif menatap Nane.
“Tuh, di pojok kiri belakang…”
Nif menoleh, dan belum sempat
ia membalas senyum pria itu, guru mereka sudah masuk. Nif menatap ke depan
sambil bicara agak berbisik pada Nane.
“Sudah berapa lama kamu
pacaran dengan Dio?”
Mendengar itu Nane hanya
tersenyum. Pertanyaan seperti itu baru pertama kali ia dengar dan tidak perlu
ia jawab, apalagi pada gadis seperti Nif yang nota bene di sukai sama Dio.
Pulang dari sekolah Nif
memilih satu angkot dengan Nane, Nif memang suka bicara dan sepertinya dia
ingin sekali tahu banyak tentang Nane, Dio dan kampung halaman mereka. Ia
berusaha melanjutkan obrolan mereka yang di kelas tadi.
“Nan…
kamu nggak suka ya, tentang pertanyaanku mengenai Dio?”
“Nggak juga sih, bicara aja…”
kata Nane santai. Kini mereka sudah ada di dalam mobil sejenis angkot itu.
gedung sekolah mereka tidak begitu jauh dari pasar. Pasar tradisional juga
pasar modern.. hingga secara otomatis mereka bercampur dengan ibu-ibu yang dari
pasar, baik dari berdagang atau pun yang pulang habis belanja. Sementara pegawai
sipil kebanyakan pulang naik motor.
“Abis pulang sekolah kamu
biasanya ngapain…?”
“Beres-beres rumah, masak
juga nyuci.. kadang juga bantuin orang tua di sawah.”
Nif diam. Pekerjaan Nane
dengannya tidak jauh berbeda, hanya saja Nif belum pernah ke sawah. Karena dia
memang tidak pernah memiliki sepetak pun sawah.
Tiba di rumah, Nif memang
membersihkan rumah yang baru ia tempati satu hari satu malam itu bersama
ibunya. Ibunya sedang bertugas di Puskesmas.. pulangnya mungkin agak sore.
Sebelum pukul lima
ibunya sudah pulang dan memeluk anaknya sejenak.
“Bagaimana dengan sekolah
baru kamu?” katanya dengan semangat. ”Tidak ada yang membuat kamu susah, kan?”
“Ibu tenang saja, semuanya
baik. Ibu sendiri bagaimana…?” kata NIf balik bertanya. Ibunya duduk di kursi
dan Nif membawakannya segelas air putih.
“Hari yang melelahkan,
bekerja nyaris sepuluh jam.. tapi ibu senang karena rekan kerja di sini
semuanya tulus dan menyenangkan, tapi kalau ibu masuk malam gimana ya, Nif?”
“Ibu khawatir aku tidur
sendirian di rumah ya? Bukankah kita sering melakukannya, bu?’
“Ya, tapi ini daerah baru,
gimana pun juga ibu pasti khawatir sayang…, baiklah. Ibu mandi dulu ya.”
Setelah meneguk air yang di bawa Nif, ia ke kamarnya untuk mengambil baju
ganti. Nif duduk di tempat ibunya tadi, matanya memandang ruang dapur yang
sederhana itu. ada satu kompor gas dengan satu tungku. Rak piring seadanya dan
meja makan dengan dua kursi. Bagaimana pun juga Nif merasa bersyukur, tadinya
ia tidak pernah berpikir mendapatkan tempat tinggal selayak itu. karena ibunya
menceritakan kalau kampung yang akan mereka tinggali adalah sebuah kecamatan
kecil. Yang ada di otak Nif saat itu adalah sebuah desa yang jalanannnya becek,
dan para penduduknya yang kumal dan tidak berpendidikan. Nyatanya ia bertemu
dengan Nane yang baik hati dan Dio yang keren. Rumah yang terletak dekat
persimpangan itu ternyata terlihat ramai, tak jauh dari rumah itu ada warung
besar. Ada
counter pulsa dan sebuah bengkel otomotif. Dan malam harinya ada yang menjual
makanan seperti pangsit dan bakso. Dan sapertinya Nif harus benar-benar bisa
membawa diri. Karena orang di kampung selain memiliki jiwa sosial yang tinggi
mereka juga sangat sensitif.
Kamar mandi di rumah Nif ada
di samping ruang masak. Tidak ada telepon juga tidak ada plafon di rumah itu,
atap rumahnya dari seng. Untung di kamarnya dan ibunya terpasang plafon dari
papan. Kalau Nif duduk malam-malam di ruang tamu ia memang agak sedikit
merinding juga. Tapi rumah yang mereka tempati itu adalah gratis, yang di
rekomendasikan oleh pihak Puskesmas. Nif menghela napas panjang. Di mana pun ia
berada ia harus bersyukur memiliki seorang ibu yang tegar dan menyayanginya
dengan sepenuh jiwa. Nif bangga sama ibunya.
Empat tahun yang lalu, Nif tinggal di
rumah mewah, yang ada pembantunya. Memiliki kolam renang dan berangkat ke
sekolah di antar oleh seorang supir. Membayangkan semua itu membuat Nif sedih,
namun ia tidak boleh menitikkan air mata. Jika ia dan ibunya sudah sejauh ini,
itu menandakan kalau mereka tidak boleh cengeng. Beruntung Nif pernah menpunyai
seorang Ayah yang mengajarkannya bagaimana menghadapi hidup, tidak percuma selama
ini ibunya juga mengajarkan bagaimana menjadi orang yang mandiri. Tidak heran
kalau ibunya hanya memberikan hari senin dan sabtu saja di antar ke sekolah
dengan sopir, selebihnya Nif harus berani naik angkutan umum sendiri. Untuk
menjadi orang susah memang di butuhkan belajar dengan baik biar tidak kaget
jika suatu saat sedang di uji oleh Tuhan. Kaya dan miskin itu dua-duanya adalah
cobaan. Tetapi untuk menjadi orang kaya, semua orang pasti bisa, dan belum
tentu semua orang bisa melewati hidup susah. Dan pada diri Nif sepertinya sudah
di tamankan oleh kedua orangtuanya. Untuk mendapatkan uang jajan saja, Nif
harus mendapatkan nilai yang bagus dulu, dan Nif sudah di biasakan membersihkan
tempat tidurnya sendiri, meski ada yang membantu di rumah.
Sebagai ibu rumah tangga,
ibunya tidak melepaskan pekerjaannya di Puskesmas meski memiliki seorang suami
Pengacara yang mempunyai gaji yang lumayan. Di samping menyukai pekerjaannya,
ia ingin berbagi dan senang memberi penyuluhan kesehatan kepada ibu-ibu yang
sering memeriksa kesehatannya ke Puskesmas. Dulu pekerjaan baginya adalah sebuah
kesenangan yang kemudian di beri gaji, tapi kini pekerjaan yang ia senangi itu
berharap gaji untuk memenuhi kembutuhannya dengan Nif. Itulah kenyataan yang ia
hadapi sekarang, suka atau tidak suka.
Sehabis magrib Nif minta izin
ke ibunya untuk ke rumah Nane yang ada di depan rumah mereka, dia adalah teman
sekelas Nif. Saat keluar rumah ia sedikit kaget karena di simpang banyak sekali
orang-orang berkumpul, tapi tidak ada yang rusuh atau pun telah terjadi sesuatu
terjadi di sana.
Nif menatap kondisi itu sesaat dengan di landa kebingungan. Dia tidak tahu apa
yang terjadi di sana.
Ada banyak
remaja terlihat sedang ngobrol. Ada
yang berdiri di sisi jalan, ada juga yang sekedar jongkok bersama yang lainnya.
Remaja-remaja itu ada yang cowok ada juga yang cewek. Nif ingat gedung bioskop.
Di mana para remaja pria wanita sedang menunggu film di putar.
Ia menghela napas sejenak
saat tiba di depan pintu rumah Nane. Nif mengetuk pintu, taklama kemudian
seorang pria belasan membuka pintu.
“Kakak yang di rumah depan
ya…?” katanya. Sepertinya ia sudah tahu kalau yang menempati rumah depan itu
adalah orang dari Jakarta.
“Ya, kamu adiknya Nane, kan?” anak itu
mengangguk. ”Nanenya ada…?”
“Ada di kamarnya, silahkan masuk. Biar saya
panggilkan dulu.”
Nif mengusap kepala anak itu
sejenak. ”Terima kasih ya.” Ia melangkah masuk, dari ruang tamu kedua orang tua
Nane yang sedang menonton televisi sudah mendengar anak laki-laki mereka telah
ngobrol dengan seseorang. Nif memberi hormat pada kedua orangtua itu.
“Mencari Nane ya…?”sapa ibu
Nane. ”Ibu belum pernah melihat kamu, kamu temennya Nane?”
“Saya yang menempati rumah
kosong yang di depan bu, bersama ibu saya.” Kata Nif apa adanya. Sepertinya orangtua Nane baru sadar kalau
rumah depan sudah ada yang menempati. Ia tersenyum dan adiknya Nane sudah mucul
lagi.
“Kak, kata kak Nane, ke
kamarnya aja…” ujar pria cilik berpostur menyamai Nif itu. Nif melirik orang tua
Nane dan pria paruh baya yang di kursi belakang terlihat mengangguk. Dia
Ayahnya Nane.
“Sudah sana, masuk saja. kamarnya Nane ada di
belakang.” Kata ibu Nane supaya Nif tidak ragu-ragu. Nif melangkah menuju kamar
Nane setelah di antar pria kecil itu, berat tubuhnya pasti tidak lebih dari 45 kg.
Nif mengetuk pintu.
“Masuk.” Suara Nane terdengar sangat datar.
Nif membuka pintu dan terlihat Nane sedang duduk di belakang meja belajarnya
yang tidak bisa di bilang besar. Ia menoleh ke Nif. ”Masuklah…” katanya tidak begitu
kaget melihat kemunculan tetangga seberangnya itu. ”Duduklah…” ia beranjak dari
kursinya untuk memberikan tempat kepada Nif. Dia mengambil tempat di ujung
mejanya dan mematap Nif yang sudah duduk di kursinya tadi. Nif melirik buku
yang ada di meja Nane sekilas, sebuah buku IPA. Lalu ia melirik Nane. ”Ada apa?” kata Nane tidak
bermaksud mendikte wanita itu. Nif tersenyum.
“Terima kasih, sudah
membiarkan aku masuk dan memberikan aku tempat duduk… dan maaf sebelumnya
karena sudah mengganggu waktu belajar kamu..”
“Nggak apa-apa, nyantai aja.
Aku bisa belajar kapan saja, kadang-kadang subuh.”
Nif menciptakan senyum lagi.
Dia percaya dengan ucapan Nane, ia juga sudah membuktikan kalau Nane sangat
menonjol dalam pelajaran apa saja di dalam kelasnya. Nane memang tidak asal
bicara.
“Aku ke sini ingin minta
jadwal pelajaran buat besok.” Kata Nif kemudian.
“O…” Nane mengambil secarik
kertas dari bukunya lalu dengan cepat menuliskan daftar pelajaran...dari hari
senin hingga sabtu. Nif mengamati Nane yang menulis dengan sangat rapih, semua
jadwal itu sudah ia hafal di luar kepalanya. Kini Nif mengamati wajah Nane,
seingat dia.. wajah itu belum ada yang menyamai keindahannya di seantero
SMA-nya. Meski agak coklat namun terlihat berkilau dan bersih. Hidungnya
seperti hidung gadis melayu dengan batang yang kokoh dan indah. Dan bentuk
wajahnya sangat berkarakter, seakan punya kepribadian yang sangat kuat. Nane
melirik Nif yang sedang mengamatinya. Lalu keduanya tersenyum.
“Kapan pertama kali kamu
ciuman sama pacar kamu?” tanya Nif datar tapi pertanyaan itu sempat membuat
Nane terperangah.
“Apa?” Nane langsung
mengangkat wajahnya. Tulisannya sudah selesai. Pertanyaan Nif itu sangat di
luar dugaannya. ”Ini sudah komplit..” ujarnya kemudian, dan menyodorkan kertas
itu. Nif masih mengamatinya. ”Kenapa kamu bertanya seperti itu…?” Nane sudah
menetralkan perasaan kagetnya.
“Nggak kenapa-napa sih,
menurut aku itu pertanyaan yang biasa, kan?
Dan aku melihat kamu dan Dio itu adalah pasangan yang sangat serasi.” Nif
mengamati kertas yang sudah di tulis oleh Nane. Lagi-lagi ia menyebut nama Dio,
Nane sadar betul kalau nama itu sudah
tertanam di otak Nif melebihi namanya sendiri. Ada apa dengan Nif? Pikirnya. Ia melipat
kedua tangannya di dada dan menatap Nif dengan seksama. Jika menurut Nif itu
pertanyaan biasa tapi menurut Nane itu adalah pertanyaan yang sangat pribadi.
Nane tidak akan menceritakan hal semacam itu kepada orang terdekatnya sekali
pun.
“Sorry Nan…
aku tidak bermaksud untuk ikut campur urusan pribadi kamu, tapi ngomong-ngomong…
anak-anak di luar pada ngapain ya…?”
“Maksud kamu, anak-anak yang
di pinggir jalan itu? paling-paling pada ngobrol saja…”
“Apa mereka tidak belajar?
Ini kan bukan
malam minggu…?”
“Nanti kamu juga paham
sendiri.., aku ambil minum dulu ya, kamu ngopi nggak?”
“Terima kasih, tidak usah.
Aku juga sudah mau pulang kok, besok pagi berangkatnya bareng ya…?” ia meraih
kertas yang sudah di tulis oleh Nane. ”Terima kasih banyak ya.” Ia beranjak.
“Hmm… untuk berangkat sekolah
bareng aku tidak bisa pergi pukul enam, dan aku tidak bisa janji...” kata Nane tidak ingin gadis
itu terbebani. Nif tersenyum dan diam sejenak.
‘Mana mungkin aku bisa
berangkat bareng sama Nane kalau Nane di antar oleh Dio’ Nif jadi tersenyum
sendiri setelah mendengar penjelasan Nane.
“Ya, aku tau…nggak apa-apa.”
Nif pamit pulang di antar Nane sampai pintu depan. Nane tidak tahu apa yang ada
di pikiran Nif tentang dirinya. Tapi Nane tidak ingin ambil pusing, itu urusan
Nif. Bagaimana pun ia akan selalu berusaha untuk tidak berpikiran negatif
terhadap Nif.
Pagi itu, sebelum benar-benar terang ibu Nane mampir ke rumah Nif
untuk menyapa orang yang baru tinggal di kampungnya itu. wanita pegawai
Puskesmas itu merasa tidak enak hati.
“Ibu, ibunya Nane ya?”
tanyanya ramah setelah wanita itu menemuinya. ”Saya yang seharusnya datang ke
rumah ibu.”
“Tidak apa-apa bu, sama saja…
saya juga baru tahu kalau ibu yang menempati rumah ini, maklum.. saya pagi
pergi dan sebelum gelap baru pulang dari sawah. Nane juga baru sempat cerita
semalam.” Jelasnya. Nif keluar membawakan segelas teh manis.. dengan seragam
sekolahnya yang sudah rapih. Ibu itu tersenyum. karena Nane anaknya masih
mencuci piring saat ia datang ke rumah Nif tadi.
“Silahkan di minum bu.”
Katanya ramah.
“Terima kasih. Pagi-pagi
sekali kok sudah rapih..?” katanya di antara mengagumi dan kaget melihat Nif
sudah siap berangkat ke sekolah.
Ibunya Nif tersenyum. “Dia,
selalu takut terlambat.” Katanya merendah.
“Mm… Nane sudah mau berangkat
apa belum bu?” wanita itu terlihat bangga pada anaknya.
“Dia biasanya berangkat pukul
tujuh…, waktu ibu ke sini tadi dia masih mencuci piring.” Jelas ibunya. Dan itu
artinya mereka akan berangkat ke sekolah setengah jam lagi. Mendengar itu, Nif
jadi tersenyum. Tadinya ia tidak begitu percaya kalau gadis setengah tomboy itu
mengerjakan semua pekerjaan rumah dan membantu ibunya dengan sempurna.. dan
tidak jarang juga ke sawah dan ke kebun. Nane beda sangat jauh dari ibunya yang
banyak bicara.. Nane agak pendiam dan bicara yang perlu-perlu saja. meski pun
Nane tidak banyak bicara, Nif menyukainya dan menyayanginya.
Sore itu tepat pukul setengah tiga, Dio memaksa Nane untuk ikut ke
kebun bersamanya dan Dio harus berhasil membujuknya. Dia menunggu Nane selesai
menyimpan jemurannya.
Nif ingin ke rumah Nane tapi
ia merasa risih karena melihat ada motor Dio di depan rumah itu. tapi tidak apa
pikirnya. Karena dia hanya ingin bertemu dengan Nane. Dio merasa sangat
surprise melihat kemunculan Nif di rumah Nane. Nif bisa melihat wajah Dio
menjadi berbinar dan itu tidak bisa ia pastikan apa artinya.
“Hai Nif… apa kabar kamu…?”
“Baik, maaf… aku mengganggu
sebentar ya Nan…?” ia menatap Nane.
“Nggak apa-apa…” Nane sedang
meletakkan pakaian kering di dalam keranjangnya. Ia mempersilahkan Nif duduk.
Nif melirik Dio yang duduk di depan Nane. ”Jadi tidak enak mengatakannya, nanti
sore saja deh aku memberitahukannya..”
“Kok begitu? Kalau gitu aku
keluar dulu deh…” kata Dio seolah merasa Nif tidak mau bicara dengan Nane di
depannya.
“Jangan…!” kata Nif dengan
cepat. ”Ini sebenarnya agak memalukan…” katanya kemudian. Ia menoleh kepada
Nane. ”Mmm… Nan, ibu aku sebenarnya mau dines
malam di Puskesmas…” ia agak ragu untuk mengatakannya. Nane menunggu Nif
melanjutkan ucapannya. ”…kamu mau nggak menemani aku tidur di tempatku nanti
malam?” kata Nif akhirnya dengan nada tidak enak. Nane menoleh kepada Dio.
Sepertinya mereka berdua memahami kondisi Nif. Nif menunggu jawaban dari Nane
dengan perasaan was-was. Nane tersenyum, karena tiba-tiba ia mendapatkan ide
yang cemerlang.
“Oke, dengan satu permintaanku sama kamu…”
kata Nane seakan minta barter dari Nif. Nif terlihat agak cemas. Tapi ia
berusaha untuk tersenyum.
“Apa…?” kata Nif cepat.
“Nan…
apa sih susahnya nemenin Nif? Masa aku yang harus menemani dia?” kata Dio.
Takut Nane menolak permintaan Nif. Nadanya bercanda tapi dia sangat berharap
Nane bisa memenuhi permintaan itu. ia tidak akan tega membiarkan Nif tidur
sendirian di kampung yang masih asing baginya itu.
“Kita ikut Dio ke kebun hari
ini, sebab dari tadi ia mengajak aku. Aku pikir tidak ada salahnya kan kamu ikut bersama
kita…?” ujar Nane santai. Nif melirik ke Dio. Sorotan mata Dio seakan
menghujani jantungnya dengan sangat tajam. Nif menghindar, sebab itu tidak
boleh terjadi. Permohonan Nane sepertinya agak berlebihan. Dio tidak bisa
membayangkan gadis lembut itu berjalan melewati persawahan dan mendaki tanjakan
untuk mencapai kebunnya.
“Mm… aku sendiri sebenarnya
ingin mengajak kamu, tapi kamu kan
belum pernah naik gunung…” Dio berusaha untuk tidak terlihat pelit mengajak
Nif.
“Bukan itu masalahnya..” Nif
juga merasa tidak enak. Ia tahu kalau mereka menganggap dia tidak bisa apa-apa.
Dia juga tidak ingin selalu berdekatan dengan Dio, ia takut jatuh cinta dengan
pemuda itu. bagaimana pun juga ia merasakan ada perasaan aneh yang ia rasakan
dengan kekasih Nane itu. ”…aku harus minta izin dengan ibuku dulu…, bagaimana
pun juga aku sebenarnya ingin sekali ikut.” Nif tidak mau mereka menganggap ia
tidak berani naik gunung apalagi menganggapnya sebagai gadis lemah.
“Baguslah…” kata Nane memberi
dukungan.
Nif pun segera menemui
ibunya. Sementara Dio melotot kepada Nane.
“Kamu ini apa-apaan sih?! Gila apa…?”
nadanya tidak marah tapi tidak percaya kalau Nane akan
mengajak serta gadis itu. ”Tu anak pasti tidak pernah jalan kaki jauh,
apalagi menginjakkan kakinya di
pematangan sawah. Masa kamu ajak dia ikut kita?”
“Nggak apa-apa… besok minggu
ini. Kalau dia jatuh kan
ada kamu yang gendong… lagian seprtinya kalian berdua saling suka kayaknya…”
apa pun akan Nane lakukan untuk membuat Dio senang. Itu janjinya. Janji kepada
dirinya sendiri.
“Apa…..? jadi maksud kamu,
Nif itu juga suka sama aku? Apa benar begitu? Apa dia bilang sendiri sama
kamu?” Dio mendekati Nane.
“Nyantai aja kali Di…” kata
Nane, ia sudah melipat pakaian kering itu, besok tinggal di setrika. ”Oke, aku
siap-siap dulu ya..? aduh si Tangguh ke mana ya…?” ia mencari-cari adik
laki-lakinya dengan melihat keluar rumah namun pria kecil itu tidak kelihatan
dari tadi. Ternyata anak itu sedang membuat layang-layang di halaman belakang
rumah mereka. Nane ke belakang karena menyadari pintu belakang sedang terbuka,
benar saja, pria itu ada di sana. Ia menghampiri Tangguh. ”Guh… kakak mau
pergi, pulangnya mungkin agak telat, kalau bapak sama ibu tanya, kakak pergi
sama kak Dio, ya…?” jelasnya dengan nada sama seperti biasa kalau ingin pergi.
“Mau ke kebun ya kak,…?” kata
Tangguh sembari mengangkat kepalanya sejenak untuk melihat kakaknya. Di
tangannya masih ada pisau kecil untuk menyelesaikan pekerjaannya.
“Ya, selagi kakak nggak ada
di rumah, jangan mengajak teman-teman kamu ngebrantakin rumah..?”
“Beres kak,..” Tangguh pernah
di marahi sama Nane karena mengajak teman-temannya main di rumah dan mengacak-acak
apa saja… dan tidak membereskannya lagi.
Ibunya Nif ternyata mengizinkan anaknya untuk ikut bersama Nane,
meski Nif memberitahukan kalau ada satu pria di antara mereka, tapi wanita itu
percayakan anaknya dengan Nane. Dio menyimpan motor di rumah Nane dan
menggendong tas ranselnya. Dari rumah Nane mereka naik mobil untuk mencapai
jembatan gantung. Letak jembatan itu ada di kampung sebelah. Nama Desanya,
Tanjung Bunga. Nane mengenakan kaus lengan panjang dan celana jins coklat. Dan
sepertinya Nif sudah bisa membaca situasi jalan yang akan mereka tempuh. Dan
terbukti dengan apa yang ia kenakan yang tidak jauh beda dari Nane, ia menambahkannya
dengan jaket kulit yang agak lembut, biar tidak terkesan parno. Nif tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi, apakah
benar mereka akan mengambil durian?? Nif suka buah itu tapi tidak tahu
bagaimana bentuk pohonnya.
“Pernah menginjak jembatan
gantung nggak..?” tanya Dio setelah mereka tiba di depan jembatan yang lumayan
panjang itu. sepertinya tidak kurang dari 20 meter, di bawahnya ada sungai yang
mengalir sangat deras. Nif sempat bergidik, ia menyesal karena waktu di ajak
kemping dulu sama temanya ia menolak. Alasannya banyak lintah dan pacet, tapi
apa iya di sawah dan kebun Dio tidak ada mahluk-mahluk kecil yang mengerikan
itu? tinggi jembatan itu dari permukaan sungai bisa Nif pastikan tidak kurang
dari sepuluh meter.
“Kamu tidak akan apa-apa…
cukup pegang tali besinya yang ada di kiri kanan dengan kuat, dan melangkah
dengan perlahan. Sebenarnya ada jembatan yang lebih bagus tapi letaknya lebih
jauh. Jembatan yang aku maksud itu bisa di lewati oleh motor dan besinya agak
tinggi hingga sangat aman tapi tetap saja akan bergoyang kalau kita lewati.”
Jelas Dio.
“Memangnya aku terlihat
takut?” kata Nif. ”Tenang aja, akan aku coba.” Ia mulai mendekati jembatan itu.
Tapi sejujurnya ia merinding membayangkan ketinggian itu.
“Hati-hati…” kata Dio yang
berada tepat di belakang Nif. Dia tidak akan jauh karena takut gadis itu jatuh
atau terpeleset. Nif memegangi tali besi itu dan mulai menginjak papan pertama.
Jembatan bergoyang karena Nane sudah berjalan di atasnya. Itu sempat membuat
Nif merasa sport jantung. Tapi ia
tidak ingin Dio melihatnya gemetar. ‘Kamu bisa Nif’ bisiknya dalam hati.
Langkah pertama membuat Nif nyaris berteriak. Dio membantunya dengan memegang
tangan Nif. Sejenak membuat Nif merasa berdebar oleh sentuhan tangan Dio dan
sedikit meredam jeritan ketakutan di hati Nif.
Nane sudah sampai di ujung
jembatan, ia menatap ke belakang sejenak terlihat Nif sedang jalan perlahan,
tangannya berpegang kuat di kedua sisi besi seakan mengimbangi tubuhnya. Nane
tahu kalau sebenarnya Nif sangat gugup tapi ia salut dengan kemauan gadis itu.
setiap yang baru pertama kali melewati jembatan gantung pasti akan merasa
gemetar. Waktu kecil Nane juga mengalaminya.
Akhirnya, Nif bisa bernapas
lega, jembatan itu pun sudah berhasil ia lewati. Di depan mereka terlihat sawah
yang menghijau dengan begitu luas laksana lapangan hijau. Nif berdecak kagum,
rasa takutnya baru saja di tebus dengan pandangan yang menakjubkan. Itu bukan
sawah Dio atau pun kepunyaan orangtua Nane tapi milik para orang kampung yang
bertani, di panen setiap setahun sekali.
Jika sawah di panen setahun
sekali, maka apa yang di kerjakan orang kampung setelah panen? Sebab masa tanam
hanya di butuhkan kira-kira empat bulan dari pembibitan hingga panen. Dua atau
tiga bulan para petani mungkin bisa menikmati hasil panennya, selebihnya yang
sekitar lima
bulan itu sepertinya masa paceklik. Beruntung bagi segelintir orang yang juga
memiliki kebun, hingga di sela-sela itu bisa memanen hasil kopi atau menyadap
karet, bagi yang memiliki kebun karet. Tapi yang tidak??
Di kampung Nane tidak ada
pabrik atau pun lapangan pekerjaan yang lainnya, yang ada hanya bertani,
berdagang atau PNS. Sementara untuk menjadi PNS pun akan di pungut biaya
sekitar ratusan juta rupiah oleh pemerintah daerah. Tapi banyak para penduduk
yang setelah menyekolahkan anak-anak mereka rela menjual sawah untuk menyogok
para penguasa daerah itu demi sebuah pekerjaan. Menyedihkan, tidak di kota besar atau pun di pelosok
perkampungan semuanya bisa memutar uang haram. Bukan uangnya yang haram, tapi
para pelakunya yang selalu menyalahgunakan uang dan membeli keahlian orang,
masih mending yang di beli itu benar-benar yang ahli di bidangnya… bagaimana
jika yang di beli itu sebenarnya yang tidak mengerti apa-apa, hanya mempunyai
ijazah dan ijazahnya memiliki nilai 6 semua. Menyedihkan memang!
Tidak di kota atau pun di kampung-kampung, setiap yang
merasa punya kekuasaan selalu merasa menjadi penguasa. Jangan saja ia
mengatakan kalau dialah yang membuat bumi ini berputar. Astagfirullah.
“Untuk sampai di pondok, aku
dan Nane biasanya membutuhkan waktu dua puluh menit.” Kata Dio.
“Memangnya kebun kamu ada di
mana?” tanya Nif sambil menatap gunung yang menjulang di hadapannya mereka.
Jika untuk mencapai puncak gunung itu dalam waktu dua puluh menit, artinya Dio
dan Nane pasti memiliki sayap. Kalau pun mereka berlari tidak akan sampai
secepat itu.
“Di lereng gunung itu.
setelah melewati beberapa petak sawah, kita akan mendaki sedikit.” Mata Dio
menoleh ke sawah-sawah yang terbentang indah.
‘Beberapa petak sawah?’ Nif
seperti tidak percaya dengan kata-kata Dio.
“Satu lagi Nif… kita
pulangnya mungkin agak malam..” tambah Nane dan di iyakan oleh Dio.
“Apa? Kalau kita pulang malam
kan, jalanan
pasti gelap. Gimana kita melangkahnya?” Nif merasa mau mundur dari perjalanan
gila itu. tapi tidak, ia yakin kedua orang itu tidak mungkin mencelakainya.
Bagaimana pun juga ia percaya dengan Nane dan Dio.
“Kamu tenang aja, karena di
dalam ranselku ada senter besar. Kita tidak akan pulang dalam kegelapan.” Kata
Dio. Dan itu sepertinya tidak mengurangi rasa cemas di hati Nif, meski ia tahu
kalau Dio tidak akan membiarkannya mati ketakutan.
‘Ya Tuhan…tidak seharusnya
aku mengikuti perjalanan edan ini. Apa benar aku melakukan semua ini hanya
karena ingin Nane menemaniku malam ini… atau ada hal lain..??? ah.. aku ini
benar-benar bodoh.’ Nif mengumpat dirinya sendiri.
Musim panas membuat tanah
agak kering sehingga mereka bisa menyusuri sawah tanpa harus melewati becek.
Nif beruntung karena tidak menemui jalanan becek, yang kalau hujan luar biasa
beceknya. Nif sekali-kali bisa menikmati pemandangan sawah yang indah itu namun
tidak sepenuhnya sebab pematangan itu kecil. Ia takut terpeleset atau masuk
parit yang ada di dekat pematangan. Nif terus berjalan tanpa melihat ke
belakang.. dan ia mulai terbiasa melewati jalanan kecil itu. ia berusaha untuk
tidak berada jauh di belakang Nane dan itu membuatnya agak terengah-engah
mengikuti langkah kaki Nane yang lincah dan terlatih. Dio tetap setia di
belakang Nif.
“Capek ya? Tidak usah
buru-buru, sisakan tenaga kamu untuk menaiki tebing sesaat lagi.” Kata Dio
memberi tahu.
“Lumayan capek, mungkin
karena baru pertama kali. Tapi aku nggak apa-apa kok..” Nif menoleh ke belakang
sekilas untuk melihat Dio. Pria itu tersenyum manis kepadanya. Nif ikut
tersenyum seakan lupa kalau di antara mereka ada Nane. Nif melangkah lagi.
“Menurut kamu, gimana daerah
ini?” tanya Dio. Mereka bicara tanpa harus berhenti berjalan, Nif sudah kembali
serius menapaki jalanan.
“Lebih nyaman dari yang
pernah aku bayangkan sebelumnya.”
“Memangnya apa yang pernah
ada di dalam bayangan kamu sebelumnya?”
Nif diam sejenak. Tadinya ia
berpikir kalau daerah yang ia dan ibunya tempati sangat parah, susah kendaraan,
sepi dan susah signal ponsel. Ternyata tidak seperti itu. ia melihat nyaris
setiap remaja sudah memegang alat komunikasi canggih itu di sekolah, bahkan
orang yang melewati sawah pun ada yang jalan sambil memegang ponsel juga sambil
ngobrol di pematangan sawah. Kemajuan, pikir Nif tanpa bermaksud meremehkan
orang kampung. Apalagi remaja seusianya, seperti Nane dan Dio, sekilas saja
pria seperti Dio mampu membuat remaja puteri jatuh cinta. Termasuk Nif sendiri.
“Orangnya ramah, tulus dan
baik.” Jawab Nif apa adanya.
“Cuma itu?” kejar Dio
penasaran. Hampir saja Nif menoleh lagi ke belakang kalau saja tidak sadar ada
Nane di depannya. Nane menoleh pada Nif yang berjarak lebih kurang lima meter darinya.
“Ya, untuk sementara ini.”
Kata Nif seakan memahami apa yang ada di pikiran Dio. ”Mm.. Nane itu agak
pendiam ya? Kalau di tanya baru menjawab, meski tidak semua pertanyaanku dia
jawab. Menurut aku dia akan bicara jika menurutnya penting. Dia baik tapi sedikit
memberi jarak.” Ujar Nif seakan meminta pembenaran dari Dio.
“Nane itu sangat perfect.” Itu pujian tertinggi untuk
Nane dari Dio sekaligus harga mati bagi Nif. Nif tidak pungkiri sedikit pun pengakuan
Dio itu, Nane memang perfect dari
segala arah, juga pintar mengurus rumah. Dan diamnya membuat orang semakin
ingin mendekatinya. perlahan ada rasa cemburu yang mulai merambat di benak Nif
untuk Nane.
‘Upps! Nif, kamu itu bukan
siapa-siapanya Dio. Apa urusan kamu?!’ Nif menyadarkan dirinya.
Tiba di kaki tanjakan membuat
Nane berhenti melangkah. Ia menunggu Nif dan Dio. Semoga gadis itu bisa. Do’anya
dalam hati. Nif tersenyum melihat Nane menunggunya, ia heran karena di matanya
Nane belum terlihat lelah sama sekali. Sepertinya gadis itu baru berjalan dua
puluh meter saja, sementara Nif sendiri merasa seperti sudah melewati ribuan
meter.
“Kamu kok jalannya cepat
sekali sih?” kata Nif saat sudah mendekati Nane.
“Perjalanan pulang nanti akan
terasa lebih cepat dan enteng, benarkan, Di?” ia menoleh pada pria yang ada di
belakang Nif.
“Tentu saja.” kata Dio dengan
nada sangat meyakinkan.
Nif memandang tebing terjal
yang ada di hadapan mereka, ujungnya lumayan jauh bahkan nyaris tidak kelihatan.
Bisa Nif perkirakan kalau ketajaman tebing itu tidak kurang dari empat puluh
derajat. Ia menghela napas.
“Ayolah… ini hari
keberuntungan kamu, kalau hujan jalanannya pasti sangat licin.” Tutur Nane dan
lagi-lagi Dio mengiyakan.
“Setelah melewati tebing ini
kita akan melewati satu kebun lagi, baru sampai ke pondokku, dan aku percaya
setelah sampai nanti maka kamu tidak akan pernah mau turun.” Promosi Dio dengan
indah, sembari merangkul pundak Nane membuat Nif agak kecewa, tenaganya yang
telah ia persiapkan untuk naik tebing seakan punah sudah. Entah kenapa ia
merasa ingin sekali menjerit, ada rasa sakit di dadanya melihat adegan itu. itu
hal wajar, bukankah Dio dan Nane adalah pasangan kekasih? Lagi-lagi Nif
berusaha menghibur hatinya yang luka tidak beralasan itu. apakah itu cinta
monyet?
“Ayolah…” Nane menarik tangan
Nif dengan lembut untuk mengajaknya mulai menaiki tebing. Rangkulan Dio sudah
lepas dari bahu Nane. Nif memegang tangan Nane dengan erat, memaksa Nane
menatap gadis itu sejenak. Hingga tanpa sadar ia pun melakukan hal yang sama,
memegang tangan Nif seakan takut kalau gadis itu gugup menaiki tanjakan. Detik
berikutnya ia melepaskan pegangannya lalu membiarkan Nif mengikutinya dari
belakang. Nif sebenarnya tidak ingin di
lepas oleh Nane, tapi kini Nane sudah melangkah dan langkahnya seperti orang
berjalan di tanah datar saja, dan semakin cepat. Ia seakan ingin menjauh dari
Dio dan Nif. Pikirannya mulai berkecamuk. Ia merasa ada yang salah dengan
pikirannya terhadap Dio dan juga Nif. Pikiran dan perasaan yang muncul itu
belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan itu sangat berpengaruh setelah
kemunculan Nif. Dia tidak tahu apa yang ia rasakan terhadap Nif. Ada beberapa perasaan yang
ia rasakan tapi masih abu-abu, ia coba mereka-reka dan semoga saja bukan
perasaan yang tidak ia harapkan terjadi di antara mereka. Nane merasa mulai
kelelahan, bukan lantaran karena capek tapi ada yang ia pikirkan. Untuk pertama
kalinya Nane merasa ada beban yang tidak biasa yang juga sulit ia pahami. Sampai
di atas Nane menarik napas dalam-dalam dan tetap berjalan meski agak melambat. Di jalan berikutnya ia bertemu
dengan seorang ibu muda yang sedang mengambil kayu bakar. Ia berhenti untuk
menyapa wanita itu.
“Ibu sendirian yaa…?”
“Ya, kamu..?” ia berhenti
memotong ranting kering yang kecil itu untuk menatap Nane yang sudah tidak
asing lagi di matanya. Nane ingat ibunya yang hampir setiap hari ikut membantu
Ayahnya, baik di sawah mau pun di kebun. Seorang wanita di kampung bukan saja
bertugas mengurus rumah tapi juga membantu mencari nafkah. Untung anak-anak di
kampung tidak terlalu cengeng.. yang makan harus di suapin atau sebagainya.
Keadaan dan kondisi membuat anak-anak mandiri.. Nane menghela napas panjang. Ia
mulai membandingkan kehidupan anak kota
dan anak kampung, contoh yang lebih nyata adalah Nif dengan dirinya.
“Bertiga bu, dua temanku
masih di bawah. Ibu mengambil kayu bakar setiap hari ya?” Nane tahu bahwa ia
tidak perlu melontarkan pertanyaan seperti itu, sebab ia sangat tahu kalau
kehidupan di kampungnya delapan puluh persen masih menggunakan kayu bakar untuk
memasak. Tidak terkecuali keluarganya meski di bantu dengan kompor minyak. Tapi
apa mungkin setiap keluarga mampu untuk membeli minyak tanah yang harganya
sudah melangit? Sementara bantuan kompor gas dari pemerintah belum sampai di
kampungnya. Untuk membeli beras sekilo saja terkadang tidak mampu, karena tidak
semua kepala keluarga mempunyai sawah untuk di garap.
“Ya, hampir setiap hari ibu
mencari kayu bakar.” Jawab wanita itu kemudian. Nane mengerti, ia pun
tersenyum.
“Tapi kalau ranting-ranting
kecil yang sudah mati itu tidak ada, ibu tidak menebang pohon kecil yang ada di
sekitarnya, kan?”
“Ya kadang-kadang sih,
memangnya kenapa?”
“Ya kasian saja, pohon yang
masih kecil di tebang…” ujar Nane apa adanya, dan tentu saja wanita itu tidak
mengerti maksudnya.
“Pohon-pohon itu kan tumbuh liar, tentu
saja ibu boleh menebangnya.” Kata si ibu penasaran, karena belum ada yang
melarang-larangnya selama ini.
“Ya sudah, ibu boleh
mengambilnya asal jangan mengajak suami ibu menebang pohon yang sudah besar,
nanti gunung kita gundul, kalau gunung kita gundul, kan
nggak enak di lihatnya.., benar, kan?”
Wanita itu tertawa. ”Kamu ini
ada-ada saja, memangnya gunung itu kepala manusia bisa gundul? Ya ibu tahu…
maksud kamu sekarang. Kalau gunungnya gundul, pasti monyet yang ada di dalam
gunung ini tidak bisa main di atas pohon lagi ya, kan?” katanya lugu. Nane tersenyum. Ibu itu
juga tidak akan berani mengajak suaminya menebang pohon sembarangan, karena yang
punya kebun akan membunuhnya. sebab yang ada di sana hampir semua pohonya menghasilkan buah,
seperti pohon durian, mangga, duku, rambutan dan tak ketinggalan pohon jengkol.
Dan lagi wanita seperti yang ada di hadapan Nane itu tidak akan merusak hutan.
Yang membuat gunung rusak adalah penebangan liar, yang terkadang di dukung oleh
para aparat Negara yang tidak bertanggung jawab, dan memikirkan keuntungan diri
sendiri. Apa dia pikir kekayaan mereka untuk saat ini akan membawa berkah di
kemudian hari? Otak mereka mungkin tidak pernah berpikir kalau anak cucu mereka
akan tinggal di bumi yang sama. Makanya mereka meluluhlantakan alam hanya untuk
kekayaan dalam waktu sepuluh atau dua puluh tahun saja. menyedihkan memang.
Kalau saja mereka hidup di abad ke 17 atau 18 pasti kita yang hidup di zaman sekarang
ini tidak akan bisa bernapas. Para penebang
liar memang akan lebih cepat menggunduli gunung tidak seperti ibu tadi yang
mencari ranting hanya untuk memasak nasi.
Akhir-akhir ini, Nane memang
pernah mendengar sekelompok orang yang menebang pohon dengan menggunakan
gergaji mesin.. yang bisa menebang puluhan pohon dalam hitungan menit saja.
mengerikan sekali. Mereka akan menjual kayu hasil tebangan itu ke tukang kayu
atau ke luar kota.
Dio dan Nif muncul, mereka
hanya saling menyapa lalu membiarkan si ibu melanjutkan pekerjaannya. Mereka
meneruskan perjalanan yang tinggal menghitung menit untuk tiba di pondoknya
Dio. Nif merasa sedikit aneh melihat wanita itu berada sendirian di dalam
hutan. Meskipun hutannya tidak bisa di sebut rindang tapi tetap saja itu
mengerikan baginya. Karena yang namanya hutan itu, sepi dan banyak binatang
buasnya.
“Ibu itu berani ya di dalam
hutan sendirian?”
“Ini tempat yang paling dekat
dengan sawah juga penduduk… terus hampir setiap dua ratus meter ada pondok yang
rata-rata tidak pernah kosong. Memang sih kadang-kadang ada babi hutan yang
suka lewat, tapi kalau kita tidak mengganggu, dia tidak akan melukai kita.”
Jelas Dio.
“Memang ada babi hutannya
juga, ya?” Nif cemas juga mendengar kata-kata babi hutan. Padahal tadinya dia
hanya takut dengan preman yang berkeliaran di hutan atau para remaja yang hidup
di hutan, seperti para teroris yang di televisi itu. Yang melakukan latihan
militer.
“Ya jelas dong… karena setiap
naik gunung aku hampir selalu ketemu dengan yang namanya babi hutan, terkadang
mereka bergerombolan.” Tambah Nane jujur tanpa bermaksud menakut-nakuti Nif.
“O..” guman Nif singkat. Ia
tidak bisa menyembunyikan ketegangannya dan Nane merasa menyesal telah berkata
jujur. ia tahu kalau gadis itu mulai ketakutan. Nane jalan terus dan tetap di
depan….
“Kita sudah sampai….!” Kata
Dio nyaris berteriak kegirangan saat kakinya menginjak tanah perkebunan
orangtuanya.. Dia merasa suasana hatinya hari ini sangat berbeda, ada Nif yang
ikut bersamanya ke kebun. Tadinya ia pikir mereka tidak akan sampai di kebun
karena melihat Nif yang nyaris tidak kuat naik gunung, meski berusaha
menyembunyikannya, tapi dia yakin Nif sangat kelelahan. Ia sampai tidak tega
melihat gadis itu.
“Ini kebunnya?” kata Nif
sambil mengamatinya sejenak. Ada
banyak pohon besar, di antaranya pohon durian yang sedang berbuah dengan
lebatnya, buahnya pun besar-besar sekali.. dan pohon yang lainnya ia tidak
begitu kenal. Nif takjub melihat pohon durian yang buahnya bergelantungan, oh
betapa kayanya negeri ini. Gumannya. ”Pondoknya di mana?” lanjut Nif bingung.
“Di pertengahan kebun.” Kata
Dio. ”Ikuti Nane saja.” Mereka baru saja menginjak pinggiran kebun orangtua Dio
yang luas. Nane sudah melaju, ia sudah sangat hafal setiap seluk-beluk kebun
itu, bahkan letak setiap pohonnya ia sudah mengingatnya dari dulu dan kini
sudah ada di luar kepalanya. Andai pun tukang kebun menanam pohon yang baru, ia
sudah mengetahuinya. Sejak Dio mengenali kebun, Nane-lah orang pertama yang dia
ajak.. dan setelah itu nyaris setiap musim buah, Dio dan Nane selalu pergi ke
kebun, untuk bersenang-senang, tidak jarang Dio mengambil libur kuliah dan
menyempatkan waktu sehari dua hari untuk santai di kebunnya bersama Nane.
Mereka selalu bergembira dan tak jarang menginap di pondok bersama tukang
kebun. Tapi kini ada Nif, akankah Dio bisa merasakan suasana seperti
tahun-tahun sebelumnya bersama Nane?
Nane sudah tiba di depan pondok,
dan tidak sabar untuk istirahat dan menikmati durian yang masih hangat, pak
Amir tukang kebun Dio pasti sudah mengumpulkan banyak durian yang jatuh dari
semalam. Di samping pondok ada air mengalir, tidak bisa di bilang kali karena
ukurannya tidak lebih besar dari parit, tapi airnya sangat bening dan dingin.
Asli keluar dari pegunungan. Dan di bawahnya di buat sebuah kolam yang
berukuran sedang. Nane memandang pondok yang lumayan besar itu, hampir separuh
ukuran rumahnya di kampung. Hampir setahun dia tidak menginjak pondok itu…,
pondok itu di bangun lebih kurang dua setengah meter dari tanah, karena untuk
menghindari babi hutan.
“Hei Nane….!?” Panggil pak
Amir dengan nada gembira setelah melihat kedatangan gadis itu. Nane tersenyum
pada pria yang seusia Ayahnya itu. pak Amir sepertinya baru membereskan
sesuatu, dia memang selalu senang kalau melihat kemunculan Nane, yang sudah ia
anggap anak sendiri. ”Ayo naik kemari.” Ajaknya. Taklama kemudian Nif dan Dio
muncul, sejenak Dio melirik arlojinya. Perjalanan yang mereka tempuh hampir
setengah jam. Lumayan cepat dari yang ia perkirakan.
Nane sudah merebahkan
tubuhnya di atas bale-bale pondok. Pak Amir sudah menyuruh Nane memilih sendiri
durian yang sudah tersedia di bale-bale tersebut, dan harum baunya menyengat.
Untung Nif tipe orang yang juga suka dengan buah durian, sebab ada beberapa
orang tidak suka dengan buah berduri itu, dan bisa muntah bila mencium baunya.
Dio mengenalkan Nif dengan
pak Amir, sejenak lelaki baik itu mengamati Nif, hatinya berkata lain setelah
melihat gadis manis itu.
“Teman kuliah ya Di…?”
katanya karena baru pertama kali melihat gadis itu.
“Bukan pak, dia teman
sekolahnya Nane. Nane-nya mana?” Dio mencari-cari keberadaan Nane.
“Tuh, sudah rebahan di atas.
Silahkan naik…” ia mempersilahkan Nif untuk menyusul Nane yang sudah istirahat.
Nif mengangguk, ia merasa di terima dengan baik oleh tukang kebunnya Dio. Meski
sepertinya pria itu menyimpan tanya untuknya. Ia coba memaklumi, apalagi ia
datang bersama Dio. Dio sudah menjelaskan kalau dia adalah temannya Nane. Itu
sudah sedikit membuatnya merasa nyaman, agar pria itu tidak mengira
macam-macam. Ia melihat pria itu sangat menyayangi Dio, tidak terlihat adanya
jarak antara tukang kebun dan majikan di antara mereka. Dio sudah menjelaskan
kalau yang menunggu pondoknya adalah tukang kebun yang sudah bekerja puluhan
tahun di keluarganya.
“Terima kasih ya pak…” kata
Nif. Dia memang harus segera melepaskan kepenatannya, kedua kakinya terasa
sudah sangat lemas dan berat, tak peduli jika harus duduk di tanah sekali pun.
Ia menyusul Nane ke atas bale. Di sana
Nane masih terlihat rebahan dengan sangat bebasnya. Ia melirik Nif yang
mendekatinya.
“Gimana?” katanya setelah Nif
ikut rebahan.
“Hmm…lumayan menguras
tenaga…” ia menghela napas panjang dan menatap langit-langit pondok yang
terbuat dari papan. Nane duduk dan bersandar di dinding bale-bale dengan kaki
berselonjor. Ia menatap Nif yang kelelahan. Nif melirik ke tubuh Nane yang
tanpa cela. ”Kamu sering kesini..?” Tanya Nif kemudian. Keringat masih terlihat
di dahi Nif yang putih hingga terlihat agak memerah karena panas. Nane
tersenyum, dia tidak akan mengatakan sejujurnya kepada Nif.
“Bisa di hitung dengan jari.”
Ujarnya. Nif coba mencari kebenaran di wajah itu. semoga ia tidak berbohong.
Pikir Nif. Tidak tahu kenapa Nane mengatakan bisa di hitung dengan jari,
padahal dia sendiri sudah tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia
mengunjungi pondok itu. apakah karena dia tidak ingin melukai hati Nif atau
hatinya sendiri? Ah…! Nane tidak tahu kenapa sejak kemunculan Nif dia berubah
menjadi tidak jujur pada dirinya sendiri. Dan sama sekali ia tidak menghendaki
itu terjadi.
Nif tersenyum namun dalam hati
ia berpikir, apakah pondok itu adalah tempat favoritnya Nane dan Dio? Dio
muncul dari bawah dengan durian di tangan. Nif bangun. Dio meletakkan durian
itu di hadapan Nane dan Nif. Lalu dengan cepat ia membelahnya dengan
menggunakan pisau, dengan gerakan yang terlatih. Nif mengamati setiap gerakan
tangan Dio. Lalu kedua tangan Dio menarik kedua belah kulit durian hingga
isinya terlihat dengan sangat jelas dan bisa di ambil.
“Semoga Nif tidak alergi
dengan buah durian.” Kata Dio di antara kesibukannya. Nif mengamati Dio dan
pria itu juga sedang menatapnya.
“Durian adalah salah satu
buah kegemaranku, aku jarang melihat durian sebagus ini.”
“Ini kopinya…” pak Amir naik
dengan kopi panas dan biasanya Nane dan Dio mencampur buah durian ke dalam kopi
itu. Dio menaruh sebiji buah durian ke dalam gelasnya juga ke gelas Nane,
ketika gelas ketiga ia melirik Nif.
“Apakah kopi kamu juga mau di
campur dengan buah durian?” tanya Dio. Nif terlihat ragu-ragu. Dia tidak bisa
membayangkan kalau sebiji isi durian di masukan ke dalam segelas kopi hangat.
Bagaimana rasanya?
“Mm. tidak, biar aku makan
terpisah saja…” jawabnya kemudian.
“Oke, itu pilihan kamu…” Ia
menoleh ke Nane. ”Ayo dong, aduk kopinya…” kata Dio dengan lembut seperti
biasanya. Nane tersenyum dan ia berharap kalau sikap Dio tidak akan pernah
berubah padanya setelah munculnya Nif.
Pesta durian pun di mulai.
Nif sepertinya memang menyukai durian, ia juga berusaha mencoba kopi campur
durian itu. tadinya agak ragu dan setelah mencicipi sepertinya lumayan nikmat
di lidahnya. Dan itu tidak di buat-buat untuk sekedar memaksa menyukai apa yang
di sukai oleh Dio dan Nane. Buah durian kedua pun sudah di belah, mereka
menikmatinya dengan sangat lahap. Pak Amir senang melihat kebersamaan mereka
meski ia menemukan ada kejanggalan di antara hubungan ketiga remaja itu.
apalagi Nane tidak terlihat seperti biasanya. Ia cendrung menjaga sikap, itu
tidak lepas dari pengamatan pak Amir. Nane menghirup kopinya lalu membawa
kopinya ke bawah, ia duduk di bangku yang sudah di buat sebulan yang lalu oleh
pak Amir. Tiba-tiba terdengar suara ‘Bugh…!’
“Apa itu?” Nif panik, di
kiranya Nane jatuh dari tangga.
“Itu suara durian yang jatuh
dari pohonnya.” Kata Dio. Nane juga tahu pohon yang mana sudah menjatuhkan
buahnya itu. tapi ia tidak bergeming dari tempatnya. Biasanya ia rebutan dengan
Dio dan berlari untuk memungutnya. ”Pak, biar aku yang ambil ya…” kata Dio
setengah berteriak pada tukang kebunnya.
“Aku ikut.” Pinta Nif
spontan.
“Oke.” Dio mengajak Nif turun. Di bangku
yang terbuat dari bambu Nane terlihat masih menikmati kopinya. ”Nan… ayo ikut…!” ajak Dio. ”Kamu biasanya paling hafal durian
mana
yang jatuh.” Kata Dio cerewet saat
melihat Nane yang tiba-tiba jadi pendiam dan tidak ramah dengan suara durian
yang jatuh itu.
“Aku di sini aja, tanggung
nih belum habis kopinya, ntar kalau dingin nggak enak.” Ia beralasan. Nif
menatap Nane, Nane tersenyum tipis pada Nif. Nif merasa tidak enak dengan gadis
itu.
“Oke… ayo Nif…” kata Dio
akhirnya. Dio tidak pernah sadar apa yang terjadi pada gadis itu. ia tidak tahu
kalau ada yang berubah dengan Nane. Dan tentu saja Nane tidak ingin ada yang
berubah, tapi tanpa Nane sadari memang ada yang berubah di antara mereka.
“Ayo dong Nan…”kata
Nif setengah memohon.
“Sudah… cepat sana…” ujar Nane berusaha
membuat Nif merasa santai. Pak Amir mengamati sikap kedua gadis itu. Nif
mengalah, akhirnya ia menyusul Dio yang sudah melangkah. Mereka pergi.
“Ehmm…” pak Amir berdehem. ”Kenapa
tidak mau ikut?” goda pria yang sudah begitu akrab dengan gadis itu. ”Nan… bapak belum pernah melihat Dio mengajak gadis itu ke
sini. Memang benar gadis itu teman kamu? Masa bapak tidak kenal kalau dia teman
kamu? Dan lagi, bahasanya tidak sama dengan kita. Dia bukan teman kuliah Dio
tapi mereka kelihatannya sudah sangat akrab, bapak tidak percaya kalau Nif itu
teman kamu. Pasti ada yang tidak beres, kan?
Jangan-jangan kamu sedang menjodohkan kedua orang itu…?”
Nane tersenyum lalu meletakan
gelas kopinya yang tinggal sedikit di atas bangku. Ia menarik napas
dalam-dalam… ”Oke, pak. Kalau begitu saya menyusul mereka…”
“Aduh, itu sih bukan sebuah
jawaban….” Pak Amir geleng-geleng melihat Nane yang sudah melangkah
menjauhinya. Nane tidak tahu harus menjawab apa pada pak Amir. Dia belum siap
untuk membohongi pria itu. dan ia memang merasa tidak bisa berbohong dengannya.
”Anak sekarang memang susah di pahami.” Guman pak Amir.
Dio membawa Nif ke bawah
pohon di mana ia mendengar suara gedebuk tadi. Dan benar, sebuah durian besar
tergeletak di sana.
Dengan penuh rasa suka cita, Nif berlari menghampirinya. Dia belum pernah
merasakan memungut durian dari bawah pohonnya langsung. Dio tidak kalah senang
melihat sikap Nif yang girang.
“Pegang tungkainya.” Kata Dio
agak berteriak. Ia melihat ke atas di mana masih banyak buah durian yang
bergelantungan di dahannya. ”Kita tidak boleh lama-lama ada di bawah pohonnya.”
Nif menenteng hasil panennya
meski hanya satu, dia sangat bahagia. ”Lumayan besar.” Katanya. Ia menyodorkan
kepada Dio. ”Ini.”
“Itu khusus untuk kamu.” Kata
Dio sambil tersenyum.
Nane muncul, ia melihat
sebuah durian di tangan Nif. Dan gadis itu membawanya dengan wajah berbinar.
Mungkin itu adalah momen pertamanya mendapatkan durian runtuh. Pikir Nane
memaklumi.
“Sudah dapat…?” kata Nane.
“Ini… besar ya…” ujar Nif
masih terlihat kesenangan. Bukan karena mendapatkan buah itu, tapi kejadiannya
yang ia tidak bisa lupakan. Ia akan menceritakannya nanti kepada ibunya di
rumah. ”Mau makan lagi…?” tawarnya tulus kepada Nane.
“Sudah kenyang.” Kata Nane
jujur.
“Kalau sudah kenyang, jadi
buat Nif bawa pulang aja untuk di makan di rumah bersama ibunya. Rasanya pasti
lain, karena di pungut sendiri..” ia melirik Nane. ”Benarkan, Nan…?”
kata Dio pada Nane. Gadis itu mengangguk. Ia menatap Nif lagi. ”Kira-kira kuat
nggak menentengnya sampai rumah?” godanya. ”Nanti durinya kira ratain dulu.
Biar tidak mengenai kaki.”
“Benar ini buat aku…?” kata
Nif masih tidak percaya. Ia tahu masih banyak durian yang ada di bale-bale tapi
yang ini ceritanya pasti lain, dan ia yakin Dio tidak akan pelit untuk
membaginya. Dio memang memahami perasaan Nif.
Dio mengangguk pasti. ”Kalau
Nane biasanya di bawa dengan menggunakan tas, jadi lebih ringan, dan bisa di
bawa lebih dari satu buah. Tapi kalau sudah kecapean akhirnya aku juga yang
menggendong tasnya.” Kata Dio jujur. dan kejujuran itu membuat wajah Nif
sedikit berubah. Mereka jadi tertawa. Baru saja mereka keluar dari bawah pohon
durian, sudah jatuh satu lagi. Nif sangat kaget, ia takut kena kepalanya.
Mereka sama-sama kaget, cemas tapi kemudian tertawa bahagia.
“Tu kan… coba kalau kita masih di bawah, biar
aku yang ambil.” Kata Dio biar cepat dan bisa segera meninggalkan tempat itu.
ia berlari dengan cekatan dan memungutnya. Ketika balik lagi dia mengeluarkan
pisau dan merapikan duri-duri tajam yang melindungi buah itu. ”Tunggu sebentar
ya..” tak lama kemudian kulit durian itu terlihat seperti sisik ikan, duri-durinya
sudah tumpul hingga telihat warna putih yang bulat-bulat. Yang di pegang Nif
pun ia tumpulkan, sementara yang ia pungut dia berikan pada Nane. Tapi di tolak
Nane dengan cara halus.
“Aku sudah sering makan
durian, buat Nif saja dua-duanya.”
Dio tersenyum. ”Siapa bilang
buat kamu, ini buat Tangguh.” Kata Dio tidak mau kalah.
“Dio benar Nan…”
tambah Nif. Ia masih menyimak Dio menumpulkan durian yang satunya. Nane melirik
Nif, ia masih tidak tahu apa yang melanda perasaannya saat ini terhadap gadis
itu. gadis itu sepertinya menyukai Dio dan Dio sudah terang-terangan mengatakan
kalau ia menyukai Nif, dan jatuh cinta kepada gadis itu. Nane merasa galau,
mengingat pengakuan Dio. Selama ini mereka memang tidak pernah merahasiakan apa
pun, baik masalah keluarga atau pun pribadi. Nane coba memastikan hatinya kalau
ia tidak sedang jatuh cinta.
‘Aku tidak mungkin merasakan
itu saat ini, sudah hampir dua tahun ini aku berada dalam posisi diam dan
mempertahannya sampai saat yang sudah di tentukan oleh Tuhan. Tuhan… jangan
rubah perasaan ini…’ guman Nane di dalam hatinya yang paling dalam.
Nane menghela napas berat. Ia
tidak tahu apa yang harus ia lakukan? Jika ada perubahan perasaannya terhadap
Dio itu di luar kuasanya. Sudah puluhan tahun mereka bersama bahkan masa kecil
pun sering mereka habiskan bersama. Mereka selalu sekolah di tempat yang sama,
Dio adalah kakak kelasnya. Orangtua mereka sudah begitu dekat. Kedua orang tua
Dio begitu baik pada orang tua Nane. Mereka saling sayang satu sama lainnya.
Mereka sudah melewati begitu banyak masa-masa indah. Andai tempat itu di ambil
alih oleh Nif, apa yang akan terjadi? Nane tidak sanggup membayangkannya
sedikit pun. Saat ini ia merasa ada rasa sakit yang melanda di hatinya. Entah
kapan rasa itu menyapanya? Nane tidak menyukai kondisinya saat ini, juga dengan
kondisi Dio sendiri. Dua tahun ini ia memendam perasaannya dan membiarkan semua
berjalan apa adanya.
Nane menginginkan sesuatu,
sesuatu yang selama ini sudah ia genggam dan kini terasa seperti mau lepas.
Ah…! Apa itu…?
Lagi-lagi Nane menarik napas
berat. Tiba-tiba matanya melihat dua ekor babi hutan, yang satu besar dan
satunya lagi kecil. Pasti itu induk dan anaknya. Dua ekor babi itu sedang
melintasi sisi kiri mereka. Nane menatap kedua babi itu tanpa bermaksud membuat
babi itu merasa terancam sedikit pun..tapi usaha Nane sia-sia.. karena suara
teriakan Nif membuat babi itu takut dan seperti ingin menantang mereka. Nif
langsung memeluk tubuh Dio dengan rasa takut yang luar biasa. Dia pernah melihat
babi di kebun binatang, tapi ini adalah hutan yang binatangnya tidak berada di
dalam kandang. Sejenak kedua babi itu menatap mereka lalu berlari menjauh.
Nane merasa lega karena kedua
babi itu tidak membuat masalah. Sementara Nif masih memeluk Dio. Wajahnya pucat
pasi. Nane tidak tega melihatnya, tapi di sisi lain ada rasa tidak rela Nif di
peluk sama Dio.
“Babinya sudah tidak
terlihat.” Kata Dio berusaha menenangkan Nif. Nif melepaskan pelukannya dan ia
merasa malu pada diri sendiri. Ia menoleh pada Nane lalu memegang tangan gadis
itu, ia malu pada Nane karena tanpa sadar memeluk kekasihnya. Nane merasakan
tangan Nif berkeringat dingin dan masih gemetar. Nane menggenggamnya erat,
seperti memahami ketakutan gadis itu.
“Apa kita masih harus pulang
malam?” tanyanya kepada Nane.
“Kamu itu kayak tidak pernah
melihat babi saja.” ia melepaskan tangan Nif. ”Memangnya di Jakarta tidak
pernah ke kebun binatang?” ujar Nane dengan nada seakan cuek. Padahal ia sempat
khawatir, bagaimana pun juga kebun binatang tidak akan sama. Hewan yang ada di
alam liar akan lebih berbahaya dari yang di pelihara, karena setiap hari selalu
bertemu dengan manusia dan di beri makan. Sementara yang ada di hutan, akan
lebih agresif.. dan besifat membela diri dari bahaya apa pun dan tak jarang
akan menyerang manusia jika ia merasa terancam.
Nif menoleh kepada Dio. Pria
itu tahu apa yang ada di pikiran Nif. Ia mengambil kedua buah durian yang sudah
ia rapikan tadi dan mengajak kedua gadis itu beranjak dari tempat itu.
“Sebaiknya kita ke pondok
sekarang.” Ajaknya. Nif menurut dan ia agak sedikit tersinggung dengan
kata-kata Nane. Tentu saja ia pernah melihat babi dan ke kebun binatang. Tapi
saat melihat babi yang barusan ia seakan melihat babi lepas dari kandang dan
mencoba mendekatinya atau menyerangnya, bahkan siap membunuhnya kapan saja.
Nane tentu saja tidak mengerti apa yang aku rasakan. Pikir Nif.
“Memangnya babi-babi itu
tidak pernah di buru atau di bunuh? Mereka kan merusak tananam?”
“Pernah sih, orang di kampung
ini juga bahkan punya jadwal berburu.” Jelas Dio.
“Oh begitu ya? Tapi kok masih
banyak aja…?” kata Nif seperti menyesali kenapa mesti ada babi di tempat itu.
Nane tidak berkomentar apa pun lagi, ia hanya mendengar obrolan Nif dan Dio
saat menuju pondok. Ia masih tidak bisa melupakan tangan Nif yang gemetar dan
berkeringat tadi, itu menandakan kalau dia benar-benar ketakutan.
Dio menjadi berpikir ulang
untuk pulang malam, ia tidak bisa melupakan wajah pucat dan pelukan ketakutan
dari Nif. Dia tidak akan membuat Nif merasa ketakutan di sepanjang jalan, meski
pun pulang malam dari kebun itu punya keasyikan sendiri.
Nif sudah naik ke pondok,
Nane mencuci kakinya di pancuran kecil dan Dio menghampirinya. ”Nan.. sebentar lagi kita pulang ya…? Nanti kita ambil
kelapa muda di sawah.” Kata Dio seperti meminta pengertian dari Nane. Minum
kelapa muda sebenarnya asyik dan Nane memang suka apalagi langsung dari
pohonnya, tapi Nane tahu kalau itu sekedar alasan Dio untuk pulang lebih cepat.
Ia menatap pria itu, entah maklum dengan rasa takut Nif atau ada rasa tidak
rela karena Dio mengutamakan kepentingan gadis itu. Hingga senyum Nane terlihat
agak di paksakan.
“Terserah kamu saja..”
“Hei kok ngomongnya seperti
itu? aku mau mendengar dari mulut kamu, mau apa nggak?” nada suara Dio pelan
belum berubah dari biasanya. Nane tidak memberi jawaban lain selain senyuman. Membuat
Dio menarik tangannya. ”Bagaimana…?”
Dari atas pondok Nif bisa
melihat sikap Nane dan Dio meski tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka
bicarakan. ’Semoga mereka tidak bertengkar’ Nif takut kedua pasangan itu
bertengkar gara-gara sikapnya tadi. Ia merasa sangat malu dengan kejadian tadi,
memeluk Dio di depan Nane bukanlah hal yang ingin dia lakukan. Itu tidak akan
terulang lagi, itu semua karena babi berengsek itu. keluh Nif.
Mereka menuruni gunung
menjelang sore. Nane tidak akan mengecewakan Nif dan Dio. Bagaimana pun juga
dia tahu kalau Nif tidak setegar yang ia kira. Nif tetaplah gadis kota yang mencoba
terlihat berani di depannya. Sekuat apa pun keinginan Nif tetap tidak akan
lepas dari mata Nane. Nif tidak bisa menyembunyikan kegugupannya di mata Nane.
Setelah menginjak persawahan
mereka berjalan lebih santai karena babi hutan tidak akan turun ke sawah kalau
masih sore, jika sudah malam suka juga turun tapi hanya di lereng-lereng gunung
saja. Dio mengajak Nane dan Nif untuk mampir di pondoknya yang di sawah. Pondok
itu jauh lebih rendah dari yang di kebun tadi.
“Tadi kita tidak lewat
jalanan yang ini, kan?”
tanya Nif.
“Ya, karena jalan cepat
menuju kebun kita memang harus naik mobil dulu, ini kita pulangnya agak muter
sedikit. Kita ke pondok itu dulu, ada sebuah keluarga yang tinggal di sana.”
“Mereka menginap?” tanya Nif.
Kali ini Nane berjalan di belakang mereka, ia mengamati Nif dari belakang tanpa
mau ikut komentar pertanyaan Nif sedikit pun. Ia membayangkan bagaimana kehidupan Nif di
Jakarta. Entah kenapa tidak ada minatnya untuk menginjakkan kakinya di kota asal Nif itu. ia
melihat cara jalan Nif, langkahnya yang pelan namun ia merasa tidak terganggu
dan tidak ingin buru-buru sampai. Rambut Nif yang panjang agak tipis itu
melambai di tiup angin, meski ada topi kecil di atas kepalanya. Nane menghela
napas panjang… tidak tahu apa jadinya kalau Nif benar-benar jadian dengan Dio.
Nane tidak membenci Nif, tidak sedikit pun. Tapi ada rasa yang tidak ia rela
seandainya Dio berubah sikap dengannya. Dan satu lagi………!!!?
“Ya, anak mereka masih kelas lima SD dan berangkat
sekolah dari sini, dari pondok ini sampai di rumah kira-kira lima belas menit.” Kata Dio dan mereka sudah
tiba di pondok itu.
Seorang ibu muda menyambut
kedatangan Dio, Nif dan Nane. Nane tersenyum dengan wanita yang sudah sangat
akrab dengannya itu lalu menoleh ke tengah kolam besar di mana ada anak usia belasan
bersama Ayahnya. itu suami wanita ramah yang ada di hadapan mereka dan anak itu
adalah anak mereka. Itu pemandangan biasa bagi Nane. Mereka terlihat sedang bermain
di atas rakit bambu sembari membersihkan lumut liar yang ada di dalam kolam
ikan itu.
Dio meletakkan tas gendongnya
lalu mengatakan niatnya untuk mengambil kelapa muda pada ibu muda yang sudah
puluhan tahun menjadi pendamping suaminya menggarap sawah milik Ayah Dio.
“Itu yang pas untuk di
ambil.” Ia menunjuk ke pohon yang ada di depan pondok. ”Kakak masih punya gula
merah tapi es batunya tidak ada..” tambah wanita itu menyebut dirinya kakak
kepada Dio.
bersambung...........,
b
Tidak ada komentar:
Posting Komentar