Kamis, 22 Desember 2011

Rejang girl


                                                               *REJANG GIRL*

 
    Rejang Lebong adalah salah satu kabupaten di propinsi Bengkulu. Terletak di pegunungan Bukit Besar. Penduduk asli terdiri dari suku Rejang dan suku Lembak. Suku Rejang mendiami kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi.
        Kabupaten Rejang Lebong memiliki 15 buah kecamatan yang masih dalam pengembangan. Sebelah utara berbatas dengan Kota Lubuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas, sebelah Selatan dengan kabupaten Kepahiang, sebelah timur berbatas dengan kabupaten Lebong dan propinsi Jambi, sedangkan sebelah barat berbatas dengan kabupaten Lahat.      
       Ibukota kabupaten ini di Curup. Terletak 85 km dari kota Bengkulu. Mata pencarian penduduk adalah bertani, dagang, PNS dan lain-lain. Perkebunan rakyat adalah perkebunan kopi, karet. Sedangkan palawija banyak ditanam di lereng gunung Kaba. Sebagian lagi merupakan petani pembuat aren/gula merah.

     
SINOPSIS :       
      Nane, Dio dan Anifatul Hasannah adalah tiga anak remaja yang bergelut dengan perasaan mereka. Dio dan Nane berteman sejak dari kanak-kanak, sementara Anifatul adalah gadis yang datang dari luar kota.. yang kemudian masuk ke dalam kehidupan Nane dan Dio.
      Nane gadis yang baik hati, tulus dan sangat menyayangi Dio. Dia pelajar SMA kelas tiga dan Dio duduk di bangku kuliah semester empat. Mereka hidup di perkampungan yang jauh dari Ibu kota, mungkin hampir enam ratus ribu mil jaraknya. Dio anak tunggal dan hidup hampir serba berkecukupan di kampungnya. Dia pemuda yang baik, cakep dan berkulit coklat, penyayang dan peduli pada lingkungan. Tidak punya pacar tapi kemana-mana di temani oleh Nane.
      Nane tidak pernah menyembunyikan rahasia apa pun kepada Dio, apalagi tentang keluarganya. Pokoknya kedua sahabat itu saling mengenali satu sama lainnya. Nane mempunyai rambut panjang, cantik alami dan tidak sombong dan bisa melakukan pekerjaan apa saja. ia memiliki seorang adik laki-laki berusia 12 tahun. Kedua orangtuanya menghabiskan hari-harinya di sawah dan di kebun. Tak jarang Nane membantu orangtuanya dan sering juga berkunjung ke rumah Dio, orangtua Dio memiliki usaha perkembunan karet yang luas, sawah dan mempunyai toko di rumahnya untuk membeli hasil panen para petani karet dan yang lainnya, lalu di jual ke luar kota, sebagai anak yang memiliki uang yang lebih, Dio tidak pernah membiarkan dirinya hanya menghabiskan uang orangtuanya, bagaimana pun sebagai anak yang baik, dia tahu bagaimana cara membantu kedua orangtuanya. Bahkan ia rela terjun untuk membantu usaha mereka.
      Anifatul, gadis yang tegar. Ia memiliki kulit yang putih, rambut panjang, berperawakan lembut dan sangat menyayangi ibunya. Bersama Ibunya ia pindah dari Jakarta ke perkampungan Nane, Rejang Lebong. Itu nama daerah Nane. Ibunya adalah seorang perawat senior dan menempati rumah kosong yang pernah di tempati seorang perawat yang sudah pindah mengikuti suaminya. Anifatul tinggal berdua dengan ibunya, mereka meninggalkan Jakarta setelah Ayah Anifatul Hasannah meninggal. Anifatul tidak bisa melupakan kematian Ayahnya, yang ia kira karena di bunuh oleh orang.
      Kehadiran Anifatul di kampung itu, secara tidak langsung merubah kehidupan Nane dan Dio, karena dia hadir di tengah-tengah kedua sahabat itu. Dio jatuh cinta dengan Anifatul, dan Anifatul menawarkan persahabatan dengan Nane. Dio sering mengajak Anifatul jalan-jalan, ke kebun, sawah dan juga mengajaknya main ke rumah.
      Anifatul yang tadinya jatuh cinta dengan Dio mencoba menepis perasaannya karena mengira Nane dan Dio adalah pasangan kekasih. Tapi setelah Dio mengutarakan perasaanya kepada Anifatul, memaksa gadis itu berpikir, apa iya, Dio dan Nane tidak pacaran? Karena mereka terlihat serasi dan selalu bersama.
      Setelah menyadari situasi, Nane menjadi pendiam dan sangat hati-hati. Dan entah kenapa ia merasa mulai memiliki perasaa dan keinginan yang begitu kuat untuk memiliki seseorang. Dan ia di landa kebingungan yang amat sangat luar biasa. Entah ia merasa mulai jatuh cinta dengan Dio? ataukah ia menyayangi Anifatul.
      Nane tahu kalau Dio dan Anifatul saling mencintai, Nane tidak mungkin menyingkirkan Anifatul dan tidak bisa melihat Dio bersama Anifatul. Dio juga tidak ingin Nane berubah, bagaimana pun ia sangat menyayangi wanita itu. Anifatul mulai memahami apa yang di alami oleh Nane, itu yang membuatnya bingung… karena ia merasa kalau Nane juga menyukainya sebagai orang yang lebih dari sahabat.
      Gejolak demi gejolak berbenturan, Dio tidak tahu bagaimana perasaannya kepada Nane, begitupun Nane. Anifatul juga tidak tahu perasaan apa yang di rasakan Nane dengannya? Ada hal yang ingin ia ketahui dari Nane, apakah Nane bisa menyembunyikan perasaan itu...??
      Hanya Nane yang tahu, bagaimana perasaannya kepada Dio dan juga terhadap Anifatul Hasannah. Cinta, menjaga lingkungan hidup dari para pembalak hutan dan sebuah rahasia yang hanya di ketahui oleh orang-orang tertentu, yang apabila terkuak akan sangat mempengaruhi hubungan ketiga anak manusia itu....
                                                          ooooooooooooooooooo


REJANG LEBONG.
      Di sebuah kampung yang begitu indah, nyaman, sejuk serta hijau dan bisa di pastikan jauh dari polusi udara apalagi pemanasan global. Kendaraan yang hilir mudik sepertinya tidak kenal dengan yang namanya macet. Kendaraan memang tidak bisa di bilang sepi, apalagi kendaraan roda dua, sepertinya sudah menjamur di kampung itu, dan di tambah lagi jalanannya yang mulus serta terawat dengan rapih.
      Sebuah gunung besar terlihat berdiri kokoh di belakang perkampungan, seperti layaknya tembok hijau raksasa yang memagari bagian belakang kampung.. hingga terlihat seperti pemandangan indah yang menakjubkan. Kampung Nane sudah menjadi kelurahan yang terdiri tiga kecamatan.. yang sudah menjadi sebuah Kabupaten, terdiri dari beberapa kelurahan. Penghasilan para penduduk terdiri dari hasil pertanian, dan perkebunan. Ada beberapa orang yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Di kabupaten Lebong itu sudah banyak sekali sekolah SMA Negeri salah satunya yang tertua, yaitu sekolah tempat Nane di Muara Aman. Yang berada di lingkugan pasar.
      Siang itu, Nane sedang duduk di teras rumahnya yang sederhana. Rumah itu tepat di pinggir jalan yang tidak begitu jauh dari persimpangan jalan. Ia menanti kedatangan Dio sejak lima belas menit yang lalu. Kata orang pekerjaan menunggu itu adalah paling membosankan, tapi tidak berlaku buat Nane. Dio sudah meneleponnya dan mengatakan akan muncul sepuluh menit lagi, meski sudah lewat, ia tidak akan menelepon balik untuk memastikannnya. Nane asyik menikmati lagu Mp3 di ponselnya, sebuah lagu Astrid dengan judul ‘Tentang Rasa’ lalu menyusul lagu Ungu yang bertajuk ‘Percaya padaku’ Nane sangat menikmati lagu-lagu dari negeri sendiri khususnya ‘Kotak’, meski hampir semua remaja Indonesia sedang menggila dengan boy band atau girl band juga demam bola TIMNAS, namun bagi Nane, yang berada jauh dari Glora Bung  Karno hanya cukup mendoakan saja semoga Indonesia berjaya di mata dunia dan bisa menjadi kebanggaan semua rakyatnya. Meski kenyataannya Timnas kalah juga di final melawan Malaysia. Masih betah berada di Runer-up
      Beberapa menit berikutnya sebuah mini bus berhenti di depan rumah Nane, tetapnya satu rumah di sebelah rumah yang posisinya pas di depan rumahnya. Rumah itu kosong karena baru di tinggal penghuninya kira-kira sebulan yang lalu. Dengan berhentinya mini bus itu tidak membuat Nane sedikit pun beranjak dari tempat duduknya, ia masih bersandar di kursi kayu yang di terasnya dengan headset masih menempel di telinganya. Satu dua orang lewat, dan mobil angkutan umum yang memang terlihat lewat sekitar lima menit sekali.
      Seorang wanita empat puluhan terlihat keluar dari mini bus, di ikuti seorang gadis sepantaran Nane kemudian menyusul dua buah koper yang lumayan besar di keluarkan oleh sang kondektur. Dua wanita itu seperti anak dan ibunya. Berikutnya mini bus itu berlalu dan meninggalkan dua wanita yang sangat asing di mata Nane. Kedua wanita itu sedang terlibat perbincangan serius lalu mengangkat koper mereka ke atas rumah kosong itu. bisa Nane pastikan kalau kedua wanita itu tidak sedang menunggu mobil, sebab tidak mungkin orang menunggu mobil tapi meletakkan kopernya di teras rumah orang, meski pun kosong. Rumah Nane ada di sebelah timur, dan pasar Muara Aman terletak di barat yang kira-kira berjarak 4 kilo meter dari rumah Nane, satu lagi, ada dusun yang paling ujung namanya Semelako juga berjarak 4 kilo meter dari rumah Nane, posisinya ada di utara rumah Nane.
      Nane masih mengamati kedua wanita itu, si ibu terlihat melirik ke kiri dan ke kanan dan si gadis yang berambut panjang itu tanpa sengaja beratatapan dengan Nane, tanpa sadar Nane menciptakan sebuah senyuman dan itu spontan. Di balas gadis itu di sertai dengan anggukan kecil, tampangnya ‘Laura Basuki’ sekali. Si ibu lalu meninggalkan anaknya bersama kedua koper mereka. Gadis itu melirik dua buah kursi yang ada di teras itu lalu menarik satunya untuk ia duduk. Ia melirik ke Nane lagi saat Nane sedang menatap jam tangannya.
      Dua puluh menit sudah berlalu dan belum pernah Dio terlambat separah itu, ‘Ke mana tu anak?’ Tanpa di liputi rasa kesal, Nane beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumahnya, beberapa saat kemudian ia keluar lagi dan gadis yang di depan itu masih duduk menemani kopernya sambil memainkan ponsel di tangannya. Dia terlihat lelah tapi tidak ingin menampakannya.
      Nane memutuskan untuk menyapa gadis itu dengan menghampirinya. Ia menyeberang jalan. Melihat gelagat Nane, gadis itu berdiri seakan menghargai niat baik Nane.
      “Hai…?” katanya menyapa duluan. Gadis itu terlihat feminin sekali.
      “Hai….” Balas Nane. ”Mm…..?”
      “Saya… Anifatul Hasannah.” Ia menatap gadis yang mirip Lucy Lawless waktu masih muda itu.
      O ooo… sepertinya dia bukan orang satu kampung dengan Nane. Nane harus menggunakan bahasa nasional dengan gadis itu. ”O, saya Nane, Nane Doyosi.” Mereka saling mengulurkan tangan dan berjabat erat. ”Aku belum pernah melihat kamu sebelumnya dan wanita yang tadi……?”
      “Wanita yang tadi itu ibu saya, dia sedang ke Puskesmas untuk bertemu dengan kepala Puskesmas. Kami akan menempati rumah ini.”
      “Ibu kamu perawat ya?”
      “Kok tahu?”
      “Nebak aja, ini rumahkan pernah di tempati oleh seorang perawat.” Jelas Nane. Anifatul tersenyum dan mempersilahkan Nane duduk di kursi yang satunya. Nane menurut, ia duduk dan menatap Anifatul. Gadis itu juga melakukan hal yang sama. ”Kamu masih sekolah?”
      “Ya, kelas tiga. Aku harap juga kamu masih sekolah seperti aku, agar kita bisa satu sekolah.”
      “Maksud kamu, kamu pindah sekolah?”
      “Aku hanya memiliki ibu, dia pindah tugas dan otomatis aku harus menemaninya.”
      “O.” Nane manggut-manggut kecil.
      “Pindahan dari Jakarta, lumayan jauh. Satu jam perjalanan udara dan hampir tiga jam perjalanan darat.” Tutur Anifatul seakan ingin menceritakan perjalanan panjangnya nyaris seharian ini. Dan Nane sangat paham sekali, untung sekarang jalanan sudah sangat bagus. Biasanya perjalanan dari Bandara Fatmawati Soekarno menuju kampungnya membutuhkan waktu empat jam. Dan Nane tidak tahu berapa jam perjalanan dari rumah Anifatul menuju Bandara SOETTA.
      Sebuah motor besar berhenti di depan rumah Nane. Nane melirik arlojinya, ‘Dua puluh lima menit’ gumannya. Anifatul melirik Nane. Lalu menoleh pada sosok yang sedang membuka helm itu. ternyata seorang pria jangkung, menawan dan mirip Vino G. Bastian. Kulitnya coklat dan rambutnya lurus, hidung mancung dan berbodi atletis.
      “Kamu kayaknya kedatangan tamu, tuh.” Ujar Anifatul. Mereka melihat pria itu turun dari motornya. Sebelum ia naik ke rumah Nane, Nane memanggilnya dengan tepukan tangannya. Pria itu menoleh. Wajah plamboyannya langsung tertangkap oleh Anifatul, sesaat pria itu dan Anifatul saling tatap. Nane melambaikan tangannya agar pria itu datang ke tempat mereka.
      Dengan langkah mantap ia menuju ke tempat Nane dan wanita asing itu sedang duduk. Anifatul mengamati pria itu dari sepatu hingga ujung rambutnya. Mendekati sempurna. Pria itu tersenyum dengan raut penuh penyesalan kepada Nane.
      “Sorry ya Nan… aku sangat terlambat.” Katanya dalam bahasa Rejang asli. Anifatul tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan.
      “Dua puluh lima menit, empat puluh tujuh detik.” Kata Nane setelah melirik jam tangannya. ”Lupakan…” ia pun membalas dengan bahas ibu pertiwinya lalu menatap pria itu, dan pria itu sudah melirik Anifatul yang mengangguk ramah. ”Kamu pasti punya alasan yang sangat kuat, kan? Kita pake bahasa Indonesia, sebab yang ada di depan kamu sekarang ini adalah Anifatul Hasannah, pindahan dari Jakarta. Dan kita akan pergi setelah ibunya kembali.” Ia tidak ingin gadis itu tersinggung dengan bahasa mereka. Nane menoleh pada Anifatul. Anifatul melirik Nane kemudian pada pria itu. ”Anif… ini Dio, kenalkan…”
      Pria yang bernama Dio itu mengulurkan tangannya di sambut erat oleh Anifatul sambil berdiri.
      “Anifatul Hasannah, boleh di panggil dengan Nif.”
      “O, baru pindah ya?”
      “Ya, begitulah…” ujarnya mencoba bersikap wajar. Di hati kecilnya mengatakan kalau pria yang ada di hadapannya itu benar-benar menawan, beralis tebal dan berwajah oval.
      “Ibunya sedang menemui kepala Puskesmas untuk mengambil kunci rumah.” Jelas Nane kemudian.
      “Jika kalian ingin pergi, tidak usah menunggu ibuku. aku tidak apa-apa kok sendiri di sini.” Ia tidak enak hati pada dua pasangan sejoli itu. apalagi ia tahu kalau Nane sudah lama menunggu pacarnya itu.
      “Nggak apa-apa kok, kita tungguin.” Kilah Dio sambil duduk di kayu teras. ”Di Jakarta di mananya?” Dio mulai bertanya.
      “Jakarta Selatan.” Jawab Nif dengan tenang.
      “O,…” nada suara Dio mengandung arti lain. Bisa ia bayangkan jika remaja kota akan tinggal di kampung seperti Anifatul itu. dia tersenyum.
      “Kamu kenapa senyum-senyum seperti itu?”  Nane merasa aneh dengan senyum Dio itu, dan ia hafal betul dengan bahasa tubuh Dio. Bagaimana ia mengagumi sesuatu dan menyepelekannya. Dan Nif juga merasakan kalau Dio sedang menertawakannya.
      “Ya, sedang ngebayangin kehidupan remaja-remaja Metropolitan aja…” ujar Dio santai.
      “Begitu ya?” Nif merasa sedikit tersinggung. Ia tidak menyangka kalau pria kampung seperti Dio bisa menertawakannya, jarang orang melakukan itu. kebanyakan pria mengaguminya dan bahkan berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayangnya. Bagaimana pun juga Nif adalah sosok seorang gadis yang banyak di idamkan pria. Dia memiliki semua yang pria harapkan, kulit putih, langsing, rambut panjang, hidung mancung juga ramah. Tapi dia tidak tahu kalau Dio mendambakan seorang wanita yang berotak cemerlang, baik dan pemberani, satu lagi… yaitu tulus.
      “Jangan salah paham gitu dong Nif…, yang ada di otakku adalah gadis-gadis manja yang sering berkeliaran di mall untuk menghabiskan uang orang tuanya. Syukur-syukur orangtuanya tidak memakai uang rakyat…” kata Dio enteng.
      “Kebanyakan nonton televisi sih…” celetuk Nane, agar Nif tidak terlalu tersinggung.
      “Hei..! mana ada laki-laki seperti aku, betah duduk di depan TV?” ia menatap Nane.
      “Itu ibuku sudah kembali.” Tukas Nif setelah melihat ibunya berjalan ke arah mereka. Mereka menunggu wanita itu naik ke teras. Lalu beramah-tamah sejenak, kenalan dan Dio membantu Nif dan ibunya membawa koper ke dalam. Rumah itu ternyata sudah di bersihkan oleh petugas Puskesmas dua hari sebelum Nif dan ibunya datang. Sebelum pergi, Dio berpesan kepada kedua wanita itu, tidak boleh sungkan-sungkan minta bantuan jika mengalami kesulitan apa pun. Nif merasa sangat senang mendengar kata-kata Dio itu, sebagai gadis yang baru menjajaki kakinya di daerah asing, dia sangat membutuhkan kata-kata seperti itu, apalagi Dio mengatakannya langsung.
    
      Di atas motor, Dio bertanya kepada Nane. ”Kamu nggak mau tahu kenapa aku terlambat?”
      “Memangnya mau kasih tau? Kalau merasa perlu kenapa tunggu aku bertanya?” kalau berdua mereka tetap memakai bahasa daerah, Rejang.
      “Ya ya… aku libur kuliah selama dua bulan…”
      “Oh ya…?”
      “Kok, cuma oh ya…? Ini kabar baik, kita bisa menginap di kebun dan menunggu durian runtuh seperti tahun-tahun sebelumnya…”
      “Terus… apa hubungannya dengan datang terlambat?” kata Nane tanpa bermaksud untuk protes. Ia hanya ingin tahu kenapa Dio bisa ngaret separah itu.
      “Sebelum datang ke rumah kamu, aku menunggu kedatangan pak Amir untuk membawakan barang-barang yang kita perlukan di pondok nanti.” Motor Dio berbelok ke arah pasar untuk mengantar Nane membeli buku. Beberapa saat saja, motor besar itu sudah berhenti di depan toko buku. Keduanya masuk ke dalam toko. Nane mengambil apa yang ia butuhkan. Buku IPA, Dio menggodanya.
      “Buat apa sih beli buku gituan? Nilai bagus juga percuma, kan kalau tidak mau meneruskan kuliah?”
      Nane menatap Dio sejenak. ”Kamu tau kan? Dan aku tidak perlu mengulanginya setiap hari? Dan tidak ada yang percuma di dalam hidup ini. Lagian aneh aja seandainya nanti adikku bertanya pada orang lain mengenai pelajaran yang tidak bisa ia jawab di PR-nya.”
      “Ya ya.. tapi kan aku masih punya banyak buku dan aku rasa kurikulum dua tahun yang lalu tidak akan jauh berbeda dengan yang sekarang.. dan kita bisa memesan buku lewat internet yang lebih komplit dan bermutu hmm…?” kata Dio sambil bermaksud membayar buku Nane dan langsung di tepis oleh Nane. Dio mengalah asalkan Nane mau di ajak makan. Nane hanya memilih makan es campur.
      Di warung sederhana terlihat Dio sangat menikmati es campurnya, buah yang segar di campur dengan susu. Lalu menatap Nane, gadis itu memang memilih tidak melanjutkan sekolah dengan alasan orangtuanya tidak mampu membiayai kuliahnya dan ia memilih adiknya yang akan sekolah tinggi. Dio  memang tidak bisa memaksa kehendak Nane itu.. meski ia sangat menyayangkannya. Karena baginya pribadi, pendidikan di zaman sekarang tidak pandang pria atau wanita, semuanya berhak menimba ilmu.
      “Nan… besok setelah kamu pulang dari sekolah kita langsung ke kebun ya? Aku sudah tidak sabar mendengar suara buah durian jatuh dari pohonnya yang menimbulkan suara ‘bug’ di tanah.”
      “Mana bisa seperti itu, setelah pulang aku kan harus membereskan rumah dulu.. lalu masak untuk makan sore bagi keluargaku. Kalau tidak masak, nanti pulang dari sawah orangtuaku makan apa? Dan adikku pasti akan berteriak kelaparan…” ia menatap Dio.
      “Alasan kamu selalu saja seperti itu. eh… ngomong-ngomong si Nif itu cakep juga ya? Dan namanya unik.”
      Nane tersenyum mendengar pujian tulus dari Dio untuk Nif. Memang tidak bisa di pungkiri, Nif memang berbeda. Tidak sedikit gadis cantik di kampung mereka tapi Nif adalah produk luar kota yang sedikit banyaknya akan membawa keistimewaan sendiri. Dan Nane sendiri tidak bisa di samakan dengan Nif. Nane gadis manis yang sering membiarkan kulitnya bersahabat dengan matahari. Nane memiliki gigi yang bagus, tubuh langsing yang agak sedikit berotot, tinggi semampai rada pendiam dan mempunyai senyum yang sangat menawan.
      “Kamu suka ya, sama dia…?”
      “Sepertinya dia adalah perempuan yang aku impikan selama ini.” Ia tersenyum serius pada gadis itu. ”Kira-kira dia mau tidak ya, kalau aku tembak untuk menjadi pacarku? Semoga saja dia tidak punya pacar di Jakarta atau setidaknya sudah putus.”
      Lagi-lagi Nane tersenyum. Tidak ada gadis yang menolak Dio untuk menjadi pacarnya. Dio itu memiliki postur tubuh yang tidak kalah kerennya dengan pria-pria kota, bahkan seorang model sekali pun. Dio malahan terlihat lebih macho, kuat dan hanyak kelebihan positif yang ia miliki.
      ‘Hei Nan…. Kamu ini kenapa? Kenapa baru sekarang kelebihan-kelebihan pada diri Dio menyeruak di kepala kamu?’ Nane berguman sendiri. ’Sial!!’ ia memaki dirinya.
      “Apa si Nif itu tipe cewek terakhir kamu…??”
      “Maksud kamu?” Dio mengeryitkan keningnya.
      “Aku sudah mendengar puluhan cewek yang kamu sukai dan selalu berakhir dengan kata-kata ‘Dia ternyata bukan tipeku..’ apakah itu juga akan terjadi dengan Nif?”
      “Jangan ngomong gitu dong Nan, setidaknya aku kan sudah bicara jujur sama kamu…, kamu sendiri tidak pernah bicara tentang perasaan kamu dengan aku. Aku tidak pernah tahu siapa pria yang kamu sukai, apakah cowok itu ada di sekolah kamu? Atau jangan-jangan kamu jatuh cinta dengan salah satu guru di sekolahmu…!? Kamu pikir aku tidak tahu kalau ada guru keren di sana? Aku juga pernah sekolah di tempat kamu, ingat itu.” Kata Dio seolah memarahi gadis itu.
      “Andai itu terjadi,…” Nane tertawa dan kali ini Dio tidak bisa mengartikan arti dari tawa itu. ”..dan aku tidak akan memberitahukannya ke kamu.” Tambah Nane dengan pasti membuat Dio rada sebal juga.
      “Jadi itu arti persahabatan kita selama ini?” Dio mulai terlihat serius. ”Sampai detik ini aku tidak pernah tahu tentang perasaan kamu yang sebenarnya. Siapa yang kamu sukai dan siapa yang kamu benci? Dan pada siapa kamu pernah jatuh cinta? Usia kamu itu sudah tujuh belas tahun, mustahil kamu tidak pernah merasa menyukai pria di kampung ini. Apa iya kamu belum pernah jatuh cinta?”
      Nane menghirup es campurnya lalu menatap Dio. ”Apa iya seorang gadis yang menginjak usia tujuh belas tahun, bahwa hal terpenting dalam hidupnya adalah cinta!?? Apa ada peraturan seperti itu? aku rasa tidak!”
      Dio tertawa. ”Nane—Nane… andai saja kamu pacarku sudah aku cium kamu.” Kata Dio tidak main-main. Nane ikut tersenyum mendengar kata-kata konyol Dio. Mata Nane tertuju pada tumpukan kayu besar yang masih basah, yang di susun rapih di seberang jalan. Sepertinya siap akan di jual.
      “Di… liat deh di seberang jalan itu.” ujar Nane. Mata Dio menoleh ke sana. Di sana terlihat batang-batang pohon yang di potong kira-kira berukuran satu meter dengan masih berbentuk bulat sebesar paha orang desawa. Di susun sekitar satu kubik. ”Kebayang nggak sih, jika setiap hari ada sebanyak itu pohon di tebang gimana jadinya kampung kita ini? Lama-lama gunung kesayangan kita akan botak.”
      “Kamu benar Nan… tapi apa yang harus kita lakukan?”
      “Kita lihat saja nanti. Kita pulang yok.” Ajak Nane. Dio mengiyakan.
     
      Pagi-pagi sekali, Nif sudah tiba di SMA  Negeri 1 Muara Aman. Dia pikir seperti di Jakarta akan kena macet, dan tidak menyesuaikan selisih waktu yang ada di Jakarta dan Bengkulu, apalagi di Rejang Lebong tempat Nane, selisih waktunya lebih lambat hampir setengah jam dari Jakarta.
      Untung saja sudah ada orang yang datang, ia datang ke ruang guru untuk melapor kepindahannya. Tapi yang ada hanya tukang sapu ruangan. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari kantin, meski pun ia sudah sarapan namun ia ingin melihat suasan kantin di sekolah itu. ibu kantin mengamatinya sejenak.
      “Ibu baru lihat kamu, apa kamu anak pindahan…?” katanya dengan bahasa daerah.
      “Maaf bu…?” tanya Nif tidak mengerti.
      Yakin sudah dia, kalau gadis semampai itu anak baru, bukan anak kelas satu yang baru masuk, apalagi ini sudah pertengahan semester. ”O…pantesan datangnya pagi sekali.” Ia mulai menggunakan bahasa Nasional. ”Pindahan dari mana? Mm… silahkan duduk.”
      “Terima kasih bu.” Nif mengamati wanita yang kira-kira tidak jauh lebih tua dari ibunya. Ia duduk di bangku panjang dan ibu kantin langsung menyuguhkannya segelas teh manis yang hangat.
      “Gratis untuk hari pertama kamu.” Ujarnya ramah.
      “Tidak usah bu, saya sudah sarapan kok.” Nif merasa tidak enak.
      “Tidak apa-apa, minum saja.” katanya tulus membuat Nif tidak tega untuk menolak. Si ibu sudah kembali merapikan dagangannya.
      “Terima kasih ya bu.” Kata Nif kemudian. Ia menyimak apa saja yang tersedia di kantin itu. ada bakso, nasi goreng, beberapa gorengan dan berbagai minuman ringan. Ruang kantin yang tidak jauh dari ruang guru itu sangat luas. ”Ibu sendirian…?” tanya Nif mencoba berbincang.
      “Tidak, sebentar lagi ada yang datang membantu ibu, kalau sendiri bisa kualahan, apalagi kalau anak-anak sudah jamnya keluar istirahat.
      “Mm…” Nif paham sekali. ”Ini SMA negeri 1, apa ibu kenal dengan perempuan yang namanya Nane?” ia berharap sekali kalau Nane sekolah di tempat barunya itu.
      “Nane, si jangkung itu? waktu kelas dua, dia ketua OSIS di sekolah ini, anaknya jarang ngomong tapi baik dan pintar. Dan satu lagi…” wanita itu berhenti sebentar merapikan perabotan kantinnya untuk menatap Nif. ”Anak sulung ibu, tergila-gila sama dia.” Ibu kantin tertawa seakan menertawai anaknya sendiri, tapi tidak terlihat sedikit pun ia membenci Nane, yang ada hanya rasa kagumnya pada gadis itu. ”Meski pun sudah kuliah dan tinggal di tempat kost, anak ibu masih sering menanyakan Nane. Tapi dengar-dengar, guru olah raga di sekolah ini mau menjadi pacaranya Nane, entah itu benar atau tidak ibu tidak tahu pasti. Tapi kata anak-anak, Nanenya tidak mau.” Katanya sedikit senang. ”Mm.. ngomong-ngomong nama kamu siapa dan pindahan dari mana?”
      “Nama saya Anifatul Hasannah dan pindahan dari Jakarta…” ia ragu-ragu mengatakan kata Jakarta itu. malu kalau-kalau wanita itu akan menertawainya. Tapi wanita itu tidak menertawainya sama sekali, ia bahkan tidak peduli seperti apa Jakarta itu. Nif merasa bersyukur dan ia berpikir, tentu saja Nane menolak pria mana pun karena Dio adalah pria yang paling keren yang pernah ia lihat. Nif membatin. Hingga detik ini ia masih ingat dengan sangat jelas bentuk garis-garis wajah Dio. Dio pemuda yang lain dari pada yang lain. Kulitnya memang terlihat coklat, tapi dari penampilannya ia sama sekali tidak terlihat dari kalangan orang susah. Ia punya wibawa, berkelas dan tidak gampang mengagumi sesuatu. Entah kenapa Nif merasa tertantang. ”Bu… sepertinya sudah ada guru yang datang, saya harus pergi untuk bertemu dengan salah satu guru, terima kasih atas suguhan teh hangatnya.”
      “O, ya. Sama-sama.”
      Sepuluh menit berikutnya. Nif masuk ke dalam kelas, bersama seorang guru yang akan memberi pelajaran di kelas itu. Nane yang duduk di bangku tengah mengangkat kepalanya.
      ‘Ternyata dia anak IPA juga.’ Gumannya.
      “Selamat pagi, pak….” sapa anak-anak pada guru mereka.
      “Pagi……” balas guru perlente itu.
      Acara perkenalan singkat pun berlangsung, tidak ada yang istimewa. Hanya ada satu dua murid cowok yang terlihat norak, biasalah seperti cowok-cowok mana pun yang ada di muka bumi ini kalau melihat cewek langsung merespon. Nif di suruh duduk di bangku kosong.. sekilas ia dan Nane saling pandang. Nif tersenyum dan berusaha di balas oleh Nane sewajarnya.
      Pelajaran pertama di lewati Nif dengan agak berat, dalam arti masih kaku. Tidak ada suara-suara berisik yang terdengar, siswa terlihat tekun dan sepertinya sangat memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Nif jarang belajar dalam kondisi hening dan serius seperti itu, tapi ada juga hal yang bisa di selingi dengan candaan, dan guru masih terlihat ingin menjalin kedekatan dengan murid-muridnya. Adegan tanya jawab pelajaran pun berlangsung sangat teratur. Dan sepertinya Nif mulai menemukan kenyamanan di dalam kelas itu. apalagi jendela bagian atas terbuka semua dan angin alam masuk dengan sangat bebas.
      Pada saat jam istirahat tiba, sama saja dengan sekolah pada umumnya. Ada yang berusaha kenal lebih dekat dengan Nif, ada yang ke kantin dan tidak sedikit juga yang ke perpustakaan. Tidak ada yang bersikap berlebihan. Nane menghampiri Nif.
      “Selamat bergabung di sekolah ini… sudah selesai acara kenalannya?  Ikut ke kantin nggak?” ajak Nane dengan nada biasa, layaknya pada teman biasa pula.
      “Ya, tentu saja..” Nif tersenyum senang. ”Mm… Nan… bangku di sebelah kamu kan kosong, boleh nggak kalau aku nanti duduk di sana?” kata Nif. Ia tahu ada tiga bangku kosong di kelas mereka sementara yang terisi sekitar tiga puluhan.
      “Akan aku pertimbangkan…” ujar Nane lalu tersenyum sembari melirik sekilas ke arah Nif. ”Bercanda…. tentu saja boleh. Bangku itu milik semua murid yang ada di sekolah ini, dan siapa pun boleh menempatinya.” Mereka tersenyum lalu menuju kantin. Tempat yang sebenarnya tidak begitu di sukai oleh Nane. Kalau tidak begitu lapar ia lebih senang menghabiskan waktunya di perpustakaan. ”Istirahat hanya lima belas menit, pukul satu lima belas sekolah bubar. Waktu berangkat sekolah aku tidak melihat kamu, memangnya tadi berangkat jam berapa?”
     “Jam enam..”
      “Jam enam waktu Jakarta atau waktu Kabupaten Rejang Lebong?” tanya Nane datar.
      “Beda, ya?” tanya Nif dengan polosnya.
      “Ya, banget…” kata Nane. Mereka sudah ada di kantin.. Nif melirik arlojinya, jarum kecil itu menunjukan pukul sebelas. Lalu ia memutarnya agar sesuai dengan waktu setempat.
      “Waktu istirahat tepat pukul setengah sebelas..” kata Nane agar Nif memutar sesuai dengan waktu yang ada di sekolah mereka. Nif memesan bakso, di ikuti Nane. Nif ingin sekali mencoba bakso, sebab makanan yang nyaris ada di seluruh pelosok Nusantara itu, rasanya rata-rata sama. Enak.
      Di pelajaran berikutnya Nif sudah duduk bersama Nane, itu membuat Nif merasa lebih nyaman. Dan bagaimana pun juga duduk berdua di kelas akan terasa lebih rileks. Nane melirik Nif.
      “Kamu jangan senang dulu, aku biasanya suka berpindah-pindah tempat duduk.. dan di kelas ini kita memang sering bergantian teman duduk.” Kata Nane seakan menjelaskan agar suatu hari Nif tidak kaget melihat sikapnya.
      “Ya, aku tahu.. tapi terima kasih untuk hari ini. Mm… ngomong-ngomong.. kamu tadi berangkat di antar sama Dio ya?”
      “Nggak..” ujar Nane jujur. dan ia tahu kalau Nif sedang menyelidikinya.
      “O…” nada suara Nif terdengar agak aneh di telinga Nane. Nane melirik gadis yang di sukai oleh Dio itu dengan seksama. Nif memiliki wajah yang sangat indah. Hidungnya kecil dan mancung, rambutnya panjang tanpa poni dan bibirnya tipis. Nane juga berambut panjang dan lebih hitam juga lebih lebat dari rambut Nif. Nane sudah mengalihkan pandangannnya, sebab pria yang ada di pojok kiri belakang sedang menatap Nif.
      “Ada yang terpesona tuh sama kamu….” Ujar Nane pada Nif dengan nada agak menggoda.
      “Siapa…?” Nif menatap Nane.
      “Tuh, di pojok kiri belakang…”
      Nif menoleh, dan belum sempat ia membalas senyum pria itu, guru mereka sudah masuk. Nif menatap ke depan sambil bicara agak berbisik pada Nane.
      “Sudah berapa lama kamu pacaran dengan Dio?”
      Mendengar itu Nane hanya tersenyum. Pertanyaan seperti itu baru pertama kali ia dengar dan tidak perlu ia jawab, apalagi pada gadis seperti Nif yang nota bene di sukai sama Dio.
      Pulang dari sekolah Nif memilih satu angkot dengan Nane, Nif memang suka bicara dan sepertinya dia ingin sekali tahu banyak tentang Nane, Dio dan kampung halaman mereka. Ia berusaha melanjutkan obrolan mereka yang di kelas tadi.
      “Nan… kamu nggak suka ya, tentang pertanyaanku mengenai Dio?”
      “Nggak juga sih, bicara aja…” kata Nane santai. Kini mereka sudah ada di dalam mobil sejenis angkot itu. gedung sekolah mereka tidak begitu jauh dari pasar. Pasar tradisional juga pasar modern.. hingga secara otomatis mereka bercampur dengan ibu-ibu yang dari pasar, baik dari berdagang atau pun yang pulang habis belanja. Sementara pegawai sipil kebanyakan pulang naik motor.
      “Abis pulang sekolah kamu biasanya ngapain…?”
      “Beres-beres rumah, masak juga nyuci.. kadang juga bantuin orang tua di sawah.”
      Nif diam. Pekerjaan Nane dengannya tidak jauh berbeda, hanya saja Nif belum pernah ke sawah. Karena dia memang tidak pernah memiliki sepetak pun sawah.
      Tiba di rumah, Nif memang membersihkan rumah yang baru ia tempati satu hari satu malam itu bersama ibunya. Ibunya sedang bertugas di Puskesmas.. pulangnya mungkin agak sore. Sebelum pukul lima ibunya sudah pulang dan memeluk anaknya sejenak.
      “Bagaimana dengan sekolah baru kamu?” katanya dengan semangat. ”Tidak ada yang membuat kamu susah, kan?”
      “Ibu tenang saja, semuanya baik. Ibu sendiri bagaimana…?” kata NIf balik bertanya. Ibunya duduk di kursi dan Nif membawakannya segelas air putih.
      “Hari yang melelahkan, bekerja nyaris sepuluh jam.. tapi ibu senang karena rekan kerja di sini semuanya tulus dan menyenangkan, tapi kalau ibu masuk malam gimana ya, Nif?”
      “Ibu khawatir aku tidur sendirian di rumah ya? Bukankah kita sering melakukannya, bu?’
      “Ya, tapi ini daerah baru, gimana pun juga ibu pasti khawatir sayang…, baiklah. Ibu mandi dulu ya.” Setelah meneguk air yang di bawa Nif, ia ke kamarnya untuk mengambil baju ganti. Nif duduk di tempat ibunya tadi, matanya memandang ruang dapur yang sederhana itu. ada satu kompor gas dengan satu tungku. Rak piring seadanya dan meja makan dengan dua kursi. Bagaimana pun juga Nif merasa bersyukur, tadinya ia tidak pernah berpikir mendapatkan tempat tinggal selayak itu. karena ibunya menceritakan kalau kampung yang akan mereka tinggali adalah sebuah kecamatan kecil. Yang ada di otak Nif saat itu adalah sebuah desa yang jalanannnya becek, dan para penduduknya yang kumal dan tidak berpendidikan. Nyatanya ia bertemu dengan Nane yang baik hati dan Dio yang keren. Rumah yang terletak dekat persimpangan itu ternyata terlihat ramai, tak jauh dari rumah itu ada warung besar. Ada counter pulsa dan sebuah bengkel otomotif. Dan malam harinya ada yang menjual makanan seperti pangsit dan bakso. Dan sapertinya Nif harus benar-benar bisa membawa diri. Karena orang di kampung selain memiliki jiwa sosial yang tinggi mereka juga sangat sensitif.
      Kamar mandi di rumah Nif ada di samping ruang masak. Tidak ada telepon juga tidak ada plafon di rumah itu, atap rumahnya dari seng. Untung di kamarnya dan ibunya terpasang plafon dari papan. Kalau Nif duduk malam-malam di ruang tamu ia memang agak sedikit merinding juga. Tapi rumah yang mereka tempati itu adalah gratis, yang di rekomendasikan oleh pihak Puskesmas. Nif menghela napas panjang. Di mana pun ia berada ia harus bersyukur memiliki seorang ibu yang tegar dan menyayanginya dengan sepenuh jiwa. Nif bangga sama ibunya.
      Empat tahun yang lalu, Nif tinggal di rumah mewah, yang ada pembantunya. Memiliki kolam renang dan berangkat ke sekolah di antar oleh seorang supir. Membayangkan semua itu membuat Nif sedih, namun ia tidak boleh menitikkan air mata. Jika ia dan ibunya sudah sejauh ini, itu menandakan kalau mereka tidak boleh cengeng. Beruntung Nif pernah menpunyai seorang Ayah yang mengajarkannya bagaimana menghadapi hidup, tidak percuma selama ini ibunya juga mengajarkan bagaimana menjadi orang yang mandiri. Tidak heran kalau ibunya hanya memberikan hari senin dan sabtu saja di antar ke sekolah dengan sopir, selebihnya Nif harus berani naik angkutan umum sendiri. Untuk menjadi orang susah memang di butuhkan belajar dengan baik biar tidak kaget jika suatu saat sedang di uji oleh Tuhan. Kaya dan miskin itu dua-duanya adalah cobaan. Tetapi untuk menjadi orang kaya, semua orang pasti bisa, dan belum tentu semua orang bisa melewati hidup susah. Dan pada diri Nif sepertinya sudah di tamankan oleh kedua orangtuanya. Untuk mendapatkan uang jajan saja, Nif harus mendapatkan nilai yang bagus dulu, dan Nif sudah di biasakan membersihkan tempat tidurnya sendiri, meski ada yang membantu di rumah.
      Sebagai ibu rumah tangga, ibunya tidak melepaskan pekerjaannya di Puskesmas meski memiliki seorang suami Pengacara yang mempunyai gaji yang lumayan. Di samping menyukai pekerjaannya, ia ingin berbagi dan senang memberi penyuluhan kesehatan kepada ibu-ibu yang sering memeriksa kesehatannya ke Puskesmas. Dulu pekerjaan baginya adalah sebuah kesenangan yang kemudian di beri gaji, tapi kini pekerjaan yang ia senangi itu berharap gaji untuk memenuhi kembutuhannya dengan Nif. Itulah kenyataan yang ia hadapi sekarang, suka atau tidak suka.
      Sehabis magrib Nif minta izin ke ibunya untuk ke rumah Nane yang ada di depan rumah mereka, dia adalah teman sekelas Nif. Saat keluar rumah ia sedikit kaget karena di simpang banyak sekali orang-orang berkumpul, tapi tidak ada yang rusuh atau pun telah terjadi sesuatu terjadi di sana. Nif menatap kondisi itu sesaat dengan di landa kebingungan. Dia tidak tahu apa yang terjadi di sana. Ada banyak remaja terlihat sedang ngobrol. Ada yang berdiri di sisi jalan, ada juga yang sekedar jongkok bersama yang lainnya. Remaja-remaja itu ada yang cowok ada juga yang cewek. Nif ingat gedung bioskop. Di mana para remaja pria wanita sedang menunggu film di putar.
      Ia menghela napas sejenak saat tiba di depan pintu rumah Nane. Nif mengetuk pintu, taklama kemudian seorang pria belasan membuka pintu.
      “Kakak yang di rumah depan ya…?” katanya. Sepertinya ia sudah tahu kalau yang menempati rumah depan itu adalah orang dari Jakarta.
      “Ya, kamu adiknya Nane, kan?” anak itu mengangguk. ”Nanenya ada…?”
      “Ada di kamarnya, silahkan masuk. Biar saya panggilkan dulu.”
      Nif mengusap kepala anak itu sejenak. ”Terima kasih ya.” Ia melangkah masuk, dari ruang tamu kedua orang tua Nane yang sedang menonton televisi sudah mendengar anak laki-laki mereka telah ngobrol dengan seseorang. Nif memberi hormat pada kedua orangtua itu.
      “Mencari Nane ya…?”sapa ibu Nane. ”Ibu belum pernah melihat kamu, kamu temennya Nane?”
      “Saya yang menempati rumah kosong yang di depan bu, bersama ibu saya.” Kata Nif apa adanya.  Sepertinya orangtua Nane baru sadar kalau rumah depan sudah ada yang menempati. Ia tersenyum dan adiknya Nane sudah mucul lagi.
      “Kak, kata kak Nane, ke kamarnya aja…” ujar pria cilik berpostur menyamai Nif itu. Nif melirik orang tua Nane dan pria paruh baya yang di kursi belakang terlihat mengangguk. Dia Ayahnya Nane.
      “Sudah sana, masuk saja. kamarnya Nane ada di belakang.” Kata ibu Nane supaya Nif tidak ragu-ragu. Nif melangkah menuju kamar Nane setelah di antar pria kecil itu, berat tubuhnya pasti tidak lebih dari 45 kg. Nif mengetuk pintu.
      “Masuk.” Suara Nane terdengar sangat datar. Nif membuka pintu dan terlihat Nane sedang duduk di belakang meja belajarnya yang tidak bisa di bilang besar. Ia menoleh ke Nif. ”Masuklah…” katanya tidak begitu kaget melihat kemunculan tetangga seberangnya itu. ”Duduklah…” ia beranjak dari kursinya untuk memberikan tempat kepada Nif. Dia mengambil tempat di ujung mejanya dan mematap Nif yang sudah duduk di kursinya tadi. Nif melirik buku yang ada di meja Nane sekilas, sebuah buku IPA. Lalu ia melirik Nane. ”Ada apa?” kata Nane tidak bermaksud mendikte wanita itu. Nif tersenyum.
      “Terima kasih, sudah membiarkan aku masuk dan memberikan aku tempat duduk… dan maaf sebelumnya karena sudah mengganggu waktu belajar kamu..”
      “Nggak apa-apa, nyantai aja. Aku bisa belajar kapan saja, kadang-kadang subuh.”
      Nif menciptakan senyum lagi. Dia percaya dengan ucapan Nane, ia juga sudah membuktikan kalau Nane sangat menonjol dalam pelajaran apa saja di dalam kelasnya. Nane memang tidak asal bicara.
      “Aku ke sini ingin minta jadwal pelajaran buat besok.” Kata Nif kemudian.
      “O…” Nane mengambil secarik kertas dari bukunya lalu dengan cepat menuliskan daftar pelajaran...dari hari senin hingga sabtu. Nif mengamati Nane yang menulis dengan sangat rapih, semua jadwal itu sudah ia hafal di luar kepalanya. Kini Nif mengamati wajah Nane, seingat dia.. wajah itu belum ada yang menyamai keindahannya di seantero SMA-nya. Meski agak coklat namun terlihat berkilau dan bersih. Hidungnya seperti hidung gadis melayu dengan batang yang kokoh dan indah. Dan bentuk wajahnya sangat berkarakter, seakan punya kepribadian yang sangat kuat. Nane melirik Nif yang sedang mengamatinya. Lalu keduanya tersenyum.
      “Kapan pertama kali kamu ciuman sama pacar kamu?” tanya Nif datar tapi pertanyaan itu sempat membuat Nane terperangah.
      “Apa?” Nane langsung mengangkat wajahnya. Tulisannya sudah selesai. Pertanyaan Nif itu sangat di luar dugaannya. ”Ini sudah komplit..” ujarnya kemudian, dan menyodorkan kertas itu. Nif masih mengamatinya. ”Kenapa kamu bertanya seperti itu…?” Nane sudah menetralkan perasaan kagetnya.
      “Nggak kenapa-napa sih, menurut aku itu pertanyaan yang biasa, kan? Dan aku melihat kamu dan Dio itu adalah pasangan yang sangat serasi.” Nif mengamati kertas yang sudah di tulis oleh Nane. Lagi-lagi ia menyebut nama Dio, Nane sadar betul kalau nama itu  sudah tertanam di otak Nif melebihi namanya sendiri. Ada apa dengan Nif? Pikirnya. Ia melipat kedua tangannya di dada dan menatap Nif dengan seksama. Jika menurut Nif itu pertanyaan biasa tapi menurut Nane itu adalah pertanyaan yang sangat pribadi. Nane tidak akan menceritakan hal semacam itu kepada orang terdekatnya sekali pun.
      “Sorry Nan… aku tidak bermaksud untuk ikut campur urusan pribadi kamu, tapi ngomong-ngomong… anak-anak di luar pada ngapain ya…?”
      “Maksud kamu, anak-anak yang di pinggir jalan itu? paling-paling pada ngobrol saja…”
      “Apa mereka tidak belajar? Ini kan bukan malam minggu…?”
      “Nanti kamu juga paham sendiri.., aku ambil minum dulu ya, kamu ngopi nggak?”
      “Terima kasih, tidak usah. Aku juga sudah mau pulang kok, besok pagi berangkatnya bareng ya…?” ia meraih kertas yang sudah di tulis oleh Nane. ”Terima kasih banyak ya.” Ia beranjak.
      “Hmm… untuk berangkat sekolah bareng aku tidak bisa pergi pukul enam, dan aku tidak  bisa janji...” kata Nane tidak ingin gadis itu terbebani. Nif tersenyum dan diam sejenak.
      ‘Mana mungkin aku bisa berangkat bareng sama Nane kalau Nane di antar oleh Dio’ Nif jadi tersenyum sendiri setelah mendengar penjelasan Nane.
      “Ya, aku tau…nggak apa-apa.” Nif pamit pulang di antar Nane sampai pintu depan. Nane tidak tahu apa yang ada di pikiran Nif tentang dirinya. Tapi Nane tidak ingin ambil pusing, itu urusan Nif. Bagaimana pun ia akan selalu berusaha untuk tidak berpikiran negatif terhadap Nif.

      Pagi itu, sebelum benar-benar terang ibu Nane mampir ke rumah Nif untuk menyapa orang yang baru tinggal di kampungnya itu. wanita pegawai Puskesmas itu merasa tidak enak hati.
      “Ibu, ibunya Nane ya?” tanyanya ramah setelah wanita itu menemuinya. ”Saya yang seharusnya datang ke rumah ibu.”
      “Tidak apa-apa bu, sama saja… saya juga baru tahu kalau ibu yang menempati rumah ini, maklum.. saya pagi pergi dan sebelum gelap baru pulang dari sawah. Nane juga baru sempat cerita semalam.” Jelasnya. Nif keluar membawakan segelas teh manis.. dengan seragam sekolahnya yang sudah rapih. Ibu itu tersenyum. karena Nane anaknya masih mencuci piring saat ia datang ke rumah Nif tadi.
      “Silahkan di minum bu.” Katanya ramah.
      “Terima kasih. Pagi-pagi sekali kok sudah rapih..?” katanya di antara mengagumi dan kaget melihat Nif sudah siap berangkat ke sekolah.
      Ibunya Nif tersenyum. “Dia, selalu takut terlambat.” Katanya merendah.
      “Mm… Nane sudah mau berangkat apa belum bu?” wanita itu terlihat bangga pada anaknya.
      “Dia biasanya berangkat pukul tujuh…, waktu ibu ke sini tadi dia masih mencuci piring.” Jelas ibunya. Dan itu artinya mereka akan berangkat ke sekolah setengah jam lagi. Mendengar itu, Nif jadi tersenyum. Tadinya ia tidak begitu percaya kalau gadis setengah tomboy itu mengerjakan semua pekerjaan rumah dan membantu ibunya dengan sempurna.. dan tidak jarang juga ke sawah dan ke kebun. Nane beda sangat jauh dari ibunya yang banyak bicara.. Nane agak pendiam dan bicara yang perlu-perlu saja. meski pun Nane tidak banyak bicara, Nif menyukainya dan menyayanginya.

      Sore itu tepat pukul setengah tiga, Dio memaksa Nane untuk ikut ke kebun bersamanya dan Dio harus berhasil membujuknya. Dia menunggu Nane selesai menyimpan jemurannya.
      Nif ingin ke rumah Nane tapi ia merasa risih karena melihat ada motor Dio di depan rumah itu. tapi tidak apa pikirnya. Karena dia hanya ingin bertemu dengan Nane. Dio merasa sangat surprise melihat kemunculan Nif di rumah Nane. Nif bisa melihat wajah Dio menjadi berbinar dan itu tidak bisa ia pastikan apa artinya.
      “Hai Nif… apa kabar kamu…?”
      “Baik, maaf… aku mengganggu sebentar ya Nan…?” ia menatap Nane.
      “Nggak apa-apa…” Nane sedang meletakkan pakaian kering di dalam keranjangnya. Ia mempersilahkan Nif duduk. Nif melirik Dio yang duduk di depan Nane. ”Jadi tidak enak mengatakannya, nanti sore saja deh aku memberitahukannya..”
      “Kok begitu? Kalau gitu aku keluar dulu deh…” kata Dio seolah merasa Nif tidak mau bicara dengan Nane di depannya.
      “Jangan…!” kata Nif dengan cepat. ”Ini sebenarnya agak memalukan…” katanya kemudian. Ia menoleh kepada Nane. ”Mmm… Nan, ibu aku sebenarnya mau dines malam di Puskesmas…” ia agak ragu untuk mengatakannya. Nane menunggu Nif melanjutkan ucapannya. ”…kamu mau nggak menemani aku tidur di tempatku nanti malam?” kata Nif akhirnya dengan nada tidak enak. Nane menoleh kepada Dio. Sepertinya mereka berdua memahami kondisi Nif. Nif menunggu jawaban dari Nane dengan perasaan was-was. Nane tersenyum, karena tiba-tiba ia mendapatkan ide yang cemerlang.
      “Oke, dengan satu permintaanku sama kamu…” kata Nane seakan minta barter dari Nif. Nif terlihat agak cemas. Tapi ia berusaha untuk tersenyum.
      “Apa…?” kata Nif cepat.
      “Nan… apa sih susahnya nemenin Nif? Masa aku yang harus menemani dia?” kata Dio. Takut Nane menolak permintaan Nif. Nadanya bercanda tapi dia sangat berharap Nane bisa memenuhi permintaan itu. ia tidak akan tega membiarkan Nif tidur sendirian di kampung yang masih asing baginya itu.
      “Kita ikut Dio ke kebun hari ini, sebab dari tadi ia mengajak aku. Aku pikir tidak ada salahnya kan kamu ikut bersama kita…?” ujar Nane santai. Nif melirik ke Dio. Sorotan mata Dio seakan menghujani jantungnya dengan sangat tajam. Nif menghindar, sebab itu tidak boleh terjadi. Permohonan Nane sepertinya agak berlebihan. Dio tidak bisa membayangkan gadis lembut itu berjalan melewati persawahan dan mendaki tanjakan untuk mencapai kebunnya.
      “Mm… aku sendiri sebenarnya ingin mengajak kamu, tapi kamu kan belum pernah naik gunung…” Dio berusaha untuk tidak terlihat pelit mengajak Nif.
      “Bukan itu masalahnya..” Nif juga merasa tidak enak. Ia tahu kalau mereka menganggap dia tidak bisa apa-apa. Dia juga tidak ingin selalu berdekatan dengan Dio, ia takut jatuh cinta dengan pemuda itu. bagaimana pun juga ia merasakan ada perasaan aneh yang ia rasakan dengan kekasih Nane itu. ”…aku harus minta izin dengan ibuku dulu…, bagaimana pun juga aku sebenarnya ingin sekali ikut.” Nif tidak mau mereka menganggap ia tidak berani naik gunung apalagi menganggapnya sebagai gadis lemah.
      “Baguslah…” kata Nane memberi dukungan.
      Nif pun segera menemui ibunya. Sementara Dio melotot kepada Nane.
      “Kamu ini apa-apaan sih?! Gila apa…?” nadanya tidak marah tapi tidak percaya kalau Nane akan
mengajak serta gadis itu. ”Tu anak pasti tidak pernah jalan kaki jauh, apalagi menginjakkan kakinya di  pematangan sawah. Masa kamu ajak dia ikut kita?”
      “Nggak apa-apa… besok minggu ini. Kalau dia jatuh kan ada kamu yang gendong… lagian seprtinya kalian berdua saling suka kayaknya…” apa pun akan Nane lakukan untuk membuat Dio senang. Itu janjinya. Janji kepada dirinya sendiri.
      “Apa…..? jadi maksud kamu, Nif itu juga suka sama aku? Apa benar begitu? Apa dia bilang sendiri sama kamu?” Dio mendekati Nane.
      “Nyantai aja kali Di…” kata Nane, ia sudah melipat pakaian kering itu, besok tinggal di setrika. ”Oke, aku siap-siap dulu ya..? aduh si Tangguh ke mana ya…?” ia mencari-cari adik laki-lakinya dengan melihat keluar rumah namun pria kecil itu tidak kelihatan dari tadi. Ternyata anak itu sedang membuat layang-layang di halaman belakang rumah mereka. Nane ke belakang karena menyadari pintu belakang sedang terbuka, benar saja, pria itu ada di sana. Ia menghampiri Tangguh. ”Guh… kakak mau pergi, pulangnya mungkin agak telat, kalau bapak sama ibu tanya, kakak pergi sama kak Dio, ya…?” jelasnya dengan nada sama seperti biasa kalau ingin pergi.
      “Mau ke kebun ya kak,…?” kata Tangguh sembari mengangkat kepalanya sejenak untuk melihat kakaknya. Di tangannya masih ada pisau kecil untuk menyelesaikan pekerjaannya.
      “Ya, selagi kakak nggak ada di rumah, jangan mengajak teman-teman kamu ngebrantakin rumah..?”
      “Beres kak,..” Tangguh pernah di marahi sama Nane karena mengajak teman-temannya main di rumah dan mengacak-acak apa saja… dan tidak membereskannya lagi.

      Ibunya Nif ternyata mengizinkan anaknya untuk ikut bersama Nane, meski Nif memberitahukan kalau ada satu pria di antara mereka, tapi wanita itu percayakan anaknya dengan Nane. Dio menyimpan motor di rumah Nane dan menggendong tas ranselnya. Dari rumah Nane mereka naik mobil untuk mencapai jembatan gantung. Letak jembatan itu ada di kampung sebelah. Nama Desanya, Tanjung Bunga. Nane mengenakan kaus lengan panjang dan celana jins coklat. Dan sepertinya Nif sudah bisa membaca situasi jalan yang akan mereka tempuh. Dan terbukti dengan apa yang ia kenakan yang tidak jauh beda dari Nane, ia menambahkannya dengan jaket kulit yang agak lembut, biar tidak terkesan parno. Nif tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi, apakah benar mereka akan mengambil durian?? Nif suka buah itu tapi tidak tahu bagaimana bentuk pohonnya.
      “Pernah menginjak jembatan gantung nggak..?” tanya Dio setelah mereka tiba di depan jembatan yang lumayan panjang itu. sepertinya tidak kurang dari 20 meter, di bawahnya ada sungai yang mengalir sangat deras. Nif sempat bergidik, ia menyesal karena waktu di ajak kemping dulu sama temanya ia menolak. Alasannya banyak lintah dan pacet, tapi apa iya di sawah dan kebun Dio tidak ada mahluk-mahluk kecil yang mengerikan itu? tinggi jembatan itu dari permukaan sungai bisa Nif pastikan tidak kurang dari sepuluh meter.
      “Kamu tidak akan apa-apa… cukup pegang tali besinya yang ada di kiri kanan dengan kuat, dan melangkah dengan perlahan. Sebenarnya ada jembatan yang lebih bagus tapi letaknya lebih jauh. Jembatan yang aku maksud itu bisa di lewati oleh motor dan besinya agak tinggi hingga sangat aman tapi tetap saja akan bergoyang kalau kita lewati.” Jelas Dio.
      “Memangnya aku terlihat takut?” kata Nif. ”Tenang aja, akan aku coba.” Ia mulai mendekati jembatan itu. Tapi sejujurnya ia merinding membayangkan ketinggian itu.
      “Hati-hati…” kata Dio yang berada tepat di belakang Nif. Dia tidak akan jauh karena takut gadis itu jatuh atau terpeleset. Nif memegangi tali besi itu dan mulai menginjak papan pertama. Jembatan bergoyang karena Nane sudah berjalan di atasnya. Itu sempat membuat Nif merasa sport jantung. Tapi ia tidak ingin Dio melihatnya gemetar. ‘Kamu bisa Nif’ bisiknya dalam hati. Langkah pertama membuat Nif nyaris berteriak. Dio membantunya dengan memegang tangan Nif. Sejenak membuat Nif merasa berdebar oleh sentuhan tangan Dio dan sedikit meredam jeritan ketakutan di hati Nif.
      Nane sudah sampai di ujung jembatan, ia menatap ke belakang sejenak terlihat Nif sedang jalan perlahan, tangannya berpegang kuat di kedua sisi besi seakan mengimbangi tubuhnya. Nane tahu kalau sebenarnya Nif sangat gugup tapi ia salut dengan kemauan gadis itu. setiap yang baru pertama kali melewati jembatan gantung pasti akan merasa gemetar. Waktu kecil Nane juga mengalaminya.
      Akhirnya, Nif bisa bernapas lega, jembatan itu pun sudah berhasil ia lewati. Di depan mereka terlihat sawah yang menghijau dengan begitu luas laksana lapangan hijau. Nif berdecak kagum, rasa takutnya baru saja di tebus dengan pandangan yang menakjubkan. Itu bukan sawah Dio atau pun kepunyaan orangtua Nane tapi milik para orang kampung yang bertani, di panen setiap setahun sekali.
      Jika sawah di panen setahun sekali, maka apa yang di kerjakan orang kampung setelah panen? Sebab masa tanam hanya di butuhkan kira-kira empat bulan dari pembibitan hingga panen. Dua atau tiga bulan para petani mungkin bisa menikmati hasil panennya, selebihnya yang sekitar lima bulan itu sepertinya masa paceklik. Beruntung bagi segelintir orang yang juga memiliki kebun, hingga di sela-sela itu bisa memanen hasil kopi atau menyadap karet, bagi yang memiliki kebun karet. Tapi yang tidak??
      Di kampung Nane tidak ada pabrik atau pun lapangan pekerjaan yang lainnya, yang ada hanya bertani, berdagang atau PNS. Sementara untuk menjadi PNS pun akan di pungut biaya sekitar ratusan juta rupiah oleh pemerintah daerah. Tapi banyak para penduduk yang setelah menyekolahkan anak-anak mereka rela menjual sawah untuk menyogok para penguasa daerah itu demi sebuah pekerjaan. Menyedihkan, tidak di kota besar atau pun di pelosok perkampungan semuanya bisa memutar uang haram. Bukan uangnya yang haram, tapi para pelakunya yang selalu menyalahgunakan uang dan membeli keahlian orang, masih mending yang di beli itu benar-benar yang ahli di bidangnya… bagaimana jika yang di beli itu sebenarnya yang tidak mengerti apa-apa, hanya mempunyai ijazah dan ijazahnya memiliki nilai 6 semua. Menyedihkan memang!
      Tidak di kota atau pun di kampung-kampung, setiap yang merasa punya kekuasaan selalu merasa menjadi penguasa. Jangan saja ia mengatakan kalau dialah yang membuat bumi ini berputar. Astagfirullah.
      “Untuk sampai di pondok, aku dan Nane biasanya membutuhkan waktu dua puluh menit.” Kata Dio.
      “Memangnya kebun kamu ada di mana?” tanya Nif sambil menatap gunung yang menjulang di hadapannya mereka. Jika untuk mencapai puncak gunung itu dalam waktu dua puluh menit, artinya Dio dan Nane pasti memiliki sayap. Kalau pun mereka berlari tidak akan sampai secepat itu.
      “Di lereng gunung itu. setelah melewati beberapa petak sawah, kita akan mendaki sedikit.” Mata Dio menoleh ke sawah-sawah yang terbentang indah.
      ‘Beberapa petak sawah?’ Nif seperti tidak percaya dengan kata-kata Dio.
      “Satu lagi Nif… kita pulangnya mungkin agak malam..” tambah Nane dan di iyakan oleh Dio.
      “Apa? Kalau kita pulang malam kan, jalanan pasti gelap. Gimana kita melangkahnya?” Nif merasa mau mundur dari perjalanan gila itu. tapi tidak, ia yakin kedua orang itu tidak mungkin mencelakainya. Bagaimana pun juga ia percaya dengan Nane dan Dio.
      “Kamu tenang aja, karena di dalam ranselku ada senter besar. Kita tidak akan pulang dalam kegelapan.” Kata Dio. Dan itu sepertinya tidak mengurangi rasa cemas di hati Nif, meski ia tahu kalau Dio tidak akan membiarkannya mati ketakutan.
      ‘Ya Tuhan…tidak seharusnya aku mengikuti perjalanan edan ini. Apa benar aku melakukan semua ini hanya karena ingin Nane menemaniku malam ini… atau ada hal lain..??? ah.. aku ini benar-benar bodoh.’ Nif mengumpat dirinya sendiri.
      Musim panas membuat tanah agak kering sehingga mereka bisa menyusuri sawah tanpa harus melewati becek. Nif beruntung karena tidak menemui jalanan becek, yang kalau hujan luar biasa beceknya. Nif sekali-kali bisa menikmati pemandangan sawah yang indah itu namun tidak sepenuhnya sebab pematangan itu kecil. Ia takut terpeleset atau masuk parit yang ada di dekat pematangan. Nif terus berjalan tanpa melihat ke belakang.. dan ia mulai terbiasa melewati jalanan kecil itu. ia berusaha untuk tidak berada jauh di belakang Nane dan itu membuatnya agak terengah-engah mengikuti langkah kaki Nane yang lincah dan terlatih. Dio tetap setia di belakang Nif.
      “Capek ya? Tidak usah buru-buru, sisakan tenaga kamu untuk menaiki tebing sesaat lagi.” Kata Dio memberi tahu.
      “Lumayan capek, mungkin karena baru pertama kali. Tapi aku nggak apa-apa kok..” Nif menoleh ke belakang sekilas untuk melihat Dio. Pria itu tersenyum manis kepadanya. Nif ikut tersenyum seakan lupa kalau di antara mereka ada Nane. Nif melangkah lagi.
      “Menurut kamu, gimana daerah ini?” tanya Dio. Mereka bicara tanpa harus berhenti berjalan, Nif sudah kembali serius menapaki jalanan.
      “Lebih nyaman dari yang pernah aku bayangkan sebelumnya.”
      “Memangnya apa yang pernah ada di dalam bayangan kamu sebelumnya?”
      Nif diam sejenak. Tadinya ia berpikir kalau daerah yang ia dan ibunya tempati sangat parah, susah kendaraan, sepi dan susah signal ponsel. Ternyata tidak seperti itu. ia melihat nyaris setiap remaja sudah memegang alat komunikasi canggih itu di sekolah, bahkan orang yang melewati sawah pun ada yang jalan sambil memegang ponsel juga sambil ngobrol di pematangan sawah. Kemajuan, pikir Nif tanpa bermaksud meremehkan orang kampung. Apalagi remaja seusianya, seperti Nane dan Dio, sekilas saja pria seperti Dio mampu membuat remaja puteri jatuh cinta. Termasuk Nif sendiri.
      “Orangnya ramah, tulus dan baik.” Jawab Nif apa adanya.
      “Cuma itu?” kejar Dio penasaran. Hampir saja Nif menoleh lagi ke belakang kalau saja tidak sadar ada Nane di depannya. Nane menoleh pada Nif yang berjarak lebih kurang lima meter darinya.
      “Ya, untuk sementara ini.” Kata Nif seakan memahami apa yang ada di pikiran Dio. ”Mm.. Nane itu agak pendiam ya? Kalau di tanya baru menjawab, meski tidak semua pertanyaanku dia jawab. Menurut aku dia akan bicara jika menurutnya penting. Dia baik tapi sedikit memberi jarak.” Ujar Nif seakan meminta pembenaran dari Dio.
      “Nane itu sangat perfect.” Itu pujian tertinggi untuk Nane dari Dio sekaligus harga mati bagi Nif. Nif tidak pungkiri sedikit pun pengakuan Dio itu, Nane memang perfect dari segala arah, juga pintar mengurus rumah. Dan diamnya membuat orang semakin ingin mendekatinya. perlahan ada rasa cemburu yang mulai merambat di benak Nif untuk Nane.
      ‘Upps! Nif, kamu itu bukan siapa-siapanya Dio. Apa urusan kamu?!’ Nif menyadarkan dirinya.
      Tiba di kaki tanjakan membuat Nane berhenti melangkah. Ia menunggu Nif dan Dio. Semoga gadis itu bisa. Do’anya dalam hati. Nif tersenyum melihat Nane menunggunya, ia heran karena di matanya Nane belum terlihat lelah sama sekali. Sepertinya gadis itu baru berjalan dua puluh meter saja, sementara Nif sendiri merasa seperti sudah melewati ribuan meter.
      “Kamu kok jalannya cepat sekali sih?” kata Nif saat sudah mendekati Nane.
      “Perjalanan pulang nanti akan terasa lebih cepat dan enteng, benarkan, Di?” ia menoleh pada pria yang ada di belakang Nif.
      “Tentu saja.” kata Dio dengan nada sangat meyakinkan.
      Nif memandang tebing terjal yang ada di hadapan mereka, ujungnya lumayan jauh bahkan nyaris tidak kelihatan. Bisa Nif perkirakan kalau ketajaman tebing itu tidak kurang dari empat puluh derajat. Ia menghela napas.
      “Ayolah… ini hari keberuntungan kamu, kalau hujan jalanannya pasti sangat licin.” Tutur Nane dan lagi-lagi Dio mengiyakan.
      “Setelah melewati tebing ini kita akan melewati satu kebun lagi, baru sampai ke pondokku, dan aku percaya setelah sampai nanti maka kamu tidak akan pernah mau turun.” Promosi Dio dengan indah, sembari merangkul pundak Nane membuat Nif agak kecewa, tenaganya yang telah ia persiapkan untuk naik tebing seakan punah sudah. Entah kenapa ia merasa ingin sekali menjerit, ada rasa sakit di dadanya melihat adegan itu. itu hal wajar, bukankah Dio dan Nane adalah pasangan kekasih? Lagi-lagi Nif berusaha menghibur hatinya yang luka tidak beralasan itu. apakah itu cinta monyet?
      “Ayolah…” Nane menarik tangan Nif dengan lembut untuk mengajaknya mulai menaiki tebing. Rangkulan Dio sudah lepas dari bahu Nane. Nif memegang tangan Nane dengan erat, memaksa Nane menatap gadis itu sejenak. Hingga tanpa sadar ia pun melakukan hal yang sama, memegang tangan Nif seakan takut kalau gadis itu gugup menaiki tanjakan. Detik berikutnya ia melepaskan pegangannya lalu membiarkan Nif mengikutinya dari belakang.  Nif sebenarnya tidak ingin di lepas oleh Nane, tapi kini Nane sudah melangkah dan langkahnya seperti orang berjalan di tanah datar saja, dan semakin cepat. Ia seakan ingin menjauh dari Dio dan Nif. Pikirannya mulai berkecamuk. Ia merasa ada yang salah dengan pikirannya terhadap Dio dan juga Nif. Pikiran dan perasaan yang muncul itu belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan itu sangat berpengaruh setelah kemunculan Nif. Dia tidak tahu apa yang ia rasakan terhadap Nif. Ada beberapa perasaan yang ia rasakan tapi masih abu-abu, ia coba mereka-reka dan semoga saja bukan perasaan yang tidak ia harapkan terjadi di antara mereka. Nane merasa mulai kelelahan, bukan lantaran karena capek tapi ada yang ia pikirkan. Untuk pertama kalinya Nane merasa ada beban yang tidak biasa yang juga sulit ia pahami. Sampai di atas Nane menarik napas dalam-dalam dan tetap  berjalan meski  agak melambat. Di jalan berikutnya ia bertemu dengan seorang ibu muda yang sedang mengambil kayu bakar. Ia berhenti untuk menyapa wanita itu.
      “Ibu sendirian yaa…?”
      “Ya, kamu..?” ia berhenti memotong ranting kering yang kecil itu untuk menatap Nane yang sudah tidak asing lagi di matanya. Nane ingat ibunya yang hampir setiap hari ikut membantu Ayahnya, baik di sawah mau pun di kebun. Seorang wanita di kampung bukan saja bertugas mengurus rumah tapi juga membantu mencari nafkah. Untung anak-anak di kampung tidak terlalu cengeng.. yang makan harus di suapin atau sebagainya. Keadaan dan kondisi membuat anak-anak mandiri.. Nane menghela napas panjang. Ia mulai membandingkan kehidupan anak kota dan anak kampung, contoh yang lebih nyata adalah Nif dengan dirinya.
      “Bertiga bu, dua temanku masih di bawah. Ibu mengambil kayu bakar setiap hari ya?” Nane tahu bahwa ia tidak perlu melontarkan pertanyaan seperti itu, sebab ia sangat tahu kalau kehidupan di kampungnya delapan puluh persen masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Tidak terkecuali keluarganya meski di bantu dengan kompor minyak. Tapi apa mungkin setiap keluarga mampu untuk membeli minyak tanah yang harganya sudah melangit? Sementara bantuan kompor gas dari pemerintah belum sampai di kampungnya. Untuk membeli beras sekilo saja terkadang tidak mampu, karena tidak semua kepala keluarga mempunyai sawah untuk di garap.
      “Ya, hampir setiap hari ibu mencari kayu bakar.” Jawab wanita itu kemudian. Nane mengerti, ia pun tersenyum.
      “Tapi kalau ranting-ranting kecil yang sudah mati itu tidak ada, ibu tidak menebang pohon kecil yang ada di sekitarnya, kan?”
      “Ya kadang-kadang sih, memangnya kenapa?”
      “Ya kasian saja, pohon yang masih kecil di tebang…” ujar Nane apa adanya, dan tentu saja wanita itu tidak mengerti maksudnya.
      “Pohon-pohon itu kan tumbuh liar, tentu saja ibu boleh menebangnya.” Kata si ibu penasaran, karena belum ada yang melarang-larangnya selama ini.
      “Ya sudah, ibu boleh mengambilnya asal jangan mengajak suami ibu menebang pohon yang sudah besar, nanti gunung kita gundul, kalau gunung kita gundul, kan nggak enak di lihatnya.., benar, kan?”
      Wanita itu tertawa. ”Kamu ini ada-ada saja, memangnya gunung itu kepala manusia bisa gundul? Ya ibu tahu… maksud kamu sekarang. Kalau gunungnya gundul, pasti monyet yang ada di dalam gunung ini tidak bisa main di atas pohon lagi ya, kan?” katanya lugu. Nane tersenyum. Ibu itu juga tidak akan berani mengajak suaminya menebang pohon sembarangan, karena yang punya kebun akan membunuhnya. sebab yang ada di sana hampir semua pohonya menghasilkan buah, seperti pohon durian, mangga, duku, rambutan dan tak ketinggalan pohon jengkol. Dan lagi wanita seperti yang ada di hadapan Nane itu tidak akan merusak hutan. Yang membuat gunung rusak adalah penebangan liar, yang terkadang di dukung oleh para aparat Negara yang tidak bertanggung jawab, dan memikirkan keuntungan diri sendiri. Apa dia pikir kekayaan mereka untuk saat ini akan membawa berkah di kemudian hari? Otak mereka mungkin tidak pernah berpikir kalau anak cucu mereka akan tinggal di bumi yang sama. Makanya mereka meluluhlantakan alam hanya untuk kekayaan dalam waktu sepuluh atau dua puluh tahun saja. menyedihkan memang. Kalau saja mereka hidup di abad ke 17 atau 18 pasti kita yang hidup di zaman sekarang ini tidak akan bisa bernapas. Para penebang liar memang akan lebih cepat menggunduli gunung tidak seperti ibu tadi yang mencari ranting hanya untuk memasak nasi.
      Akhir-akhir ini, Nane memang pernah mendengar sekelompok orang yang menebang pohon dengan menggunakan gergaji mesin.. yang bisa menebang puluhan pohon dalam hitungan menit saja. mengerikan sekali. Mereka akan menjual kayu hasil tebangan itu ke tukang kayu atau ke luar kota.
      Dio dan Nif muncul, mereka hanya saling menyapa lalu membiarkan si ibu melanjutkan pekerjaannya. Mereka meneruskan perjalanan yang tinggal menghitung menit untuk tiba di pondoknya Dio. Nif merasa sedikit aneh melihat wanita itu berada sendirian di dalam hutan. Meskipun hutannya tidak bisa di sebut rindang tapi tetap saja itu mengerikan baginya. Karena yang namanya hutan itu, sepi dan banyak binatang buasnya.
      “Ibu itu berani ya di dalam hutan sendirian?”
      “Ini tempat yang paling dekat dengan sawah juga penduduk… terus hampir setiap dua ratus meter ada pondok yang rata-rata tidak pernah kosong. Memang sih kadang-kadang ada babi hutan yang suka lewat, tapi kalau kita tidak mengganggu, dia tidak akan melukai kita.” Jelas Dio.
      “Memang ada babi hutannya juga, ya?” Nif cemas juga mendengar kata-kata babi hutan. Padahal tadinya dia hanya takut dengan preman yang berkeliaran di hutan atau para remaja yang hidup di hutan, seperti para teroris yang di televisi itu. Yang melakukan latihan militer.
      “Ya jelas dong… karena setiap naik gunung aku hampir selalu ketemu dengan yang namanya babi hutan, terkadang mereka bergerombolan.” Tambah Nane jujur tanpa bermaksud menakut-nakuti Nif.
      “O..” guman Nif singkat. Ia tidak bisa menyembunyikan ketegangannya dan Nane merasa menyesal telah berkata jujur. ia tahu kalau gadis itu mulai ketakutan. Nane jalan terus dan tetap di depan….
      “Kita sudah sampai….!” Kata Dio nyaris berteriak kegirangan saat kakinya menginjak tanah perkebunan orangtuanya.. Dia merasa suasana hatinya hari ini sangat berbeda, ada Nif yang ikut bersamanya ke kebun. Tadinya ia pikir mereka tidak akan sampai di kebun karena melihat Nif yang nyaris tidak kuat naik gunung, meski berusaha menyembunyikannya, tapi dia yakin Nif sangat kelelahan. Ia sampai tidak tega melihat gadis itu.
      “Ini kebunnya?” kata Nif sambil mengamatinya sejenak. Ada banyak pohon besar, di antaranya pohon durian yang sedang berbuah dengan lebatnya, buahnya pun besar-besar sekali.. dan pohon yang lainnya ia tidak begitu kenal. Nif takjub melihat pohon durian yang buahnya bergelantungan, oh betapa kayanya negeri ini. Gumannya. ”Pondoknya di mana?” lanjut Nif bingung.
      “Di pertengahan kebun.” Kata Dio. ”Ikuti Nane saja.” Mereka baru saja menginjak pinggiran kebun orangtua Dio yang luas. Nane sudah melaju, ia sudah sangat hafal setiap seluk-beluk kebun itu, bahkan letak setiap pohonnya ia sudah mengingatnya dari dulu dan kini sudah ada di luar kepalanya. Andai pun tukang kebun menanam pohon yang baru, ia sudah mengetahuinya. Sejak Dio mengenali kebun, Nane-lah orang pertama yang dia ajak.. dan setelah itu nyaris setiap musim buah, Dio dan Nane selalu pergi ke kebun, untuk bersenang-senang, tidak jarang Dio mengambil libur kuliah dan menyempatkan waktu sehari dua hari untuk santai di kebunnya bersama Nane. Mereka selalu bergembira dan tak jarang menginap di pondok bersama tukang kebun. Tapi kini ada Nif, akankah Dio bisa merasakan suasana seperti tahun-tahun sebelumnya bersama Nane?
      Nane sudah tiba di depan pondok, dan tidak sabar untuk istirahat dan menikmati durian yang masih hangat, pak Amir tukang kebun Dio pasti sudah mengumpulkan banyak durian yang jatuh dari semalam. Di samping pondok ada air mengalir, tidak bisa di bilang kali karena ukurannya tidak lebih besar dari parit, tapi airnya sangat bening dan dingin. Asli keluar dari pegunungan. Dan di bawahnya di buat sebuah kolam yang berukuran sedang. Nane memandang pondok yang lumayan besar itu, hampir separuh ukuran rumahnya di kampung. Hampir setahun dia tidak menginjak pondok itu…, pondok itu di bangun lebih kurang dua setengah meter dari tanah, karena untuk menghindari babi hutan.
      “Hei Nane….!?” Panggil pak Amir dengan nada gembira setelah melihat kedatangan gadis itu. Nane tersenyum pada pria yang seusia Ayahnya itu. pak Amir sepertinya baru membereskan sesuatu, dia memang selalu senang kalau melihat kemunculan Nane, yang sudah ia anggap anak sendiri. ”Ayo naik kemari.” Ajaknya. Taklama kemudian Nif dan Dio muncul, sejenak Dio melirik arlojinya. Perjalanan yang mereka tempuh hampir setengah jam. Lumayan cepat dari yang ia perkirakan.
      Nane sudah merebahkan tubuhnya di atas bale-bale pondok. Pak Amir sudah menyuruh Nane memilih sendiri durian yang sudah tersedia di bale-bale tersebut, dan harum baunya menyengat. Untung Nif tipe orang yang juga suka dengan buah durian, sebab ada beberapa orang tidak suka dengan buah berduri itu, dan bisa muntah bila mencium baunya.
      Dio mengenalkan Nif dengan pak Amir, sejenak lelaki baik itu mengamati Nif, hatinya berkata lain setelah melihat gadis manis itu.
      “Teman kuliah ya Di…?” katanya karena baru pertama kali melihat gadis itu.
      “Bukan pak, dia teman sekolahnya Nane. Nane-nya mana?” Dio mencari-cari keberadaan Nane.
      “Tuh, sudah rebahan di atas. Silahkan naik…” ia mempersilahkan Nif untuk menyusul Nane yang sudah istirahat. Nif mengangguk, ia merasa di terima dengan baik oleh tukang kebunnya Dio. Meski sepertinya pria itu menyimpan tanya untuknya. Ia coba memaklumi, apalagi ia datang bersama Dio. Dio sudah menjelaskan kalau dia adalah temannya Nane. Itu sudah sedikit membuatnya merasa nyaman, agar pria itu tidak mengira macam-macam. Ia melihat pria itu sangat menyayangi Dio, tidak terlihat adanya jarak antara tukang kebun dan majikan di antara mereka. Dio sudah menjelaskan kalau yang menunggu pondoknya adalah tukang kebun yang sudah bekerja puluhan tahun di keluarganya.
      “Terima kasih ya pak…” kata Nif. Dia memang harus segera melepaskan kepenatannya, kedua kakinya terasa sudah sangat lemas dan berat, tak peduli jika harus duduk di tanah sekali pun. Ia menyusul Nane ke atas bale. Di sana Nane masih terlihat rebahan dengan sangat bebasnya. Ia melirik Nif yang mendekatinya.
      “Gimana?” katanya setelah Nif ikut rebahan.
      “Hmm…lumayan menguras tenaga…” ia menghela napas panjang dan menatap langit-langit pondok yang terbuat dari papan. Nane duduk dan bersandar di dinding bale-bale dengan kaki berselonjor. Ia menatap Nif yang kelelahan. Nif melirik ke tubuh Nane yang tanpa cela. ”Kamu sering kesini..?” Tanya Nif kemudian. Keringat masih terlihat di dahi Nif yang putih hingga terlihat agak memerah karena panas. Nane tersenyum, dia tidak akan mengatakan sejujurnya kepada Nif.
      “Bisa di hitung dengan jari.” Ujarnya. Nif coba mencari kebenaran di wajah itu. semoga ia tidak berbohong. Pikir Nif. Tidak tahu kenapa Nane mengatakan bisa di hitung dengan jari, padahal dia sendiri sudah tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia mengunjungi pondok itu. apakah karena dia tidak ingin melukai hati Nif atau hatinya sendiri? Ah…! Nane tidak tahu kenapa sejak kemunculan Nif dia berubah menjadi tidak jujur pada dirinya sendiri. Dan sama sekali ia tidak menghendaki itu terjadi.
      Nif tersenyum namun dalam hati ia berpikir, apakah pondok itu adalah tempat favoritnya Nane dan Dio? Dio muncul dari bawah dengan durian di tangan. Nif bangun. Dio meletakkan durian itu di hadapan Nane dan Nif. Lalu dengan cepat ia membelahnya dengan menggunakan pisau, dengan gerakan yang terlatih. Nif mengamati setiap gerakan tangan Dio. Lalu kedua tangan Dio menarik kedua belah kulit durian hingga isinya terlihat dengan sangat jelas dan bisa di ambil.
      “Semoga Nif tidak alergi dengan buah durian.” Kata Dio di antara kesibukannya. Nif mengamati Dio dan pria itu juga sedang menatapnya.
      “Durian adalah salah satu buah kegemaranku, aku jarang melihat durian sebagus ini.”
      “Ini kopinya…” pak Amir naik dengan kopi panas dan biasanya Nane dan Dio mencampur buah durian ke dalam kopi itu. Dio menaruh sebiji buah durian ke dalam gelasnya juga ke gelas Nane, ketika gelas ketiga ia melirik Nif.
      “Apakah kopi kamu juga mau di campur dengan buah durian?” tanya Dio. Nif terlihat ragu-ragu. Dia tidak bisa membayangkan kalau sebiji isi durian di masukan ke dalam segelas kopi hangat. Bagaimana rasanya?
      “Mm. tidak, biar aku makan terpisah saja…” jawabnya kemudian.
      “Oke, itu pilihan kamu…” Ia menoleh ke Nane. ”Ayo dong, aduk kopinya…” kata Dio dengan lembut seperti biasanya. Nane tersenyum dan ia berharap kalau sikap Dio tidak akan pernah berubah padanya setelah munculnya Nif.
      Pesta durian pun di mulai. Nif sepertinya memang menyukai durian, ia juga berusaha mencoba kopi campur durian itu. tadinya agak ragu dan setelah mencicipi sepertinya lumayan nikmat di lidahnya. Dan itu tidak di buat-buat untuk sekedar memaksa menyukai apa yang di sukai oleh Dio dan Nane. Buah durian kedua pun sudah di belah, mereka menikmatinya dengan sangat lahap. Pak Amir senang melihat kebersamaan mereka meski ia menemukan ada kejanggalan di antara hubungan ketiga remaja itu. apalagi Nane tidak terlihat seperti biasanya. Ia cendrung menjaga sikap, itu tidak lepas dari pengamatan pak Amir. Nane menghirup kopinya lalu membawa kopinya ke bawah, ia duduk di bangku yang sudah di buat sebulan yang lalu oleh pak Amir. Tiba-tiba terdengar suara ‘Bugh…!’
      “Apa itu?” Nif panik, di kiranya Nane jatuh dari tangga.
      “Itu suara durian yang jatuh dari pohonnya.” Kata Dio. Nane juga tahu pohon yang mana sudah menjatuhkan buahnya itu. tapi ia tidak bergeming dari tempatnya. Biasanya ia rebutan dengan Dio dan berlari untuk memungutnya. ”Pak, biar aku yang ambil ya…” kata Dio setengah berteriak pada tukang kebunnya.
      “Aku ikut.” Pinta Nif spontan.
      “Oke.” Dio mengajak Nif turun. Di bangku yang terbuat dari bambu Nane terlihat masih menikmati kopinya. ”Nan… ayo ikut…!” ajak Dio. ”Kamu biasanya paling hafal durian mana
 yang jatuh.” Kata Dio cerewet saat melihat Nane yang tiba-tiba jadi pendiam dan tidak ramah dengan suara durian yang jatuh itu.
      “Aku di sini aja, tanggung nih belum habis kopinya, ntar kalau dingin nggak enak.” Ia beralasan. Nif menatap Nane, Nane tersenyum tipis pada Nif. Nif merasa tidak enak dengan gadis itu.
      “Oke… ayo Nif…” kata Dio akhirnya. Dio tidak pernah sadar apa yang terjadi pada gadis itu. ia tidak tahu kalau ada yang berubah dengan Nane. Dan tentu saja Nane tidak ingin ada yang berubah, tapi tanpa Nane sadari memang ada yang berubah di antara mereka.
      “Ayo dong Nan…”kata Nif setengah memohon.
      “Sudah… cepat sana…” ujar Nane berusaha membuat Nif merasa santai. Pak Amir mengamati sikap kedua gadis itu. Nif mengalah, akhirnya ia menyusul Dio yang sudah melangkah. Mereka pergi.
      “Ehmm…” pak Amir berdehem. ”Kenapa tidak mau ikut?” goda pria yang sudah begitu akrab dengan gadis itu. ”Nan… bapak belum pernah melihat Dio mengajak gadis itu ke sini. Memang benar gadis itu teman kamu? Masa bapak tidak kenal kalau dia teman kamu? Dan lagi, bahasanya tidak sama dengan kita. Dia bukan teman kuliah Dio tapi mereka kelihatannya sudah sangat akrab, bapak tidak percaya kalau Nif itu teman kamu. Pasti ada yang tidak beres, kan? Jangan-jangan kamu sedang menjodohkan kedua orang itu…?”
      Nane tersenyum lalu meletakan gelas kopinya yang tinggal sedikit di atas bangku. Ia menarik napas dalam-dalam… ”Oke, pak. Kalau begitu saya menyusul mereka…”
      “Aduh, itu sih bukan sebuah jawaban….” Pak Amir geleng-geleng melihat Nane yang sudah melangkah menjauhinya. Nane tidak tahu harus menjawab apa pada pak Amir. Dia belum siap untuk membohongi pria itu. dan ia memang merasa tidak bisa berbohong dengannya. ”Anak sekarang memang susah di pahami.” Guman pak Amir.
      Dio membawa Nif ke bawah pohon di mana ia mendengar suara gedebuk tadi. Dan benar, sebuah durian besar tergeletak di sana. Dengan penuh rasa suka cita, Nif berlari menghampirinya. Dia belum pernah merasakan memungut durian dari bawah pohonnya langsung. Dio tidak kalah senang melihat sikap Nif yang girang.
      “Pegang tungkainya.” Kata Dio agak berteriak. Ia melihat ke atas di mana masih banyak buah durian yang bergelantungan di dahannya. ”Kita tidak boleh lama-lama ada di bawah pohonnya.”
      Nif menenteng hasil panennya meski hanya satu, dia sangat bahagia. ”Lumayan besar.” Katanya. Ia menyodorkan kepada Dio. ”Ini.”
      “Itu khusus untuk kamu.” Kata Dio sambil tersenyum.
      Nane muncul, ia melihat sebuah durian di tangan Nif. Dan gadis itu membawanya dengan wajah berbinar. Mungkin itu adalah momen pertamanya mendapatkan durian runtuh. Pikir Nane memaklumi.
      “Sudah dapat…?” kata Nane.
      “Ini… besar ya…” ujar Nif masih terlihat kesenangan. Bukan karena mendapatkan buah itu, tapi kejadiannya yang ia tidak bisa lupakan. Ia akan menceritakannya nanti kepada ibunya di rumah. ”Mau makan lagi…?” tawarnya tulus kepada Nane.
      “Sudah kenyang.” Kata Nane jujur.
      “Kalau sudah kenyang, jadi buat Nif bawa pulang aja untuk di makan di rumah bersama ibunya. Rasanya pasti lain, karena di pungut sendiri..” ia melirik Nane. ”Benarkan, Nan…?” kata Dio pada Nane. Gadis itu mengangguk. Ia menatap Nif lagi. ”Kira-kira kuat nggak menentengnya sampai rumah?” godanya. ”Nanti durinya kira ratain dulu. Biar tidak mengenai kaki.”
      “Benar ini buat aku…?” kata Nif masih tidak percaya. Ia tahu masih banyak durian yang ada di bale-bale tapi yang ini ceritanya pasti lain, dan ia yakin Dio tidak akan pelit untuk membaginya. Dio memang memahami perasaan Nif.
      Dio mengangguk pasti. ”Kalau Nane biasanya di bawa dengan menggunakan tas, jadi lebih ringan, dan bisa di bawa lebih dari satu buah. Tapi kalau sudah kecapean akhirnya aku juga yang menggendong tasnya.” Kata Dio jujur. dan kejujuran itu membuat wajah Nif sedikit berubah. Mereka jadi tertawa. Baru saja mereka keluar dari bawah pohon durian, sudah jatuh satu lagi. Nif sangat kaget, ia takut kena kepalanya. Mereka sama-sama kaget, cemas tapi kemudian tertawa bahagia.
      “Tu kan… coba kalau kita masih di bawah, biar aku yang ambil.” Kata Dio biar cepat dan bisa segera meninggalkan tempat itu. ia berlari dengan cekatan dan memungutnya. Ketika balik lagi dia mengeluarkan pisau dan merapikan duri-duri tajam yang melindungi buah itu. ”Tunggu sebentar ya..” tak lama kemudian kulit durian itu terlihat seperti sisik ikan, duri-durinya sudah tumpul hingga telihat warna putih yang bulat-bulat. Yang di pegang Nif pun ia tumpulkan, sementara yang ia pungut dia berikan pada Nane. Tapi di tolak Nane dengan cara halus.
      “Aku sudah sering makan durian, buat Nif saja dua-duanya.”
      Dio tersenyum. ”Siapa bilang buat kamu, ini buat Tangguh.” Kata Dio tidak mau kalah.
      “Dio benar Nan…” tambah Nif. Ia masih menyimak Dio menumpulkan durian yang satunya. Nane melirik Nif, ia masih tidak tahu apa yang melanda perasaannya saat ini terhadap gadis itu. gadis itu sepertinya menyukai Dio dan Dio sudah terang-terangan mengatakan kalau ia menyukai Nif, dan jatuh cinta kepada gadis itu. Nane merasa galau, mengingat pengakuan Dio. Selama ini mereka memang tidak pernah merahasiakan apa pun, baik masalah keluarga atau pun pribadi. Nane coba memastikan hatinya kalau ia tidak sedang jatuh cinta.
      ‘Aku tidak mungkin merasakan itu saat ini, sudah hampir dua tahun ini aku berada dalam posisi diam dan mempertahannya sampai saat yang sudah di tentukan oleh Tuhan. Tuhan… jangan rubah perasaan ini…’ guman Nane di dalam hatinya yang paling dalam.
      Nane menghela napas berat. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan? Jika ada perubahan perasaannya terhadap Dio itu di luar kuasanya. Sudah puluhan tahun mereka bersama bahkan masa kecil pun sering mereka habiskan bersama. Mereka selalu sekolah di tempat yang sama, Dio adalah kakak kelasnya. Orangtua mereka sudah begitu dekat. Kedua orang tua Dio begitu baik pada orang tua Nane. Mereka saling sayang satu sama lainnya. Mereka sudah melewati begitu banyak masa-masa indah. Andai tempat itu di ambil alih oleh Nif, apa yang akan terjadi? Nane tidak sanggup membayangkannya sedikit pun. Saat ini ia merasa ada rasa sakit yang melanda di hatinya. Entah kapan rasa itu menyapanya? Nane tidak menyukai kondisinya saat ini, juga dengan kondisi Dio sendiri. Dua tahun ini ia memendam perasaannya dan membiarkan semua berjalan apa adanya.
       Nane menginginkan sesuatu, sesuatu yang selama ini sudah ia genggam dan kini terasa seperti mau lepas. Ah…! Apa itu…?
      Lagi-lagi Nane menarik napas berat. Tiba-tiba matanya melihat dua ekor babi hutan, yang satu besar dan satunya lagi kecil. Pasti itu induk dan anaknya. Dua ekor babi itu sedang melintasi sisi kiri mereka. Nane menatap kedua babi itu tanpa bermaksud membuat babi itu merasa terancam sedikit pun..tapi usaha Nane sia-sia.. karena suara teriakan Nif membuat babi itu takut dan seperti ingin menantang mereka. Nif langsung memeluk tubuh Dio dengan rasa takut yang luar biasa. Dia pernah melihat babi di kebun binatang, tapi ini adalah hutan yang binatangnya tidak berada di dalam kandang. Sejenak kedua babi itu menatap mereka lalu berlari menjauh.
      Nane merasa lega karena kedua babi itu tidak membuat masalah. Sementara Nif masih memeluk Dio. Wajahnya pucat pasi. Nane tidak tega melihatnya, tapi di sisi lain ada rasa tidak rela Nif di peluk sama Dio.
      “Babinya sudah tidak terlihat.” Kata Dio berusaha menenangkan Nif. Nif melepaskan pelukannya dan ia merasa malu pada diri sendiri. Ia menoleh pada Nane lalu memegang tangan gadis itu, ia malu pada Nane karena tanpa sadar memeluk kekasihnya. Nane merasakan tangan Nif berkeringat dingin dan masih gemetar. Nane menggenggamnya erat, seperti memahami ketakutan gadis itu.
      “Apa kita masih harus pulang malam?” tanyanya kepada Nane.
      “Kamu itu kayak tidak pernah melihat babi saja.” ia melepaskan tangan Nif. ”Memangnya di Jakarta tidak pernah ke kebun binatang?” ujar Nane dengan nada seakan cuek. Padahal ia sempat khawatir, bagaimana pun juga kebun binatang tidak akan sama. Hewan yang ada di alam liar akan lebih berbahaya dari yang di pelihara, karena setiap hari selalu bertemu dengan manusia dan di beri makan. Sementara yang ada di hutan, akan lebih agresif.. dan besifat membela diri dari bahaya apa pun dan tak jarang akan menyerang manusia jika ia merasa terancam.
      Nif menoleh kepada Dio. Pria itu tahu apa yang ada di pikiran Nif. Ia mengambil kedua buah durian yang sudah ia rapikan tadi dan mengajak kedua gadis itu beranjak dari tempat itu.
      “Sebaiknya kita ke pondok sekarang.” Ajaknya. Nif menurut dan ia agak sedikit tersinggung dengan kata-kata Nane. Tentu saja ia pernah melihat babi dan ke kebun binatang. Tapi saat melihat babi yang barusan ia seakan melihat babi lepas dari kandang dan mencoba mendekatinya atau menyerangnya, bahkan siap membunuhnya kapan saja. Nane tentu saja tidak mengerti apa yang aku rasakan. Pikir Nif.
      “Memangnya babi-babi itu tidak pernah di buru atau di bunuh? Mereka kan merusak tananam?”
      “Pernah sih, orang di kampung ini juga bahkan punya jadwal berburu.” Jelas Dio.
      “Oh begitu ya? Tapi kok masih banyak aja…?” kata Nif seperti menyesali kenapa mesti ada babi di tempat itu. Nane tidak berkomentar apa pun lagi, ia hanya mendengar obrolan Nif dan Dio saat menuju pondok. Ia masih tidak bisa melupakan tangan Nif yang gemetar dan berkeringat tadi, itu menandakan kalau dia benar-benar ketakutan.
      Dio menjadi berpikir ulang untuk pulang malam, ia tidak bisa melupakan wajah pucat dan pelukan ketakutan dari Nif. Dia tidak akan membuat Nif merasa ketakutan di sepanjang jalan, meski pun pulang malam dari kebun itu punya keasyikan sendiri.
      Nif sudah naik ke pondok, Nane mencuci kakinya di pancuran kecil dan Dio menghampirinya. ”Nan.. sebentar lagi kita pulang ya…? Nanti kita ambil kelapa muda di sawah.” Kata Dio seperti meminta pengertian dari Nane. Minum kelapa muda sebenarnya asyik dan Nane memang suka apalagi langsung dari pohonnya, tapi Nane tahu kalau itu sekedar alasan Dio untuk pulang lebih cepat. Ia menatap pria itu, entah maklum dengan rasa takut Nif atau ada rasa tidak rela karena Dio mengutamakan kepentingan gadis itu. Hingga senyum Nane terlihat agak di paksakan.
      “Terserah kamu saja..”
      “Hei kok ngomongnya seperti itu? aku mau mendengar dari mulut kamu, mau apa nggak?” nada suara Dio pelan belum berubah dari biasanya. Nane tidak memberi jawaban lain selain senyuman. Membuat Dio menarik tangannya. ”Bagaimana…?”
      Dari atas pondok Nif bisa melihat sikap Nane dan Dio meski tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. ’Semoga mereka tidak bertengkar’ Nif takut kedua pasangan itu bertengkar gara-gara sikapnya tadi. Ia merasa sangat malu dengan kejadian tadi, memeluk Dio di depan Nane bukanlah hal yang ingin dia lakukan. Itu tidak akan terulang lagi, itu semua karena babi berengsek itu. keluh Nif.
      Mereka menuruni gunung menjelang sore. Nane tidak akan mengecewakan Nif dan Dio. Bagaimana pun juga dia tahu kalau Nif tidak setegar yang ia kira. Nif tetaplah gadis kota yang mencoba terlihat berani di depannya. Sekuat apa pun keinginan Nif tetap tidak akan lepas dari mata Nane. Nif tidak bisa menyembunyikan kegugupannya di mata Nane.
      Setelah menginjak persawahan mereka berjalan lebih santai karena babi hutan tidak akan turun ke sawah kalau masih sore, jika sudah malam suka juga turun tapi hanya di lereng-lereng gunung saja. Dio mengajak Nane dan Nif untuk mampir di pondoknya yang di sawah. Pondok itu jauh lebih rendah dari yang di kebun tadi.
      “Tadi kita tidak lewat jalanan yang ini, kan?” tanya Nif.
      “Ya, karena jalan cepat menuju kebun kita memang harus naik mobil dulu, ini kita pulangnya agak muter sedikit. Kita ke pondok itu dulu, ada sebuah keluarga yang tinggal di sana.”
      “Mereka menginap?” tanya Nif. Kali ini Nane berjalan di belakang mereka, ia mengamati Nif dari belakang tanpa mau ikut komentar pertanyaan Nif sedikit pun.  Ia membayangkan bagaimana kehidupan Nif di Jakarta. Entah kenapa tidak ada minatnya untuk menginjakkan kakinya di kota asal Nif itu. ia melihat cara jalan Nif, langkahnya yang pelan namun ia merasa tidak terganggu dan tidak ingin buru-buru sampai. Rambut Nif yang panjang agak tipis itu melambai di tiup angin, meski ada topi kecil di atas kepalanya. Nane menghela napas panjang… tidak tahu apa jadinya kalau Nif benar-benar jadian dengan Dio. Nane tidak membenci Nif, tidak sedikit pun. Tapi ada rasa yang tidak ia rela seandainya Dio berubah sikap dengannya. Dan satu lagi………!!!?
      “Ya, anak mereka masih kelas lima SD dan berangkat sekolah dari sini, dari pondok ini sampai di rumah kira-kira lima belas menit.” Kata Dio dan mereka sudah tiba di pondok itu.
      Seorang ibu muda menyambut kedatangan Dio, Nif dan Nane. Nane tersenyum dengan wanita yang sudah sangat akrab dengannya itu lalu menoleh ke tengah kolam besar di mana ada anak usia belasan bersama Ayahnya. itu suami wanita ramah yang ada di hadapan mereka dan anak itu adalah anak mereka. Itu pemandangan biasa bagi Nane. Mereka terlihat sedang bermain di atas rakit bambu sembari membersihkan lumut liar yang ada di dalam kolam ikan itu.
      Dio meletakkan tas gendongnya lalu mengatakan niatnya untuk mengambil kelapa muda pada ibu muda yang sudah puluhan tahun menjadi pendamping suaminya menggarap sawah milik Ayah Dio.
      “Itu yang pas untuk di ambil.” Ia menunjuk ke pohon yang ada di depan pondok. ”Kakak masih punya gula merah tapi es batunya tidak ada..” tambah wanita itu menyebut dirinya kakak kepada Dio.


bersambung...........,

b

Tidak ada komentar: