Rabu, 23 Januari 2013

Selembar Tirai

BAB 1
Siapa mencintai siapa?

Gema suara guntur menggelegar membahana seakan mau membelah bumi ini diiringi derasnya hujan yang berjatuhan dari langit, inilah alam yang penuh dengan misterinya namun Tuhan maha mengetahui. Air mulai menggenangi halaman rumah-rumah penduduk, banjir kecilpun sudah mulai kelihatan. Jakarta memang rawan banjir, apalagi kalau kota Bogor sudah hujan maka Jakarta rela tidak rela akan menerima air kiriman dari sana.
       Kareena menyandar di tiang halte bis, gadis itu terlihat kedinginan. Ia tak peduli dengan satu dua orang yang ada di bawah halte itu, matanya menatap kosong pada titik-titik hujan yang jatuh di depannya. Ia melipat kedua tangannya di dada, ia melamun atau sedang mengingat masa lalunya waktu di Palembang. Perjalananya masih sangat panjang.
      “Karin…….?” Suara itu disertai dengan sentuhan lembut di pundak Kareena memaksanya menoleh dari datangnya suara dan terlihatlah sebuah senyuman manis dan gigi-gigi putih yang cemerlang, Kareena pun membalas senyum tulus itu. “Pulang bareng, yuk?” ajak Arman. Teman sekelas Kareena. Mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu, hanya saja Arman menutupinya dengan jaket kulit. Arman datang ke sekolah mengendarai motor tapi tadi Kareena tidak mendengar suara motornya berhenti. Entah itu untuk yang keberapa kalinya Arman mengajak Kareena pulang bersamanya dan belum pernah dikabulkan oleh Kareena.
      “Duluan aja, Ar….. lagian masih gerimis ini.” Kata Kareena beralasan dan belum beranjak dari tempat duduknya.
       “Oke, kalau begitu gimana kalau kita sama-sama tunggu gerimisnya reda.” Sepertinya Arman bersikeras dan bersabar, kesabaran Arman selama ini membuat Kareena seringkali goyah. Sudah hampir dua bulan ini pria itu coba mendekatinya, itu yang diketahui Kareena, tapi menurut lucy sahabat Kareena, pria itu menyukai Kareena sejak ia masuk sekolah itu. Mungkin.
      Arman bukan anak sembarangan, ia termasuk murid yang jenius, sopan dan tampan pastinya. Tapi dia playboy dari anak orang kaya. Tapi sejak menyukai Kareena ia jarang membawa mobil karena ia tahu Kareena tidak suka ia mengumbar kekayaan orang tuanya. Sepertinya demi mendapatkan cinta Kareena saja.
      Kali ini pria itu sudah berdiri di samping Kareena dan bicara dengan agak berbisik. “Karin… kamu tidak menyukai aku, ya?”
      Kareena melirik ke wajah Arman sekilas. “Kamu ngomong apa sih?” katanya pelan dan malu, lalu menoleh lagi ke jalanan.
      Arman belum menjauhkan wajahnya dari dekat Kareena. “Bukannya tanpa alasan aku bertanya seperti itu, jawablah.” Ujarnya. Kareena tidak ingin terlalu menghiraukan kata-kata Arman. Ia menarik napas sejenak lalu menatap pria itu. Pria itu masih menantinya dengan sabar.
      “Sepertinya untuk menjawab pertanyaanmu, kali ini aku harus mengikuti ajakanmu.” Kali ini Kareena mengalah.
       Arman menatap gadis itu dengan rasa masih tidak percaya. Beberapa detik berikutnya mereka sudah meninggalkan area halte karena hujan pun sudah mulai berhenti. Arman masih tidak percaya kalau akhirnya Kareena benar-benar mau pulang bersamanya. Setelah perjalanan satu menit Arman menepikan motornya. Berhenti.
      “Bagaimana kalau kita mampir dan makan dulu di sana?” usulnya setelah menunjuk ke arah kafe kecil.
       “Sebaiknya kita langsung pulang saja.” Kareena tidak mengabulkan permintaan Arman.
       Arman menoleh ke belakang sedikit untuk bicara dengan Kareena. “Kenapa? Apa anak SMA tidak pantas makan di kafe?” katanya sembari tertawa kecil.
      “Mungkin ya, tapi yang pasti aku merasa nggak enak aja dengan seragam yang masih kita kenakan ini.” Sahut Kareena. Ia tidak ingin dilihat orang makan-makan di kafe dengan masih mengenakan seragam sekolah. Kurang etis saja, itu pikir Kareena.
      “Oke….” Arman memaklumi apa yang Kareena katakan. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan dan gerimis pun turun lagi. Ketika sampai di tempat tinggal Kareena, Arman tidak mau masuk meskipun tantenya Kareena sudah menawarkannya untuk mampir. Arman cukup merasa bahagia bisa mengantar Kareena pulang. Arman Arman…..!
      Tante yang melihat baju Kareena basah menjadi khawatir. “Mengapa memaksa pulang kalau masih hujan?” katanya. Ia tidak mempermasalahkan Kareena pulang naik motor temannya tapi kalau kehujanan gadis itu bisa saja sakit.
       “Tadi sebenarnya dari sekolahan hujannya sudah berhenti Tante, tapi pas mau nyampe hujan lagi, rasanya tanggung juga berhenti lagi.” Kareena sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
       “Tapi lain kali tidak boleh seperti itu lagi nanti kamu bisa sakit, kamu ganti baju sana terus makan, tidak usah menunggu Yoga.” Saran tantenya dengan nada seperti biasa, lembut dan penuh perhatian. Wanita karir itu berjalan ke kamarnya, hari sabtu ia libur dan memang senang menghabiskan waktunya di rumah. Kalaupun pergi biasanya hari minggu itupun biasanya ke pantai bersama suaminya.
       Kareena masuk ke kamarnya, ia belum ada nafsu untuk makan. Beberapa detik saja alunan suaranya Tantri Kotak terdengar indah ‘Masih Cinta’ Hmm….. bayangan Dody pun muncul bersama lagu itu. Kareena tidak tahu apa ia menyukai lagu itu atau berusaha memunculkan bayangan Dody. Hampir tiga tahun sudah ia coba melupakan pria itu.
      Di Palembang, waktu kenaikan kelas 3 SMP Kareena dipindahkan dari 3C ke 3A karena ia juara 1 di kelasnya. Kareena ingat saat itu Zonzona teman sekelasnya memanggilnya.
       “Karin……..!” pria hitam manis itu berlari ke arah Kareena. Kareena menoleh sedetik saja pria itu sudah ada dihadapannya dengan napas ngos-ngosan. “Aku, aku…….dapat bocoran dari guru matematika kita, katanya nilai kamu tertinggi di kelas, selamat ya.”
      Saat itu Kareena hanya tersenyum, apa mungkin belajar sembari mendengarkan lagu bisa menjadi bintang kelas? Pikirnya. Karena setiap belajar di rumah Kareena selalu menyetelkan lagu-lagu kesukaannya. Tapi Kareena memang menyukai pelajaran matematika, didukung oleh gurunya yang selalu menyenangkan. Fokus saat menerima penjelasan di kelas dan latihan mengerjakan soal, hanya itu yang Kareena lakukan.
       Di kelas 3A berkumpul anak-anak yang dianggap rajin belajar dengan tekun dan memang sudah jenius. Kareena termasuk bukan yang jenius, ia hanya rajin mengulangi pelajaran di rumah dan tekun menyimak guru di sekolah dan ia paling anti menyontek. Kareena sendiri tidak tahu mengapa gurunya membuat sistim seperti itu.
      Dody adalah ketua kelas 3A, ia tampan sekali, kulitnya putih dan bibirnya seksi. Ia jago bicara Inggris, terkadang suka membuat tulisan-tulisan dengan bahasa Inggris di papan tulis kalau lagi jam istirahat. Hampir setiap ada kesempatan Kareena mencuri pandang kepada pria itu, tapi demi Tuhan, sebelah mata pun Dody tidak pernah meliriknya. Mungkin di matanya Kareena hanyalah gadis lugu yang pemalu. Pernah mereka mengerjakan tugas kelompok soal matematika, hanya sebatas itu. Dody bicara pada Kareena hanya soal matematika saja, tidak lebih. Ia boleh bicara cas cis cus dengan Inggrisnya tapi ia lemah di matematika. Dan yang sangat menyakitkan hati Kareena ketika ia mengetahui kalau Dody ternyata dekat dengan Lina, gadis itu sudah sekelas dengan Dody sejak dari kelas 1. Kareena terluka, akhirnya selepas SMP ia mengabulkan permintaan tantenya untuk pindah dari Palembang ke Jakarta. Sebenarnya sejak dari SMP tantenya sudah memintanya pindah, alasannya di rumah kurang orang. Karena beliau hanya memiliki Yoga sementara Kareena lima bersaudara dan Kareena anak tertua.
       Suara deringan ponsel membuyarkan lamunan Kareena, ia langsung mengangkatnya. “Halo…?’
       “Rin….” Ternyata Arman. “Aku mengajak kamu nonton nanti malam, mau ya?” pinta Arman. Kareena diam, bingung. “Ayolah Rin…. Tidak mungkin aku berani mengajakmu kalau bukan malam minggu.” Suara Arman pelan namun penuh harap sementara Kareena masih membisu. Ia tidak percaya kalau Arman begitu cepat bersikap berani. “Karin…..kamu masih di situ, kan?”
       “Ya, tentu saja. Aku masih mendengarkanmu.” Sahut Kareena pelan setelah lama diam.
       “Tapi mengapa? Kurasa film yang diputar di bioskop tidak hanya untuk dua puluh tahun ke atas, kan? Pasti ada untuk usia tujuh belas tahunnya.” Kata Arman setengah menjelaskan. Kareena hanya tersenyum dan tentu saja Arman tidak melihat senyumnya.
       “Oh, ya? Tapi asal kamu tahu Man, aku ini belum tujuh belas tahun.” Sahut Kareena setengah tertawa.
       “Oh, ya?” Diam sesaat. Lalu…. “Tapi Rin….. apa yang harus aku lakukan? Aku sebenarnya ingin sekali nonton bersama kamu malam ini.” Rengek Arman.
       “Kita lihat saja nanti….”
       Putus!
*
       Pukul lima sore, Yoga baru saja pulang di saat Kareena baru bangun dari tidur siangnya dan seperti biasa ia menegur Yoga dan dijawab sekedarnya sambil lalu ke kamarnya. Yoga si cool yang cuek berbeda sekali dengan Om dan Tante, saking cueknya hampir tiga tahun Kareena tinggal di rumahnya belum juga ia tahu bagaimana pribadi Yoga yang sebenarnya dan siapa pacarnya. Di mata Kareena pria itu agak misterius. Kalau sekali-kali mereka bertemu pandang Kareena langsung buru-buru mengalihkan matanya ke arah lain karena sepasang mata Yoga seperti mata elang yang kapan saja siap menerkamnya, itu menakutkan tapi Kareena penasaran… dan terkadang menginginkan tatapan itu.
       Tante menyambut Yoga dengan senyum bijak seorang ibu. “Yoga, nanti malam bisa temani Mama dan Karin belanja?” Tanya tante setelah Yoga menyelesaikan makannya. Yoga menatap mamanya.
       “Belanja?” ulangnya seakan menegaskan.
       “Ya, tapi kalau nggak bisa juga nggak apa-apa kok.” Katanya tidak memaksa anaknya.
       “Ya, nanti Yoga usahain deh, Ma.” Kata Yoga mempertimbangkan, setelah itu ia dan mamanya meninggalkan meja makan karena akan segera dibersihkan oleh bi Ima. Yoga menuju ruangan televisi sementara mamanya pergi ke kamar Kareena.
       “Karin…. Nanti malam ada acara tidak?” kata tante setelah duduk di tempat tidur keponakannya itu. Kareena menoleh kepada tantenya karena pertanyaan seperti itu tidak pernah ia dengar sebelumnya. Wajah tante terlihat begitu tenang dan Kareena pikir inilah saatnya untuk mengatakan sesuatu. Tapi ia tidak yakin apakah tantenya akan marah atau bahkan memaki-makinya dan mengatakan ia tidak tahu diri! “Hei….. kamu mengapa bengong?”
      Kareena coba untuk tersenyum, ia jadi salah tingkah karena ketahuan melamun. “Mm... Tante, nanti malam, temanku si Arman mengajak nonton bioskop, boleh?” nadanya agak tertahan karena takut dimarahi. Tiba-tiba Kareena merasa bodoh mengapa bertanya seperti itu padahal Arman sendiri tidak pernah berjanji untuk menjemputnya, mengiyakan ajakan Arman saja belum. Tapi pertanyaan itu sudah terlanjur keluar dan Kareena sudah siap menanggung resiko dari kebodohannya tapi anehnya ia malah melihat tantenya melebarkan senyuman.
       “Tidak apa-apa, Tante juga melihat ia pemuda yang baik. Bukannya Tante mendorong kamu untuk bergaul bebas, karena semua itu ada ketentuannya dan yang lebih penting harus bisa menjaga diri.” Wanita itu lagi-lagi tersenyum, mungkin ia ingat saat pertama kali pergi dengan cowok dulu waktu ia duduk di kelas tiga SMP. “Tapi Tante agak sedikit kecewa.” Tambahnya. Kareena tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh tantenya. “Jangan bingung begitu sayang… Tante tadi sebenarnya sudah bicara sama Yoga agar ia bisa mengantar kita belanja malam ini.”  
       “Oh, kalau begitu akan aku batalkan kepergianku sama Arman.” Sahut Kareena dengan cepat karena merasa tidak enak dengan tantenya.
       Wanita itu jadi tersenyum. “Tidak sayaaannng, kalian yang lebih dulu berjanji. Kita bisa pergi kapan saja.” Ujarnya lalu meninggalkan Kareena. Kareena tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi tantenya keluar dari kamar. Ketulusan wanita itulah yang membuat ia betah tinggal di rumah itu, kalau ia ingat sikap Yoga maka rasanya ia ingin sekali buru-buru menamatkan sekolahnya lalu mencari kerja dan hidup mandiri.
*
       Kareena turun dari kamar, di ruang keluarga ia melihat Yoga sedang asyik sekali menyimak acara di televisi. Entah mengapa ia kali ini menonton di ruang keluarga, biasanya juga mendekam di kamarnya yang dilengkapi segala macam benda elektronik. ‘sombong sekali mahluk satu itu.’ Guman Kareena dalam hari sembari berjalan ke dapur tempat bi Ima sibuk, Kareena senang membantu bi Ima di dapur. Dari kelas 3 SD ia memang sudah dibiasakan oleh ibunya untuk mengurus dapur dan belajar masak.
       “Ayo Karin…..apa yang sedang kamu lakukan?” kata tante setelah melihat Kareena ada di dapur, ia sedang sibuk bersama bi Ima di meja dapur. Kareena ikut duduk di sebelah tantenya.
       “Tante…..” sapa Kareena sepelan suara tantenya tadi. “Tante sepertinya salah kalau selalu melarangku untuk membantu Bi Ima.” Protes Kareena sebab wanita itu selalu saja mengkhawatirkannya kalau sedang bersama bi Ima.
       “Apa nanti kata Ibumu? Tugas kamu di sini adalah belajar dan meramaikan rumah ini.” Sahutnya.
       Kareena menatap tentenya. “Bagaimana aku bisa belajar masak kalau tidak pernah diperbolehkan ke dapur? Coba Tante bayangin seandainya nanti aku tidak mampu untuk membayar orang seperti Bi Ima, apa yang harus aku lakukan pada keluargaku nanti?” katanya seolah minta pertimbangan wanita yang baik hati itu. Tante melebarkan senyumnya dan sekilas melirik bi Ima.
       “Bi, denger tuh.” Ledeknya. Bi Ima hanya senyum-senyum masam. Kembali tante menatap Kareena. “Kata-kata kamu memang ada benarnya Rin, apa semua ini karena seorang Arman?”
       “Tidak Tante, Arman itu bukanlah siapa-siapa, untuk lima tahun ke depan tugasku adalah belajar dan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya kendatipun begitu aku tetaplah seorang wanita yang harus mengerti tentang dapur, karena wanita harus memiliki ilmu lebih dari lelaki, aku benarkan, Tante?” ucapnya kemudian.
       “Tante mengangguk. “Tentu saja.”
*
Menjelang malam, cuaca sangat cerah.
Kareena duduk di kamarnya seperti orang bingung, ia bertanya-tanya dalam hati apakah Arman akan menjemputnya atau tidak? Di bawah terdengar Om baru saja pulang dari kerja, dia adalah pria yang sangat dihormati di rumah itu. Perawakannya tinggi besar, rajin sekali menegur setiap orang yang ditemuinya, penyayang dan tegas dalam bersikap.
      Yoga menghampiri mamanya. “Ma, aku sepertinya aku bisa mengantar Mama.” Ucapan Yoga itu terdengar hingga ke telinga Kareena. Sebab ruang tengah mereka pas ada di dekat tangga menuju lantai atas, di mana kamar Yoga dan Kareena bersebelahan.
       “Wah, besok saja ya sayang…. Malam ini Kareena tidak bisa ikut karena sudah ada janji dengan temannya.”
       Yoga sedikit kaget mendengar pernyataan mamanya, tidak biasanya Kareena punya janji pergi pada malam hari. “Janji?” katanya seakan tidak percaya dengan keterangan mamanya.
      Kriiiiiinnnnnnnnng!!!
       Bel pintu depan berdering. Tante menoleh ke Yoga. “Sayang…..tolong bukakan pintu sebentar ya.” Pintanya. Sepertinya ada tamu. Yoga berjalan ke arah pintu, belum juga hilang kagetnya mendengar penuturan mamanya tadi ditambah lagi munculnya seorang pemuda yang tak dikenalnya. Keduanya saling berpandangan sejenak, lalu pemuda itu menegur Yoga.
       “Malam, Bang…”
       Tatapan Yoga penuh selidik. “Cari siapa?” katanya tidak bersahabat, ia ingat dengan pembicaraannya dengan mama tadi dan sepertinya pemuda itu akan menemui Kareena. Pikirnya.
       “Kareena.”
       “Kareena…?” ulang Yoga dan ia sudah mendengar dengan baik nama itu dan seharusnya tidak perlu diulang lagi.
       Pemuda itu mengulurkan tangannya kepada Yoga. “Mmm…saya Arman.” Di sambut Yoga acuh tak acuh. “Anda pasti Abangnya Kareena.” Lanjut Arman berusaha ramah.
       “Saya memang Abangnya, ingat itu! Karin boleh bergaul dengan siapa pun tapi jika ia sedang bersama kamu, maka dia sepenuhnya tanggung  jawab kamu. Silahkan masuk.” Katanya setelah memberi ultimatum kepada pemuda itu.
       Arman memaksa tersenyum. “Terima kasih.”
       Pemuda inilah yang membuat Kareena membatalkan niat Mama untuk belanja!
Beberapa menit kemudian, Kareena pergi dengan ceria setelah mendapatkan izin dari Om dan Tantenya. Om-nya sempat terkejut juga, untung tante memberinya penjelasan. Kareena tidak kalah terkejut setelah mengetahui kalau Arman mengajaknya nonton dengan naik mobil mewah.
       Mereka sudah ada di dalam mobil. “Nggak salah nih? Mobil siapa yang kamu bawa?” ledek Kareena sembari bercanda. Arman hanya tersenyum dan sekali-kali melirik ke wajah Kareena yang duduk di sebelahnya. Tidak bisa ia sembunyikan kebahagiaan di hatinya. ‘Inilah malam bersejarah yang aku tunggu-tunggu selama ini.’ Guman Arman di dalam hati. Kareena adalah gadis impiannya selama ini dan malam ini gadis impian itu telah bersedia diajak nonton berdua dengannya. ‘Tuhan…. Inilah anugrah terindah-Mu’
      ‘Arman…..jangan senang dulu, belum tentu Kareena menyukaimu.’ Sisi lain di hati Arman sedang membantah.
       “Arman….?”
       Arman menoleh ke Kareena lalu ke jalanan lagi. “Kenapa? Kamu nggak suka ya? Bapakku aja nggak keberatan meminjamkannya untuk kita.” Jelas Arman sedikit sombong.
      “Bukan, bukan itu…..” Kareena tidak meneruskan kata-katanya ia berpikir dengan mengikuti ajakan Arman membuatnya merasa bersalah. Ia takut telah menaburkan harapan untuk Arman. Tuhan….apa yang telah aku lakukan ini? Mobil pun berhenti.
       Arman memandang Kareena. “Kita sudah sampai.” Kata Arman. Mobil memasuki area parkir gedung bioskop. Mereka sampai setengah jam lebih awal sehingga bisa melihat-lihat dulu film apa saja yang akan diputar dan sayangnya semua film yang tersedia berasal dari luar. “Yang mana Rin?” Tanya Arman.
       “Memangnya kamu suka film apa?” kata Kareena balik bertanya.
       “Kalau aku sih terserah kamu saja.” Mereka berdiri di depan poster film yang akan ditayangkan.
       Kareena melirik Arman sekilas. “Yah, nggak bisa begitu dong. Aku tidak mau kamu menonton film yang tidak kamu sukai hanya karena aku.”
       Arman tersenyum, di depan mereka ada beberapa judul film yang sebenarnya tidak begitu mereka sukai tapi karena sudah berniat untuk menonton tidak enak juga dibatalkan. “Aku pilih teater nomor tiga dan nomor satu.” Kata Arman akhirnya.
       Giliran Kareena yang tersenyum. “Memangnya mau nginep di sini? Nonton dua sekaligus…
Oke, kita pilih yang nomor tiga saja.” Usul Kareena. Film yang memceritakan tentang ketidakpuasan manusia dengan penciptanya alias menolak takdir.
       “Siapa takut!” Arman setuju dan ia langsung memesan dua tiket untuk teater nomor tiga. Setelah itu mereka duduk di ruangan di mana remaja terlihat berpasang-pasangan ramai sekali sehingga tempat duduk pun nyaris tak tersisa. Menit berikutnya Arman membawa Kareena ke kantin. “Kamu mau pesan minuman dan makanan kecilnya apa, silahkan pilih.” Arman bersikap layaknya kekasih Kareena yang rela memberikan apa saja kepada Kareena dan malah membuat Kareena bingung.
       “Nanti saja deh.” Tolaknya halus.
       “Kita masih punya banyak waktu dan bisa menikmati minuman sembari duduk dan menunggu teater dibuka.” Kata Arman dan kali ini nadanya terkesan tidak ingin direpotkan lagi nanti, ia pun memesan dua minuman kaleng dengan merek ternama juga dua box makanan kecil lalu mengajak Kareena kembali ke tempat duduk.
       Kareena menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sembari menghela napas dengan berat. Minuman kaleng yang baru saja diberikan Arman masih tertutup rapat, matanya memandang beberapa pasangan yang terlihat sedang bergandengan tangan yang ada nyaris di setiap sudut ruangan sembari melihat-lihat poster film yang ditempatkan sepanjang dinding di ruangan itu. Mereka sepertinya terlihat mesra-mesra dan juga menyukai film-film barat. Pikir Kareena.
       “Rin……?” lamunan Kareena buyar oleh panggilan pelan dari Arman. Kareena menoleh seakan baru sadar kalau ada Arman yang sedang duduk bersamanya, ia coba untuk tersenyum….
“Kok belum diminum?” tegur Arman setelah melihat kaleng yang di tangan Kareena masih rapat dan detik berikutnya tangannya melingkar ke pundak Kareena membuat Kareena sedikit tersentak dan coba menenangkan tarikan napasnya hingga akhirnya bisa rileks kembali. “Karin…?” lanjut Arman. Ia menatap Kareena dan mereka saling tatap sejenak dan diam. Tidak ada yang mengiraukan apa pun yang akan mereka bicarakan di tempat itu dan seperti yang ada di pikiran Kareena bahwa setiap pasangan yang ada di tempat itu sekarang pastilah pasangan kekasih meski semuanya belum tentu benar seperti halnya Kareena dengan Arman.
       “Kenapa menatap aku seperti itu?” ujar Kareena tiba-tiba merasa risih ditatap oleh Arman.
       Arman malah tertawa pelan. “Aku ini bodoh sekali.” Ucapnya seperti orang salah tingkah. “Bagaimana menurut kamu, apa pantas aku mengatakannya sekarang?”
       “Mengatakan apa?” Kareena pura-pura tidak mengerti apa yang Arman maksudkan. Tangan Arman sudah turun dari pundak Kareena namun kini ia menatap mata Kareena dengan begitu lekat.
       “Aku menyukai kamu, aku mencintai kamu, Karin.” Ujarnya setengah berbisik seakan tidak rela orang lain mendengar perkataannya untuk Kareena.
       Oh Tuhan…..
Kareena merasakan kalau saat itu wajahnya berubah merah, biru, kuning atau bahkan semua warna pelangi. Bodoh! mana ada pelangi di malam hari, yang ada juga bintang atau bulan. Kareena tersenyum kalem, ia merasa yakin sekali kalau Arman akan mengatakan kata-kata itu hanya saja ia tidak percaya akan secepat itu. Ya namanya juga anak muda, ia tidak mau terlambat khawatir akan didahului orang lain.
       “Karin…maaf, kamu jangan marah dulu ya. Aku sebenarnya tidak gampang jatuh cinta, kamu boleh ambil keputusan kapan saja dan aku akan menunggu sampai kapan pun, kapan pun.”
       Kareena bingung, ia memang membutuhkan Arman tapi apakah itu cinta atau bukan, ia tidak tahu. Terdengar suara indah Maria Oentu dari rekaman monitor untuk mempersilahkan para calon penonton untuk segera masuk ke dalam teater masing-masing. Arman dan Kareena beranjak dari tempat duduk mereka.
       Di dalam gedung bioskop mereka sangat menikmati pertunjukan film, hingga tanpa terasa waktu berlalu dengan begitu cepatnya. Kareena tidak mengajak Arman untuk ngobrol di dalam, selain akan mengganggu penonton yang lain juga karena niatnya datang memang untuk menonton. Dua jam berikutnya mereka melangkah meninggalkan ruangan gelap itu.
       “Bagaimana menurut kamu tentang cerita film tadi?” Tanya Arman setelah mereka melewati lorong menuju pintu keluar. Pria itu coba menggandeng tangan Kareena. Menurut Kareena, Arman itu pemuda yang baik hingga detik ini karena ia tidak pernah berusaha untuk mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Biasanya seorang cowok kalau mengajak cewek nonton bioskop mereka hanya bermaksud untuk mencium ceweknya bukan menonton film. Itu kata Lucy pada Kareena dalam kesempatan di sekolah mereka sekitar seminggu lalu. Tapi untungnya Arman bukan cowok seperti itu. Pikir Kareena. “Karin…..?” Arman bicara lagi. “Bagaimana?”
       “Apa? Masih mengenai film?” ujar Kareena. Lalu ia melanjutkan. “Kalau menurut aku pribadi, itu hanya kelemahan seseorang yang tidak bisa menerima takdir atau kenyataan hidup karena tidak rela ditinggalkan orang yang teramat ia cintai hingga berusaha untuk menghidupkan pasangannya lagi. Mengharukan sekaligus tidak bisa diterima nalar.” Kata Kareena panjang lebar. “Semua itu diakibatkan cinta yang berlebihan, kata orang  tuaku, segala yang berlebihan itu tidak baik akibatnya.” Tambah Kareena seakan belum puas dengan penjelasannya.
       Arman hanya tertawa kecil, ia tak menyangka kalau penjelasan Kareena begitu mendetail. Mereka menuju tempat parkir dan di sana tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara yang tidak sopan sekaligus mengancam.
       “Hai?!” sapa seorang wanita dan detik berikutnya menyusul tiga orang pria dari belakangnya. Wanita itu menatap tajam ke wajah Arman. “Sepertinya kamu sudah coba menyingkirkan aku!” ketusnya agak geram.
       “Hai, Sally.” Sapa Arman lalu menoleh ke Kareena. “Kenalkan, ini Kareena.” Katanya dengan santai seolah tidak memahami kemarahan wanita yang bernama Sally itu. Kareena yang tidak mengerti apa-apa menoleh ke Arman lalu ke wanita yang dimaksud Arman. Wanita itu menatap Kareena dengan rendah hingga ia terkesan sombong, tatapannya sinis ke Kareena. Ia menganggap Kareena adalah gadis penakut yang telah merebut pacarnya. Tapi apa pedulinya.

Siapa Sally..???
**
Bersambung....)))

1 komentar:

Helda Tunkeme Xwp mengatakan...

Kisah Kareena yang mencintai sepupunya,
Bagaimana yaaa...?
padahal mereka harus menikah!