Senin, 23 April 2012

Novel 'Tanaya Bergejolak'


                                                   TANAYA BERGEJOLAK
                                        (Sebuah novel Remaja akhir)

 PRIA BISA MENDEPAK DAN MELUPAKAN WANITA.....
TAPI WANITA TIDAK BISA MELUPAKAN........., NAMUN BISA MENGHANCUR LEBURKAN DAN MELULUH LANTAKKAN ISTANA KERAJAAN SANG PRIA.....!!!!


SINOPSIS :
      Tanaya adalah seorang wanita jelita, tulus mencintai pria yang juga mencintainya. Hubungan suami isteri pra nikah pun terjadi dan Tanaya hamil, pria yang tadinya mencintai dia tidak berani ambil resiko, ia lari dari tanggungjawab dan memilih meninggalkan Tanaya demi masa depannya sendiri.
      Sesuatu yang tidak diharapkan pun terjadi, Tanaya harus berjuang hidup di antara malu, susah dan dendam yang semakin hari semakin menggunung di hatinya, belum lagi harus dijauhi keluarga dan kerabat dan… Tanaya kini hidup dengan satu alasan yaitu DENDAM…!
      Ia membenci semua pria tak terkecuali anaknya sendiri yang berusia sepuluh tahun. Dia memang menerima setiap pria yang tergila-gila dengan pesonanya, lalu menenggelamkan mereka ke dasar lautan hatinya yang sudah membatu.
      Masa depan pria pun ada di tangannya, jangan pernah ucapkan kata-kata cinta dengannya…!!!
 

                                                                   BAB 1
                                        JAKARTA, API BARU SAJA MENYALA

       Angin Jakarta yang bercampur polusi tidak menghalangi indahnya pemandangan malam, cahaya lampu yang warna-warni menciptakan nuansa keindahan tersendiri. Jika kita melihat ke atas, gedung-gedung bertingkat, apartemen dan mall akan membuat mata takjub menatapnya, tetapi itu hanyalah karya tangan anak manusia. Di bawah jembatan layang ada ratusan anak manusia yang hidup dengan cara mereka sendiri, mereka hanya butuh makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Jika usaha dan kerja keras serta do’a bisa merubah kehidupan mereka, mungkin hidup mereka sudah lama ber-ubah lebih baik. Indonesia adalah alam yang kaya tapi kenapa penduduknya miskin?
      Kesenjangan sosial terlihat begitu nyata, dunia hanya milik orang-orang pintar yang berduit bukan milik orang pintar yang jujur. Uang bisa membeli cinta, kegadisan bisa diperjualbelikan…. Namun Tanaya hidup hanya untuk melumatkan hati laki-laki.

      Seorang wanita baru saja keluar dari sedan warna hitam, ia mengenakan sepatu hak tinggi dengan warna hitam, seakan memperlihatkan bentuk sepasang kakinya yang putih dan indah serta jenjang dan berhiaskan rambut-rambut halus yang lembut. Rambutnya lurus agak berombak, wajahnya oval. Ia melangkah memasuki ballroom hotel, dengan gaun malam yang indah dan mahal membuat tubuh itu semakin terlihat ideal. Wajahnya yang memesona seakan menjadi mutiara yang menyilaukan ruangan mewah yang dipenuhi oleh para eksekutif muda metropolitan.
      Semua mata pria nyaris mengalihkan pandangan ke arah sosok yang bagaikan magnet malam itu, yang seakan mampu menyedot kelemahan pria dan membobolkan kesetiaan mahluk yang berjenis laki-laki. Separuh wanita yang sedang duduk bersama pasangan mereka menjadi terpaku, takjub, iri dan berdo’a ingin tubuh mereka se-ideal wanita itu serta tidak lupa berharap agar wanita itu tidak jadi masuk ke dalam ruangan. Satu dua wartawan mengambil gambar wanita itu.
      Seorang pria maskulin beranjak dari kursinya untuk menyongsong wanita yang menjadi bidadari malam itu dan membuat pria yang ada di sana sontak kaget dan patah hati saat melihat si maskulin mengecup pipi si wanita dengan lembut.
      “Selamat malam sayang… kamu hampir saja terlambat.” Dia menggandeng tangan wanita itu dan si wanita hanya menciptakan senyuman dan mengikuti langkah si maskulin tanpa melirik ke kiri atau pun kanan, sepertinya si wanita semampai itu sudah banyak belajar tentang kepribadian. Pria itu mempersilahkannya untuk duduk.
      Ada sepasang mata yang dari tadi tidak pernah lepas dari sosok itu, ia mengamati setiap gerak-geriknya, menyimak cara wanita itu memegang gelas, menyimak senyumnya dan menikmati mata coklat itu. Ia duduk tepat dua meja di depan si wanita. Saat wanita itu mengangkat wajahnya dan matanya langsung bertemu pada sepasang mata yang dari tadi merekam wajahnya dengan memori yang mulai rusak. Sedetik wajah si wanita berubah namun detik berikutnya ia mengalihkan wajahnya pada pria yang di sampingnya yang sedang memegang gelas wine. Si wanita menyentuh gelas si pria untuk toast, keduanya tersenyum lalu meneguk minuman mahal itu.
      Di sisi panggung, seorang pianis muda sedang menekan tuts-tuts pianonya hingga menghasilkan alunan nada yang indah. Malam itu adalah acara grand opening cabang baru perusahaan sebuah minuman dengan merk ternama, acara itu juga semacam syukuran bersama kerabat dekat sang pengusaha.
      Si wanita itu sedang pamit dengan teman dekatnya untuk ke kamar kecil, menit berikutnya pria yang tadi mengamatinya ikut menyusul ke belakang. Di persimpangan pintu toilet mereka bertemu dan pria itu menyapanya.
      “Maaf, sepertinya saya kenal dengan Anda. Kalau tidak salah nama Anda Tanaya, kan??” wajahnya penuh keyakinan dan terlihat sok akrab.
      “Maaf bung, Anda sepertinya salah orang, cara yang Anda pakai untuk berkenalan sangat payah.”
      “Oh, maaf kalau saya salah. Tapi saya tidak sedang coba berkenalan, Anda cantik sekali.” Pria itu terlihat serba salah, apalagi mendapati sikap si wanita sangat tidak mengenalinya. “Sekali lagi maafkan saya.” Tambahnya berusaha untuk tidak gugup.
      “Selamat malam.” Si wanita berlalu namun detik berikutnya ia berputar lagi dan si pria ternyata masih mengamatinya. “Tanaya? Tadi Anda menyebut nama Tanaya, siapa dia??”
      Si pria terlihat agak keberatan untuk menjawab. “Dia…, dia itu teman lama saya.” Ia coba tersenyum.
      “Oh, kalau begitu Anda sudah bertemu dengannya…mhmm.., maksud saya, semoga Anda cepat bertemu dengannya.” Si wanita meralat kata-katanya dengan cepat.
      “Terima kasih.” Pria itu mengulurkan tangannya. “Berteman?”
      Si wanita menyambut tangan si pria. “Tunlais.” Katanya dengan suara agak bergetar, bukan karena menyebut namanya tapi karena bersentuhan tangan dengan pria itu.
      “Tunlais?” pria itu mengulang lagi untuk memastikan pendengarannya. Wanita itu mengangguk. “Saya Toni. Toni Pratama.” Ia menyebut namanya dengan bangga. “Senang berkenalan dengan kamu Lais, tidak keberatan kan kalau aku memanggil kamu hanya dengan, Lais?”
      Wanita yang ternyata bernama Tunlais itu hanya tersenyum.
      API BARU SAJA MENYALA..!!!!

      Tunlais melepaskan sepatunya, meletakkan di rak sepatu lalu masuk ke kamarnya. Ia memandangi wajahnya di cermin yang super besar di kamar apartemennya. Lima tahun sudah ia menempati apartemen bagus itu. Ia mengamati seisi ruangan kamarnya, semua barang berada di tempat semestinya. Tempat tidur yang berukuran besar dan sangat rapih. Sekilas ingatannya melayang pada peristiwa sepuluh tahun silam…, suara tangisan bayi melengking dan menjerit-jerit seakan-akan ingin merobek-robek gendang telinganya. Tunlais menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Jeritan itu tertahan. Lalu ia berjalan ke kamar mandi dan menyalakan shower.
      Sepuluh tahun lebih telah berlalu, namun peristiwa itu seakan baru saja terjadi beberapa detik yang lalu, lukanya berdarah dan tidak akan pernah kering. Sehabis mandi Tunlais mencuci pakaiannya dan mengeringkan rambutnya serta mengelap seluruh tubuhnya. Ia mengenakan pakaian tidur, membersihkan tempat tidurnya dan setelah yakin semuanya bersih baru ia merebahkan tubuhnya. Tunlais tidak bisa tidur, ia gelisah dan hanya membolak-balikkan badannya, pikirannya melayang entah ke mana, mengembara dan…  API ITU MAKIN MENYALA!!!
                                                                *******

      Pukul delapan pagi, Tunlais berangkat ke kantornya yang berada di kawasan Slipi. Sebuah restoran yang menyediakan berbagai macam jenis makanan khas Indonesia dan luar negeri, tersedia pula bar dan tempat karaoke untuk para hedonis.
      Tunlais seorang wanita 28 tahun, tetapi ia memiliki wajah seperti wanita 20 tahun. Ia wanita dingin, tidak punya teman tetapi berkencan dengan pria yang berasal dari berbagai kalangan. Tidak ada istilah menikah di dalam kamus hidupnya, yang ada kencan, menikmati hidup dan mencari uang. Dia satu-satunya wanita yang menjalin hubungan tanpa cinta, yang ada hanya kesenangan.
      Sebelum berbelok ke kantor, ia membawa mobilnya ke arah asrama. Sejenis sekolah yang khusus menampung anak-anak yatim piatu. Sudah dua tahun ia tidak mengunjungi tempat itu padahal jarak asrama dari kantornya tidak begitu jauh.
      Pemilik asrama menyambutnya dengan senang hati, kali ini Tunlais membawa uang dalam jumlah yang cukup banyak. Mereka berbincang di kantor Bu asrama. Berikutnya wanita paruh baya itu membawa Tunlais berjalan menuju koridor bangunan, bangunan yang tidak bisa dikategorikan mewah namun layak. Di lapangan terlihat anak-anak sedang bermain. Mereka menghentikan langkah kaki sejenak untuk mengamati anak-anak itu.
      “Kamu lihat dia??” Bu asrama berkata dengan mata tertuju pada anak-anak laki-laki di sana. “Dia anak yang paling gesit di sini, ia pintar sekaligus nakal, tapi kalau lagi sedang tidak ‘Mood’ ia bisa diam berjam-jam.”
      Tunlais memandangi anak sepuluh tahunan itu yang sedang asyik bermain dengan teman-temannya. Ia memang terlihat sedang menguasai bola untuk di bawa ke gawang lawan, sepintas wajah itu mirip dengan wajahnya tapi mata itu…, darah Tunlais mulai mendidih.
      “Saya harus ke kantor, Bu.” Ucapnya kemudian.
      Wanita itu mengamati Tunlais. “Kamu tidak apa-apa?”
      Tunlais menggeleng pelan, Bu asrama mengantarnya sampai pintu depan. Ia sudah menganggap Tunlais seperti putrinya sendiri.
      “Kenapa kamu tidak mau menemuinya? Berbicara empat mata dengannya, apabila kamu masih tidak mau mengakuinya setidaknya kalian saling bicara.” Ujarnya pelan.
      “Tidak, mungkin lain kali.” Kata-kata itu seperti tekanan yang sulit untuk digoyahkan. Tunlais akhirnya pamit dengan pikiran berkecamuk. Bagaimana mungkin ia bisa berbicara dengan anak itu, seorang anak tanpa dosa yang setiap kali menatap wajahnya api kebencian itu terasa menyelinap ke dalam jiwa dan menghanguskan sekujur tubuhnya. Dan semalam api itu begitu dekat terasa memanggang tubuhnya dan mengoyak pikirannya.

      Tiba di kantor, Tunlais mendapati setangkai bunga di atas meja kerjanya, mawar merah dengan kartu.
      ‘MAKAN SIANG, AKU TUNGGU DI SLIPI KAFE. TONI.’
Senyum Tunlais mengembang.
      Seseorang menghubungi ponselnya. Ia duduk di kursi sembari mengangkat ponselnya.
      “Halo?”
      “Sayang… makan siang di mana?”
      “Slipi kafe.” Jawab Tunlais dengan cepat.
      “Oke, jangan terlambat ya.” Pinta suara itu. Ponsel pun dimatikan.
      Asisten Tunlais masuk dengan membawakan mawar, Tunlais meliriknya. Kali ini mawar itu sekitar selusin diikat dengan rapih, pasti dari toko bunga yang profesional.
      “Letakkan saja di meja pojok ruangan bersama mawar-mawar yang lain. Terima kasih ya.” Ucapnya. Setelah meletakkan rangkaian bunga itu, asistennya pun pamit keluar. Ia melirik kartu itu sekilas, ternyata dari Toni lagi.
      ‘Sepertinya kamu sudah tidak sabar lagi Ton, aku juga!’ ia menghela napas dalam-dalam. ‘Toni.. kita akan melihat, apakah kita bisa berteman??! Aku bisa bertaruh, dalam dua hari kamu akan mengeluarkan kata-kata cinta dari mulut mu!’
      Tunlais melihat daftar menu yang masuk dan keluar di dalam laporan pembukuan, sebab tanggungjawab penuh resto itu ada di tangannya. Ia memiliki tiga puluh lebih karyawan, berasal dari daerah asli makanan khas yang ada di restonya. Tadinya ada sekitar delapan puluh karyawan tapi sejak ia memegang kendali penuh, ia memangkas yang tidak perlu, 75% karyawan pria yang ia rumahkan dengan pesangon yang memuaskan. Ia menganut sistem sedikit orang tapi bekerja maksimum.
      Setelah berkutat berjam-jam di ruangannya, ia pun meninggalkan kantornya untuk menuju Slipi kafe. Di sana Toni sudah menunggunya.
      Toni mendapatkan alamat kantor Tunlais dari salah satu staf pemilik perusahaan minuman. Toni gelisah, berulang kali ia melirik pintu masuk dan sekali-kali menoleh ke arlojinya. Sudah pukul dua.
      ‘Pukul berapa gadis itu makan siang?’ helanya. Ia sudah menghabiskan segelas minuman. Ia mungkin harus lebih bersabar, dan saat ia menyapu pandangannya, terkejutlah ia ketika melihat ada pria yang bersama Tunlais malam kemarin. Ia bahkan tidak menyadari kapan pria itu masuk. Pria itu duduk sendirian di tempat yang bisa di lihat semua orang yang ada di sana. Detik berikutnya saat Toni menoleh ke pintu, Tunlais muncul. Sebelum Toni beranjak, pria itu sudah berdiri menyambut Tunlais. Wanita itu tersenyum saat menatap pria itu dan 100% ia yakin kalau ada Toni di ruangan itu yang kini sedang menatap dirinya.
      AKU NYALAHAKAN API DI HATI MU, TERBAKARLAH..!!
      Toni diam tidak berkutik, pemandangan yang semalam terulang lagi. Tidak lama kemudian Toni pun keluar. Tunlais menyadari itu, tapi ia seakan asyik dan sibuk dengan pria itu.
      ‘PENGECUT, katanya mau berteman tapi memilih pergi seperti keledai.’

      Keesokannya di jam makan siang, Toni mendatangi restoran Tunlais bersama sepuluh teman kerjanya. Sepertinya ia bos, yang seakan ingin memperlihatkan kekuasaannya. Setelah memesan makanan ia berbicara dengan seorang pelayan. Ia ingin bertemu dengan pemilik restoran.
      “Maaf Pak, pimpinan kami sedang tidak ada di tempat.”
      “O, punya restoran sendiri tapi tidak suka makan di sini.”
      “Mm.. apa yang bisa kami bantu?” Tanya wanita itu ramah dan tulus.
      Toni agak gelagapan sendiri padahal hanya seorang pelayan yang bertanya dengannya. “Mm.. tidak, saya hanya mau bilang kalau makanan di sini sangat luar biasa.”
      “Terima kasih Pak, kepuasan Anda adalah kepuasan kami juga.” Ujar wanita itu. Toni hanya mengangguk lalu mengamati seluruh ruangan yang bisa terlihat, setiap sudut di isi dengan mawar dengan berbagai warna. Kemudian ia memandangi teman-temannya yang sedang menikmati hidangan, saat salah satu menoleh, Toni tersenyum seakan mengisyaratkan untuk makan sepuas-puasnya. Toni menghampiri pelayan yang tadi yang hendak memasuki ruangan bar.
      “Maaf, tunggu sebentar.” Pelayan itu berbalik untuk menatap Toni. “Apa kamu tahu nomor ponselnya?”
      Pelayan itu menggeleng. “Mm.. tidak.”
      ‘O, sial! Tentu saja seorang bos tidak memberikan nomor pribadinya kepada seorang pelayan.’ Kesombongan Toni sedang berbicara.
      “Oh, itu dia, ibu Lais sudah kembali.” Pelayan itu menunjuk ke arah pintu masuk karyawan. “Biar saya beri tahu kalau Bapak ingin bertemu.”
      “Terima kasih.” Toni tersenyum lega.
      Pelayan itu menemui bosnya yang baru turun dari sedan hitam mengkilap. “Maaf, Bu.” Ia memberi hormat layaknya pada orang yang lebih tua. “Ada seorang tamu, ia membawa sekitar sepuluh orang temanya untuk makan di sini, dan sekarang ia ingin bertemu dengan Ibu.”
      “Bertemu?” kata Lais kurang yakin.
      “Ya, Bu.”
      “Saya tunggu di tempat biasa.” Itu tandanya Tunlais menyetujui untuk tamu itu bertemu dengannya.
      “Akan saya beritahu.”
      Tempat biasa yang di maksud Tunlais adalah, dua meja dengan empat kursi yang ada di ujung ruangan restoran. Ruangan itu hanya dibatasi oleh tirai tembus pandang, bisa di bilang sebagai tempat makan bagi pengunjung yang berkelas. Tunlais sering berbicara dengan orang penting di tempat itu.
      Tunlais meletakkan file yang di tangannya ke atas meja saat Toni muncul di hadapannya.
      “Hey… ternyata kamu?” sapa Lais tidak terkejut. “Silahkan duduk.” Mereka tidak berjabat tangan.
      “Terima kasih.” Toni menarik kursi. “Apa kabar kamu?” tatapannya plamboyan yang menjijikan.
      “Sangat baik, kamu?”
      “Kurang lebih.”
      “Kurang lebih bagaimana? Oh ya, terima kasih ya untuk mawarnya.”
      “Sama-sama, tapi kemarin siang…”
      “O, iya. Saya minta maaf. Kemarin itu sebenarnya saya ada janji dengan seseorang makan siang di kafe Slipi. Saya ingin memberitahu kamu tapi tidak tahu bagaimana caranya, sayangnya kamu sudah pulang kemarin soalnya saya tidak melihat kamu di sana atau kamu tidak datang.” Lais tersenyum dan tidak bertanya.
      “Aku….” Toni jadi tertawa halus seakan malu pada dirinya sendiri. “Ya ya… seharusnya aku meninggalkan nomor ponselku di kartu itu. Mm…boleh aku minta nomor kamu?”
      “Nomor?”
      “Kenapa? Pacar kamu keberatan ya?”
      “Tentu saja tidak, untuk seorang teman, bukan?” ujar Lais sembari menggenggam erat map yang di tangan kirinya. ‘PRIA HARUS BERTEKUK LUTUT DI HADAPANKU.’ Ia pun menyebutkan nomornya satu persatu di sertai senyum khasnya. Toni akan mabuk.
      Setelah kepergian Toni, Lais membuka mapnya yang berisikan file keterangan perusahaan Toni. Toni ternyata punya usaha di bidang Garmen. Pria itu sepertinya meneruskan usaha Ayahnya, selain Garmen ada juga usaha di bidang Otomotif.

      Malan itu, Toni nekad dan memberanikan untuk menelepon Tunlais. Lama Lais menatap LCD ponselnya sebab nomor itu tidak ia kenal. Ia berpikir itu pasti dari Toni, akhirnya ia pun tersenyum.
      “Halo…?” ucapnya setelah mengangkat ponselnya.
      “Lais, ini aku Toni. Maaf ya mengganggu, kamu lagi di mana?”
      “Tidak apa-apa, aku lagi di bar-resto.”
      “Restoran mana?”
      “Di restoran aku.”
      “Oh….” Toni memandang huruf-huruf yang menyala-nyala di hadapannya. ‘TUNLAIS RESTORAN.’ “Aku sudah ada di depan, boleh masuk?”
      “Pertanyaan yang aneh, tempat ini terbuka untuk umum.”
      “Oke,” Toni memotong dengan cepat. “Aku masuk ya, aku ingin bertemu dengan kamu.”
      ‘Sudah pasti!’ “Ya, kebetulan aku juga sedang tidak ada teman ngobrol nih.”
      Toni mematikan ponselnya karena sudah tidak sabar lagi.
      ‘BUAYA MULAI MENDEKATI JARING.’
      Senyum Lais merekah sembari memandangi pengunjung bar.  Dengan sering hadir di sekeliling mereka ia menjadi tahu dan memahami apa yang pelanggannya sukai, dari minuman, selera musik sampai ke selera berpakaian. Ia pindah tempat duduk, kalau malam Lais sama sekali tidak terlihat seperti seorang bos, penampilannya santai dan elegan serta otak bisnisnya terus mengembara seiring dengan rasa dendamnya.
      Toni muncul bak pangeran yang seakan menjadi pria paling beruntung malam itu karena akan berbincang dengan ditemani seorang wanita cantik, muda dan punya masa depan. Sempurna!
      Lais melirik Toni yang menghampirinya, Toni berusaha menciptakan senyuman yang paling menawan untuk sang putri, di balas Lais dengan sebuah senyuman basi.
      “Hai….?” Sapa Toni. Senyum itu iihhhh….! Palsu banget!! NAJIS,,,,,!!!!
      “Silahkan.” Lais mempersilahkan Toni duduk. Suara lagu dari karaoke sangat tidak disukai Lais, nyanyian pria pengemis cinta sekaligus penggombal. Toni menatap mata Lais. Ada ketidakasingan di sana namum tatapan itu seperti mahluk asing yang seakan ingin melumat Toni bulat-bulat.
      “Ini bar kamu, tapi biar aku yang traktir ya?” pinta Toni. Dari zaman kompeni, pria memang punya gengsi kelewat tinggi.
      “Tidak masalah.” Sahut Lais enteng.
      Toni pun memesan minuman termahal yang ada di tempat itu, ia tidak bosan-bosannya untuk menatap wajah Lais, wajah yang seolah-olah sudah lama ia kenal jauh dari sebelumnya. Sebagai pria dewasa, merasa mapan, tertarik pada lawan jenis dan watak playboy seperti Toni sudah pasti tebar pesona. MURAHAN!!
      “Kamu mengingatkan aku kepada seseorang.”
      “TANAYA?” pancing Lais cepat.
      “Ya, dia teman masa laluku.” Minuman mereka datang.
      SIALAN….!!!
      Lais mengumpat lalu meneguk minumannya.
      “Sudah bertahun-tahun tidak melihat dia, tapi dia sangat berbeda dengan kamu.”
      “Apa aku lebih cantik dari dia? Lebih menawan? Lebih berpendidikan? Apa dia lebih pendek dari aku atau tepatnya aku lebih langsing dari dia, begitu?” kata Lais sembari memainkan gelas minumannya dengan tetap menatap mata Toni yang hendak berbohong dan mengeluarkan kata-kata BAU…!!
      “Kamu ini bisa saja, mana bisa kamu disamakan dengan Tananya.” Ia tersenyum seolah
membenarkan semua ucapan Lais, senyum itu dibubuhi bias malu tapi nakal. BAH…! DASAR KADAL..!
       “Tidak ada manusia yang bisa disamakan apalagi kamu, kamu itu sangat berbeda dari semua wanita yang pernah aku temui selama ini.”
      Aslinya sudah keluar. KOTORAN!
      “Lais…. Kamu itu membuat aku sangat terpikat, kau memesonaku, aku suka sama kamu……”
      Selangkah lagi.
      “Aku mencintai kamu?”
      MAMPUS!!!
      Lais menahan tawa. Lalu hanya senyum tipis yang tercipta. “Kamu itu terlalu terus-terang ya, tapi nggak apa-apa, itu sih sah-sah saja.. kamu tahu kan kalau aku punya teman dekat?”
      “Aku tahu dan aku tidak peduli, kamu pasti bisa menyisakan waktu sekali dalam sepekan atau sebulan untuk aku, itu tidak masalah.”
      O o Tunlais…. Sebegitu kuatkah pesonamu?? Sampai-sampai mahluk yang satu itu rela menjadi budak mu!!?
      Lais diam, lama. Toni memegang tangannya dan mengusapnya mesra. Lais mulai lemah, sentuhan yang tanpa diduga itu seakan seketika menyihirnya. ‘Tuhan bangunkan aku, tidak mungkin aku terpikat dengan pria murahan ini. Bangun Lais, bangun!’ perlahan Lais menarik mundur tangannya.
      Toni merasa tidak enak karena terlalu agresif, tapi sepertinya kebanyakan pria akan bersikap sama jika berhadapan dengan wanita seindah Lais. Sekilas Toni menyimak keadaan sekeliling, pengunjung sepertinya tidak berkurang bahkan bertambah banyak meski pun malam kian larut. Cepat sekali waktu berlalu, kembali ia menatap Lais.
      “Bagaimana jika aku antar kamu pulang? Atau kamu masih betah di sini?” tawar Toni seakan berharap wanita itu mengiyakan permintaannya. Lais menyandarkan tubuhnya di kursi, alunan musik masih terdengar meski tidak bisa di dengar dengan jelas oleh Lais. Ia minum lagi walau sedikit, ia tidak akan mabuk di depan Toni.
      “Tempat ini rumah ke dua bagi saya, tidak mungkin saya akan buru-buru meninggalkannya. Mm..boleh saya bertanya? Siapa nama pacar kamu??”
      Tipe pria seperti Toni tidak akan bisa berkata jujur, Lais berani bertaruh.
      “Pacar? Terdengar istimewa ya? Aku sebenarnya ingin kamu yang menjadi pacar aku. Wanita yang aku temui selama ini susah sekali di tebak, apa maunya mereka. yang pernah dekat dengan aku hanya wanita yang suka pesta, hura-hura dan shopping.”
      “Susah di tebak?” senyum Lais agak misterius.
      MUNAFIK!!
      Toni mengangguk. “Sudah berapa lama kamu pacaran dengan dia, siapa namanya?”
      “Tangguh. Kalau pacaran saya tidak pernah bertahan lama, apalagi dengan pria posesif. Saya ini penganut system bebas, intinya sebelum menikah bebas berpacaran dengan siapa saja.” Ujar Lais tanpa ekspresi. Toni tersenyum merekah, seakan mendapatkan peluang yang lebar. “Dengan catatan, saya tertarik dengannya.” Lais bisa menebak kalau isi otak Toni sudah mulai mengembangkan cakarnya. Toni di bakar rasa penasaran kepada Lais.
      Ponsel Lais berdering. Dari Tangguh, Lais akan mengangkat ponselnya di depan Toni, setelah mengisyaratkan bahwa ia akan menerima telepon.
      “Hai… aku di bar, memangnya baru pulang?” Lais menunggu sejenak. “Nggak apa-apa kalau tidak bisa ke sini.” Tambahnya. “Yaa….” Pembicaraan itu pun berakhir.
      Toni menarik napas lega, sepertinya malam itu masih miliknya. Lais mematikan ponselnya. “Saya sudah harus pulang, bagaimana dengan Anda sendiri, Toni?” ia sengaja memancing Toni. Toni diam sejenak lalu tertawa karena bingung tidak tahu harus menjawab apa. Dia sepertinya kecewa, pasti Lais akan menemui Tangguh. Pikirnya. Di jam segini? Ya Tuhan, Toni cemburu. Bahkan sangat cemburu.
      MAKANYA JANGAN SEKALI-KALI BILANG CINTA!!
      “Kok diam?!”
      “Mm.., boleh saya antar?” suaranya agak gemetar.
      Dia gigih juga ternyata! Lais tertawa.
      “Bukan masalah boleh atau tidaknya, saya ini mau ke apartemen Tangguh. Memangnya mau mengantar?” kata Lais pelan dan tidak bercanda. Toni menatap mata Lais, tidak ada banyak pria yang mau melepaskan waktunya bersama Lais, tidak peduli terjun ke jurang sekali pun. Toni bahkan siap menjadi budaknya saat ini.
      “Kenapa nggak, asalkan Tangguhnya tidak keberatan.”
      “Dia bukan pria posesif tapi dia pria yang luar biasa.”
      Kata-kata Lais menghantam dada Toni. Toni terpaksa tersenyum namun keki dan getir. Ia pun menyetujui, dan apa yang ada di otak Toni saat mengantar Lais? Mencoba menjadi cowok cool? Atau menjadi pria yang bijaksana atau bahkan berpura-pura rela menjadi apa saja hanya demi simpati Lais? Cinta telah membuat Toni menjadi tolol! Tidak sedikit pun Lais ingin peduli dengan gejolak yang ada di benak Toni saat itu. Beberapa saat kemudian mobil Toni berhenti di depan apatemen Tangguh. Ia melirik Lais yang hendak turun.
      “Kapan kita bisa bertemu lagi?”
      “Kapan-kapan saja.” Ujar Lais seperti berpikir sejenak. Ia membuka pintu mobil, Toni berusaha keras untuk menahan tangan Lais tapi itu sangat tidak mungkin. “Terima kasih ya, salam buat cewek-cewek kamu.”
      “Lais…?” panggil Toni memaksa Lais menolah. “Jangan bicara seperti itu, apa aku boleh telepon kamu besok pagi?” itu permintaan yang sangat menyedihkan. Lais mengangkat kedua bahunya di sertai senyuman misterius. TERSERAH! Lais sudah berdiri di bahu jalan. Toni menurunkan kaca mobilnya.
      “Kenapa belum naik ke atas? Tangguh pasti sudah menunggu kamu.”
      ‘Tidak, sebelum aku melihat mobil kamu berlalu.” Lais mendekatkan kepala pada pintu mobil. “Aku tidak akan membiarkan cowok memandangi punggungku.” Ia menatap mata Toni yang bergelimang cinta.
      TENGGELAMLAH….!!!
      “Jangan memandangi aku seperti itu, baiklah, agar kamu segera masuk, aku akan pergi.” Tuturnya dengan berat. Lais memandangi mobil Toni yang melaju dengan pelan. Ia menghela napas panjang setelah mobil itu menghilang dari pandangan matanya. Ia lalu menoleh ke belakang. Apartemen Tangguh. Akhirnya ia tersenyum simpul. Tidak ada niatnya untuk naik ke atas sana. Tidak tahu kenapa ia bisa berpura-pura kepada Toni.
      Lais pun menyetop taksi, ia pun meninggalkan tempat yang tidak ada rencananya untuk berhenti. Ia pulang ke apartemennya sendiri.

      Di rumahnya Toni sangat gelisah. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Angannya melayang kepada Lais dan Tangguh yang sedang ML.
      ‘Wanita itu bisa membuat aku mati.’ Gumannya. Ponselnya berdering dan langsung ia sambar.
      “Halo…?”
      ‘Sial!!’ ia pikir Lais yang menelepon. ‘Lais itu sedang asyik, mana mungkin ia ingat dengan aku’
      “Ya.” Suara Toni berubah lesu. “Aku baru pulang, besok pagi juga nggak bisa, ada meeting.” Toni mendengar telepon di tutup dari seberang. Toni menatap ponselnya, seorang wanita yang selama ini dekat dengannya. Wanita yang ke mana-mana minta ditemani. Terpikir oleh Toni untuk menelepon Lais yang sedang bermesraan dengan Tangguh. Jika Tangguh melihat Lais dihubungi pria lain, maka mereka akan ribut dan putus. Pikiran picik Toni mulai menghampiri. ‘Tapi bagaimana mungkin, Toni itu bukan pria posesif seperti yang diceritakan Lais. Dan mana mungkin dia peduli dengan telepon jika Lais ada di dalam pelukannya.’
      Lais menatap LCD ponselnya. ‘Ia bilang akan menghubungi aku esok pagi, sepertinya ia pencemburu.’ Lais tidak mengangkat teleponnya dan tidak juga tidur.
    
        Malam berikutnya Toni mengajak Lais makan di restoran mewah, tapi tidak di restoran Lais. Ia menganggap itu semacam kencan. Meja yang mungil dan suasana yang romantis. Seorang pelayan menghampiri meja mereka.
      “Selamat malam…” sapanya. Toni dan Lais menoleh. Pelayan itu sedang memegang setangkai mawar merah lalu memberikannya kepada Lais. “Untuk Anda, dari pria yang ada di ujung sana.” Mata mereka mengikuti mata si pelayan. “Ia bilang nona cantik sekali.”
      “Terima kasih.” Kata Lais pada si pelayan dengan mata masih tertuju pada pria pengirim mawar itu. Pria itu mengangkat gelasnya dan Lais menciumi mawar itu membuat Toni dibakar cemburu.
      “Kamu kenal dengannya?”
      Lais melirik Toni, ekspresi wajah itu tak beda jauh dari pria yang di ujung sana. “Belum, mungkin segera.”
      “Ia hanya menggoda dan ia bukan pria baik-baik, berani-beraninya ia mengirim mawar pada wanita yang ditemani laki-laki lain.” Toni menggerutu.
      ‘Apakah ada bedanya dengan kamu? Kalian sama, sama-sama berengsek! Mahluk seperti kalian hanya pecinta fisik dan inginkan kepuasan sesaat.’
      “Lais, aku tidak ingin pria itu merusak acara makan malam kita.” Kata Toni pelan seolah meminta pada Lais untuk tidak menggubris pria itu. Tawa Lais terdengar renyah.
      “Kita harus menghargai orang yang menghargai kita, bukan berarti membiarkannya menjadi pengacau, bukan?”
      “Bagaimana kalau kita pindah?”
      “Hey, dewasalah sedikit.” Ujar Lais melihat Toni mulai emosi. Saat Lais menoleh lagi ke pria tadi, terlihat seorang wanita sudah duduk bersamanya, tapi pria itu sedang menatap Lais dan tersenyum.
      HMMPERFECT.
      Toni berusaha untuk tidak peduli dengan coba menghibur dirinya sendiri, sekarang yang terpenting adalah Lais sedang bersamanya. Ia memegang jemari Lais. “Apa bisa malam ini hanya untuk aku?”
      “Rasanya ingin sekali meninggalkan tempat ini.” Lais membalas genggaman tangan Toni
sembari melirik mawarnya yang tergolek di sisi gelasnya.
      “Aku punya tempat yang indah.” Buru Toni dengan cekatan.
      “Kalau begitu, tunggu apa lagi?” goda Lais.
      ‘YES..!’
      Toni nyaris berteriak senang. Ia pun mengajak Lais keluar dari restoran. Tangguh menghubungi Lais saat mereka ada di dalam mobil, dan seperti biasanya Lais mengangkat teleponnya tanpa beban.
      “Hey… ya, sedang bersama seseorang.” Kata Lais. Toni menyetir dan sekali-kali melirik ke wajah Lais. “Bener, cowok, namanya Toni. Toni Pratama.” Lais melirik wajah Toni sekilas. “Jangan cemburu begitu dong, karena aku tahu kamu bukan pria seperti itu.” Lais terus berbicara dan Toni meraih tangan Lais yang sebelahnya dan menggenggamnya erat. Lais mengukir senyuman untuknya. Dan Toni tidak akan tahu apa arti senyum itu. “Ya, aku tahu di mana harus menemui kamu.” Pembicaraan pun selesai. Apakah Toni akan berpikir wanita seperti apa Lais dan seperti apa pula Tangguh yang rela membiarkan kekasihnya jalan dengan pria lain, dan Lais, enak sekali dia! Jalan dengan pria lain sementara dengan santainya bilang pada kekasihnya? Dia anggap apa diri mereka?!
      “Kamu itu jujur sekali ya? Tidak takut Tangguh curiga?” pertanyaan itu mengandung kemarahan.
      “Curiga? Barusan aku memberitahukan kebenaranku kepada dia, aku tidak sembunyi-sembunyi, seperti halnya dengan kamu. Aku tidak menyangkal kalau aku sedang dekat dengan pria lain. Tidak ada yang aku sembunyikan antara kamu dan Tangguh.” Lais menarik pelan tangannya dari genggaman Toni. “Apakah tempat indah kamu itu masih jauh?”
      “Itu, sudah kelihatan dari sini.” Toni menunjuk ke arah luar, Lais menyimaknya dan berikutnya mobil pun menepi lalu terlihatlah sebuah istana kecil, kokoh namun terlihat seperti bangunan mati yang terletak di pinggir jalan.
      “Itu?” tunjuk Lais.
      “Ya, tempat yang paling aku cintai di dunia ini. Mau turun?”
      “Kenapa nggak?!”
      Toni menekan tombol penghubung pagar, gerbang pun terbuka dan mobil masuk ke halaman rumah dengan elegannya. Detik berikutnya pagar kembali tertutup, kini Toni membuka pintu mobil untuk Lais.
      “Selamat datang di istana mungilku, selain ibuku, kamulah wanita pertama yang menginjak tempat ini.” Ujar Toni penuh rasa suka cita.
 
      ‘DUH…!!! Basi banget, pria ini sendiri mungkin lupa sudah berapa banyak wanita yang ia ajak menginap di tempat itu.’
      “Aku merasa tersanjung mendengarnya.” Kata Lais dengan nada sok dihargai oleh Toni.
      “Oke. Silahkan masuk puteri.” Tani membuka pintu, dan setelah itu… waw…! Penampilan di dalamnya berbeda sekali dari luar. Ruangan tengahnya benar-benar luas, mewah dan sangat mengagumkan. Untuk sejenak Lais takjub. Di samping ruang tamu ada bar kecil, berbagai merk minuman mahal berderet di sana. Mereka melangkah ke sana. Toni meraih dua gelas kristal. “Anggur, putih atau merah?”
      “Merah.” Jawab Lais.

Bersambuuuuungggggggg.......>>>>

1 komentar:

obyektif-magazine mengatakan...

Mengangkat thema penyakit yang mematikan dalam sebuah novel, memang sangat menarik. Salam kenal, semoga sukses selalu untuk Anda. Trims informasinya.

Salam kompak:
Obyektif Cyber Magazine
(obyektif.com)