TANAYA BERGEJOLAK
(Sebuah
novel Remaja akhir)
PRIA BISA MENDEPAK DAN MELUPAKAN WANITA.....
TAPI WANITA TIDAK BISA MELUPAKAN.........,
NAMUN BISA MENGHANCUR LEBURKAN DAN MELULUH LANTAKKAN ISTANA KERAJAAN SANG
PRIA.....!!!!
SINOPSIS :
Tanaya adalah seorang wanita jelita,
tulus mencintai pria yang juga mencintainya. Hubungan suami isteri pra nikah
pun terjadi dan Tanaya hamil, pria yang tadinya mencintai dia tidak berani
ambil resiko, ia lari dari tanggungjawab dan memilih meninggalkan Tanaya demi
masa depannya sendiri.
Sesuatu yang tidak diharapkan pun
terjadi, Tanaya harus berjuang hidup di antara malu, susah dan dendam yang semakin hari semakin
menggunung di hatinya, belum lagi harus dijauhi keluarga dan kerabat dan…
Tanaya kini hidup dengan satu alasan yaitu DENDAM…!
Ia membenci semua pria tak terkecuali
anaknya sendiri yang berusia sepuluh tahun. Dia memang menerima setiap pria
yang tergila-gila dengan pesonanya, lalu menenggelamkan mereka ke dasar lautan
hatinya yang sudah membatu.
Masa depan pria pun ada di tangannya,
jangan pernah ucapkan kata-kata cinta dengannya…!!!
BAB
1
JAKARTA,
API BARU SAJA MENYALA
Angin Jakarta yang bercampur
polusi tidak menghalangi indahnya
pemandangan malam, cahaya lampu yang warna-warni menciptakan nuansa keindahan
tersendiri. Jika kita melihat ke atas, gedung-gedung bertingkat, apartemen dan
mall akan membuat mata takjub menatapnya, tetapi itu hanyalah karya tangan anak
manusia. Di bawah jembatan layang ada ratusan anak manusia yang hidup dengan
cara mereka sendiri, mereka hanya butuh makan untuk hidup bukan hidup untuk
makan. Jika usaha
dan kerja keras serta do’a bisa merubah kehidupan mereka, mungkin hidup mereka
sudah lama ber-ubah lebih baik. Indonesia adalah alam yang kaya tapi kenapa
penduduknya miskin?
Kesenjangan sosial terlihat
begitu nyata, dunia hanya milik orang-orang
pintar yang berduit bukan milik orang
pintar yang jujur. Uang bisa membeli cinta, kegadisan bisa diperjualbelikan….
Namun Tanaya hidup hanya untuk melumatkan hati laki-laki.
Seorang wanita baru saja
keluar dari sedan warna hitam, ia mengenakan sepatu hak tinggi dengan warna
hitam, seakan memperlihatkan bentuk sepasang kakinya yang putih dan indah serta jenjang dan
berhiaskan rambut-rambut halus yang lembut. Rambutnya lurus agak berombak,
wajahnya oval. Ia melangkah memasuki ballroom hotel, dengan gaun malam yang indah dan mahal membuat
tubuh itu semakin terlihat ideal. Wajahnya yang memesona seakan menjadi mutiara
yang menyilaukan ruangan mewah yang dipenuhi oleh para eksekutif muda
metropolitan.
Semua mata pria nyaris
mengalihkan pandangan ke arah sosok yang bagaikan magnet malam itu, yang seakan
mampu menyedot kelemahan pria dan membobolkan kesetiaan mahluk yang berjenis
laki-laki. Separuh wanita yang sedang duduk bersama pasangan mereka menjadi
terpaku, takjub, iri dan berdo’a ingin tubuh mereka se-ideal wanita itu serta
tidak lupa berharap agar wanita itu tidak jadi masuk ke dalam ruangan. Satu dua
wartawan mengambil gambar wanita itu.
Seorang pria maskulin beranjak dari kursinya
untuk menyongsong wanita yang menjadi bidadari malam itu dan membuat pria yang
ada di sana
sontak kaget dan patah hati saat melihat si maskulin mengecup pipi si wanita
dengan lembut.
“Selamat malam sayang… kamu
hampir saja terlambat.” Dia menggandeng tangan wanita itu dan si wanita hanya
menciptakan senyuman dan mengikuti langkah si maskulin tanpa melirik ke kiri
atau pun kanan,
sepertinya si wanita semampai itu sudah banyak belajar tentang kepribadian. Pria
itu mempersilahkannya untuk duduk.
Ada sepasang mata yang dari tadi tidak pernah
lepas dari sosok itu, ia mengamati setiap gerak-geriknya,
menyimak cara wanita itu memegang gelas,
menyimak senyumnya dan menikmati mata coklat itu. Ia duduk tepat dua meja di
depan si wanita. Saat wanita itu mengangkat wajahnya dan matanya langsung
bertemu pada sepasang mata yang dari tadi merekam wajahnya dengan memori yang
mulai rusak. Sedetik wajah si wanita berubah namun detik berikutnya ia
mengalihkan wajahnya pada pria yang di sampingnya yang sedang memegang gelas wine. Si wanita
menyentuh gelas
si pria untuk toast, keduanya tersenyum lalu meneguk minuman mahal itu.
Di sisi panggung, seorang
pianis muda sedang menekan tuts-tuts pianonya hingga menghasilkan alunan nada
yang indah.
Malam itu adalah acara grand opening cabang baru perusahaan
sebuah minuman dengan merk ternama, acara itu juga semacam syukuran bersama
kerabat dekat sang pengusaha.
Si wanita itu sedang pamit
dengan teman dekatnya untuk ke kamar kecil,
menit berikutnya pria yang tadi mengamatinya ikut menyusul ke belakang. Di
persimpangan pintu toilet mereka bertemu dan pria itu menyapanya.
“Maaf, sepertinya saya kenal
dengan Anda. Kalau tidak salah nama Anda Tanaya, kan??” wajahnya penuh keyakinan dan terlihat
sok akrab.
“Maaf bung, Anda sepertinya
salah orang,
cara yang Anda pakai untuk berkenalan sangat payah.”
“Oh, maaf kalau saya salah.
Tapi saya tidak sedang coba berkenalan, Anda cantik sekali.” Pria itu terlihat
serba salah, apalagi mendapati sikap si wanita sangat tidak mengenalinya.
“Sekali lagi maafkan saya.” Tambahnya berusaha untuk tidak gugup.
“Selamat malam.” Si wanita
berlalu namun detik berikutnya ia berputar lagi dan si pria ternyata masih mengamatinya.
“Tanaya? Tadi Anda menyebut nama Tanaya, siapa dia??”
Si pria terlihat agak
keberatan untuk menjawab. “Dia…, dia itu teman lama saya.” Ia coba tersenyum.
“Oh, kalau begitu Anda sudah
bertemu dengannya…mhmm.., maksud saya, semoga Anda cepat bertemu dengannya.” Si
wanita meralat kata-katanya dengan cepat.
“Terima kasih.” Pria itu
mengulurkan tangannya. “Berteman?”
Si wanita menyambut tangan si
pria. “Tunlais.” Katanya dengan suara agak bergetar, bukan karena menyebut
namanya tapi karena bersentuhan tangan dengan pria itu.
“Tunlais?” pria itu mengulang
lagi untuk memastikan pendengarannya. Wanita itu mengangguk. “Saya Toni. Toni
Pratama.” Ia menyebut namanya dengan bangga. “Senang berkenalan dengan kamu
Lais, tidak keberatan kan
kalau aku memanggil kamu hanya dengan, Lais?”
Wanita yang ternyata bernama Tunlais itu hanya
tersenyum.
API BARU SAJA MENYALA..!!!!
Tunlais melepaskan
sepatunya, meletakkan di rak sepatu lalu masuk ke kamarnya.
Ia memandangi wajahnya di cermin yang super besar di kamar apartemennya. Lima tahun sudah ia
menempati apartemen bagus itu. Ia mengamati seisi ruangan kamarnya,
semua barang berada di tempat semestinya. Tempat tidur yang berukuran besar dan
sangat rapih. Sekilas ingatannya melayang pada peristiwa sepuluh tahun silam…,
suara tangisan bayi melengking dan menjerit-jerit seakan-akan ingin
merobek-robek gendang telinganya. Tunlais menutup kedua telinganya dengan kedua
tangannya. Jeritan itu tertahan. Lalu ia berjalan ke kamar
mandi dan menyalakan shower.
Sepuluh tahun lebih telah
berlalu, namun peristiwa itu seakan baru saja terjadi beberapa detik yang lalu,
lukanya berdarah dan tidak akan pernah kering. Sehabis mandi Tunlais mencuci
pakaiannya dan mengeringkan rambutnya serta mengelap seluruh tubuhnya. Ia
mengenakan pakaian tidur, membersihkan tempat tidurnya dan setelah yakin
semuanya bersih baru ia merebahkan tubuhnya. Tunlais tidak bisa tidur, ia
gelisah dan hanya membolak-balikkan badannya, pikirannya melayang entah ke
mana, mengembara dan… API
ITU MAKIN MENYALA!!!
*******
Pukul delapan
pagi, Tunlais berangkat ke kantornya
yang berada di kawasan Slipi. Sebuah restoran yang menyediakan berbagai macam
jenis makanan khas Indonesia dan luar
negeri, tersedia pula bar dan tempat karaoke untuk para hedonis.
Tunlais seorang wanita 28
tahun, tetapi ia memiliki wajah seperti wanita 20 tahun. Ia wanita dingin,
tidak punya teman tetapi berkencan dengan pria yang berasal dari berbagai
kalangan. Tidak ada istilah menikah di dalam kamus hidupnya, yang ada kencan,
menikmati hidup dan mencari uang. Dia satu-satunya wanita yang menjalin
hubungan tanpa cinta, yang ada hanya kesenangan.
Sebelum berbelok ke kantor, ia membawa
mobilnya ke arah asrama. Sejenis sekolah yang khusus menampung anak-anak yatim
piatu. Sudah dua tahun ia tidak mengunjungi tempat itu padahal jarak asrama
dari kantornya
tidak begitu jauh.
Pemilik asrama menyambutnya
dengan senang hati, kali ini Tunlais membawa uang dalam jumlah yang cukup
banyak. Mereka berbincang di kantor
Bu asrama. Berikutnya wanita paruh baya itu membawa Tunlais berjalan menuju
koridor bangunan, bangunan yang tidak bisa dikategorikan mewah namun layak. Di
lapangan terlihat anak-anak sedang bermain. Mereka menghentikan langkah kaki
sejenak untuk mengamati anak-anak itu.
“Kamu lihat dia??” Bu asrama
berkata dengan mata tertuju pada anak-anak laki-laki di sana. “Dia anak yang paling gesit di sini, ia
pintar sekaligus nakal, tapi kalau lagi sedang tidak ‘Mood’ ia bisa diam
berjam-jam.”
Tunlais memandangi anak
sepuluh tahunan itu yang sedang asyik bermain dengan teman-temannya. Ia memang
terlihat sedang menguasai bola untuk di bawa ke gawang lawan, sepintas wajah
itu mirip dengan wajahnya tapi mata itu…, darah Tunlais mulai mendidih.
“Saya harus ke kantor, Bu.” Ucapnya
kemudian.
Wanita itu mengamati Tunlais.
“Kamu tidak apa-apa?”
Tunlais menggeleng pelan, Bu asrama
mengantarnya sampai pintu depan. Ia sudah menganggap Tunlais seperti putrinya
sendiri.
“Kenapa kamu tidak mau
menemuinya? Berbicara empat mata dengannya, apabila kamu masih tidak mau
mengakuinya setidaknya kalian saling bicara.” Ujarnya pelan.
“Tidak, mungkin lain kali.”
Kata-kata itu seperti tekanan yang sulit untuk digoyahkan. Tunlais akhirnya
pamit dengan pikiran berkecamuk. Bagaimana mungkin ia bisa berbicara dengan
anak itu, seorang anak tanpa dosa yang setiap kali menatap wajahnya api
kebencian itu terasa menyelinap ke dalam jiwa dan menghanguskan sekujur
tubuhnya. Dan semalam api itu begitu dekat terasa memanggang tubuhnya dan
mengoyak pikirannya.
Tiba di kantor, Tunlais mendapati setangkai bunga di
atas meja kerjanya, mawar merah dengan kartu.
‘MAKAN SIANG, AKU
TUNGGU DI SLIPI KAFE. TONI.’
Senyum Tunlais mengembang.
Seseorang menghubungi
ponselnya. Ia duduk di kursi sembari mengangkat ponselnya.
“Halo?”
“Sayang… makan siang di
mana?”
“Slipi kafe.” Jawab Tunlais
dengan cepat.
“Oke, jangan terlambat ya.”
Pinta suara itu. Ponsel pun dimatikan.
Asisten Tunlais masuk dengan
membawakan mawar, Tunlais meliriknya. Kali ini mawar itu sekitar selusin diikat
dengan rapih, pasti dari toko bunga yang profesional.
“Letakkan saja di meja pojok
ruangan bersama mawar-mawar yang lain. Terima kasih ya.” Ucapnya. Setelah
meletakkan rangkaian bunga itu, asistennya pun pamit keluar. Ia melirik kartu
itu sekilas, ternyata dari Toni lagi.
‘Sepertinya kamu sudah tidak
sabar lagi Ton, aku juga!’ ia menghela napas dalam-dalam. ‘Toni.. kita akan
melihat, apakah kita bisa berteman??! Aku bisa bertaruh, dalam dua hari kamu
akan mengeluarkan kata-kata cinta dari mulut mu!’
Tunlais melihat daftar menu
yang masuk dan keluar di dalam laporan pembukuan, sebab tanggungjawab penuh
resto itu ada di tangannya. Ia memiliki tiga puluh lebih karyawan, berasal dari
daerah asli makanan khas yang ada di restonya. Tadinya ada sekitar delapan puluh karyawan
tapi sejak ia memegang kendali penuh, ia memangkas yang tidak perlu, 75%
karyawan pria yang ia rumahkan dengan pesangon yang memuaskan. Ia menganut
sistem sedikit orang
tapi bekerja maksimum.
Setelah berkutat berjam-jam
di ruangannya, ia pun meninggalkan kantornya
untuk menuju Slipi kafe. Di sana
Toni sudah menunggunya.
Toni mendapatkan alamat kantor Tunlais dari salah satu staf pemilik perusahaan
minuman. Toni gelisah, berulang kali ia melirik pintu masuk dan sekali-kali
menoleh ke arlojinya. Sudah pukul dua.
‘Pukul berapa gadis itu makan
siang?’ helanya. Ia sudah menghabiskan segelas minuman. Ia mungkin harus lebih
bersabar, dan saat ia menyapu pandangannya, terkejutlah ia ketika melihat ada
pria yang bersama Tunlais malam kemarin. Ia bahkan tidak menyadari kapan pria
itu masuk. Pria itu duduk sendirian di tempat yang bisa di lihat semua orang yang ada di sana.
Detik berikutnya saat Toni menoleh ke pintu, Tunlais muncul. Sebelum Toni
beranjak, pria itu sudah berdiri menyambut Tunlais. Wanita itu tersenyum saat
menatap pria itu dan 100% ia yakin kalau ada Toni di ruangan itu yang kini
sedang menatap dirinya.
AKU NYALAHAKAN API DI HATI MU,
TERBAKARLAH..!!
Toni diam tidak berkutik,
pemandangan yang semalam terulang lagi. Tidak lama kemudian Toni pun keluar.
Tunlais menyadari itu, tapi ia seakan asyik dan sibuk dengan pria itu.
‘PENGECUT, katanya mau
berteman tapi memilih pergi seperti keledai.’
Keesokannya di jam makan
siang, Toni mendatangi restoran Tunlais bersama sepuluh teman kerjanya.
Sepertinya ia bos, yang seakan ingin memperlihatkan kekuasaannya. Setelah
memesan makanan ia berbicara dengan seorang pelayan. Ia ingin bertemu dengan
pemilik restoran.
“Maaf Pak, pimpinan kami
sedang tidak ada di tempat.”
“O, punya restoran sendiri
tapi tidak suka makan di sini.”
“Mm.. apa yang bisa kami
bantu?” Tanya wanita itu ramah dan tulus.
Toni agak gelagapan sendiri padahal hanya seorang
pelayan yang bertanya dengannya. “Mm.. tidak, saya hanya mau bilang kalau
makanan di sini sangat luar biasa.”
“Terima kasih Pak, kepuasan Anda
adalah kepuasan kami juga.” Ujar wanita itu. Toni hanya mengangguk lalu
mengamati seluruh ruangan yang bisa terlihat, setiap sudut di isi dengan mawar
dengan berbagai warna. Kemudian ia memandangi teman-temannya yang sedang menikmati
hidangan, saat salah satu menoleh, Toni tersenyum seakan mengisyaratkan untuk
makan sepuas-puasnya. Toni menghampiri pelayan yang tadi yang hendak memasuki
ruangan bar.
“Maaf, tunggu sebentar.”
Pelayan itu berbalik untuk menatap Toni. “Apa kamu tahu nomor ponselnya?”
Pelayan itu menggeleng. “Mm..
tidak.”
‘O, sial! Tentu saja seorang
bos tidak memberikan nomor pribadinya kepada seorang pelayan.’ Kesombongan Toni
sedang berbicara.
“Oh, itu dia, ibu Lais sudah
kembali.” Pelayan itu menunjuk ke arah pintu masuk karyawan. “Biar saya beri
tahu kalau Bapak ingin bertemu.”
“Terima kasih.” Toni
tersenyum lega.
Pelayan itu menemui bosnya
yang baru turun dari sedan hitam mengkilap. “Maaf, Bu.” Ia memberi hormat
layaknya pada orang
yang lebih tua. “Ada
seorang tamu, ia membawa sekitar sepuluh orang
temanya untuk makan di sini, dan sekarang ia ingin bertemu dengan Ibu.”
“Bertemu?” kata Lais kurang
yakin.
“Ya, Bu.”
“Saya tunggu di tempat
biasa.” Itu tandanya Tunlais menyetujui untuk tamu itu bertemu dengannya.
“Akan saya beritahu.”
Tempat biasa yang di maksud
Tunlais adalah, dua meja dengan empat kursi yang ada di ujung ruangan restoran.
Ruangan itu hanya dibatasi oleh tirai tembus pandang, bisa di bilang sebagai
tempat makan bagi pengunjung yang berkelas. Tunlais sering berbicara dengan orang penting di tempat
itu.
Tunlais meletakkan file yang
di tangannya ke atas meja saat Toni muncul di hadapannya.
“Hey… ternyata kamu?” sapa
Lais tidak terkejut. “Silahkan duduk.” Mereka tidak berjabat tangan.
“Terima kasih.” Toni menarik
kursi. “Apa kabar kamu?” tatapannya plamboyan yang menjijikan.
“Sangat baik, kamu?”
“Kurang
lebih.”
“Kurang
lebih bagaimana? Oh ya, terima kasih ya untuk mawarnya.”
“Sama-sama, tapi kemarin siang…”
“O, iya. Saya minta maaf.
Kemarin itu sebenarnya saya ada janji dengan seseorang makan siang di kafe
Slipi. Saya ingin memberitahu kamu tapi tidak tahu bagaimana caranya, sayangnya
kamu sudah pulang kemarin soalnya saya tidak melihat kamu di sana atau kamu
tidak datang.” Lais tersenyum dan tidak bertanya.
“Aku….” Toni jadi tertawa
halus seakan malu pada dirinya sendiri. “Ya ya… seharusnya aku meninggalkan
nomor ponselku di kartu itu. Mm…boleh aku minta nomor kamu?”
“Nomor?”
“Kenapa? Pacar kamu keberatan
ya?”
“Tentu saja tidak, untuk
seorang teman, bukan?” ujar Lais sembari menggenggam erat map yang di tangan
kirinya. ‘PRIA HARUS BERTEKUK LUTUT DI HADAPANKU.’ Ia pun menyebutkan nomornya
satu persatu di sertai senyum khasnya. Toni akan mabuk.
Setelah kepergian Toni, Lais
membuka mapnya yang berisikan file keterangan perusahaan
Toni. Toni ternyata punya usaha
di bidang Garmen. Pria itu sepertinya meneruskan usaha
Ayahnya, selain Garmen ada juga usaha
di bidang Otomotif.
Malan itu, Toni nekad dan
memberanikan untuk menelepon Tunlais. Lama Lais menatap LCD ponselnya sebab
nomor itu tidak ia kenal. Ia berpikir itu pasti dari Toni, akhirnya ia pun
tersenyum.
“Halo…?” ucapnya setelah
mengangkat ponselnya.
“Lais, ini aku Toni. Maaf ya
mengganggu, kamu lagi di mana?”
“Tidak apa-apa, aku lagi di
bar-resto.”
“Restoran mana?”
“Di restoran aku.”
“Oh….” Toni memandang
huruf-huruf yang menyala-nyala di hadapannya. ‘TUNLAIS RESTORAN.’ “Aku sudah
ada di depan, boleh masuk?”
“Pertanyaan yang aneh, tempat
ini terbuka untuk umum.”
“Oke,” Toni memotong dengan
cepat. “Aku masuk ya, aku ingin bertemu dengan kamu.”
‘Sudah pasti!’ “Ya, kebetulan
aku juga sedang tidak ada teman ngobrol nih.”
Toni mematikan ponselnya
karena sudah tidak sabar lagi.
‘BUAYA MULAI MENDEKATI
JARING.’
Senyum Lais merekah sembari
memandangi pengunjung bar. Dengan sering
hadir di sekeliling mereka ia menjadi tahu dan memahami apa yang pelanggannya
sukai, dari minuman, selera musik sampai ke selera berpakaian. Ia pindah tempat
duduk, kalau malam Lais sama sekali tidak terlihat seperti seorang bos,
penampilannya santai dan elegan serta otak bisnisnya terus mengembara seiring
dengan rasa dendamnya.
Toni muncul bak pangeran yang
seakan menjadi pria paling beruntung malam itu karena akan berbincang dengan ditemani
seorang wanita cantik, muda dan punya masa depan. Sempurna!
Lais melirik Toni yang
menghampirinya, Toni berusaha menciptakan senyuman yang paling menawan untuk
sang putri, di balas Lais dengan sebuah senyuman basi.
“Hai….?” Sapa Toni. Senyum
itu iihhhh….! Palsu banget!! NAJIS,,,,,!!!!
“Silahkan.” Lais
mempersilahkan Toni duduk. Suara lagu dari karaoke sangat tidak disukai Lais,
nyanyian pria pengemis cinta sekaligus penggombal. Toni menatap mata Lais. Ada ketidakasingan di sana namum tatapan itu seperti mahluk asing
yang seakan ingin melumat Toni bulat-bulat.
“Ini bar kamu, tapi biar aku
yang traktir ya?” pinta Toni. Dari zaman kompeni, pria memang punya gengsi
kelewat tinggi.
“Tidak masalah.” Sahut Lais
enteng.
Toni pun memesan minuman
termahal yang ada di tempat itu, ia tidak bosan-bosannya untuk menatap wajah
Lais, wajah yang seolah-olah sudah lama ia kenal jauh dari sebelumnya. Sebagai
pria dewasa, merasa mapan, tertarik pada lawan jenis dan watak playboy seperti
Toni sudah pasti tebar pesona. MURAHAN!!
“Kamu mengingatkan aku kepada
seseorang.”
“TANAYA?” pancing Lais cepat.
“Ya, dia teman masa laluku.”
Minuman mereka datang.
SIALAN….!!!
Lais mengumpat lalu meneguk
minumannya.
“Sudah bertahun-tahun tidak
melihat dia, tapi dia sangat berbeda dengan kamu.”
“Apa aku lebih cantik dari
dia? Lebih menawan? Lebih berpendidikan? Apa dia lebih pendek dari aku atau
tepatnya aku lebih langsing dari dia, begitu?” kata Lais sembari memainkan gelas minumannya dengan
tetap menatap mata Toni yang hendak berbohong dan mengeluarkan kata-kata BAU…!!
“Kamu ini bisa saja, mana
bisa kamu disamakan dengan Tananya.” Ia tersenyum seolah
membenarkan semua ucapan Lais, senyum itu dibubuhi bias malu tapi nakal. BAH…! DASAR KADAL..!
“Tidak ada manusia yang bisa
disamakan apalagi kamu, kamu itu sangat berbeda dari semua wanita yang pernah
aku temui selama ini.”
Aslinya sudah keluar. KOTORAN!
“Lais…. Kamu itu membuat aku
sangat terpikat, kau memesonaku, aku suka sama kamu……”
Selangkah lagi.
“Aku mencintai kamu?”
MAMPUS…!!!
Lais menahan tawa. Lalu hanya
senyum tipis yang tercipta. “Kamu itu terlalu terus-terang ya, tapi nggak
apa-apa, itu sih sah-sah saja.. kamu tahu kan kalau aku punya teman dekat?”
“Aku tahu dan aku tidak
peduli, kamu pasti bisa menyisakan waktu sekali dalam sepekan atau sebulan
untuk aku, itu tidak masalah.”
O o Tunlais…. Sebegitu kuatkah pesonamu??
Sampai-sampai mahluk yang satu itu rela menjadi budak mu!!?
Lais diam, lama. Toni
memegang tangannya dan mengusapnya mesra. Lais mulai lemah, sentuhan yang tanpa
diduga itu seakan seketika menyihirnya. ‘Tuhan bangunkan aku, tidak mungkin aku
terpikat dengan pria murahan ini. Bangun Lais, bangun!’ perlahan Lais menarik
mundur tangannya.
Toni merasa tidak enak karena
terlalu agresif, tapi sepertinya kebanyakan pria akan bersikap sama jika
berhadapan dengan wanita seindah Lais. Sekilas Toni menyimak keadaan
sekeliling, pengunjung sepertinya tidak berkurang bahkan bertambah banyak meski
pun malam kian larut. Cepat sekali waktu berlalu, kembali ia menatap Lais.
“Bagaimana jika aku antar
kamu pulang? Atau kamu masih betah di sini?” tawar Toni seakan berharap wanita
itu mengiyakan permintaannya. Lais menyandarkan tubuhnya di kursi, alunan musik
masih terdengar meski tidak bisa di dengar dengan jelas oleh Lais. Ia minum
lagi walau sedikit, ia tidak akan mabuk di depan Toni.
“Tempat ini rumah ke dua bagi
saya, tidak mungkin saya akan buru-buru meninggalkannya. Mm..boleh saya
bertanya? Siapa nama pacar kamu??”
Tipe pria seperti Toni tidak akan bisa
berkata jujur, Lais berani bertaruh.
“Pacar? Terdengar istimewa
ya? Aku sebenarnya ingin kamu yang menjadi pacar aku. Wanita yang aku temui
selama ini susah
sekali di tebak, apa maunya mereka. yang pernah dekat dengan aku hanya wanita
yang suka pesta, hura-hura dan shopping.”
“Susah di tebak?” senyum Lais agak misterius.
MUNAFIK!!
Toni mengangguk. “Sudah
berapa lama kamu pacaran dengan dia, siapa namanya?”
“Tangguh. Kalau pacaran saya
tidak pernah bertahan lama, apalagi dengan pria posesif. Saya ini penganut
system bebas, intinya sebelum menikah bebas berpacaran dengan siapa saja.” Ujar
Lais tanpa ekspresi. Toni tersenyum merekah, seakan mendapatkan peluang yang
lebar. “Dengan catatan, saya tertarik dengannya.” Lais bisa menebak kalau isi
otak Toni sudah mulai mengembangkan cakarnya. Toni di bakar rasa penasaran
kepada Lais.
Ponsel Lais berdering. Dari
Tangguh, Lais akan mengangkat ponselnya di depan Toni, setelah mengisyaratkan
bahwa ia akan menerima telepon.
“Hai… aku di bar, memangnya
baru pulang?” Lais menunggu sejenak. “Nggak apa-apa kalau tidak bisa ke sini.”
Tambahnya. “Yaa….” Pembicaraan itu pun berakhir.
Toni menarik napas lega,
sepertinya malam itu masih miliknya. Lais mematikan ponselnya. “Saya sudah harus
pulang, bagaimana dengan Anda sendiri, Toni?” ia sengaja memancing Toni. Toni
diam sejenak lalu tertawa karena bingung tidak tahu harus menjawab apa. Dia
sepertinya kecewa, pasti Lais akan menemui Tangguh. Pikirnya. Di jam segini? Ya
Tuhan, Toni cemburu. Bahkan sangat cemburu.
MAKANYA JANGAN SEKALI-KALI BILANG CINTA!!
“Kok diam?!”
“Mm.., boleh saya antar?”
suaranya agak gemetar.
Dia gigih juga ternyata! Lais
tertawa.
“Bukan masalah boleh atau
tidaknya, saya ini mau ke apartemen Tangguh. Memangnya mau mengantar?” kata
Lais pelan dan tidak bercanda. Toni menatap mata Lais, tidak ada banyak pria
yang mau melepaskan waktunya bersama Lais, tidak peduli terjun ke jurang sekali
pun. Toni bahkan siap menjadi budaknya saat ini.
“Kenapa nggak, asalkan
Tangguhnya tidak keberatan.”
“Dia bukan pria posesif tapi
dia pria yang luar biasa.”
Kata-kata Lais menghantam
dada Toni. Toni terpaksa tersenyum namun keki dan getir. Ia pun menyetujui, dan
apa yang ada di otak Toni saat mengantar Lais? Mencoba menjadi cowok cool? Atau menjadi pria yang bijaksana
atau bahkan berpura-pura rela menjadi apa saja hanya demi simpati Lais? Cinta
telah membuat Toni menjadi tolol! Tidak sedikit pun Lais ingin peduli dengan
gejolak yang ada di benak Toni saat itu. Beberapa saat kemudian mobil Toni
berhenti di depan apatemen Tangguh. Ia melirik Lais yang hendak turun.
“Kapan kita bisa bertemu
lagi?”
“Kapan-kapan saja.” Ujar Lais
seperti berpikir sejenak. Ia membuka pintu mobil, Toni berusaha keras untuk
menahan tangan Lais tapi itu sangat tidak mungkin. “Terima kasih ya, salam buat
cewek-cewek kamu.”
“Lais…?” panggil Toni memaksa
Lais menolah. “Jangan bicara seperti itu, apa aku boleh telepon kamu besok
pagi?” itu permintaan yang sangat menyedihkan. Lais mengangkat kedua bahunya di
sertai senyuman misterius. TERSERAH! Lais sudah berdiri di bahu jalan. Toni
menurunkan kaca mobilnya.
“Kenapa belum naik ke atas?
Tangguh pasti sudah menunggu kamu.”
‘Tidak, sebelum aku melihat
mobil kamu berlalu.” Lais mendekatkan kepala pada pintu mobil. “Aku tidak akan
membiarkan cowok memandangi punggungku.” Ia menatap mata Toni yang bergelimang
cinta.
TENGGELAMLAH….!!!
“Jangan memandangi aku seperti itu,
baiklah, agar kamu segera masuk, aku akan pergi.” Tuturnya dengan berat. Lais
memandangi mobil Toni yang melaju dengan pelan. Ia menghela napas panjang
setelah mobil itu menghilang dari pandangan matanya. Ia lalu menoleh ke
belakang. Apartemen Tangguh. Akhirnya ia tersenyum simpul. Tidak ada niatnya
untuk naik ke atas sana.
Tidak tahu kenapa ia bisa berpura-pura kepada Toni.
Lais pun menyetop taksi, ia
pun meninggalkan tempat yang tidak ada rencananya untuk berhenti. Ia pulang ke
apartemennya sendiri.
Di rumahnya Toni sangat
gelisah. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Angannya melayang
kepada Lais dan Tangguh yang sedang ML.
‘Wanita itu bisa membuat aku
mati.’ Gumannya. Ponselnya berdering dan langsung ia sambar.
“Halo…?”
‘Sial!!’ ia pikir Lais yang
menelepon. ‘Lais itu sedang asyik, mana mungkin ia ingat dengan aku’
“Ya.” Suara Toni berubah
lesu. “Aku baru pulang, besok pagi juga nggak bisa, ada meeting.” Toni mendengar telepon di
tutup dari seberang. Toni menatap ponselnya, seorang wanita yang selama ini
dekat dengannya. Wanita yang ke mana-mana minta ditemani. Terpikir oleh Toni
untuk menelepon Lais yang sedang bermesraan dengan Tangguh. Jika Tangguh
melihat Lais dihubungi pria lain, maka mereka akan ribut dan putus. Pikiran
picik Toni mulai menghampiri. ‘Tapi bagaimana mungkin, Toni itu bukan pria
posesif seperti yang diceritakan Lais. Dan mana mungkin dia peduli dengan
telepon jika Lais ada di dalam pelukannya.’
Lais menatap LCD ponselnya.
‘Ia bilang akan menghubungi aku esok pagi, sepertinya ia pencemburu.’ Lais
tidak mengangkat teleponnya dan tidak juga tidur.
Malam berikutnya Toni mengajak Lais makan di
restoran mewah, tapi tidak di restoran Lais. Ia menganggap itu semacam kencan.
Meja yang mungil dan suasana yang romantis. Seorang pelayan menghampiri meja
mereka.
“Selamat malam…” sapanya.
Toni dan Lais menoleh. Pelayan itu sedang memegang setangkai mawar merah lalu
memberikannya kepada Lais. “Untuk Anda, dari pria yang ada di ujung sana.” Mata mereka
mengikuti mata si pelayan. “Ia bilang nona cantik sekali.”
“Terima kasih.” Kata Lais
pada si pelayan dengan mata masih tertuju pada pria pengirim mawar itu. Pria
itu mengangkat gelasnya
dan Lais menciumi mawar itu membuat Toni dibakar cemburu.
“Kamu kenal dengannya?”
Lais melirik Toni, ekspresi
wajah itu tak beda jauh dari pria yang di ujung sana. “Belum, mungkin segera.”
“Ia hanya menggoda dan ia
bukan pria baik-baik, berani-beraninya ia mengirim mawar pada wanita yang ditemani
laki-laki lain.” Toni menggerutu.
‘Apakah ada bedanya dengan
kamu? Kalian sama, sama-sama berengsek! Mahluk seperti kalian hanya pecinta
fisik dan inginkan kepuasan sesaat.’
“Lais, aku tidak ingin pria itu
merusak acara makan malam kita.” Kata Toni pelan seolah meminta pada Lais untuk
tidak menggubris pria itu. Tawa Lais terdengar renyah.
“Kita harus menghargai orang yang menghargai
kita, bukan berarti membiarkannya menjadi pengacau, bukan?”
“Bagaimana kalau kita
pindah?”
“Hey, dewasalah sedikit.”
Ujar Lais melihat Toni mulai emosi. Saat Lais menoleh lagi ke pria tadi,
terlihat seorang wanita sudah duduk bersamanya, tapi pria itu sedang menatap
Lais dan tersenyum.
HMM… PERFECT.
Toni berusaha untuk tidak peduli dengan coba
menghibur dirinya sendiri, sekarang yang terpenting adalah Lais sedang
bersamanya. Ia memegang jemari Lais. “Apa bisa malam ini hanya untuk aku?”
“Rasanya ingin sekali
meninggalkan tempat ini.” Lais membalas genggaman tangan Toni
sembari melirik mawarnya yang tergolek di sisi gelasnya.
“Aku punya tempat yang indah.” Buru Toni dengan cekatan.
“Kalau begitu, tunggu apa
lagi?” goda Lais.
‘YES..!’
Toni nyaris berteriak senang.
Ia pun mengajak Lais keluar dari restoran. Tangguh menghubungi Lais saat mereka
ada di dalam mobil, dan seperti biasanya Lais mengangkat teleponnya tanpa
beban.
“Hey… ya, sedang bersama
seseorang.” Kata Lais. Toni menyetir dan sekali-kali melirik ke wajah Lais.
“Bener, cowok, namanya Toni. Toni Pratama.” Lais melirik wajah Toni sekilas.
“Jangan cemburu begitu dong, karena aku tahu kamu bukan pria seperti itu.” Lais
terus berbicara dan Toni meraih tangan Lais yang sebelahnya dan menggenggamnya
erat. Lais mengukir senyuman untuknya. Dan Toni tidak akan tahu apa arti senyum
itu. “Ya, aku tahu di mana harus menemui kamu.” Pembicaraan pun selesai. Apakah
Toni akan berpikir wanita seperti apa Lais dan seperti apa pula Tangguh yang
rela membiarkan kekasihnya jalan dengan pria lain, dan Lais, enak sekali dia!
Jalan dengan pria lain sementara dengan santainya bilang pada kekasihnya? Dia
anggap apa diri mereka?!
“Kamu itu jujur sekali ya?
Tidak takut Tangguh curiga?” pertanyaan itu mengandung kemarahan.
“Curiga? Barusan aku
memberitahukan kebenaranku kepada dia, aku tidak sembunyi-sembunyi, seperti
halnya dengan kamu. Aku tidak menyangkal kalau aku sedang dekat dengan pria
lain. Tidak ada yang aku sembunyikan antara kamu dan Tangguh.” Lais menarik
pelan tangannya dari genggaman Toni. “Apakah tempat indah kamu itu masih jauh?”
“Itu, sudah kelihatan dari
sini.” Toni menunjuk ke arah luar, Lais menyimaknya dan berikutnya mobil pun
menepi lalu terlihatlah sebuah istana kecil, kokoh namun terlihat seperti bangunan
mati yang terletak di pinggir jalan.
“Itu?” tunjuk Lais.
“Ya, tempat yang paling aku
cintai di dunia ini. Mau turun?”
“Kenapa nggak?!”
Toni menekan tombol
penghubung pagar, gerbang pun terbuka dan mobil masuk ke halaman rumah dengan
elegannya. Detik berikutnya pagar kembali tertutup, kini Toni membuka pintu
mobil untuk Lais.
“Selamat datang di istana
mungilku, selain ibuku, kamulah wanita pertama yang menginjak tempat ini.” Ujar
Toni penuh rasa suka cita.
‘DUH…!!! Basi banget, pria
ini sendiri mungkin lupa sudah berapa banyak wanita yang ia ajak menginap di
tempat itu.’
“Aku merasa tersanjung mendengarnya.” Kata Lais
dengan nada sok dihargai oleh Toni.
“Oke. Silahkan masuk puteri.”
Tani membuka pintu, dan setelah itu… waw…! Penampilan di dalamnya berbeda
sekali dari luar. Ruangan tengahnya benar-benar luas, mewah dan sangat
mengagumkan. Untuk sejenak Lais takjub. Di samping ruang tamu ada bar kecil,
berbagai merk minuman mahal berderet di sana.
Mereka melangkah ke sana.
Toni meraih dua gelas
kristal. “Anggur, putih atau merah?”
“Merah.” Jawab Lais.
Bersambuuuuungggggggg.......>>>>
1 komentar:
Mengangkat thema penyakit yang mematikan dalam sebuah novel, memang sangat menarik. Salam kenal, semoga sukses selalu untuk Anda. Trims informasinya.
Salam kompak:
Obyektif Cyber Magazine
(obyektif.com)
Posting Komentar